Tulisan ini saya persembahkan dalam rangka peringatan 100 tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi. Tokoh Islam yang semasa hidupnya berpenampilan tenang dan teguh memegang prinsip itu dikenal sebagai ulama intelek, pengarang dan cendekiawan yang aktif dalam kegiatan ilmiah dan dakwah.
H.M. Rasjidi lahir di Kotagede Yogyakarta pada 20 Mei 1915 (4 Rajab 1333 H). Di dalam gelanggang kemasyarakatan, beliau ikut mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) bersama Mohammad Natsir dan kawan-kawan. Semasa hidupnya Rasjidi adalah Penasihat PP Muhammadiyah dan Anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Sebagai napak tilas pada waktu Rasjidi mencapai usia 70 tahun, Panitia Penulisan Buku 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi dengan Ketuanya Prof. Dr. H.A. Mukti Ali (mantan Menteri Agama) menerbitkan buku 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi (Penyunting: Endang Basri Ananda, penerbit Harian Umum Pelita 1985). Saya mengutip kembali butir-butir Sambutan Menteri Agama H. Munawir Sjadzali pada penerbitan buku tersebut sebagai “entry point” untuk mengenal lebih dekat H.M. Rasjidi.
Munawir Sjadzali menulis, “Terdapat tiga hal yang mendorong saya untuk mendukung prakarsa sementara kawan untuk menandai genap 70 tahun usia Profesor Dr.H.M. Rasjidi. Pertama, beliau adalah Menteri Agama RI yang pertama; kedua, beliau adalah seorang pejuang kemerdekaan; dan ketiga, beliau adalah seorang ilmuwan Islam dan cendekiawan Muslim yang tangguh dan berwatak.
Kementerian Agama dibentuk pada 3 Januari 1946 dan saat itu pemerintah dalam Kabinet Sjahrir II mengangkat Haji Mohammad Rasjidi sebagai Menteri Agama yang pertama. Esok harinya, Jum’at malam 4 Januari 1946, H.M. Rasjidi berpidato melalui RRI Yogyakarta, menegaskan berdirinya Kementerian Agama adalah untuk memelihara dan menjamin kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya.
Kementerian Agama dibentuk guna memenuhi kewajiban pemerintah untuk melaksanakan isi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29. Pasal tersebut berbunyi, ayat (1) Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa, ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Sehubungan kata “kepercayaan” dalam Pasal 29 ayat 1 UUD 1945, Dr. Mohammad Hatta menyatakan, kata “nya” di belakang kata “kepercayaan” jelas ditujukan kepada kata agama, maksudnya kepercayaan daripada agama itu.
Keterangan di atas memperkuat alasan konstitusional dan pertimbangan logis bahwa Kementerian Agama hanya mengurus Agama dan tidak mengurus aliran kepercayaan yang merupakan kebudayaan. Menurut Rasjidi dalam sebuah wawancara majalah Panji Masyarakat No 371 tanggal penerbitan 23 Zulqaidah 1402/11 September 1982 bahwa Departemen Agama (kini Kementerian Agama) di negara kita jauh lebih luas ruang lingkup tugasnya dibanding Kementerian Wakaf seperti yang ada di negara-negara Arab. Berkenaan dengan wacana yang menghendaki digantinya nama Departemen Agama menjadi “Departemen Keagamaan”, Rasjidi memandang pikiran-pikiran semacam itu sebagai pikiran yang kacau dan hanya mengada-ada, namun kita perlu waspada.
Dalam pejuangan kemerdekaan Rasjidi berperan aktif mengupayakan dukungan negara-negara Islam terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Perjuangan diplomasi RI di Timur Tengah yang dilakukan oleh Rasjidi dan kawan-kawan menghasilkan pengakuan kedaulatan dari Negara-negara anggota Liga Arab terhadap Republik Indonesia sebelum negara-negara lain memberi pengakuan.
Peran Rasjidi dalam peta pemikiran Islam dan kontribusinya membangun tradisi ilmiah serta etos intelektualisme Islam di Indonesia diakui oleh berbagai kalangan. Munawir Sjadzali mengatakan salah satu sisi mengesankan pada sosok Rasjidi sebagai ilmuwan Islam yang berbobot, adalah keyakinannya yang mutlak terhadap kebenaran Islam dan penguasaannya tentang ilmu ke-Islaman yang utuh dan lengkap serta didukung oleh pengenalan yang cukup dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan yang lain khususnya penguasaannya terhadap filsafat.
Rasjidi menempuh pendidikan di Sekolah Ongko Loro dan SD Muhammadiyah Kotagede Yogyakarta, Kweekschool Muhammadiyah, dan Perguruan Al-Irsyad Al-Islamiyah yang diasuh Syekh Ahmad Surkati di Lawang, Jawa Timur. Sebagai ulama-intelek, Rasjidi mendapat kesempatan mengenyam pendidikan tinggi di Timur Tengah dan Eropa, yaitu pada Fakultas Filsafat Universitas Cairo dan Universitas Sorbonne Paris. Beliau adalah orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor dalam ilmu keislaman dari Universitas Sorbonne tahun 1956. Selain itu Rasjidi memperoleh kesempatan untuk memperdalam ilmu dan mengajar pada Institute of Islamic Studies, di McGill University, Montreal, Kanada.
Kendati banyak menimba ilmu di Barat, Rasjidi tetap berpegang teguh pada Islam dan menentang keras sekularisme. Salah satu kritiknya pada sekularisme adalah ketika Nurcholish Majid (Cak Nur) mengalakkan kembali paham sekularisme. Bahkan Rasjidi sampai dua kali menanggapi Sekularisme ala Cak Nur. Nurcholish Madjid yang dikritik Rasjidi mengenai ide sekularisme dan sekularisasi yang diusungnya, tetap menaruh hormat pada Rasjidi. Cak Nur dalam buku 70 Tahun Rasjidi mengungkapkan bahwa Rasjidi dalam usia mudanya telah melakukan pengembaraan intelektual yang luas.
Pada 1968 Rasjidi dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-lembaga Islam Universitas Indonesia (UI) dengan judul pidato pengukuhan “Islam dan Indonesia Di Zaman Modern”. Rasjidi mendorong umat Islam agar melakukan penyelidikan dan penelitian terhadap ajaran-ajaran Islam secara ilmiah, seperti yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat. Namun Rasjidi menolak metode orientalis dalam memahami Islam karena akan hilanglah kekuatan jiwa yang didapat dari Al Quran.
Dalam sejarah pengembangan perguruan tinggi Islam khususnya IAIN, Rasjidi adalah tokoh yang berjasa merintis dan membimbing studi purnasarjana bagi dosen-dosen IAIN di Jakarta yang menjadi cikal bakal program pascasarjana IAIN/UIN sekarang.
Karier diplomat dijalaninya sekitar tahun 1950-an sebagai Duta Besar RI untuk Mesir merangkap Arab Saudi, Duta Besar RI untuk Iran merangkap Afghanistan, dan Duta Besar RI untuk Republik Islam Pakistan. Rasjidi yang pernah menjadi Imam Besar Masjid Agung Sunda Kelapa Menteng Jakarta, ditunjuk oleh Kerajaan Saudi Arabia sebagai Kepala Perwakilan Rabithah Alam Al Islami di Indonesia.
Masalah sekularisme dan kristenisasi salah satu isu keumatan yang menjadi perhatian serius beliau semasa hidupnya. Dalam Khutbah Idul Fitri 1 Syawal 1399 H/1979 M di halaman Masjid Agung Sunda Kelapa Jakarta, Rasjidi menegaskan bahwa Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak menjamin negara kita tidak akan menjurus menjadi sekular. Di dalam suatu negara, baik struktur negara tersebut atau orangnya masing-masing mempunyai peranan. Mengenai atheisme, Rasjidi menggaris bawahi: ada dua atheisme, yaitu: atheisme philosophis yang mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada dan atas dasar itu ia bertindak dan berbuat seakan-akan Tuhan tidak ada. Akan tetapi di samping atheisme philosophis tersebut, ada lagi atheisme praktis, yakni orang mengatakan bahwa Tuhan itu ada, bahwa agama itu perlu, akan tetapi meskipun demikian, pekerjaan dan tindakannya sama dengan orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Rasjidi mengajak umat Islam menghadapi tantangan terhadap agama kita, terhadap eksistensi kita, dengan jiwa yang besar, hati yang tabah dan iman yang kuat.
Tokos pers dan wartawan senior H. Rosihan Anwar menyebut Rasjidi sebagai “pengungkap gamblang hubungan antaragama di Indonesia.” Dalam tulisannya pada buku Mengapa Aku Tetap Memeluk Agama Islam?, Rasjidi memperingatkan kepada seluruh umat beragama khususnya pemeluk agama Kristen, jika mau membantu umat Islam yang sedang menderita kelaparan, kebodohan dan sakit silahkan untuk membantu, tetapi biarkanlah mereka itu dalam keyakinan Islamnya. Mengenai bahaya Syi’ah, tahun 1984 Rasjidi menulis buku kecil berjudul Apa Itu Syi’ah. Tujuan ditulisnya buku itu adalah ingin memberikan pengertian tentang Syi’ah dan perbedaannya dengan Ahlusunnah.
Pada waktu pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang Perkawinan ke DPR tahun 1973, Rasjidi termasuk orang yang keras menentang. Ia menulis di media massa, “Sekitar RUU Perkawinan Bukankah Aku Telah Memperingatkan?” Rasjidi menyatakan RUU tersebut bertentangan dengan hukum Islam yang dianut oleh lebih dari 90 persen bangsa Indonesia. Dalam RUU Perkawinan yang konon penyusunannya tidak melibatkan Kementerian Agama, perbedaan agama dalam RUU Perkawinan disamakan dengan perbedaan suku dan daerah asal sehingga tidak menghalangi sahnya perkawinan. Hal itu jelas satu hal yang sangat bertentangan dengan agama Islam. Penolakan kalangan Islam terhadap RUU Perkawinan yang bercorak sekuler akhirnya mengubah sikap pemerintah sehingga melakukan perbaikan yang mendasar atas konsep RUU. DPR akhirnya kemudian mensahkan UU Perkawinan yang dapat diterima oleh umat Islam, yaitu UU No 1 Tahun 1974.
Dalam brosur berjudul Hendak Dibawa Ke Mana Umat Ini? yang diterbitkan tahun 1988 Rasjidi menegaskan. “Ukhuwah Islamiyah pada waktu ini sangat penting, karena umat Islam sedang dirongrong oleh kekuatan internasional yang sangat besar”. Julukan “tokoh penjaga akidah umat” layak dinisbahkan kepada sosok Rasjidi yang sangat peduli dengan eksistensi Islam dan umat Islam di Indonesia.
Semasa hidupnya Rasjidi produktif menulis buku dan artikel di media massa. Karya-karyanya, antara lain: Filsafat Agama, Agama dan Etik, Islam dan Sosialisme, Islam Menentang Komunisme, Mengapa Aku Tetap Memeluk Agama Islam?, Islam dan Indonesia Di Zaman Modern, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Keutamaan Hukum Islam, Empat Kuliah Agama Islam di Perguruan Tinggi, Sikap Umat Islam Indonesia Terhadap Ekspansi Kristen, Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen, Sidang Raya Dewan Gereja Sedunia di Jakarta 1975 artinya Bagi Dunia Islam, Dari Rasjidi dan Maududi kepada Paus Paulus VI, Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional (tanggapan terhadap tulisan AMW Pranarka), Hukum Islam dan Pelaksanaannya dalam Sejarah, Apa itu Syi’ah?, serta buku terakhir Hendak Dibawa Kemana Umat Ini?
Selain itu ia menerjemahkan beberapa buku berbahasa asing seperti: Bible Quran dan Sains Modern (Maurice Bucaille), Humanisme dalam Islam (Marcel A.Boisard), Janji-Janji Islam (Roger Garaudy), dan Persoalan-Persoalan Filsafat (Harold A. Titus).
Dalam buku Agama dan Etik, Rasjidi berkesimpulan Etika menurut ajaran Islam adalah Etika yang tepat bagi bangsa Indonesia dalam masa pembangunan dan sesudahnya, dan dalam kehidupan nasional maupun internasional. Jika nama “Islam” tidak dapat diterima, saya tidak berpegang pada nama, akan tetapi yang perlu bagi kita adalah ajaran-ajaran itu sendiri.
Pada buku “Bibel, Qur’an dan Sains Modern” yang diterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, Rasjidi menulis prolog yang sangat menarik tertanggal 1 September 1978 sebagai berikut:
“Pada bulan Maret 1977 saya mendapat kesempatan untuk menghadiri konferensi internasional Islam Kristen di kota Kordoba di Spanyol. Bepergian saya tersebut sangat berfaedah, karena memberi gambaran kepada saya tentang masa gemilang umat Islam di negeri Spanyol. Masjid Kurtubah yang sudah berusia 12 abad (didirikan tahun 786) itu masih berdiri dengan megahnya, walaupun sudah tidak dipakai untuk sembahyang dan di dalamnya telah didirikan sebuah katedral. Setelah selesai konferensi, saya mengunjungi kota Paris untuk mengenang masa muda saya, ketika pada tahun 1956 saya mempertahankan tesis saya di Sarbonne. Pada suatu hari, saya mengunjungi Masjid Paris yang megah. Di tempat itu saya ketemukan buku yang berjudul La Bible, le Coran et la science. Segera saya membeli satu naskah. Buku itu saya baca sampai tamat. Buku tersebut telah menarik hati saya. Seorang ahli bedah berkebangsaan Perancis, yaitu Dr. Maurice Bucaille telah mengadakan studi perbandingan mengenai Bibel (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) dan Quran serta sains modern. Akhirnya ia mendapatkan kesimpulan bahwa dalam Bibel terdapat kesalahan-kesalahan ilmiah dan sejarah, karena Bibel telah ditulis oleh manusia dan mengalami perubahan-perubahan yang dimuat oleh manusia. Mengenai Al Quran ia berpendapat bahwa sangat mengherankan bahwa wahyu yang diturunkan 14 abad yang lampau, memuat soal-soal ilmiah yang baru diketahui manusia pada abad ke-20 atau abad ke-19 dan ke-18. Atas dasar itu Dr. Maurice Bucaille berkesimpulan bahwa Al Quran adalah wahyu Ilahi yang murni dan Nabi Muhammad adalah nabi terakhir.”
Rasjidi menambahkan, “Setelah membaca buku tersebut, saya merasa bahwa saya harus menyampaikan isi buku tersebut kepada bangsa Indonesia, yang selalu menunjukkan perhatiannya kepada agama. Maka saya terjemahkan buku tersebut, dengan harapan mudah-mudahan isinya dapat dimanfaatkan oleh mereka yang mencari kebenaran dan mencari pegangan hidup, khususnya para cendekiawan yang tidak sempat mempelajari Islam dari sumber-sumber yang memuaskan.”
Menurut K.H.E.Z. Muttaqien (1985) Rasjidi adalah seorang ilmuwan yang pendiam, tetapi kalau berbicara selalu berisi mutiara. Rasjidi berpulang ke Rahmatullah di Rumah Sakit Islam Jakarta pada 30 Januari 2001, dalam usia 86 tahun, dan dimakamkan di Kotagede, Yogyakarta.
Semoga generasi muda Islam bercermin dan mengambil hikmah dari pemikiran dan perjuangan salah satu putra terbaik bangsa Prof. Dr. H.M. Rasjidi.
Oleh : M. Fuad Nasar – Pemerhati Sejarah, Wakil Sekretaris BAZNAS
Sumber Pustaka:
Maurice Bucaille, Bible, Quran dan Sains Modern, alih bahasa H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, cetakan ke-13, Oktober 2000).
Nasar, M. Fuad, Transformasi Dari Kantoor Voor Inlandsche Zaken Ke Kementerian dan Departamen Agama, (Jakarta: Universitas Indonesia – UI Press, 2007).
Panitia Penulisan Buku 70 Tahun Prof. Dr. H.M.Rasjidi, 70 Tahun Prof.Dr.H.M.Rasjidi (Jakarta: Harian Umum Pelita, 1985).
Rasjidi, H.M. Amanat Tuhan Belum Diterapkan Dalam Masyarakat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980).
Rasjidi, H.M. Kasus RUU Perkawinan Dalam Hubungan Islam dan Kristen, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974).
Syamsuddin, Muh, Prof. Dr. H.M. Rasjidi Perjuangan dan Pemikirannya, (Yogyakarta: Aziziah, 2004).