“jika cinta telah tertumpah ke dunia, maka pudarlah jalan kepada Allah. Tetapi apabila cinta telah tertumpah kepada Allah, menjadi tempat singgah sementara sajalah dunia itu.” – Hamka
Hubungan antara tasauf dan dakwah menurut Hamka telah terjalin sejak masa-masa awal masuknya Islam ke berbagai bangsa atau wilayah. Peranan tasawuf sangat besar dalam membawa masyarakat menerima Islam dengan lebih mudah dan menjiwa, meski dalam berbagai kultur yang sudah lebih lama dipegang oleh masyarakat sebelumnya.
Pada beberapa negeri di Afrika misalnya, Hamka memberikan contoh bahwa pengaruh tasawuf sangat besar bagi perkembangan dakwah di sana. Al Amir Syakib Arselan di dalam kitabnya Hadhirul” Alamil Islamiy yang dikutip oleh Hamka, menerangkan beberapa buah thariqat yang sangat besar jasanya dalam penyebaran Islam di benua Afrika. Yakni terutama sekali ialah Thariqat al Qadiriyah yang didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir al Jailany, wafat di Baghdad pada tahun 1166 Masehi.
Amir Syakib mengatakan bahwa thariqat ini sangat berjasa dan bersemangat dalam menyebarkan agama Islam di tengah-tengah bangsa Afrika yang belum beragama. Jasa thariqat ini sangat besar dalam penyiaran agama Islam. Mereka menyebar ke tengah-tengah benua itu dengan membawa pelajaran Islam dan juga berniaga. Anak-anak yang kelihatan cerdas mereka kirimkan belajar hingga ke Al Azhar dan ke tempat pendidikan Islam lainnya.
Selain itu terdapat thariqat besar yang juga sangat berjasa, yaitu Thariqat Tijaniyah. Pendiri thariqat ini Syaikh Ahmad bin Ahmad Attijani yang meninggal di Fez (Faas) tahun 1782. Pusat pertamanya adalah di Maroko. Yang menjadi ciri thariqat ini dan thariqat sufi pada umumnya ialah kesetiaan murid kepada guru. Syaikh-syaikh mereka mendorong murid-muridnya agar menyebarkan Islam kepada penduduk lain yang belum beragama, dan murid melaksanakan perintah-perintah itu dengan penuh pengabdian.
Thariqat-thariqat tersebut-lah yang telah banyak berjasa dalam penyebaran agama Islam di Afrika. Mereka menjadi penganut dakwah ke mana saja mereka pergi. Guru-guru bekerja dengan penuh semangat dan cinta, kemudian mengumpulkan murid-murid dan menjalani daerah-daerah yang penuh rintangan, yang jauh untuk menyebarkan cita-cita agama.
Meskipun gerakan Islam dengan thariqat-thariqat itu mendapat perlawanan hebat dari umat Kristen dan missi zending-nya baik secara lisan hingga fisik. Namun hati penduduk tetap lebih dekat kepada Islam, karena dengan memeluk agama Islam mereka benar-benar bisa bersatu padu dengan saudara-saudara seiman dan lingkungan mereka. Berbeda dengan memeluk agama Kristen, yang masih terdapat penyisihan antara pemimpin agama yang berbeda kulit dengan para pemeluknya.
Gerakan yang sangat terkenal dari pelajaran ilmu tasawuf memang terbukti telah bertransformasi menjadi suatu kekuatan menentang penjajah, baik dalam dakwah, hingga perlawanan-perlawanan bersenjata. Hal tersebut juga dapat dilihat dengan adanya gerakan Sanusiyah yang berpusat di Libya.
Pembangunan Thariqat Sanusiyah ialah Sayid Muhammad bin Aly Assanusi, gerakan ini pada pokok dan awalnya ialah memperkuat batin dan memperteguh hubungan dengan Allah, dengan melakukan wirid tertentu. Tetapi maksudnya bukan untuk menyisihkan diri dari dunia dan tidak peduli dengan alam sekitarnya.
Maksud utamanya ialah memperteguh jiwa untuk menghadapi segala kemungkinan kehidupan. Karena dengan didikan tasawuf dan melakukan wirid thariqat, kaum muslimin pun siap dalam menghadapi berbagai kemungkinan ujian dunia, bahkan maut sekalipun di dalam melaksanakan dakwah.
Maka didirikan pula Zawiyah atau Pondok Pesantren di tempat-tempat yang penting, dimana para santri, yaitu anggota Thariqat Sanusiyyah memperdalam ajaran agama pada malam hari dan belajar mempergunakan senjata pada siang hari. Semangat perlawanan mereka ditanamkan melalui ajaran tasawuf.
Tasawuf ialah shifaul qolbi atau membersihkan hati, pembersihan budi pekerti daripada perangai yang tercela dan menghiasinya dengan perangai yang terpuji. Berani berbuat dan menegakkan kebajikan untuk manusia. Yang terutama sekali dalam ajaran ini ialah didikan kesederhanaan hidup, yaitu mengambil dari hidup hanya sekedar yang diperlukan saja, dan jangan mewah. Ketika manusia mampu hidup dengan sederhana, maka ia mampu mengelola dan mengendalikan diri untuk tidak mengikuti hawa nafsunya.
Menurut ajaran tasawuf, kalau jiwa telah dipenuhi oleh ingat kepada Allah (dzikir) maka ingatan kepada harta benda dunia ini (materi) menjadi berkurang, karena kecintaan itu tidaklah mau diserangkaikan, ia hanya menghendaki satu dalam dirinya. Menurut Hamka “jika cinta telah tertumpah ke dunia, maka pudarlah jalan kepada Allah. Tetapi apabila cinta telah tertumpah kepada Allah, menjadi tempat singgah sementara sajalah dunia itu.”
Meskipun memang tidak bisa dipungkiri adanya perbedaan praktek para sufi dalam kehidupannya, dan Hamka sendiri sebagai anak dari pelopor gerakan “kaum muda” di Sumatera oleh ayahnya Dr. Abdul Karim Amrullah, yang banyak mengkritik dan menentang praktek tasawuf para “kaum tua”, namun Hamka tidak sepenuhnya menolak istilah dan peranan para sufi -penganut tasawuf- dalam menyebarkan dan mengamalkan ajaran Islam.
Menurut Hamka, ada dua digolongkan dari praktek kehidupan para penganut tasawuf. Pertama golongan yang positif dan tegas menghadapkan tujuan hidupnya semata karena Allah. Hati penuh dengan iman, selalu ingat kepada Allah, hidup yang penuh disinari oleh cahaya ilahi. Dalam segala gerak-geriknya mereka hanya menuju kepada satu tujuan saja, yaitu kebahagiaan hidup di akhirat.
Mereka memahami hidup dan mampu berjuang dalam hidup. Kedua golongan semata-mata putus hubungan dengan dunia, mereka bergerak, mereka ber-tawajjuh, mereka putuskan segala hubungan dengan yang lain. Hanya berdiam dalam kehidupan spiritualnya saja. Yang kedua ini yang melakukan kehidupan agama secara berlebihan.
Masuknya Islam ke Nusantara, menurut Hamka juga dimulai melalui ajaran tasawuf. Tasawuf bagi Hamka laksana minyak yang memudahkan roda keislaman berkembang pesat ketika itu, sehingga Islam dapat masuk ke dalam jiwa dan kebudayaan pemeluknya yang baru. Maka bisa kita dapati di beberapa daerah, kebudayaan setempat, bentuk masjid, rumah dan hukum adat yang terbangun berlandaskan pada falsafah Islam. Pada abad tersebut sebagian besar wilayah kerajaan dan masyarakat Islam di Nusantara, mendapatkan pemahaman melalui ajaran Tasawuf, Hamka berujar:
“Masa transisi dari jahiliyah ke Islam itu adalah melalui ajaran Tasawwuf. Ini bukan terbukti pada Raja-raja Jawa saja, tetapi terdapat juga Raja Minangkabau.” (Hamka, Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Djakarta: Bulan Bintang, 1971.
Hamka memberikan kesimpulan dari penelitian tentang masuknya Islam pertama kali di Nusantara, bahwa Islam di Nusantara tidaklah berbeda dari Islam yang juga datang ke tempat lainnya, dari segi fiqih, tasawuf, dan aqidah, yang banyak dianut oleh umat Islam pada umumnya di Tanah Arab dan negeri-negeri Islam lainnya. Sehingga Hamka pun pernah menegaskan bahwa Islam di Nusantara khususnya Indonesia merupakan Ahlusunnah Wa Jama`ah yang mayoritas menganut madzhab tasawuf dan fiqih ‘Ghazali Syafi`i’ juga tiga madzhab fiqih lainnya, kemudian madzhab pemikiran aqidah dari Imam Abu Hasan Asyari dan Abu Mansur al Maturidiy:
“Kita di Indonesia ini adalah golongan Sunni. Jelasnya ialah bahwa dalam menegakkan aqidah, kita menganut faham Abu Hasan Asyari dan Abu Mansur al Maturidiy. Di dalam amalan syariat Islam kita pengikut madzhab Syafi`i terutama dalam menghargai juga ajaran-ajaran dari ketiga imam yang lain (Hanafi, Maliki dan Hambali).” (Artikel Buya Hamka, Majelis Ulama Indonesia Bicaralah!, Harian Umum KOMPAS, 11/12/1980)
Bahkan menurut Hamka, di Kerajaan Samudra Pasai ketika itu sudah ada seorang guru tasawuf tinggi dan diakui, bukan saja di dalam negeri, namun sampai mengajar di tanah Arab dan banyak murid-muridnya yang besar dalam keilmuan tasawuf.
Dituliskan oleh Syaikh Yusuf bin Isma`il an Nabhany dalam kitabnya `Jami Karamatil Aulyaa`, bahwa al Yafi`i Syaikh Tasauf yang terkenal di negeri Mekkah, berguru kepada seorang “Al-Jawy” (bangsa Jawa) yang terkenal, namanya Syaikh Abu `Abdillah Mas`ud bin Abdillah Al Jawy. Ia adalah seorang Syaikh yang besar dan masyhur di negeri Aden dan sekitarnya. Dan beliau adalah termasuk orang-orang besar pengikut Syaikh dan Faqih Al `Uayah, yang pernah menuntut ilmu kepada al Faqih al Kabir Isma`il al Hadrami.
Maka muncullah dari abad ke abad ahli-ahli Tasawwuf Nusantara sendiri, seperti Hamzah Fanshuri, Abdurrauf Singkel, Nuruddin ar Raniri –dari India-, Syekh Yusuf Tadjul Khalwati dari Makassar, yang menjadi mufti Bantam (Banten) di zaman Sultan Agung Tirtajasa,dan dibuang ke Ceylon (Srilanka) kemudian dipindahkan ke Afrika Selatan dan wafat disana.
Syekh Yusuf Tadjul Khalwati yang memakai kunyah Abul Mahasin itu mendapat ijazah Thariqat Khalwatiyah bukan di India, tetapi di Damsyik pada Syekh Barakat Ajub bin Ahmad bin Ajub al Chalwati al Churasji Asj Sjami ad Dimasjqi. Imam dari masjid Sidi Mahjuddin Ibn Arabi. Kemudian dia mendapatkan ijazah Thariqat Qadiriyah dari Syekh Nuruddin ar Raniri saat ia singgah di Aceh. Lalu menerima pula ijazah Thariqat Siattarijah dari pada Syeikh Burhanuddin al Mulla bin Syaikh Ibrahim bin Hasan bin Sjihabuddin al Kurdi al Kurani Stummal Madani yang dipelajarinya di Madinah.
Dari Thariqat Naqsabandiyah diperolehnya dengan ijazah dari Syekh Abu Abdillah Muhammad Abdulbaqi bin Syeikh al Musdjadhi an Naksyabandi di Yaman. Serta Thariqat Sadaat Ba`alawiyah diterimanya dari pada Said Ali bin Said Bakar al Idrus di Zaubaid.
Suasana tasawuf itulah menurut Hamka yang telah meliputi Nusantara khususnya Indonesia selama beradab-abad lamanya, sejak permulaan perkembangannya abad ke-13 belas dan abad ke-14 belas, sampai kepada zaman terakhir.
Sampai pulalah ke Nusantara thariqat-thariqat tasawuf, Naksabandiyah yang dari Asia Tengah, Qadiriyah yang berasal dari Mesir di zaman Samudra Pasai. Para ulama tasawuf menjadi garda terdepan dalam membawa semangat anti penjajah dan perlawanan kepada kolonial Belanda, diberbagai daerah di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
Terjadi banyak gerakan dakwah dan perlawanan dalam menjaga dan melawan penjajah. Para tokoh-tokoh tasawuf dan mutakallim besar di Nusantara telah memiliki hubungan sangat dekat untuk menggerakkan berbagai elemen kehidupan masyarakat, hubungan antara para ulama dan masyarakat kerajaan, antara tasawuf dan gerakan dakwah, semuanya menyatu dalam pemikiran, madzhab dan kebudayaan masyarakat di Nusantara.
Oleh: Bambang Galih Setiawan – Alumni Ma’had Aly Imam al Ghazally Surakarta
Daftar Pustaka:
- Hamka, Mengembalikan Tasauf Kepangkalnya, Djakarta: Pandjimas, 1972.
- Hamka, Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Djakarta: Bulan Bintang, 1971.
- Hamka, Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Jakarta: UMMINDA, 1982.
- Artikel Buya Hamka, Majelis Ulama Indonesia Bicaralah!, Harian Umum KOMPAS, 11/12/1980