“Saya sampai satu titik, sekarang ini, saya ‘haramkan’ jurnal untuk diri saya”

Ucapan tersebut keluar dari ucapan Mas Andika Saputra, seorang intelektual muslim muda dengan berapi-api. “Maskudnya bagaimana mas? Apa nggak menulis jurnal lagi?” saya tanya.

“Pada satu titik, kalau jurnal itu ditujukan sebagai pendukung sistem kapitalisasi pendidikan. Saya tidak akan terlibat dalam proses tersebut. Praktik jurnal sekarang dengan biaya lumayan, atau malah ada bisnis penerbitan jurnal, ini sudah nggak bener” katanya.

Begitulah Mas Andika. Orang-orang mengenalnya sebagai sosok yang lugas, blak-blakan, seorang yang berintegritas. Suatu pertemuan pada medio 2022 di sebuah hotel di kota Surakarta. Gagasan dan pemikirannya juga tampak dari tulisan-tulisannya yang saya ikuti sejak kami berkenalan sekitar 10 tahun yang awalnya saling mengenal melalui media sosial – sebagaimana generasi milenial lainnya yang terhubung dengan ‘darul internet’.

Saat itu, saya masih menjadi mahasiswa Arsitektur di ITB sedangkan beliau sudah lama lulus dari jurusan Arsitektur di Universitas Udayana Bali dan sedang mengambil Magister Ilmu Arsitektur di Universitas Gadjah Mada. Kali pertama, mungkin kami berbincang karena ketertarikan terhadap sejarah Islam di Indonesia.

Komentar dan pembahasan beliau mengenai Sarekat Islam, Kampung Lawean, juga isu-isu keislaman di Indonesia menghubungkan kawan-kawan peminat sejarah ketika awal-awal Jejakislam.net didirikan. Sampai suatu hari beliau mengirim messenger menanyakan kalau saya kuliah jurusan apa. Saya menjawab saya kuliah jurusan Arsitektur. Rupanya beliau bilang bahwa kami mengambil jurusan yang sama.

Ketika komunitas Jejak Islam Bangsa (JIB) dengan situs jejakislam.net berdiri,  saya tawari beliau bergabung membesarkan JIB dengan kapasitas beliau sebagai mahasiswa S2 bidang Arsitektur. Beliau menyatakan kesiapannya dan menjawab.

“Iya kang lagi S2 insya Allah sebentar lagi selesai Alhamdulillah, kalau saya diajak bergabung saya senang sekali kang. Saya memang fokus sejak S1 mempelajari Islam di Bali, terutama arsitekturnya”kata Mas Andika.

Karena ketertarikannya kepada Arsitektur Islam, saya menyampaikan bahwa ada dua guru saya di kampus yang mengajar dan mengkaji tentang hubungan tentang Islam dan Arsitektur yaitu Dr. Budi Faisal dan Dr. Eng Bambang Setia Budi ( sebagai pembimbing TA saya). Rupanya mas Andika sudah mengikuti seminar Arsitektur UMS yang menghadirkan Dr. Budi Faisal. Obrolan kami semakin intens, dan beliau cerita kalau ke Bandung minta dipertemukan dengan Dr. Bambang Setia Budi sebagai pengajar mata kuliah Arsitektur Islam di ITB.

Ketika berkenalan itu, saya bertanya apakah Mas Andika berpraktik sebagai arsitek dan mengambil jenjang keprofesian. Beliau menjawab ketika di Bali, beliau lebih dekat terhadap teori, kritik arsitektur, tidak seperti halnya kurikulum di ITB yang menekankan pada praktik.

“S2 saya ilmu arsitektur, awalnya konsentrasi di sejarah dan teori arsitektur biar nyambung dengan konsentrasi pas S1. tapi akhir-akhirnya lebih ke arah antropologi arsitektur kang.

S2 Arsitektur di UGM ada 2 jalur kang, Ilmu Arsitektur nama prodinya S2 Arsitektur Reguler dan Profesi Arsitektur nama Prodinya MDKB, MPKD, Arsitektur Pariwisata. Kalau yang Arsitektur Reguler untuk dosen/calon dan penelitian/calon. Umumnya teman-teman dapat beasiswa dari DIKTI dan lembaga penelitiannya kang, kalau dari UGM sendiri belum ada. Peergroup-nya ada Sains Bangunan, Arsitektur Digital, Psikologi Arsitektur, Sejarah Teori Dan Kritik Arsitektur, Antropologi Arsitektur, Arsitektur Kota, dll..” kata Mas Andika yang rupanya mengambil keahlian dalam antropoligi arsitektur dalam studi masternya.

Kesediaan Mas Andika membantu memperkenalkan situs www.jejakislam.net dibuktikan dengan mengirim tulisan. Kepada sahabat saya, kang Beggy Rizkiansyah, ia menjanjikan akan mengirim tulisan-tulisannya. Masih pada tahun 2013, saat website Jejakislam.net baru diluncurkan, mas Andika membuktikan keseriusannya dengan mengirim tulisan tentang H Samanhoedi yang berjudul “Hari-hari Terakhir Hadji Samanhoedi Pejuang yang Terdilupakan” (https://jejakislam.net/hari-hari-terakhir-hadji-samanhoedi-pejuang-yang-terdilupakan/)

Dalam tulisan itu, Mas Andika tercatat pegiat Jejak Islam Bangsa (JIB) wilayah Yogyakarta. Tulisan tentang Haji Samanhudi merupakan perjalannya tentang sejarah arsitektur  di Kampung Lawean di Surakarta. Tulisan itu menginspirasi beberapa kawan untuk kemudian menulis di situs kami yang baru seumur jagung itu. Setelah tulisan H Samanhoedi, Mas Andika juga menggelar jalan-jalan ‘sejarah’ menelusuri Lorong-lorong Masjid Kauman dalam tulisan https://jejakislam.net/jejak-perjuangan-k-h-ahmad-dahlan-dalam-ruang-kauman-yogyakarta/

Ketika Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) akan menggelar  Seminar Nasional Arsitektur di UIN Malang pada November 2013, saya merencanakan untuk bertemu langsung dengan beliau. Kita sudah janjian akan bertemu di Malang. Seminar menghadirkan keynote adalah Dr. Adian Husaini, Dr. Nangkula Utaberta, Ir. Munichy B Edrees (Ketua IAI), dan Dr. Agung Sedayu.

Qadarullah, saat itu saya mendadak ada agenda,  sedangkan Dr. Adian Husaini yang sedianya akan mengisi di Malang, rupanya mengadakan acara di Bandung dan saya diminta mengikuti acara tersebut. Sedangkan pada Seminar di Malang, Dr. Adian  digantikan oleh Dr. Nirwan Syafrin.

Mas Andika menceritakan debat cukup hangat antara Ir. Munichy dengan Dr. Nirwan Syafrin. Beliau menceritakan bahwa pertemuan itu ada guru kami Dr. Budi Faisal, yang menulis tentang Arsitektur Kota Islam. Saya haturkan maaf sebesar-besarnya karena tidak bisa hadir dalam seminar arsitektur Islam tersebut. “Titip salam untuk Ustaz Adian dan Adnin Armas ya kang,” katanya.

Alm. Andika Saputra, sosok cendikiawan muda

Pada tahun-tahun itulah (sekitar 2013-2015) beberapa kali kami berdiskusi, saling mengkritik, memberi masukkan. Tulisan-tulisannya pada masa itu banyak ditulis pada blog pribadinya www.andikasaputra.net . Tahun-tahun pula, beliau bercerita berkesempatan menjadi moderator dan ‘kesampaian’ bertemu Dr. Bambang Setia Budi. Dalam ceritanya, beliau optimis terhadap perkembangan arsitektur Islam di Indonesia yang tidak hanya sekadar wacana, tetapi juaga para penelitinya sudah mencoba menawarkan gagasan kerangka teori.

Dalam diskusi-diskui tersebut, – bahkan hingga 2022- beliau sangat berharap konsep ‘arsitektur Islam’ bisa jadi sepadan dengan ‘arsitektur modern’, ‘arsitektur postmodern’ dan lainnya dengan seperangkat teori, mulai dari epistemologi, ontologi, hingga aksiologinya.

Pada masa itulah, tampak sosok Mas Andika sebagai seorang intelektual muslim yang dengan lugas menyampaikan gagasan, kritik, dan tawaran terhadap hubungan antara sains dengan Islam. Beliau banyak terlibat dalam diskusi terkait ilmu sosial, teknologi, juga sains dengan wacana keislaman. Terkadang, pada grup Jejakislam.net terjadi diskusi-diskusi hangat- bahkan memanas- karena kelugasan, dan gagasan bernas Mas Andika.  Seiring kesibukan kami masing-masing, kami semakin jarang berinteraksi.

Walau demikian, saya mengikuti – sebagai mana orang-orang – tulisan-tulisan beliau mulai membahas pendekatan Prof. Naquib Al Attas, hingga belakangan dengan pendekatan Prof. Madya. Sidi Gazalba dan Prof. Kuntowijoyo. Nama terakhir inilah yang begitu menginspirasi Mas Andika hingga menggagas istilah “arsitektur profetik” dalam menjelaskan apa itu “arsitektur islam.”

Diskursus tentang hubungan antara Islam dan Arsitektur memang sudah lama menjadi perbincangan di kalangan praktisi dan akademisi bidang arsitektur. Ketika mengambil mata kuliah “arsitektur Islam”, Dr. Eng Bambang Setia Budi menjelaskan bahwa diskursus hubungan arsitektur dan Islam dapat dikalsifikasikan pada tiga istilah: Arsitektur Islam (Architecture of Islam), Arsitektur Islami (Islamic Architecture), dan Arsitektur Komunitas Muslim (Architecture Muslim Community). Namun, di luaran sana, istilah-istilah tersebut juga dimaknai beragam. Di sinilah, Mas Andika Saputra berusaha merumuskan tentang makna arsitektur Islam.

Dalam “Arsitektur Profetik; Suatu Pengenalan Istilah”(2021), Mas Andika berusaha menawarkan alternatif pemaknaan apa itu arsitektur Islam yang ia catat telah didiskusikan oleh pakar arsitektur seperti Budi Faisal, Munichy Bachroon, Nangkula Utaberta, Spahic Omer, Aulia Fikriarini dan Luluk Maslucha, Bambang Setia Budi hingga Robert Hillenbrand.

Istilah “Arsitektur Profetik” merupakan  ‘ijtihad’nya mendefinisikan apai tu “arsitektur Islam” tanpa harus  saling menegasikan pemaknaan terkait istilah arsitektur islam, arsitektur islami, dan lainnya yang ia akui terinspirasi dari pemikiran Kuntowijoyo mengenai Ilmu Sosial Profetik. Arsitektur Islam, atau Arsitektur Profetik menurut Mas Andika dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan mengenai lingkungan binaan yang merujuk pada kitab suci Islam dengan keharusan bagi umat Islam menjadikan Nabi sebagai teladan untuk mewujudkan misi historis Islam, meliputi humanisasi, liberasi, dan transendensi.

Dalam pengertian yang singkat, Kuntowijoyo (2017) mendefinisikan Ilmu Sosial Profetik, dan tepat pula untuk mendefinisikan Arsitektur Profetik, sebagai ilmu yang melaksanakan tugas-tugas kenabian dengan tujuan untuk melakukan transformasi kehidupan berdasarkan cita-cita profetik Islam (Andika Saputra, 2021). Saya sendiri lebih banyak membaca pemikirannya lewat tulisan-tulisan mas Andika dan buku Arsitektur Masjid Dimensi Idealitas dan Realitas yang tulis bersama Dr. Nur Rahmawati, ketimbang berdiskusi seperti beberapa tahun sebelumnya,

Sekitar tahun 2020, saya memulai melakukan penelitian tentang biografi Ir. Achmad Noe’man (Arsitek Masjid Salman ITB, berjuluk Arsitek Seribu Masjid) untuk tesis. Selain keluarga Pak Noe’man seperti kang Fauzan Noe’man (Majelis Kehormatan IAI), kang Nazar Noe’man, teh Ilma Noe’man, kang Faidan, Pak Armand, Pak Dicky, dan Bu Lin, saya juga menghubungi para arsitek senior seperti Ir. Zainuddin Kartadiwiria (teman seangkatan Pak Noe’man,) Pak Yus (Dr. Yuswadi Saliya), Ketua Lembaga Sejarah Arsitektur (LSAI) Ir. Sutrisno Murtioyoso (SuMur), Pak Bambang Eryudhawan, dan lainnya. Untuk data awal pendidikan arsitektur, Pak SuMur kemudian meminta saya untuk mengontak Prof. Yulianto Sumalyo dan Prof. Abidin Kusno – yang belum sempat menghubungi keduanya hingga Prof. Yulianto berpulang-.

Saya juga merasa harus menghubungi Mas Andika, sebagai seorang senior dan kawan berdiskusi. Alhamdulillah, beliau begitu terbuka dan memberi banyak masukkan. Saya sendiri diundang dalam grum Forum Komunikasi Arsitektur Islam. Di sana, beliau bersama para guru lainya merencanakan beberapa proyek umat tentang arsitektur Islam. Ketika pandemi, saya sempat berdiskusi secara daring. Dalam pertemuan daring (via zoom), beliau sangat mengapresasi penelitian yang saya lakukan. Berikut saya kutip tulisan Mas Andika dan harapannya terhadap penelitian ini:

“Di sinilah kebahagiaan kedua saya karena dilibatkan mas Rizki dalam penelitian yang sangat penting ini.

.

Saya menyampaikan kepada mas Rizki dua poin pentingnya penelitian ini. Pertama, untuk mengungkap dan menstrukturkan pemikiran Pak Achmad Noe’man sehingga karya arsitektur beliau dapat dipahami dengan tepat sebagaimana dimaksud perancangnya, dan agar kita sebagai generasi pelanjut memiliki modal intelektual yang memadai dalam perancangan arsitektur untuk mewujudkan tujuan Islam pada bidang arsitektur.

.

Kedua, tidak bisa dipungkiri Pak Achmad Noe’man ialah teladan sebagai aktivis Islam sekaligus pemikir yang memiliki kontribusi besar di berbagai bidang kehidupan bangsa ini, di mana arsitektur hanya salah satu saja dari saluran yang beliau gunakan untuk merealisasikan peran sebagai Khalifah Tuhan. Dengan mengungkap sosok dan pemikiran Pak Achmad Noe’man, pendidikan arsitektur di institusi pendidikan tinggi Islam di Indonesia akan memiliki role model untuk menghasilkan aktivis cum pemikir Islam yang memiliki keahlian di bidang arsitektur.

.

Saya yakin mas Rizki akan dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik karena memiliki komitmen ilmiah dan kapasitas intelektual yang mumpuni, salah satunya terlihat dari kegigihan mas Rizki mengumpulkan dokumen primer yang ditulis langsung oleh Pak Achmad Noe’man dan menelusuri narasumber utama terkait sosok dan kiprah Pak Achmad Noe’man yang secara ideologis bersentuhan dengan Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dan Moh. Natsir.

.

Kita doakan ikhtiar ilmiah yang mulia ini diberi kemudahan dan petunjuk oleh Allah, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh umat Islam di Indonesia pada khususnya untuk membina kehidupan arsitekturnya pada masa kini dan yang akan datang.”

Dalam diskusi tersebut, Pesan dan doa Mas Andika ini begitu memotivasi bahwa sosok Achmad Noe’man yang diangkat tidak hanya sebagai seorang arsitek biasa, tetapi beliau adalah seorang pemikir yang juga berkiprah sebagai aktivis keislaman.. Alhamdulillah, dengan doa dan harapan beliau, penelitian ini dapat dituntaskan.

Dalam proses penelitian inilah, di sebuah lobby hotel Solo, Mas Andika dengan berapi-api mengucapkan kalimat pertama dalam tulisan ini. Awalnya saya diminta sowan ke rumahnya, namun sore tiba-tiba beliau mengajak di hotel karena sedang berlibur bersama keluarganya. Ketika berdiskusi, saya bertemu dengan keluarga besar mas Andika termasuk istirnya, Mbak Uumjuga putri beliau: Esa dan Nalar.  Saya meminta maaf karena ‘mengganggu’ waktu liburan beliau yang justru digunakan untuk diskusi.

Kami banyak berbincang, karena memang itu pertemuan pertama kali secara langsung – dan juga menjadi yang terakhir. Kami berdiskusi banyak hal terkait hubungan islam dan arsitektur, dan beberapa rencana dan proyek-proyek kolaborasi yang bisa dilakukan kelak. Jika mas Andika cerita Pak Kuntowijoyo, saya cerita bahwa  Ir. Achmad Noe’man juga sudah menuliskan pemikirannya tentang Islam dan Arsitektur pada tahun 1981 walaupun pemikirannya tentang arsitektur masjid sudah diaplikasikan  pada tahun 1959 ketika ia mulai merancang Masjid Salman ITB (baru dibangun 1964 – 1972).

Mas Andika cerita kalau Pak Noe’man pernah mengisi dalam seminar di UMS dengan membawa makalah, namun makalahnya itu ‘hilang’ entah di mana. Beliau mengupayakan akan mencoba mencarinya. Saya juga cerita, baru mendapatkan gagasan baru terkait lingkungan binaan setelah mengikuti serial kajian Al Ummah Al Muslimah karya Dr. Majid Al Kilani bersama Ustaz Asep Sobari, Lc ketika membahas salah satu pillar ‘Ummah’ yaitu konsep “iwa”  yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai  praktik berarsitektur pada zaman Rasulullah.

Beliau sangat tertarik dan meminta saya membuat resume-nya, dan ingin berdiskusi kembali. Namun takdir berkata lain, bahwa itulah pertemuan terakhir kami. Ketika beliau wafat pada malam Jum’at, begitu banyak kolega, murid, guru, kawan, kerabat, dan masyarakat mendoakan dan bersaksi atas kebaikannya.

Suatu saat, ketika ujian tesis,  pertanyaan terakhir terlontar dari sejarawan Dr. Mumuh Muhsin Zakaria, “ apa perbedaan arsitektur masjid Achmad Noe’man dan Ridwan Kamil?”  Ingatan saya melompat ke sebuah diskusi beberapa tahun lalu dengan mas Andika, tulisan-tulisan beliau, dan gagasan-gagasan bernasnya tentang arsitektur Islam di Indonesia.

Jika di Indonesia, pada tahun 2003, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) memberikan julukan terhadap Achmad Noe’man sebagai Arsitek Maestro atas ketekunan dan keuletannya menggali nilai Islam dan menerapkannya pada karya arsitektur . Barangkali, keuletan ini yang diwariskan Pak Noe’man dan Mas Andika ini perlu dilanjutkan oleh generasi selanjutnya.

Mudah-mudahan, kawan-kawan Fokom Arsitektur Islam sudah berencana mengumpulkan catatan-catatan Mas Andika, juga para kerabat lainnya, komunitas rintisan beliau (Seed Institut, Melek Ruang, UMS, dll)  yang saya yakin memiliki percikan, catatan dan kenangan tentang Mas Andika Saputra. Mudah-mudahan, ikhtiar beliau membuka jalan baru “Arsitektur Profetik”  menginspirasi setiap pemuda dan dapat dilanjutkan oleh arsitek generasi mendatang.

Selamat jalan Mas Andika. Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa’afihi wa’fu’anhu. Semoga Allah merahmati mas Andika dan menempatkannya di tempat terbaikNya. Amiin.

Oleh: Rizki Lesus – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB), Penulis adalah Pegiat JIB, Alumni jurusan Sejarah dan Arsitektur

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here