Kebudayaan padahal menjadi satu lapangan yang sangat penting dalam dakwah Islam. Ia berdiri menyatu dengan identitas masyarakat. Muhammadiyah memang dikenal sebagai organisasi Islam reformis, yang berupaya menyingkirkan penyakit tahayul, bid’ah dan churafat. Beberapa mungkin menilai kebudayaan sarat bersinggungan dengan hal-hal yang justru diberantas Muhammadiyah. Bisa jadi benar, namun kebudayaan sebenarnya lapangan yang sangat luas. Persoalan kebudayaan tak bisa disempitkan dengan hal-hal seperti ritual masyarakat belaka seperti dipahami sebagian pihak.

Kebudayaan meliputi bahasa, sastra, dan lainnya. Bahkan menurut Buya Hamka dalam Kebudayaan Dipandang Dari Segi Ajaran Islam menjelaskan bahwa semua manusia yang berakal-budi adalah berbudaya, sebab budaya adalah hasil akal budi yang dipengaruhi ruang dan waktu, serta masyarakat yang mengelilinginya.

“Maka adalah iman sebagai pemberi cahaya bagi akal budi dan daya-upaya dalam hidup, hendaklah menjadi amalnya yang saleh!” (HAMKA: 2012)

Buya Hamka juga mengingatkan, “Islam mengajarkan bahwasanya di dalam mencari ilmu pengetahuan,atau filsafat atau seni, satu hal perlu diingat. Yaitu betapa nilainya bagi jiwa. “ Kemudian beliau melanjutkan, “…Disamping mencari yang benar dan mengelakkan yang salah, atau mencari yang baik dan menjauhi yang jahat, haruslah diperhatikan yang manfaat dan yang mudharat itu.” (HAMKA: 2012)

Oleh sebab itu, jika dakwah dalam persoalan budaya tak dihiraukan justru disitulah persisnya umat Islam akan dimangsa agresi kebudayaan lain yang menepikan tuhan. Gelombang kebudayaan dari luar Islam amat sukar dibendung. Lantas bagaimana Muhammadiyah menyikapi persoalan kebudayaan?

Sepanjang pengetahuan penulis, Muhammadiyah pernah merumuskan satu poin penting tentang kebudayaan. Pada Muktamar ke-36 di Bandung tahun 1965, Muhammadiyah merumuskan ikhtiar untuk “menyusun satu konsep yang lebih sempurna dalam bidang kebudayaan, pendidikan dan pengajaran Muhammadiyah yang berdasarkan Pancasila serta kebudayaan Nasional dengan unsur-unsur ajaran Islam yang murni dengan tuntutan pelaksanaannya, sebagai sumbangan bagi pembentukan masyarakat sosialis Indonesia.” (Majelis Dikti: 2010)

Momentum perumusan ini menjadi penting, karena pada saat itu terjadi benturan keras umat Islam dengan kelompok komunis di Indonesia yang mengusung jargon “Seni untuk rakyat” dan “Politik adalah panglima” dalam berkesenian. Kelompok komunis melalui Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) melakukan aksi ofensif revolusionernya dengan menghantam kelompok-kelompok yang tidak sejalan dengan mereka di lapangan kebudayaan.

Pihak yang dihantam, sebagian sastrawan penganut humanisme universal seperti H.B. Jassin atau Wiratmo Soekito, Goenawan Mohammad, dan lainnya. Sebagian lagi tokoh Islam, seperti Buya Hamka dan sineas Usmar Ismail.

Kelompok Islam dari Nadhlatul Ulama melakukan perlawanan dengan menggerakan lembaga kebudayaan mereka, yaitu Lembaga Seni Budaya Islam (Lesbumi). Lesbumi, meski belum lama berkiprah namun berhasil melakukan perlawanan sengit dengan menciptakan karya-karya bernafaskan Islam. Melalui tangan dingin Usmar Ismail, Lesbumi menelurkan film-film bernafaskan Islam, seperti Tauhid dan Darah dan Doa.

Di lain sisi Muhammadiyah tampaknya tidak bergerak selincah NU dalam menghadapi tantangan dan serangan kebudayaan ini. Aksi ofensif revolusioner yang dilancarkan Lekra dihadang Muhammadiyah lewat Ikatan Seni Budaya Muhammadiyah (ISBM). Meski demikian, gaung ISBM sejauh pengetahuan penulis tak seperti Lesbumi. Lantas, apakah ini menandakan bahwa kalangan Islam reformis termasuk Muhammadiyah tak lincah dalam menjelajahi lapangan kebudayaan? Alih-alih memberi kesimpulan tergesa-gesa, penulis justru ingin menampilkan sekilas ikhtiar dari gerakan Islam reformis dalam menghadapi tantangan kebudayaan lewat kiprah mereka dalam Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI).

HSBI memang bukan wadah resmi Muhammadiyah terkait kebudayaan, namun tak dapat dipungkiri, HSBI menjadi wadah kelompok muslim reformis, termasuk warga Muhammadiyah. Salah satunya adalah Buya Hamka. Ia pun menjadi Ketua Majelis Seniman Budajawan Islam (MASBI) dibawah arahan HSBI. MASBI sendiri adalah sebuah wadah struktural HSBI. MASBI didukung oleh 30 ulama, 10 sarjana, 5 zuama dan 20 orang seniman Islam dari berbagai cabang seni. (Junan Helmy Nasution: 1963)

HSBI sendiri didirikan pada 24 September 1956. Lahir dari inisiatif H. Abdullah Aidid seorang pejabat Kepala Djawatan Penerangan Agama, Kementerian Agama RI yang menginginkan organisasi Islam yang aktif dibidang seni dan budaya. HSBI disebut sebagai organisasi yang terkait dengan Masyumi, namun pasca dibubarkannya Masyumi pada tahun 1960, HSBI menjadi wadah seni dan budaya yang menjadi titik lebur berbagai kelompok Islam dan individu dari berbagai latar belakang.

Yunan Helmy Nasution, salah seorang tokoh penting HSBI, menyatakan bahwa, “HSBI adalah milik kaum Muslimin, milik NU, milik PSII, milik PERTI, milik Muhammadijah, milik Washlijah dan semua organisasi Islam serta ummatnja. Dan sebagai organisasi Agama maka HSBI adalah siap mendjadi alat Departemen Agama, PUSROH ISLAM baik AD, AL, AU dan Angkatan Kepolisiannja. Dan selaku satu organisasi Karyawan HSBI sebagai anggauta Front Nasional siap memundak segala tugasnja untuk Negara dan Bangsa dalam mensukseskan tjita2 Revolusi Indonesia.” (Choirotun Chisaan: 2012)

Muktamar HSBI pertama pada tahun 1961 menyatakan bahwa “HSBI berazaskan Islam dan berlandaskan Pantja Sila, berwargakan Seniman Mukmin jang arif akan kepentingan Nasional dalam alam Manipol untuk menggali segala chazanah unsure seni Islam kedalam Kebudajaan Nasional dan Kepribadian Bangsa.” (Junan Helmy Nasution: 1963)

HSBI pun bergerak dalam berbagai lapangan budaya. Di bidang seni drama mereka membuat pagelaran kolosal. Bertempat di Jakarta, pertunjukan drama Titik Terang menandai perayaan Maulid Nabi Muhamamad SAW pada tahun 1961. Drama tersebut ditampilkan secara kolosal melibatkan 15 ekor kuda dan dihadiri 30 ribu penonton. Yunan Helmy Nasution, yang juga menjadi Ketua HSBI menjadi penulis naskahnya. (Harius Salim: 2012, Indonesia O’Galelano: 1963)

Bukan hanya di Jakarta, pertunjukan HSBI bahkan merambah ke daerah-daerah. mencoba mengenalkan pertunjukan drama Islam. Namun tak jarang mendapatkan tentangan justru dari ulama setempat yang memandang pertunjukan drama dengan dihukumi haram. Pendekatan persuasif dilakukan terhadap ulama tersebut. Sidi Gazalba mengenang ikhitar mereka mengenalkan seni drama Islami ke umat Islam di daerah tersebut,

“Peristiwa yang sering terjadi ketika HSBI memasuki desa-desa, membawa dramanya sebagai saluran dakwah adalah sebagai berikut. Mula-mula mereka datangi ulama yang terkenal di desa itu. Mereka sampaikanlah hasrat mereka. Biasanya ulama itu menolak. Karena kegiatan seni dipandangnya negatif, biasanya dihukumnya haram. Anak-anak HSBI akan menerima pandangan ulama itu setelah beliau mempersaksikan sendiri drama yang mereka bawakan. Setelah itu mereka akan patuhi segala arahan beliau. Maka sebagai penonton utama dan terhormat, ulama itu memperhatikan dengan saksama penyelenggaraan drama itu. Karena HSBI membawakan pandangan Islam tentang kesenian, antara lain yang utama ialah pertunjukan karya itu mengandung nilai-nilai akhlaq Islam, maka sering sekali HSBI mendapat penilaian dari ulama ulama yang diundangnya menonton itu: ‘Kalau begini anak-anak kerjakan, saya tidak keberatan sama sekali. Yang begini tidaklah haram. Saya menyokong cara dakwah kamu ini” (Choirotun Chisaan: 2012)

Pertunjukan drama hanyalah salah sati bagian dari pementasan Islami. HSBI juga mengenalkan pada khalayak film-film bernafaskan Islam. Melalui Arts Study Club, mereka menggelar acara nonton bareng film Titian Rambut dibelah Tujuh karya seniman Lesbumi, Asrul Sani. Asrul Sani dalam film tersebut berperan sebagai produser sekaligus sutradara. Acara yang berlangsung pada 18 November 1962 ini juga dilanjutkan dengan diskusi film tersebut. HSBI tampak memberi apresiasi atas karya tokoh lembaga kebudayaan Islam lainnya seperti Lesbumi yang diwakili oleh Asrul Sani. (Sanusi Hassan BA: 1963)

HSBI juga melekat dengan dunia sastra. Meski belum setenar Buya Hamka, Kapten Yunan Helmy Nasution menjadi sastrawan yang produktif. Sosok Kapten Yunan Helmy Nasution di balik HSBI memang menjadi sosok yang penting bagi lembaga tersebut. Meski berlatar belakang profesi sebagai PUSROH TNI AD, Syair-syairnya sejak lama tersebar di berbagai media seperti Penjuluh Agama, Abadi, Pandji Masjarakat dan lainnya. Karya lainnya adalah ketekunananya dalam menulis naskah drama. Diantaranya yang telah dipentaskan adalah Tengku Umar Djohan Pahlawan, Surja DiMalam Pekat, Bali, dan termasuk “Kisah Maulid Nabi” yang kolosal.

Bukan hanya mencipta karya sastra, tetapi HSBI juga mengajak segala elemen dari umat Islam untuk mencipta karya sastra. Pada tahun baru 1383H (24 Mei 1963) misalnya, diadakan Pesta Penjair Islam yang diikuti oleh 30 peserta dan dikunjungi banyak penonton. Acara yang sudah diadakan keempat kalinya tersebut diikuti pemuda-pemudi dari berbagai organisasi kepemudaan Islam seperti PMII, HMI, GPII, PNU, PII, Pemuda Anshor, Pemuda Muhammadiyah, dan lainnya.

Pada Desember 1961, HSBI melalui Majelis Seniman Budajawan Islam (MASBI) mengadakan musyawarah kebudayaan. Musyawarah itu kemudian memutuskan beberapa hal, diantaranya, seni adalah aktivitas yang halal dalam pandangan hukum Islam dan dalam melakukan aktivitasnya dibutuhkan untuk menghindari hal-hal yang haram.

Menurut Sidi Gazalba, hasil dari musyarah itu sendiri memberi arti penting, yaitu;

“Dengan bersenjatakan fatwa ulamak-ulamak itu terbukalah bagi HSBI kegiatan-kegiatan, baik menyaingi LEKRA, membentengi pemuda-pemuda Islam supaya jangan sampai menjadi mangsa LEKRA, menyediakan kesempatan bagi kaum muda untuk memuaskan rasa-seninya. Ketika itu ada empat parti Islam. Masing-masing parti tidak ragu lagi menubuhkan lembaga keseniannya sendiri. (Choirotun Chisaan: 2012)

Gerakan kebudayaan yang digalang HSBI memang belum terlampau berakar namun apa yang mereka lakukan merupakan ikhtiar untuk menjawab tantangan zaman pada masa itu. Benar bahwa kiprah HSBI tak bisa dilepaskan dari situasi pada saat itu yang berada dibawah tekanan dari kelompok kiri seperti Lekra. Namun HSBI membuktikan bahwa bagi muslim reformis, perihal kebudayaan bukanlah jalan buntu yang tak bisa ditelusuri. Adapun Al-Qur’an dan sunnah haruslah tetap menjadi pelita yang memandu perjalanan menjelajah lapangan budaya tersebut. Wallahualam.

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB).

Tulisan ini dimuat Majalah Tabligh edisi Januari 2018

 

 

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here