Tulisan ini berisi penelaahan serta komentar atas pemikiran Tjokroaminoto mengenai sosialisme Islam sebagaimana ia tuangkan dalam bukunya Islam dan Sosialisme yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1924. Namun, sebelum membahas pemikiran Tjokro, penting pula kita membahas sekilas bagaimana perkembangan kondisi sosial, politik, dan ekonomi Hindia Belanda saat itu; siapa dan apa peran penting Tjokro sehingga pemikirannya menarik untuk dikaji; serta mengapa buku itu ditulis. Setelah membahas ide-ide utama di dalam buku, penulis membahas relevansi sosialisme Islam pada zaman itu.

Dari Tanam Paksa ke Era Ekonomi Liberal

Pada pertengahan abad ke-19 terjadi perubahan politik yang cukup signifikan di negeri Belanda, yaitu munculnya kaum penganut liberalisme di pemerintahan. Perubahan ini berdampak pada situasi di Hindia Belanda (Indonesia). Sistem tanam paksa yang telah dimulai sejak tahun 1830 pun diakhiri karena peran kaum liberal yang banyak dipengaruhi oleh buku Max Havelaar karya Multatuli (bernama asli Douwes Dekker, mantan Residen Lebak) yang menggambarkan penindasan sistem tanam paksa. Berakhirnya tanam paksa ditandai dengan terbitnya UU Agraria dan Undang-undang Gula pada 1870 yang mengizinkan perusahaan swasta ikut andil dalam perekonomian di Hindia Belanda dalam porsi yang besar.[1]

Di masa tanam paksa Pemerintah Belanda mengeruk keuntungan dari eksploitasi tanah jajahan dengan mengorbankan tenaga, harta, bahkan nyawa kaum pribumi. Di masa ekonomi liberal (pasca 1870), eksploitasi tetap dilakukan hanya saja pelakunya kapitalis asing yang didominasi oleh orang Belanda, sedangkan Pemerintah hanya sebagai regulator. Sistem ini menimbulkan masalah, yaitu ketimpangan ekonomi antar kelompok etnis. Pada tahun 1930-an, masa akhir dari sistem ekonomi liberal, penghasilan rata-rata etnis di Hindia Belanda adalah sebagai berikut : Pribumi 59,7 gulden; Cina 326,9 gulden; Eropa 2.700,00.[2]

Selain berdampak ke perubahan sistem ekonomi di Hindia Belanda, perubahan politik di Hindia Belanda juga berdampak pada pada diterapkannya politik etis sebagai “balas budi” Belanda kepada rakyat Hindia Belanda karena sistem tanam paksa yang diterapkan berpuluh tahun sebelumnya telah menyelamatkan Belanda dari kebangkrutan. Balas budi itu dilakukan dengan berfokus pada pendidikan, irigasi, dan transmigrasi.[3]

Program pendidikan sebenarnya bertujuan untuk menghasilkan tenaga-tenaga cakap dari penduduk pribumi. Namun, program ini ternyata menimbulkan kesadaran kebangsaaan dan rasa ketidakadilan di di sebagian kaum terdidik (sebagian lagi menjadi birokrat/teknokrat yang jauh dari rakyat dan turut melanggengkan sistem pemerintahan kolonial) yang kemudian memunculkan gerakan politik untuk mencapai Indonesia merdeka di awal abad ke-20.[4]

Zaman itu disebut juga Zaman Pergerakan Nasional yang sulit dibahas tanpa mengikutsertakan sosok Hadji Oemar Said Tjokroaminoto atau HOS Tjokroaminoto (1882-1934) karena kiprah organisasi dan pemikirannya yang sangat signifikan mewarnai pergerakan nasional pada masa itu.

 

Sosok Raja tanpa Mahkota

Tjokroaminoto dilahirkan di Madiun dari ayah yang seorang Bupati Ponorogo dan ibu yang merupakan anak seorang ulama besar yang menjalani kehidupan yang sederhana. Dia dibesarkan dalam didikan agama Islam yang kuat, di samping pendidikan Barat yang lazim diperoleh anak-anak pejabat pada masa itu. Latar belakang inilah yang kelak mempengaruhi karakternya kelak.[5]

Walau ia seorang priyayi, ia menolak simbol-simbol pemujaan terhadap feodalisme. Ia mengecam laku dodok (berjalan jongkok di depan bangsawan). Ia juga selalu menyerukan kesetaraan, baik antar sesama penduduk pribumi tanpa memandang status sosial, maupun dengan orang-orang Belanda.[6]

Statusnya sebagai anak pejabat membuatnya mampu mengeyam pendidikan di OSVIA Magelang, sekolah untuk mencetak birokrat. Setelah lulus, ia sempat bekerja di Kepatihan Ngawi tetapi tak lama kemudian pekerjaan itu ia tinggalkan. Ia kemudian menetap di Surabaya. Saat itulah ia bertemu dengan Samanhudi, pendiri Sarekat Dagang Islam atau SDI (berdiri 1905).[7]

Sumber foto: Tim Buku Tempo. 2013. Tjokroaminoto, Guru Para Pendiri Bangsa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

SDI awalnya didirikan para pengusaha batik sebagai respon atas kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang diskriminatif dan menganaktirikan pengusaha pribumi muslim. Tjokro pun bergabung dengan SDI dan namanya terus meroket disebabkan oleh kapasitas kepemimpinannya dan kemampuannya berpidato.

Tahun 1912, SDI berubah menjadi Sarekat Islam yang gerakannya berorientasi sosial-politik dengan Tjokro sebagai pemimpin tertingginya. SI mengemban missi agar bangsa Indonesia bisa menentukan nasibnya sendiri. SI kemudian tampil menjadi gerakan nasional dengan jutaan anggota yang tersebar di berbagai daerah di Nusantara.

Di bawah kepemimpinan Tjokro, pengaruh SI di kalangan rakyat pribumi begitu mengakar. SI menjadi pergerakan politik yang massif dengan Islam sebagai ideologinya. Begitu berpengaruhnya Tjokro, sampai-sampai Pemerintah Hindia Belanda menjulukinya Raja Jawa tanpa Mahkota. Rakyat pun menganggapnya sebagai “Ratu Adil”. Ia adalah pemimpin sekaligus ideolog pergerakan nasional. Pemikiran-pemikirannya ia tuangkan di media massa, buku-buku, ataupun pidato-pidato yang selalu disesaki oleh ribuan penonton.[8]

Peran signifikan Tjokro dalam sejarah Indonesia lainnya adalah ia menjadi mentor bagi anak-anak kost-nya di Surabaya yang kelak berperan besar dalam sejarah nasional. Ia adalah guru bagi Soekarno yang berhaluan nasionalis, Kartosuwiryo yang berhaluan Islam, serta Musso, Semaun, dan Alimin yang berhaluan komunis. Terkait peran Tjokro dalam diri Soekarno, dalam wawancara dengan Cindy Adams, Soekarno berkata, “Pak Tjokro adalah idolaku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak ia telah menggemblengku. Aku duduk dekat kakinya dan membacakan buku bukunya.”[9]

 

Terbelahnya Sarekat Islam dan Ditulisnya Buku Islam dan Sosialisme

Sebagaimana telah diuraikan di atas, Hindia Belanda saat itu dieksploitasi oleh kapitalis-kapitalis asing. Sistem ekonomi liberal ini menghasilkan ketimpangan ekonomi yang signifikan antara rakyat pribumi dan asing sehingga tak heran jika semangat anti kapitalisme, yang berarti sosialisme[10], begitu menyebar pada zaman itu. Paham ini pun mulai masuk ke SI dengan Semaun sebagai tokohnya. Semaun kemudian mulai membawa SI Semarang, yang saat itu dipimpinnya, menjadi kekiri-kirian dan seringkali berbeda pendapat dengan CSI (Central Sarekat Islam atau SI Pusat).

Terjadinya Revolusi Bolshevik yang berhaluan sosialisme-marxisme di Rusia tahun 1917, semakin menguatkan alasan Semaun dan kubunya (disebut SI Merah) untuk bergerak di atas prinsip marxisme ̶mendasarkan gerakannya pada materi dan mengusung pertentangan kelas- alih-alih berlandaskan Islam. Menurut mereka agama tidak menyediakan basis yang luas bagi aksi politik dan tidak cukup menjadi landasan perjuangan. Menurut Semaun, seorang muslim bisa saja menjadi kapitalis atau sosialis.[11]

SI Merah pun seringkali menyebarkan pengaruhnya dikalangan SI. Tentu hal ini mendapat penentangan dari banyak tokoh-tokoh SI yang menghendaki agama sebagai basis perjuangan. Salah satu tokoh SI yang menentang SI pusat adalah Agus Salim. Menurutnya, dengan Al-Quran semua terjawab.[12]

Tokoh utama SI Merah lainnya adalah Haji Misbach, seorang Mubaligh dari SI Surakarta. Kebenciannya pada kapitalisme yang mengekspoloitasi rakyat serta kekecewaannya kepada SI dan Muhammadiyah atas beberapa hal menjadikannya mendekat pada komunisme. Menurutnya, muslim sejati pasti adalah seorang komunis dan sebaliknya, seorang komunis yang masih membenci agama Islam bukanlah komunis sejati atau belum mengerti hakikat komunisme.[13]

Perseteruan kaum SI Kiri dan SI Kanan (atau SI) pun semakin mengalami eskalasi. Dalam kondisi inilah Tjokroaminoto menulis buku Islam dan Sosialisme yang diterbitkan tahun 1924. Melalui bukunya, Tjokro menegaskan kembali landasan dan prinsip-prinsip perjuangan SI. Tjokro juga mengkritik pemikiran-permikiran sosialisme Barat, termasuk sosialisme-marxis atau komunisme. Di dalam buku itu Tjokro juga menjelaskan sistem kemasyarakatan yang sosialis-relijius dengan sistem pemerintahan demokrasi.

Islam dan Sosialisme. Sumber foto: @jejakislambangsa

 

Pemikiran Tjokroaminoto mengenai Islam dan Sosialisme[14]

Di awal buku Islam dan Sosialisme, Tjokro menjelaskan definisi sosialisme. Menurutnya, sosialisme bisa diartikan sebagai paham yang mengutamakan pertemanan dan bertentangan dengan individualisme yang mengutamakan kepentingan individu. Sosialisme menunjukkan kepada kita bahwa juta memikul tanggung jawab atas perbuatan kita satu sama lain, sedangkan individualisme mengutamakan paham tiap-tiap orang buat dirinya sendiri. Sosialisme memiliki ragam yang sangat banyak dan berbeda-beda. Namun, seluruhnya bertujuan memperbaiki nasib golongan manusia yang termiskin dan terbanyak jumlahnya dengan memerangi sebab-sebab kemiskinan.

Tjokro berkeyakinan bahwa sosialisme yang diwajibkan terhadap umat Islam hanyalah sosialisme berdasarkan asas-asas Islam. “Sosialisme yang kita tuju: bermaksud mencari keselamatan dunia dan keselamatan akhirat,” lanjutnya. Menurut Tjokro, ajaran sosialisme dalam Islam telah ada dan dipraktikan sejak zaman Nabi Muhammad. Sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad lebih mulia dan lebih tinggi, serta cara menanamkannya lebih sederhana dan lebih mudah daripada sosialisme dari Barat. Nabi mendasarkan sosialismenya pada keutamaan dan kebajikan manusia. Tjokro juga menjelaskan bahwa Islam telah memberi pedoman bagi kehidupan batin juga berbagai aspek kehidupan lainnya.

Tjokro menguraikan secara singkat prinsip-prinsip utama dari sosialisme-marxisme. Marxisme mendasarkan ajarannya pada historis materialisme (atau materialisme historis dalam literatur lain). Marx berkeyakinan bahwa segala sesuatu itu benda belaka (materi). Menurut Marx, sejarah digerakan oleh penghidupan dalam urusan harta benda. Marx memperoleh pemikiran materialismenya itu dari filsuf Feuerbach. Marx juga mengadopsi pemikiran Hegel mengenai dialektika, bahwa untuk mencapai kemajuan diperlukan pertentangan-pertentangan.

Karl Marx. Sumber foto: https://www.britannica.com/biography/Karl-Marx

 

Lebih jelasnya, pemikiran Marx dapat diuraikan dengan doktin-doktrin sebagai berikut: Pertama, segala sesuatu pada dasarnya adalah benda, tidak ada yang lain seperti tuhan, roh, atau zat metafisika lain (paham materialisme). Kedua, semua di dunia ini tidak ada yang abadi, semua berubah dan untuk berubah maju diperlukan pertentangan-pertentangan (tesis-antitesis-sintesis). Pertentangan di sini bukan pertentangan ide sebagaimana diajarkan Hegel (dialektika idealis), tetapi pertentangan sistem atau cara produksi yang bersifat material (dialektika materialisme). Ketiga, dalam sejarah manusia faktor-faktor pada sistem produksi tersebut selalu menjadi tenaga penggerak bagi sejarah peradaban masyarakat (determinisme historis). Sejarah akan bergerak dari masyarakat komunis-primitif, ke zaman perbudakan, ke feodalisme, ke kapitalisme, ke sosialisme, dan terakhir komunisme sebagai muara dari perjalanan sejarah manusia. Di setiap fasa akan ada dua kelas yaitu kelas penindas dan tertindas, kecuali di fasa komunisme karena di fasa itu semua sama-rata-sama rasa. Untuk menuju komunisme, di fasa sosialisme harus diberlakukan kediktatoran proletariat (kediktatoran yang dipimpin secara kolektif oleh kaum melarat) agar penindas-penindas dapat dikikis. Keempat, karena di dunia ini terjadi penindasan antarkelas maka perlu dicanangkan pertentangan kelas. Kelima, jika fasa komunisme telah tercapai, maka negara tidak diperlukan lagi karena negara pada hakikatnya adalah alat penindasan kaum pemilik terhadap lapisan bawah.[15]

Hal yang disoroti Tjokro terutama adalah prinsip materialisme dalam ajatan Marx berarti penentangan terhadap tuhan dan agama. Tjokro bahkan mengutip langsung dari buku Marx, “Agama itu ialah kebingungan otak yang dibuat-buat oleh manusia utuk meringankan beban hidup yang sukar ini, agama itu candunya rakyat.” Tjokro bahkan menyebut ajaran Marx ini bukan saja memungkiri adanya Allah, tetapi juga beratrti menuhankan benda karena menanggap benda itu asalnya segala sesuatu.

Tjokro pun menegaskan maksudnya menjelaskan marxisme tersebut:“..agar supaya saudara-saudara kaum Muslimin jangan sampai tersesat oleh karenanya.”

Tjokro menyimpulkan, “Bagi kita orang Islam, tak ada sosialisme atau rupa-rupa ‘isme’ lainnya, yang lebih baik, lebih indah dan lebih mulus, selain dari sosialisme yang berdasar Islam.”

Di bab-bab selanjutnya Tjokro menjelaskan dengan rinci ajaran Islam yang menurutnya bernafaskan sosialis, yang bersumber dari Al-Qur’an, hadits nabi, ataupun sirah sahabat. Tjokro juga menyebutkan bahwa anasir-anasir sosialisme yaitu kemerdekaan (liberty), persamaan (equality), dan persaudaraan (fraternity) telah banyak terdapat di dalam ajaran Islam. Selain memberikan bukti dengan dalil Al-Qur’an dan hadits sebagi sumber pokok, Tjokro juga mengutip pendapat para sarjana barat yang terkagum-kagum pada ajaran kebijakan “sosialisme Islam”.

Selain membahas sosialisme, Tjokro juga menjelaskan tabiat demokrasi di dalam Islam. Islam menghapuskan kasta-kasta yang ada dalam masyarakat. Semua setara. Rakyat biasa pun dapat menyampaikan aspirasinya, sebagaimana dicontohkan di zaman Khalifah Umar saat ada seorang wanita yang menegur kebijakan Umar. Dalam Islam juga tidak dikenal adanya ke-priester-an (keuskupan) , yang mempunyai hak lebih daripada orang lain.

Di bab Agama dan Sosialisme, Tjokro mengingatkan bahwa egoisme, yakni paham yang hanya mempedulikan diri sendiri dan tidak mempedulikan hal dan keperluan orang lain, akan merusak sosialisme dan demokrasi. “Obat atau daya-upaya yang utama untuk mencegah penyakit yang demikian itu adalah agama…..Kalau perbuatan dan pekerjaan manusia tidak dibimbin dan diawasi oleh kepercayaan agama, maka sosialisme akan tersessat dan akan membawa kerusakan bagi manusia,” kata Tjokro.

Menurut Tjokro, sosialisme akan hidup sempurna apabila tiap-tiap manusia tidak menjadikan tujuan hidupnya untuk kesenangan dan mengejar keperluan dunia. Hendaknya setiap orang mengejar tujuan hidup yang lebih tinggi yaitu berbakti kepada Allah.

Terdapat perbedaan mendasar antara pendirian masyarakat sosialis ala Barat dengan apa yang dilakukan Nabi Muhammad. Menurutnya, kaum sosialis Barat, terutama kaum komunis telah tersesat jika mereka melakukan sosialisme dengan memulainya dari puncak, bukan dari dasar. Nabi Muhammad, tidak pernah melakukan paksaan dalam menyebarkan sosialisme, tidak pernah melakukan perang kelas ataupun meyerukan diktatur proletariat. Nabi mengubah dari dasar, yaitu dengan mengubah sifat dan akhlak masyarakatnya.

Menurut Tjokro, pemerintahan sosialistis tidak akan terwujud tanpa adanya masyarakat yang dalam jiwanya telah terbangun sosialisme. Prosesnya mungkin lebih lama daripada revolusi dengan kekerasan, tapi hasilnya kekal. “Orang bisa mendapat kemenangan dengan perdamaian, dan orang bisa jjuga memperoleh kemenangan dengan perang, tetapi umat yang sangat berbakti kepada Tuhan itulah yang nyataterpanjang hidupnya. Lebih baik sekali mendapat kemenangan yang kekal, meskipun dengan langkah yang perlahan, ketimbang dengan kemenangan yang terburu-buru tetapi tidak seberapa lama dan diperoleh dengan cara yang zalim dan kasar.”

Di bab terakhir, Peringatan dan Petunjuk bagi umat Islam, Tjokro menyerukan agar setiap kaum muslimin, terutama di Hindia Timur (Indonesia), agar selalu mencita-citakan Pan-Islamisme, bersatu serta aktif dalam pergerakan, mendakwahkan Islam, serta membekali diri dengan agama dan ilmu pengetahuan.

Tjokro pun menyeru kepada kaum muslimin agar bergabung dengan SI sebagai langkah awal. Terakhir, tjokro memaparkan enam belas keterangan asas SI yang salah satunya adalah mencapai kemerdekaan rakyat Hindia ini yang sejatinya. Tjokro menjelaskan apa makna kemerdekaan sejati: ” melepaskan sehala rakyat dari pada penghambaan macam apapun jua, ialah dengan jalan kemerdekaan berasas ke-Islaman seperti yang diterangkan itu.”

 

Islam dan Sosialisme: Serupa ataukah Hanya Cocoklogi?

Apakah Islam bersifat sosialis? Apakah ia komunis? Ataukah justru kapitalis? Abul A’la Al-Maududi, seorang pemikir Islam asal Pakistan, dalam buku Hukum dan Konstitusi Islam mengungkapkan bahwa banyak kelompok orang yang mengidentikkan Islam dengan satu sistem kehidupan yang sedang populer di masa mereka. Seringkali mereka pun melakukan justifikasi atas ideologi-ideologi pilihannya.[16]

Kaum pengusung demokrasi berkata bahwa Islam sejalan dengan demokrasi Barat karena keberterimaannya atas aspirasi rakyat. Pengusung otoritarianisme juga bisa berkata bahwa Islam mendukung sistem mereka karena Islam menyuruh patuh terhadap pemimpin. Singkatnya, mereka mencocok-cocokkan ideologinya dengan ajaran Islam secara tidak utuh (cocoklogi). Contohnya, seperti yang diterangkan di atas, Haji Misbach yang mengidentikkan Islam dengan komunisme, bahkan ia kemudian lebih keras mengkritik saudara-saudaranya di pergerakan Islam ketimbang komunisme yang ideolog-ideolognya anti-tuhan.

Lantas apakah Islam itu serupa dengan sosialisme? Ataukah Tjokro melakukan cocoklogi melalui tulisannya? Islam adalah agama yang bersifat syumuliyah, yakni ajarannya mencakup berbagai aspek kehidupan tanpa kecuali. Selain itu, Islam bersifat wasathiyah, yakni ajarannya moderat atau pertengahan. Tjokro mengambil dalil-dalil berkaitan dengan peraturan Islam yang condong ke arah “sosialisme”. Namun, di luar itu sebenarnya ada juga yang seolah sejalan dengan “kapitalisme”, misalnya perintah untuk bekerja keras dan profesional, dorongan untuk berniaga, dan sebagainya.

Jika dilepaskan dari konteks sejarah ditulisnya buku, maka bisa tidak salah jika buku Tjokro dikatakan cocoklogi. Namun, buku itu ditulis Tjokro saat SI terbelah dan gerakan kiri semakin menyebar. Melalui buku itu, gagasan Tjokro setidaknya berdampak positif pada dua hal.

Pertama, Tjokro menegaskan kembali prinsip dan ideologi partai sehingga menjadi jelas batas antara SI dengan kaum penganut sosialisme Barat. Tjokro menjelaskan seperti apa perubahan sosial yang dicita-citakan SI. Tjokro juga mengingatkan bahwa pandangan hidup sosialisme-marxisme bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.

Kedua, Tjokro mengingatkan kesempurnaan ajaran Islam kepada kaum muslimin khususnya terhadap anggota SI, baik yang masih konsisten memegang teguh Islam, maupun yang mulai terpengaruh marxisme. Tjokro seakan ingin mengatakan kepada khalayak: “ Hai, untuk apa kamu mencari ideologi lain untuk membela kaum tertindas dan menciptakan keadilan sosial? Ajaran sosialisme Barat pernuh kelemahan, sedangkan ajaran Islam sudah lengkap, sempurna, dan terbukti berhasil.”

Walaupun pada dasarnya sosialisme-marxisnya komunisme menolak. Dalam penyebarannya mereka justru seringkali menggunakan agama sebagai propaganda. Di Banten misalnya, PKI menguat setelah bergabungnya ulama kharismatik Tubagus Achmad Khatib. Khatib bergabung karena dia tidak memahami hakikat komunisme. Ia pernah bertanya pada Puradisastra mengenai tujuan komunisme, kemudian dijawab bahwa tujuan komunisme adalah tolong menolong dalam urusan dunia dan agama. Kemudian Khatib pun turut serta dalam revolusi dengan PKI tahun 1926.[17]

Di Sumatera pun PKI menggunakan propaganda agama untuk menarik masa, sampai-sampai Haji Rasul pernah bertanya kepada Hamka anaknya,

“ Malik, apakah engkau masuk komunis pula?”

“Tidak Abuya,” jawab Buya Hamka

“Hati-hati! Pengalamanmu belum ada. Lahirnya komunis di sini membawa-bawa agama; pada batinnya hendak menghapus agama,” kata Haji Rasul.[18]

Ditulisnya buku Sosialisme dan Islam juga menunjukan intelektualitas Tjokro yang tidak hanya memiliki pemahaman ideologi Islam yang kuat, tetapi juga sangat memahami sosialisme Barat. Seandainya buku itu tidak pernah ditulis, tentu akan lebih banyak lagi rakyat Indonesia yang menjadi pengikut PKI.

Oleh : Fajar Perkasa – Peserta Kelas Memaknai Indonesia

 

[1] Boediono. 2016. Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah. Bandung: Penerbit Mizan

[2] Zanden, L. van dan Daan Marks. Ekonomi Indonesia 1800-2010. Jakarta: Kompas Gramedia

[3] Boediono. Ibid

[4] Boediono. 2016. Ibid

[5] Khalid O. Santosa dalam Pengantar buku Islam dan Sosialisme karya Tjokroaminoto (2008)

[6] Majalah Tempo Edisi Khusus Tjokroaminoto: Guru Para Pendiri Bangsa (Agustus 2011)

[7] Khalid O Santosa. Ibid

[8] Tempo Edisi Tjokroaminoto (Agustus 2011)

[9] Adams, Cindy. 2007. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo

[10] Berdasarkan Encyclopedia Britannica, arti sosialisme adalah doktrin sosial dan ekonomi yang menuntut kepemilikan atau kendali publik terhadap properti dan sumber daya alam di atas kepemilikan atau kendali pribadi (terjemahan penulis). Menurut KBBI, sosialisme adalah ajaran atau paham kenegaraan dan ekonomi yang berusaha supaya harta benda, industri, dan perusahaan menjadi milik negara.

[11] Rizkiyansyah, Beggy dkk.2017. Dari Kata Menjadi Senjata: Konfrontasi Partai Komunis Indonesia dengan Umat Islam. Jakarta : JITU

[12] Ibid.

[13] Ibid.

[14] Disarikan dari buku Islam dan Sosialisme karya HOS Tjokroaminoto, 2008 (Bandung: Sega Arsy)

[15] Rais, Amin. 1999. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta (cetakan X). Bandung: Penerbit Mizan

[16] Ahmad, Khursid (ed.). 1983. Pesan Islam. Bandung : Pustaka Salman

[17] Rizkiyansyah, Beggy dkk. Ibid.

[18] Ibid

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here