Belakangan ini wacana deradikalisasi agama yang memuat tema diantaranya toleransi agama, kembali disuguhkan kepada umat Islam di Indonesia. Meskipun hal tersebut sebenarnya bukan merupakan problem pokok dalam beragama, namun pemerintah melalui Kementrian Agama menjadikannya program utama dalam masa kepemimpinannya.
Toleransi yang seringkali dikampanyekan dan diajarkan kepada umat Islam, dalam beberapa masa, menurut tokoh ulama dan founding father negara yakni Hamka (panggilan akrab untuk Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dari salah satu sisi patut untuk dipertanyakan maksudnya. Sebab mengajarkan umat Islam untuk toleran terhadap pemeluk agama lainnya, merupakan suatu hal yang ambigu dan kurang tepat. Seolah umat Islam yang telah hidup, berkembang dan tinggal ratusan tahun di Nusantara dan di berbagai negara, tidak mengerti dalam menyikapi perbedaan agama dan dianggap baru belajar tentang makna toleransi.
Jika kita menyaksikan bagaimana Islam dapat menyebar dan diterima oleh masyarakat Madinah yang diantaranya beragama Nashrani dan Yahudi, hal tersebut menurut Hamka karena toleransi. Ketika kekuasaan Islam di Andalusia (Spanyol sekarang) dapat berdiri hampir 800 tahun, hal tersebut karena kelapangan dan toleransi umat Islam terhadap berbagai keyakinan. Demikian juga halnya di Indonesia, saat Islam masuk dengan damai dan membawa ajarannya, telah mengubah mayoritas kaum pribumi dari Hindu ke dalam Islam tanpa paksaan atau melalui dakwah yang toleran. Maka Hamka pernah menangkis tuduhan jika dikatakan bahwa Islam disebarkan dengan kekerasan dan paksaan, atau tanpa sikap toleransi.
Salah seorang anggota dewan dalam salah satu forum pertemuan di DPR RI Indonesia, pada tahun 1975 bahkan mengakui suasana keberagamaan yang baik di Indonesia pada saat itu, dengan mengatakan “Di Indonesia ini telah tercipta toleransi umat beragama yang harmonis, sedangkan di negara-negara lain terjadi pertentangan antar umat beragama”, maka Hamka yang merupakan ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) pertama saat sidang itu menjawab “Adanya toleransi yang anda kemukakan itu, ialah karena di Indonesia ini rakyatnya beragama Islam.”
Hamka menjelaskan bahwa setiap negara yang masyarakatnya mayoritas beragama Islam, akan sangat menghormati dan toleran terhadap agama lainnya. Namun berbeda ketika ummat Islam menjadi minoritas dalam suatu negara, justru yang paling banyak dimarginalkan. Beliau menguraikan contoh yang terjadi seperti di Filipina, India, Inggris, hingga kini juga sebagaimana yang terjadi di Myanmar dan China. Selama belasan hingga puluhan tahun, ummat Islam selalu lebih banyak mendapatkan pertentangan dan penindasan oleh penguasanya yang berbeda agama. Sehingga Hamka menantang dan mempertanyakan slogan toleransi yang sering diarahkan kepada umat Islam, di depan para pejabat Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia pada tahun 1975, Hamka berkata:
“Tunjukkan kepada saya, di mana negara yang mayoritas rakyatnya beragama Islam menindas golongan minoritas agama lainnya?” [1]
Toleransi atau menghormati perbedaan khususnya dari agama lain, bagi Hamka merupakan sikap yang sejak awal telah diajarkan dalam syariat kaum muslimin serta menjadi ketinggian akhlak dalam agama. Sehingga tidak ada sepanjang sejarah, agama yang paling toleran dan dapat mengayomi berbagai perbedaan keyakinan kecuali Islam. Sehingga hal ini memberikan kesan yang membuat masyarakat agama lain justru banyak mengenal dan menerima agama Islam, sebagaimana yang terjadi di Andalusia, Turki, India hingga Nusantara.
Namun sikap toleransi ini juga kerap kali membuat umat Islam sering dikelabui dan dikhianati oleh pihak lainnya. Sebab sikap toleransi yang berlebihan terkadang menjadikan umat Islam kehilangan kewibawaan dan melepaskan prinsip keyakinannya. Prasangka baik yang diberikan oleh umat Islam, terkadang dimanfaatkan oleh suatu oknum untuk menjatuhkan Islam, sebagaimana dalam sejarah beberapa kali pernah menyebabkan runtuhnya kekuasaan Islam.
Toleransi dalam Islam bukan berarti mengakui dan mengikuti keyakinan dari agama lain, bukan juga memberikan ruang untuk bereksplorasi menyamakan dan menafsirkan ajaran agama lain yang justru melahirkan pluralisme dan penistaan agama. Namun toleransi yaitu menghormati pemeluk agama lainnya, tanpa melepaskan keyakinan terhadap prinsip agamanya sendiri. Maka bagi Hamka, toleransi harus selalu diiringi dengan dakwah untuk mengajak manusia mengenal Islam, sebab toleransi tanpa dakwah akan mensifati kelemahan dan membuka jalan pada penjajahan. Hamka menjelaskan:
“Toleransi tanpa da’wah artinya ialah kehilangan pengaruh Islam dari tanah air kita. Bila pengaruh Islam telah hilang, pamor bangsa dan negara pun hilang pula: maka mudahlah bagi bangsa penjajah buat menjajah kita kembali. Meskipun penjajahan Belanda pergi kikis habis, tinggallah di sini “fikiran kebelandaan”, sebagai yang diharapkan oleh Prof. Snouck Hurgronje, ahli mencari segi-segi kelemahan ummat Islam Indonesia yang amat ternama itu.” [2]
Hamka, Keteguhan Beragama dan Fatwa Natal
Majelis Ulama Indonesia pertama kali dibentuk oleh pemerintah di Masa Orde Baru pada tahun 1975. Soeharto dan para penasehatnya menyadari akan peranan penting para ulama dan kyai dalam mempengaruhi masyarakat publik dan negara, sehingga muncullah gagasan untuk membentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang mencoba menyatukan suara para ulama yang terwakili dari setiap segmen ormas atau kelompok Islam di Indonesia. Hamka kemudian terpilih menjadi ketua umum pertamanya.
Hamka telah dikenal luas kiprahnya dalam membawa gagasan baru bagi visi besar Islam di Indonesia pasca kemerdekaan Indonesia. Hamka dinilai sebagai seorang yang memiliki kepribadian terbuka, yang dapat diterima oleh semua kalangan sebagai penengah. Meskipun ia juga seorang tokoh besar Muhammadiyah, namun pergaulan dan peran dakwahnya yang luas, membuat ia bisa bersinergi dan menjadi pembicara dalam kegiatan-kegiatan di dalam Nahdlatul Ulama (NU), berbagai ormas, kampus dan lainnya. Ia merupakan jembatan yang menghubungkan semua golongan umat Islam, sehingga tokoh NU K.H. Hasan Basri yang kemudian menjadi wakil ketua MUI menyebutkan, bahwa beliau (Hamka) sebagai “satu-satunya pilihan yang bisa terpikirkan”.
Diangkatnya Hamka sebagai ketua MUI pertama, awalnya tidak begitu saja didukung dan mendapatkan penerimaan oleh para sahabat dan tokoh umat Islam di dekatnya. Sebab MUI dianggap sebagai kepanjangan tangan dan alat pemerintah dalam mengontrol dan mengambil kekuatan umat Islam di Indonesia.
Pro dan kontra tentang pendirian MUI juga pengankatan dirinya sebagai ketua pertama disikapi dengan bijak oleh Hamka. Meskipun Hamka juga mengkritik dan memiliki ketidak setujuan dengan pemerintahan Orde Baru, namun ia juga tidak bisa menafikkan dan tetap berterima kasih kepada Soeharto dan Angkatan Darat yang telah berjasa menjaga negara dari bahaya laten Komunis yang pernah cukup lama bersarang dan memusuhi mayoritas tokoh Islam dan masyarakat di Indonesia. Sehingga menurut Hamka, peranan MUI merupakan peluang untuk memberi arah dan pendampingan terhadap pemerintah dalam menjaga keutuhan dan persatuan negara.
Mohammad Natsir dan Mohammad Roem yang merupakan sahabat dekat Hamka awalnya tidak setuju dan menentang dibentuknya MUI, namun Mohammad Natsir kemudian mendukung pilihan Hamka yang ditunjuk sebagai ketua MUI, dengan memberikan suatu nasehat, “Jangan berbicara atas nama pemerintah. Ingat tanggung jawabmu adalah mewakili umat Islam di hadapan pemerintah, bukan mewakili pemerintah di hadapan umat Islam” Hamka pun memahami akan posisinya dan maksud sahabatnya tersebut.[3]
Hamka kemudian dilantik menjadi ketua MUI pertama pada 27 Juli 1975, yang dibuka dengan upacara oleh Presiden Soeharto dan diikuti oleh pejabat-pejabat senior negara serta diterima oleh sejumlah ulama dan kyai yang mewakili ormas-ormas Islam di Indonesia. Sebagai ketua MUI, Hamka menolak untuk menerima gaji, fasilitas pribadi dan pensiunan dari pemerintah. Hal tersebut untuk menjaga kemandirian dan independensinya sebagai seorang tokoh ulama, agar dapat tegas dalam menyatakan kebenaran pada siapa saja. Hal tersebut juga diikuti oleh para anggota MUI lainnya. Hamka kemudian berpidato pada pelantikannya, bahwa otoritas ulama tidak dapat dibeli oleh siapa saja, meskipun ia ditawar dengan materi, jabatan, popularitas dan sebagainya, karena ulama telah lama terjual dan pembelinya adalah Allah SubhanaHu wa ta`ala. Posisi ulama kata Hamka seperti kue bika yang sedang dimasak, dari bawah dinyalakan api dan dari atas dihimpit dengan api, ia berada di antara pemerintah dan rakyat. Di satu sisi harus menghadapi intervensi dari pemerintah, di sisi lain harus mendengarkan tekanan dari bawah oleh masyarakat. Hamka menyebutkan:
“Kami ini bagaikan kue bika, dibakar antara dua bara api yang panas, di atas pemerintah dan di bawah umat.” [4]
Hamka kemudian mengingatkan, bahwa telah banyak para ulama, kyai dan umat Islam yang syahid dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda, Jepang dan Komunis. Maka peranan ulama sebagai yang bertanggung jawab dalam perjuangan tersebut pun harus senantiasa dilanjutkan. Khususnya dalam konteks kemerdekaan ketika itu, yaitu dengan memperteguh kesatuan dan ketahanan serta pembangunan nasional, dengan ber-amar ma’ruf nahi munkar. Jangan sampai ulama dimabuk oleh dunia, sanjungan dan pujian hingga ia menjadi seperti “dokter yang mengobati orang, sedangkan dokter itu sakit”. Ulama dahulu dipanuti karena ia merupakan pelita yang membawa pada kebenaran, namun ketika ia menyimpang dari posisinya, maka ia dapat redup laksana lampu lentera yang kehabisan minyaknya.
Hamka terpilih kembali sebagai ketua MUI pada Musyawarah Nasional tahun 1980 yang dihadiri oleh presiden dan tiga ratus orang lebih perwakilan ormas. Setelah menjalankan jabatannya pada pada periode pertama (1975-1979), Hamka tetap dipercaya sebagai wajah publik Islam di Indonesia yang moderat dan mampu menghadapi dan menyelesaikan berbagai permasalahan keagamaan, sosial, hingga kebangsaan yang cukup banyak selama masa kepemimpinan pertamanya.
Namun pada awal bulan pertama tahun 1981 timbul permasalahan baru, terjadi perdebatan wacana antara boleh atau tidaknya muslim mengikuti perayaan Natal, Hamka lalu menanggapi hal tersebut dalam khutbah Jumatnya yang kemudian dikeluarkan menjadi fatwa MUI tentang larangan menghadiri ibadah Natal. Hamka berpidato dengan tegas dalam khutbahnya di Masjid Agung Al Azhar:
“Haram hukumnya, bahkan kafir (telah mengingkari aqidah-pen) bila ada orang Islam menghadiri upacara Natal. Natal adalah kepercayaan orang Kristen yang memperingati hari lahir anak Tuhan. Itu adalah aqidah mereka. Kalau ada orang Islam yang turut menghadirinya, berarti dia melakukan perbuatan yang tergolong musyrik (perbuatan menyekutukan Allah-pen). Ingat, dan katakan pada kawan-kawan yang tidak hadir di sini. Itulah aqidah tauhid kita”[5]
Keputusan Hamka mengeluarkan fatwa tersebut salah satunya adalah untuk menghindari adanya wacana dari beberapa Kepala Jawatan dan Menteri Kabinet Pembangunan yang mencoba menyatukan peringatan hari lebaran Iedul Fitri dan Perayaan Natal menjadi satu peringatan bersama yaitu Lebaran Natal, dengan dalih toleransi dan Pancasila. Sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun 1968 di Indonesia, umat Islam dan Kristiani pernah diundang memperingati Lebaran dan Natal bersama.
Dihadirkan pula tokoh agama dari kedua belah pihak yang secara bergantian memberikan tausiyah agama dan doa, dan para hadirin diminta mengikutinya dengan hikmat dan khusyu. Maka Hamka mengkritik wujud toleransi yang kebablasan tersebut, dengan memberikan analogi yang saling bertentangan antar keyakinan agama:
“Pada hakikatnya, mereka itu tidak ada toleransi. Mereka kedua belah pihak menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati dan sanubari dan otak tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad Saw adalah nabi akhir zaman, penutup sekalian rasul. Jiwa orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi…Semangat toleransi yang sejati dan logis ialah ketika orang Islam berdoa, orang Kristen meninggalkan tempat berkumpul. Dan ketika Pastor berdoa kepada Tiga Tuhan, orang Islam keluar.” [6]
Umat Islam dan umat lainnya dari berbagai agama, sebenarnya sudah terbiasa menyikapi dan menghormati perbedaan agama di Indonesia. Penerimaan atau penghormatan kita terhadap agama lain, bukan berarti memaksa, mencampuradukkan dan mengorbankan keyakinan kita dari masing-masing agama. Sebab, agama-agama itu ada dan berdiri di atas keyakinannya, dan hal yang wajar jika agama memiliki prinsip keyakinannya masing-masing, yang tidak mungkin dihilangkan. Sehingga menurut Hamka, jika seorang tidak memiliki keyakinannya lagi terhadap agamanya atau menyatakan bahwa semua agama sama, pada hakikatnya ia sudah tidak beragama.
Kritik Hamka tersebut sebenarnya juga timbul dari kegelisahannya, disebabkan besarnya jumlah konversi masyarakat muslim ke dalam agama Kristen, akibat masifnya gerakan misionaris yang mengkristenkan masyarakat muslim melalui beragam cara di berbagai daerah. Sehingga Hamka mewanti-wanti dan memberikan panduan kepada umat Islam untuk menjaga aqidahnya di tengah banyaknya permasalahan sosial-kegamaaan yang sedang terjadi di Indonesia.
Terbitnya fatwa MUI tentang larangan mengikuti perayaan natal tersebut mendapat reaksi dan kemarahan dari Pemerintah Orde Baru melalui Kementrian Agama. Hamka diharuskan untuk mencabut fatwa tersebut dan diminta memberikan keterangan akan ditariknya fatwa tersebut. Meski demikian, Hamka tetap teguh dengan pendiriannya, ia hanya membuat keterangan bahwa yang ditarik adalah penyebaran fatwa tersebut, bukan isinya. Hamka mengatakan dengan lantang bahwa isi fatwa tersebut tetap sah dan berlaku.
Oleh: Bambang Galih Setiawan – Alumni Ma’had Aly Imam al Ghazally Surakarta
[1] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983
[2] Hamka, HAMKA Membahas Soal-soal Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983
[3] Wawancara Natsir dan Roem, dalam James R. Rush, Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017, hlm.212.
[4] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, Pustaka Panjimas: Jakarta, 1983, hlm. 206.
[5] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, Pustaka Panjimas: Jakarta, 1983
[6] Hamka, Dari Hati ke Hati: Tentang Agama, Sosial, Budaya dan Politik, 2002