Pagi itu, puluhan tiang bendera berderet rapi, berbaris melengkung mengikuti sudut jalanan, di ujung jalur pedestrian selebar 2 meter, mengikuti lekukan gedung. Desing-desing angin mengebatkan bendera-bendera berwarna-warni yang bergoyang merdu, berkibar-kibar. Kali ini, berjejer di lekukan persimpangan kiri (Jl Braga) dan persimpangan kanan(sekarang bernama Jl. Cikapundung), Kota Kembang.
Orang-orang tak lagi mengayuh sepeda, seperti halnya kulihat 50 tahun lalu. Delman-delman tua berganti bus damri biru, mobil-mobil pribadi, juga beberapa angkot dekat Alun-alun. Gedung Merdeka, sudah 50 tahun Konferensi itu diperingati,sangat anggun di tengah Jantung Kota Bandung, Pagi-pagi sekali, mobil-mobil hitam penting dan mobil polisi sudah berjejer di bibir Jalan Braga, samping kiri bangunan.
Kabut halus tak lagi membungkus Bandung ketika itu. Dinginnya tak lagi menusuk kulit, menembus tulang, hanya membuat kuduk berdiri. But, Well, it’s ok. Bandung, masih jauh lebih nyaman dari tempat tinggalku, Jakarta.
Di jalanan Asia Afrika, para kuli tinta mulai berkumpul. Berdiri, dengan selempangan kamera SLR, juga sorot-sorot perekam, dan HP yang siap mencatat di tangga masuk Gedung itu, terbayangi kanopi yang menyembul, sambil mengantri melewati pemeriksaan protokoler dengan kalungan kertas bertulis ‘PERS’ yang dibagikan panitia dengan pakaian lengkap berjas hitam-hitam.
Langit begitu biru, mentari benar-benar sedang beranjak naik, hangatnya membelai sudut-sudut jalanan, yang begitu rapi. Trotar yang begitu anggun, dengan pot-pot tanaman beton berjejer di jalanan.
Hari ini, jalanan ini kembali dilewati para utusan dari Negara-negara non Blok. Dengan setelan jas, dan sepatu pantofel, mereka menjejakkan. Kilau-kilau cahaya blitz, kali ini tanpa sorakan warga. Di seberang sana, Hotel Savoy Homan, tempat singgah mereka, begitu cantik. Garis-garis stramline art deco dengan khas lekukan di ujungnya, pada setiap lantai, membuat mengerjapkan mata, takjim.
Kini, Presiden ke-6 yang sedang kualami, namanya Susilo Bambang Yudhoyono. Hari ini Gelaran Peringatan 50 Tahun Konferensi Asia Afrika. Penjagaan super ketat. Jaket kuning polisi bergerak kesana kemari. Protokoler-protokoler berjas hitam, begitu cekatan. Mobil-mobil polisi memalangi jalan, pada sudut-sudut persimpangan.
Tak terasa, sudah 50 tahun. Aku kembali mengingat-ingat. Dulu peristiwa tak kalah sibuk juga digelar. Hari itu, ialah hari-hari yang sangat penting. 550 orang berkumpul di dalam Gedung Merdeka. Gedung klasik setinggi dua lantai khas kolonial art deco. Lantainya marmer mengkilap sengaja didatangkan dari Itali. Ruangannya luas, dengan langit-langit tinggi melengkung. Suasana di dalam, mulai beranjak panas, bak matahari di luar.
Hari-hari itu begitu menegangkan. Apa pasalnya? Mereka semua, para anggota Dewan Kosntituante pilihan rakyat Indonesia, hasil pilihan pada pemilu 1955 tengah berdebat seru, membahas rancangan Undang-Undang Negara Indonesia. Memang itulah tugas mereka,amanat UUD sementara 1950, sejak pria dengan bingkai kaca mata hitam itu, Mohammad Natsir mengajukan ‘Mosi Integral’ -menolak RIS dan mendukung kembali bersatunya Indonesia dalam NKRI- pada Republik Indonesia Serikat, April tahun 50.
Sejak saat itu, di hadapan DPR RIS, pernyataan Natsir sebagai ketua Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), yang juga Menteri Penerangan diterima. 17 Agustus 1950, NKRI kembali bersatu, ‘proklamasi kedua’ dilantunkan di seluruh negeri. RIS (bentukan Belanda pasca Konferensi Meja Bundar di Den Haag): 17 Negara Federal juga RI bergabung dalam pangkuan NKRI (akhirnya termasuk Kalimantan). Tahun itu juga, Moh. Natsir, menjadi Perdana Menteri pertamanya, setelah Hatta. Pertanyaanya, atas dasar apa NKRI berdiri?
Undang-Undang Sementara 1950 yang menggantikan UUD RIS mengamanatkan Anggota Majelis Konstituante untuk menetapkan Dasar Negara. Kini, Natsir tak lagi jadi perdana menteri. Ia sedang berdiri di atas podium di dalam gedung konstituante Bandung. Bersama kawan-kawannya, Saifuddin Zuhri, Prawoto, Abdul Kahar Muzakkir, Kasman Singodimedjo, Hamka, Mr Roem dan ratusan peci lainnya berdesakan, duduk dengan serius memperhatikan Isa Anshari, sedang menceritakan tentang perjuangan umat Islam masa silam, dan juga bantahan terhadap komunisme saat itu.
Isa Anshari, sosok yang sangat santun dan tegas. Pria yang selalu berpeci hitam, dengan badan agak gemuk ini memang selalu memukau. Singa Podium memang pantas berjuluk, melekat padanya. Ribuan orang selalu terpukau menyantap lezat pidatonya. Pertama kali, aku bertemu dan berbincang dengannya di Konstituante Bandung tahun 56-an, ketika usianya baru saja menginjak kepala lima. Sebelumnya, aku hanya mendengar nama besarnya. Seorang pemuda yang aktif memimpin organisasi Persatuan Islam selama 25 tahun.
Saat itu, kafe Konstituante benar-benar hidup. Hilir mudik, para anggota sidang menyantap makan siang. Isa Anshari, yang dengan tegas membantah komunisme, kadang terlihat asyik makan bersama Aidit, tokoh PKI di tempat makan favorit para anggota majelis Konstituante, Jl. Braga. Meja-meja kayu mengkilap, berjejer dalam ruangan. Para anggota duduk menunggu para pelayan dengan kemeja putih lengan panjang menyajikan menu-menu khas.
Kopi tentunya menjadi favorit para anggota sidang, khususnya terkadang selepas magrib, saat mereka akan melanjutkan sidang pada malam harinya, seakan siap “berantem” kembali di dalam sidang. Seperti Natsir, contohnya, terlihat mengobrol bersama lawan-lawan politiknya. Mungkin, suasana di dalam memang “panas” tapi suasana itu tak terbawa sampai ke luar, apalagi urusan pribadi.
Aku banyak mendengar dan berbincang dengan Isa Anshari. “Saya dulunya adalah kader Soekarno,” ungkap pucuk pimpinan Persis ini. Bincang – bincang di Kafe, memang membuat semakin santai berceloteh. “Malah, majalah Pembela Islam terbitan Persis, saya menyebutnya Pemecah Islam,” kenangnya sambil tertawa.
Dahiku mengernyit melipat, alis terangkat, heran. “Kok bisa, sekarang jadi Ketua Persis?” tanyaku. Senyumnya tersimpul. Ia hanya berucap ringan,”Keduanya berubah. Baik Soekarno, maupun saya. Memang di alam ini tidak ada yang tetap,” ujarnya, yang pada saat sidang dengan lantang menyatakan berbeda pendapat dengan Soekarno.
Memang, mungkin itulah sosok – sosok negarawan. Tanpa rasa takut, memperjuangkan apa yang dia anggap benar demi negaranya. Ya, itulah mereka yang taka sing lagi bagiku. Bahkan, aku sering sekali dianggap sekretarisnya Pak Natsir. Berkali-kali aku jawab bukan, walau atas jasanya, aku dapat melanjutkan sekolah ke Cornell University, AS.
Kalender menunjukkan tahun 10 November 1957. Saat itu, aku langsung mendengar pidato Natsir, Isa Anshari, Prof. Rabily, Prof Abdul Kahar Muzakkir, hingga tokoh-tokoh partai selain masyumi –termasuk PKI-. Kini, mereka semua sedang serius memperhatikan KH Isa Anshari sedang berada di depan, di hadapan podium, dengan mikropon, suaranya menggelegar.
“Saudara Ketua, adalah menarik perhatian, kenapa Presiden Soekarno memilih tanggal 10 November, hari Pahlawan tanggal bersejarah itu untuk membuka Konstituante ini, tanggal 10 November 1945, 12 tahun yang lalu putera-puteri Indonesia menjalahkan amanat sejarah, menggerkan revolusi berdarah maha dahsyat revolusi terbesar sepanjang sejarah peperangan kemerdekaan Indonesia ini…”. Ruangan hening seketika.
“Saudara ketua, pembukaan Konstituante pada tanggal 10 Novembver tahun yang lalu, lebih memberi isi dan arti kepada kita, lebih memberi ajaran dan pengertian kepada kita semua, bahwa perjuangann dan peperangan kemerdekaan Indonesia, bukan hanya hasil jerih payah dan perjuangan kita sekarang, bukan hanya tetesan darah dan air mata para pahlawan yang bergerak mulai tanggal 10 Novembver 1945, tetapi adalah perjuangan dan perlawanan yang telah dirintiskan oleh pahlawan Indonesia ratusan tahun lalu..”
“Historia perjuangan dan peperangan kemerdekaan Indonesia, tidak dapat dipisahkan dengan amal dan jasa perjuangan Abdul Hamid Diponegoro, Imam Bonjol, Sultan babullah di Ternate, Maulana Hasanuddin, Sultan Hasanuddin, Tengku Cik Di Tiro di Aceh dan masih banyak lagi, para pahlawan Indonesia, yang jihad dan perjuangannya menjadi benang merah dalam sulaman tarikh tanah air.” [1]
Semuanya terdiam, menghela nafas. Merenung, mengenang jasa para pendahulu mereka. Begitu bersyukurnya, kita kini tinggal menikmati, sebuah negeri yang “Atas Berkat Rahmat Allah” kita jejakkan kaki. Syukur terlafal dari bibir ini. Bersyukur aku menjadi bagian bangsa ini..
“…Revolusi berdarah yang kita cetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945, direalisir oleh kebulatan tekad dan paduan keyakinan oleh angkatan pahlawan tanggal 10 November 1945, tegak dan bergerak dengan kalimah suci dan sakti: Allahu Akbar.
Kalimat “Allahu Akbar” bergema dan berkumandang dimana-mana, di seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Anyer sampai Banyuwangi… Saudara ketua, apa menjadi aspirasi, kodrat, yang menggerkan para mujahidin itu?”
Pertanyaan itu, membuatku kembali merenung, berpikir, begitu berat perjuangan mereka.
“Apa yang menjadi inspirasi, ilham yang memancarkan sinar cahaya-cahaya terang kepada kalbu dan jantung-jantung harinya mujahidin itu? “Apa idée yang telah menguasail alam rohani mujahidin itu, keluar dari parit-parit yang gelap, terjun ke medan perang ke gelanggang pertempuran, berkuah darah dan menyambung nyawa?”
Apa? Apa? Pertanyaan itu terngiang terus. Mungkin tak dapat kujawab sekarang. Tak terasa air mata ini menetes. Mengingat beratnya hidup mereka, sedangkan aku…hanya dapat menikmati seteguk kenikmatan ini…
“Presiden Soekarno, pada pembukaan sidang konstituante ini berkata:
Segala pengorbanan yang telah diberikan oleh pahlawan-pahlawan kita didalam revolusi, adalah jelas untuk membela idée Negara nasional yang kita namai Republik IKesatuan yang kita proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka mati untuk idée Negara itu, untuk idée Negara nasional, dan bikan untuk ode Negara lain daripada itu”
Ucapan Presiden Soekarno itu hanyalah mengandung separuh kebenaran, menurut hemat saya dan keyakinan saya, saudara ketua, para pahlawan dan patriot Indonesia itu rela berkorban , bukan saja hanya untuk idee yang dikatakan Bung Karno, bukan saja untuk membela kemerdekaan Indonesia dari penjajahan asing, tetapi, bukan saja untuk Nengara kesatuan Republik Indonesia, bukan saja untuk membela proklamasi kemerdekaan Indonesia, tetapi lebih dalam dan lebih jauh dari itu.!” Tegas Isa Anshari.
“Mereka berjuang,dan berkorban, baik yang telah tewas, menjadi syuhada, maupun yang masih hidup dengan kepala tegak, para mujahidin zaman kita, adalah untuk suatu idealisme, suatu cita-cita yang digerakkan oleh tujuan dan niat hidup, berbakti kepada Allah Subhanahu Wata’ala, mengegakkan kalimah-Nya, mengharap ridha-Nya!”
“Mereka berjuang untuk menempatkan Islam dalam kehidupan masyarakat dan Negara, Mereka berjuang untuk menegakkan daulah dan hukum Islamiyah, mereka berjuang untuk Litakuna Kalimatullahi Hiyal ‘Ula, mereka berjuang untuk melakukan ma’ruf dan nahi munkar, menegaskan kebnaikan dan keutamaan, membasmi kemungkaran!”
Semua terdiam, mendengarkan dengan seksama. Merenungki ucapan pimpinan Persis itu. Perjuangan mereka terus berlanjut, hingga gerbang kemerdekaan kian mendekat. Para pemimpin negeri berkumpul dalam panitia persiapan kemerdekaan. BPUPKI, 62 pemimpin terbaik bangsa berkumpul. Merumuskan dasar Negara (sementara) yang kini sedang dibahas 550 orang anggota Konstituante.
“…Saudara ketua, pada tanggal 22 Juni 1945, yaitu 52 hari sebelum kapitulasi Tokyo, 54 hari sebelum lonceng Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berdentang, di kota Jakarta ditandatangani sebuah Piagam ole 9 orang pemimpin, ialah Ir. Soekarno, Drs. Mohammad hatta, Mr. AA Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakkir, H.A. Salim, Mr. Ahmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan MR. Muhammad Yamin. Adapun bunyi lengkap dari naskah Piagam Djakarta itu sebagai berikut:
Mukaddimah
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jakarta 22 Juni 1945
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
Panitia Sembilan
“Saudara ketua, Piagam Jakarta yang ditandatangaini oleh 9 orang pemimpin diatas, adalah dimaksdukan untuk menjadi dasar pembentukan dan landasan dari Negara Republik Indonesia yang akan diproklamasikan. Dalam naskah piagam Jakarta itu jelas diperhitungkan, ditampung, dan dilintaskan pandangan dan keyakinan unmat Islam, golongan terbesar dalam masyarakat Indonesia…”
“..Kalimat yang bunyinya…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…memberikan peluang dan ruang kemungkinan bagi umat Islam untuk menegakkan hukum dan syariat Islamiyyah dalam Negara yang akan dibentuk…”
“…Kalimat-kalimat di atas itu berisi janji dan harapan, jaminan dan kepastian bagi segenap umat Islam, bahwa agamanya akan mendapat tempat yagn wajar dalam susunah dan bidang hidup kemasyarkaatan daan kenegaraan, walaupun rumusan itu belum lengkap menggambarkan ideolog Islam yang sesungguhnaya.”
“Saudara ketua, 54 hari Piagam Jakarta itu disimpan dalam lipatan, menanti masa kemerdekaan dan dinyatakan keseluruh dunia, dimana dia diniatkan untuk menjadi Mukaddimah dari Undang Undang Dasar Negara, menjadi paduan keyakinan hidup dari suatu bangsa dewasa.
“Akan tetapi, saudara ketua, rupannya jalan sejarahg tidak bergerak di atas acuan piagam yang menark-mengikat itu. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal l 17 agustus 1945, Undangn-Undangan Dasar Negara Indonesia diumumkan tanggal 18 agustus 1945. Dalam Preambule Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 kalimat
“..Dengan kewajiban menjakankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya…” diitiadakan sama sekali
“Apa gerangan sebabnya, bagaimana sesungguhnya proses yang berlalku sampai terjadi yang demikian itu, hingga kini belum ada keterangan mengenai itu?
Sebagian besar dari para penanda tangan Piagam itu masih hidup sampai sekarang. Lebih daripada layak dan patut, jikalau para penanda tangan Piagam Jakarta yang masih hidup itu sekarang ini, memberi keterangan dimuka umum, terutatma pribadi-pribadi yang kini duduk memegang pimpinan perjuangan umat Islam seabgai pertanggungjawaban yang wajib mereka berikan kepada Umat Islam.
“Saudara ketua, kejadian yang mencolok mata sejarah itu dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu “permainan sulap” yang masih diliputi oleh kabut rahasia. Kejadian yang mencolok mata sejarah itu, dirasakan oleh umat Islam Indonesia sebagai permainan politik “pat-gulipat” terhadap golongannya, akan tetapi mereka diam, tidak mengadakan tantangan dan perlawanan, karena jiwa toleransi mereka…
“…Pada saat Negara kita berada dalam krisis, berada pada taraf dan tingkatan yang membahayakan, selalu pemimpin-pemimpin Islam “mem-borg-kan” umat Islam yang dipimpinnya untuk menyelamatkan Negara Republik Indonesia, walaupun dalam Republik Indonesia itu belum lagi berlaku ajaran dan hukum Islam…[2]
“..Saudara Ketua, sikap rohani dan kebijaksanaan pemimpin dari pemimpin Islam yang demikian itu, adalah menjadi tafsir sejelas-jelasnya, bahwa mereka adalah golongan paling loyal, paling setia, paling lurus, paling toleransi, …dalam Republik Indonesai itu!”[3] ungkap Isa Anshari.
Urainya mengingatkanku, ketika menyambangi kediaman ketika di Bandung, Prof. Abdul Kahar Muzakkir , seorang dari Sembilan pemimpin Indonesia, penandatangan Piagam Jakarta, cikal bakal Pancasila. Beliau mengisahkan banyak ihwal sidang-sidang BPUPKI, dan juga pimpinannnya di Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo yang giigih berjuang, merumuskan bersama dasar Negara. Wajah Ki Bagus mulai terngiang-ngiang, dengan blankon dan kaca mata hitam, mulai menaiki mimbar di BPUPKI. Aku tersenyum, mengingat –ingat kembali, wajah-wajah para pemimpin juga wajah penerus-penerus kami. Semua kembali ke masa silam, saat itu, saat Saat itu, Aku pun mulai kembali mengingat-ingat. Saat 29 April 1945 itu…Bahkan…Jauh sebelum itu…*
(Bersambung…)
Catatan kaki:
[1] Uraian lebih lengkap ada pada pidato HAMKA di Konstituante-yang insya Allah akan ditulis kemudian
[2] Seperti saat Natsir melakukan mosi Integral, juga dalam perjanjian-perjanjian, dan juga kelak menjaga RI dari “Demokrasi Terpimpin, dll masih banyak lagi”. Termasuk juga Hatta yang menulis dalam Demokrasi Kita, ide melawan “Demokrasi Terpimpin ala Soekarno yang menurutnya mencedrai Konstitusi”
[3] Pidato Lengkap Isa Anshari dapat dibaca di Buku tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante Djilid 3. Hal 175-296. Pidatonya membahas lengkap membahas Islam, dengan dalil-dalilnya, menolak Pancasila (yang dirubah setelah Piagam Jakarta) sebagai dasar Negara, dan membahas komunisme
Tulisan ini hanya kilasan peristiwa yang tercatat., tak lebih dari sebuah cerita pendek yang bersambung (cerpen sejarah).
Oleh : Rizki Lesus