Pemerintah Jogja diprotes. Karena melarang Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa punya tanah di sana. “Kami mempertanyakan kenapa kebijakan diskriminatif itu masih dipertahankan sampai sekarang,” demo Willie, seorang pria keturunan Tionghoa di depan gedung DPRD Jogja dua tahun lalu (Kompas, 29/9/2015). Tahun 2016, keturunan Tionghoa lainnya, Siput, juga tidak terima. Ia melayangkan somasi kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Jogja agar mencabut larangan itu. Bahkan ia mengancam akan memproses secara hukum bila somasinya diabaikan. Kini sudah 2017. Belum kedengaran kasus ini selesai.
Dasar larangan WNI keturunan Tionghoa punya tanah di kota gudeg adalah Surat Instruksi Wakil Gubernur tahun 1975, yang memerintahkan bupati dan walikota tidak menerbitkan surat sertifikat hak milik tanah kepada WNI nonpribumi. WNI nonpribumi ini meliputi keturunan Arab, India, Tionghoa, dan lain sebagainya.
Konon, keluarnya instruksi itu lantaran dulu semua tanah di Jogja adalah milik Kesultanan Jogja dan Kadipaten Pakualaman. Kesultanan dan Pakualaman kala itu memberikan tanah-tanahnya kepada warganya sesuai dengan kebutuhan dan berdasarkan hukum adat.
“Dalam masyarakat adat, tidak mungkin ada orang dari masyarakat adat lain bisa punya hak yang sama. Itu dasarnya,” kata Parampara Praja bidang pertanahan Pemda Jogja, Suyitno.
Selain itu, tambahnya, keluarnya instruksi tersebut juga karena mayoritas WNI keturunan Tionghoa di Jogja menguasai tanah di sana. “Kan sekarang ini mereka itu yang ekonominya kuat, ada ketimpangan. Aturan ini dikeluarkan biar ada keseimbangan. Kalau dibilang nggak adil, justru kalau tidak diatur kan tidak adil,” ujarnya (Tirto.id, 5/10/2016).
Oleh sebagian kalangan, instruksi ini dianggap bertentangan dengan HAM dan sejumlah Undang-Undang. Diantaranya UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pasal 9 ayat 2 dan pasal 21 ayat 1. Pasal 9 ayat 2 menyebutkan, “Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita, mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.” Sedangkan pasal 21 ayat 1 menegaskan, “Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.”
Memandang persoalan yang cukup sensitif ini, agaknya masing-masing pihak perlu memahami dulu apa yang hidup di hati yang lain. Kalau isi hati masing-masing bisa diselami dan dituturkan dengan hati-hati, maka akan memperdalam pengertian di antara keduanya. Dari situ baru kita bisa loncat ke babak penilaian dan penyelesaian.
Untuk menyelami isi batin WNI keturunan Tionghoa dan WNI asli, pikiran Bung Hatta yang tertuang di dalam majalah Star Weekly No.578 tanggal 26 Januari 1957, bisa sangat membantu. Meski ditulis 60 tahun silam, tapi pikirannya masih terasa relevan dengan kondisi kekinian.
Dalam menghadapi persoalan status WNI keturunan Tionghoa, kata Bung Hatta, kita harus bisa memilah mana norma dan mana fakta. Kalau dari segi norma, gampang saja. Negara punya aturan tentang siapa warga negara dan bagaimana orang asing bisa jadi warga negaranya. Kalau status keturunan Tionghoa sudah jadi WNI, maka hak dan kewajibannya pun jadi sama dengan kita.
Tapi itu norma. Faktanya, ungkap beliau, persamaan status ini mudah diterima otak, tapi susah diterima hati rakyat banyak. “Realitet ini harus diakui, dihadapi dengan hati jang terbuka serta kepala jang dingin,” ujarnya. Beliau melihat penyebab utama adanya realitas itu terkandung dalam sejarah dan psikologi kita.
Politik Diskriminatif Kolonial
Dulu, kolonial Belanda memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada orang Tionghoa. Mereka membeda-bedakan penduduk Hindia Belanda dalam kelompok Europeanen (golongan Eropa), Vreemde Oosterling (golongan Timur Asing yang sebagian besar orang Tionghoa), dan inlander (golongan pribumi). Diskriminasi ini memunculkan aturan yang berlainan antara golongan pribumi dan non pribumi dalam sistem pewarisan, perkawinan, agama, lokalisasi pemukiman, dan lain sebagainya.
Kedudukan istimewa kepada golongan Tionghoa ini berakibat orientasi pengabdiannya tertuju kepada penguasa kolonial dan sering berlawanan dengan kepentingan pribumi. Pola kelakuan penguasa terhadap pribumi yang tidak mengenal prinsip-prinsip moral, membuat mereka menghalalkan segala cara dalam menjalankan tugas atasannya. Mereka jadi seperti menjilat ke atas dan menendang ke bawah kalau berhubungan dengan bosnya dan golongan pribumi.
Penguasa kolonial juga sengaja menjadikan golongan nonpribumi sebagai alat penguasaan ekonomi golongan pribumi. Mengapa golongan nonpribumi? Sebab golongan pribumi tidak dipercaya oleh penguasa kolonial. Sedangkan golongan nonpribumi, khususnya keturunan Tionghoa, bisa diawasi dan diatur. Opsir Tionghoa yang menjadi perantara penguasa, mendapatkan manfaat ekonomi yang diperas dari golongan pribumi. Mereka diberikan hak monopoli menjual candu, pengangkutan, pengambalian sumber daya alam dan hak menarik pajak, bea cukai, dan lain-lain (Emil Salim dalam buku Nonpri di Mata Pribumi, 1991).
Lambat laun dari cuma alat kolonial, tutur Bung Hatta, golongan Tionghoa kemudian dapat merebut kedudukan ekonomi sendiri sebagai kaum pertengahan dan menguasai rantai distribusi. Kedudukannya yang menguasai perekonomian, juga dimanfaatkan oleh penjajah Jepang untuk melancarkan ekonomi perang. Tak sedikit orang Tionghoa diperasnya.
Tapi di mata rakyat Indonesia tampak suatu keanehan, kata Bung Hatta, “Bahwa dalam segala matjam pendjadjahan orang Tionghoa selalu duduk di atas, ekonominja selalu baik.”
Pembawaannya sebagai pedagang menyebabkan perhatian orang Tionghoa pada politik kurang sekali. Ada memang beberapa orang yang ikut politik dengan duduk di dalam Volksraad (Dewan Rakyat). Ada juga yang ikut dalam pergerakan nasional Indonesia, bahkan sampai meringkuk di penjara dan dibuang ke Boven Digul. “Tetapi pada umumnja gerakan mereka tidak kentara,” ujar Bung Hatta.
Ketika kedaulatan sudah berada di tangan Indonesia, sebagian orang Tionghoa menjadi WNI, dan sebagian lainnya memilih kewarganegaraan Tiongkok. Tapi dalam pergaulan sehari-hari, tidak begitu kelihatan di mata rakyat mana yang sini dan mana yang sana. “Jang kentara, “kata Bung Hatta, “tjuma kedudukan ekonomi golongan Tionghoa lebih kuat dari sediakala.”
Penjajahan Belanda yang menimbulkan pertentangan kelas dan sejalan dengan perbedaan ras inilah, yang menurut Bung Hatta mengakibatkan WNI keturunan Tionghoa hidup menyendiri, terpisah dari WNI lainnya.
Hadirkan Keadilan Ekonomi
Dua golongan rakyat yang berabad-abad terpisah dalam keadaan, tujuan hidup dan tujuan politiknya, kata Bung Hatta, tidak dapat batinnya disatukan dengan Undang-Undang saja. Kita boleh menyamakan status WNI keturunan Tionghoa dalam hukum, tapi rasa saling curiga dalam hati rakyat tidak sirna dengan itu.
Rakyat Indonsia asli menganggap, merekalah yang berjuang dan berkorban untuk kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan direbut, tentu mereka ingin mendapatkan kedudukan yang baik dan juga punya kesempatan untuk memperbaiki nasibnya yang jelek selama ini. Tapi dalam upaya menggapai cita-citanya itu, mereka berhadapan dengan golongan Tionghoa yang sangat kuat kedudukan ekonominya, giat bekerja, sangat mahir dalam percaturan dagang dan siap menggunakan setiap kesempatan untuk mengembangkan perusahaannya.
Pada umumnya, mereka tidak bisa membedakan mana Tionghoa totok dan mana WNI keturunan Tionghoa. Selama bergerak di bidang ekonomi, keduanya dianggap bangsa Tionghoa. “Jang dipandang oleh rakjat Indonesia asli ialah bahwa lapangan ekonomi dikuasai oleh golongan Tionghoa. Sebab itu, ia menuntut, supaja pemerintah Indonesia memperlindungi ekonomi nasional dan memberi kesempatan kepada pengusaha nasional memperoleh kedudukan jang lajak dalam perekonomian masjarakat,” terang Bung Hatta.
Masalah ini menurutnya bisa diatasi dengan politik perekonomian yang tegas dengan menaikkan ekonomi rakyat yang lemah ke tingkat golongan maju. “Dengan dasar-dasar jang berlaku di dalam kapitalisme masalah ini tidak dapat diselesaikan,” tegasnya.
Dalam psikologi seperti itu, lanjut Bung Hatta, bisa dimengerti mengapa WNI asli –dengan mengakui persamaan hak umumnya– sangat menentang persamaan hak atas tanah dengan WNI keturunan Tionghoa.
Bung Hatta menjelaskan, perlindungan hak tanah bangsa Indonesia bersendi kepada hukum adat, teristimewa desa, yang sanksinya ada di dalam Undang-Undang agrarian De Waal pada tahun 1870. Sementara orang Tionghoa –karena status politiknya terpisah dengan orang Indonesia– tidak ikut dalam hukum adat. Sehingga mereka tidak boleh mempunyai hak milik tanah, kecuali tanah eigendom (hak milik mutlak) di kota-kota.
“Dengan tidak ada peraturan (hukum adat –Red) itu, tanah-tanah Indonesia akan djatuh dalam waktu jang singkat ke tangan kaum kapitalis besar. Dengan itu timbullah milik tanah besar, jang pada hakikatnja asing bagi Indonesia, dan dengan itu terdjadi kesengsaraan sosial, jang akan mendjadi kaju api bagi revolusi sosial,” kata Bung Hatta mengingatkan.
Di sinilah, ujarnya, terletak bagi pasal 25 ayat 2 Undang-Undang Dasar yang menegaskan, “Perbedaan dalam kebutuhan masjarakat dan kebutuhan hukum golongan rakjat akan diperhatikan.”
Dengan menyimak pikiran Bung Hatta barusan, dapat disimpulkan bahwa inti persoalan WNI asli dengan WNI keturunan Tionghoa bukanlah diskriminasi ras/rasis atau SARA, melainkan ketimpangan ekonomi. Karena itu, sudah seyogianya golongan yang ekonominya kuat toleran terhadap golongan yang ekonominya lemah. Dan pemerintah juga harus mengoreksi diri. Adanya ketimpangan ekonomi sekarang ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam tata kelola ekonomi. Segeralah hadirkan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyatmu! Karena itu kewajiban konstitusional! Agar konflik sosial tidak berkembang subur. Supaya akibat-akibat dari ganjalan sejarah dan psikologi kita tadi dapat lekas hilang. Dengan begitu, baik WNI asli maupun keturunan Tionghoa, benar-benar merasakan persamaan dalam hak dan kewajiban, kedamaian, dan kemakmuran. Karena kita semua adalah saudara sebangsa!
Oleh: Andi Ryansyah, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Tulisan ini dimuat dari pertama kali di hidayatullah.com
Mencerahkan….