Tinjauan Ringkas atas Buku Orang-orang Besar dalam Islam:
K.H. A. Dahlan
Bermula dari Penelusuran Karya
Dibandingkan dengan karya monumental Tafsir Al Azhar, Tasawuf Modern, Di Bawah Lindungan Ka’bah, ataupun Sejarah umat Islam, tulisan Buya Hamka yang secara khusus membahas mengenai biografi K.H. Ahmad Dahlan sang pendiri organisasi Muhammadiyah, dapat dikatakan kurang dikenal publik tanah air. Penulis sendiri pertama kali mengenal keberadaan karya ini saat menghadiri webinar antarabangsa pemikiran Buya Hamka yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Buya Hamka, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, PPFPM (Persatuan Pendidikan Falsafah dan Pemikiran Malaysia), dan Jejak Tarbiyah Malaysia pada 22 Oktober 2022 lalu.
Webinar tersebut juga sempat menghadirkan James Rush sebagai pembicara utama. Rush adalah seorang “orientalis” AS -sebagaimana pengakuannya sendiri- yang memiliki perhatian terhadap pemikiran Buya Hamka. Saat itu penulis mendapat infromasi mengenai karya tersebut dari salah seorang pembicara bernama Izza Rohman yang merupakan akademisi dari Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka.
Sebagai seorang tokoh Muhammadiyah, Buya Hamka dalam sejumlah tulisannya seperti Ajahku (1950) juga tidak luput membicarakan mengenai organisasi Islam modern terbesar di Indonesia tersebut. Buya Hamka juga tercatat menulis buku khusus terkait dengan perkembangan Muhammadiyah di wilayah Minangkabau yang kemudian ia beri judul Muhammadiyah di Minangkabau yang diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam (Panji Masyakarat) Jakarta pada tahun 1974. Ternyata Buya Hamka juga memiliki perhatian khusus terhadap sang pendiri organisasi tersebut yakni K.H. Ahmad Dahlan yang ia tulisakan dalam karya yang berjudul: Orang-orang Besar dalam Islam: K.H. A. Dahlan (1952).
Karya ini sendiri merupakan bagian dari serial orang-orang besar yang berisikan biografi dari para tokoh-tokoh Islam baik yang berasal dari Indonesia maupun mancanegara. Serial Orang-Orang Besar dalam Islam sendiri adalah proyek yang dirintis oleh H. Aboebakar[2] yang berupaya membuat satu Encyclopaedi Islam Indonesia yang berisikan sejarah orang-orang besar dalam peradaban Islam. H. Aboebakar merasa bahwa masih banyak generasi muda Islam di tanah air yang tidak mengenal tokoh-tokoh Islam baik dari Indonesia ataupun dari mancanegara. Padahal dengan memahami jejak langkah tokoh-tokoh besar tersebut, generasi muda dapat mengambil banyak pelajaran darinya dan kemudian tergerak untuk mengikuti jejak-jejaknya dalam “mengubah sejarah”.
H. Aboebakar sendiri bercermin dari masyarakat Barat, di mana menurutnya dalam konteks masyarakat Barat telah disusun berbagai ensiklopedia dalam ukuran besar ataupun kecil yang memuat kisah orang-orang besar dari peradaban tersebut. Dengan cara itulah generasi muda mereka dapat dengan mudah mengenal sejarahnya sendiri dan kemudian diharapkan “tergugah” untuk meneladan berbagai aspek positif dari tokoh-tokoh tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Tercatat dalam proyek Encyclopaedi Islam Indonesia yang diinisiasi oleh H. Aboebakar tersebut telah dihasilkan sejumlah karya selain dari biografi K.H.A. Dahlan yang ditulis Buya Hamka. Karya-karya biografi lain di antaranya adalah biografi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Imam Al-Asy’ari, Sayyid Jamaluddin Al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh, Imam Al-Ghazali, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Imam As-Syaukani, Amir Muhammad Ali, Salahuddin Al-Ayyubi, Pangeran Diponegoro, K.H. Hasyim Asy’ari, dan Dr. H. Abdul Karim Amrullah.
Dari nama-nama besar tersebut, kita bisa memaknai bahwa sosok Ahmad Dahlan di mata H. Aboebakar memiliki kedudukan yang tinggi dan dianggap “sama pentingnya” dengan tokoh-tokoh besar lainnya sehingga ia merasa bahwa perlu sekiranya untuk menuliskan biografinya secara khusus. Kita juga bisa menafsirkan bahwa di mata H. Aboebakar, Buya Hamka adalah sosok yang otoritatif dalam menulis biografi mengenai K.H. Ahmad Dahlan sehingga ia meminta Buya Hamka untuk menuliskan karya biografi tersebut.
Cara Buya Hamka Mengenalkan Kiai Dahlan
Satu hal menarik dapat kita temukan ketika melihat bagaimana Buya Hamka memulai kisah tentang Kiai Dahlan. Ia tidak memulai dengan mengisahkan tentang kapan Kiai Dahlan lahir, siapa orang tuanya, atau bagaimana kisah masa kecilnya -tidak ada sama sekali penjelasan tentang itu dari awal hingga akhir karya tersebut-. Buya Hamka membuka kisahnya mengenai sosok Kiai Dahlan dengan berkisah: “Bukan sadja di Indonesia, bahkan diseluruh dunia Islam pada permulaan abad ke IX timbul kesadaran baru, terutama sejak balatentara Perantjis di bawah Napoleon ke Mesir dan kebangunan Muhammad bin Abdul Wahhab di Nejd, adalah pangkal dari tarich yang baru, tarich kesadraan dan kebangkitan, dimulai sedjak dari Mesir, Syria, Turki, dan India” (Hamka, 1952: 6).
Melalui narasi tersebut kita bisa pahami bahwa berbeda dengan aneka penulis biografi Kiai Dahlan lainnya (khususnya di masa kini) yang lebih melihat Kiai Dahlan sebagai satu sosok yang “personal” dan cenderung “terpisah” dari fenomena sejarah yang lebih besar darinya, Buya Hamka sejak awal melihat sosok Kiai Dahlan dalam sebuah cerita yang lebih besar tentang kebangkitan dunia Islam yang bermula sejak awal abad 19. Dengan kata lain Kiai Dahlan -di mata Buya Hamka- adalah bagian dari kisah besar tentang kebangkitan kesadaran ummah secara global tersebut yang dalam perkembangannya meluas ke berbagai wilayah dunia Islam termasuk Indonesia. Melalui kerangka narasi semacam ini, sejak awal pembaca diarahkan oleh Buya Hamka untuk memahami Kiai Dahlan tidak hanya sebagai sosok besar bagi organisasi Muhammadiyah semata atau bagi umat Islam di Indonesia saja melainkan ia juga merupakan sosok besar dalam konteks sejarah dunia ataupun juga sejarah umat Islam secara global.
Jika kita merujuk pada pandangan James Rush, sebagaimana tercermin dalam karya monumentalnya Adicerita Hamka Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern (2017), ia berkesimpulan bahwa Buya Hamka bukan seorang yang melihat fenomena secara “terpotong-potong” (Rush, 2017: xvii). Apa yang ia lakukan adalah membangun sebuah “great story” (adicerita) (Rush, 2017: xvii). Dalam konteks penulisan biografi Kiai Dahlan penulis merasa bahwa apa yang dikatakan oleh Rush ini tergambar jelas dalam karyanya. Buya Hamka berupaya menautkan kisah Kiai Dahlan dengan kisah besar kebangkitan umat Islam di mana Kiai Dahlan adalah bagian dari kesadaran baru dan juga bagian penting dari gerak baru ummah dalam upaya pembebasannya dari berbagai keterbelakangan yang mereka alami dalam jangka waktu yang lama.
Satu hal yang menarik ketika Buya Hamka mencoba menukil pernyataan dari Kiai Dahlan yang kira-kira mengafirmasi penafsirannya tersebut: “Dalam soal pembaharuan K.H.A. Dahlan menjatakan: “Kita tidak boleh memungkiri adanja gerak alam. Gerak itu adalah gerak menudju kemajuan. Kemadjuan itu ialah menudju keselamatan dunia” (Hamka, 1952: 20). Dengan kata lain di mata Buya Hamka, Kiai Dahlan secara terbuka menyatakan apa yang diusahakannya adalah upaya menyesuaikan ritme kehidupannya dengan gerak alam (gerak sejarah) yang lebih besar, suatu gerak alam yang dipandangnya menuju suatu pembaharuan yang positif.
Dengan turut serta dalam gerak alam tersebut, sekiranya mimpi besar akan masa depan umat Islam yang gemilang dapat dijamin. Dari nukilan tersebut, kita juga dapat menyimpulkan bahwa Buya Hamka merupakan sosok yang dapat menangkap filosofi dari pernyataan Kiai Dahlan tersebut dan mampu menuangkannya secara apik dalam bentuk narasi biografis yang sejalan dengan filosofi yang dihayati sang tokoh.
Gema Kesadaran Baru Umat Islam
Dengan meletakkan kesadaran baru umat Islam secara global yang mulai terbentuk sejak awal abad 19 sebagai narasi besar untuk membingkai kehidupan K.H. Ahmad Dahlan, maka Buya Hamka melanjutkan kisahnya dengan mencermati kristalisasi kesadaran baru tersebut. Menurut Buya Hamka, pada pertengahan abad 19 kristalisasi kesadaran tersebut tercermin dari munculnya tokoh besar Sayid Jamaluddin Al-Afghani. Mengenai Sayid Al-Afghani, Buya Hamka melukiskannya sebagai: “pengobar dan penjadar besar jang masjhur, bapa dari kesadaran politiek, sosial dan filsafat dalam dunia Islam itulah Sajid Djamaluddin al-Afghani, yang membawa risalah kebangunan keseluruh tanah yang bermenara” (Hamka, 1952: 6).
Sebagaimana keyakinan K.H. Ahmad Dahlan tentang gerak alam menuju kemajuan ummah, Buya Hamka juga meyakini bahwa kesadaran baru yang dimulai pada awal abad 19 tersebut terus membesar pengaruhnya di dunia Islam yang pada akhirnya mempengaruhi pula sosok Sayid Jamaluddin Al-Afghani. Di tangan sosok besar inilah jalannya sejarah menjadi lebih dinamis sebab ia memainkan peran besar dalam menggemakan kesadaran baru ini secara lebih intens di seantero “tanah yang bermenara” alias dunia Islam. Sebagai informasi, Menara dalam konteks ini bisa dimaknai sebagai Menara masjid, penanda penting dari dunia Islam yang membedakannya dengan dunia Barat atau peradaban lainnya.
Gema dari kesadaran baru yang diperjuangkan oleh Sayid Jamaluddin Al-Afghani kemudian diperkuat oleh murid utamanya yang berasal dari Mesir yakni Syaikh Muhammad Abduh. Sebagaimana Sayid Al-Afghani, Buya Hamka melukiskan sosok Syaikh Abduh sebagai seorang yang “meneruskan tjita-tjita gurunya, hendak mengembalikan kembali roh Islam dan mengembalikan adjaran tauhid” (Hamka, 1952: 6). Sosok Muhammad Abduh sendiri mampu menggugah kesadaran seorang murid terkenalnya Syaikh Muhammad Rasyid Ridha untuk turut serta dalam menggemakan kesadaran baru tersebut melalui media majalah Al-Manar. Satu majalah yang menurut Buya Hamka memiliki kontribusi penting dalam membantu menyebarluaskan kesadaran baru ini ke dunia Islam secara lebih luas dan intens, termasuk dalam hal ini ke wilayah Asia Tenggara yang di dalamnya terdapat Indonesia.
Bisa dikatakan “tiga serangkai” Sayid Al Afghani, Syaikh Abduh, dan Syaikh Ridha ini memainkan peran sental dalam menyebarkan pembaharuan dalam dunia Islam secara lebih intens dengan berbagai aktivitas sosial politik kultural mereka. Tercatat kesadaran baru ini menguat -salah satunya- di wilayah Turki (jantung Ottoman), Subkontinen India, dan Asia Tenggara. Buya Hamka menyebut di Turki pemikir-pemikir seperti Abdul Hamid terinspirasi ide pembaharuan tersebut. Begitu pula di subkontinen India ada nama-nama seperti Syed Ameer Ali yang melahirkan karya monumental The Spirit of Islam -di Indonesia buku ini diterjemahkan dengan judul Api Islam dan memiliki pengaruh kuat pada tokoh nasional seperti Soekarno. Bahkan tercatat kalangan Nahdlatul Ulama pernah menerbitkan majalah dengan nama Api Islam yang juga merujuk pada karya Amer Ali tersebut-.
Dipicu oleh karya Syed Ameer Ali, sejumlah pemikir dan aktivis semisal Dr. Ansari, Maulana Muhammad Ali, Syaukat Ali, hingga Muhammad Iqbal dan Maulana Abdul Kalam Azad menjadi bagian dari kesadaran baru di Subkontinen India. Pada gilirannya nama-nama besar tersebut memainkan sejarah masyarakat Muslim di wilayah tersebut termasuk dalam bidang politik misalnya turut “membidani” lahirnya negara Pakistan. Nama Muhammad Iqbal bahkan juga kuat pengaruhnya bagi para intelektual Muslim di Indonesia seiring dengan penerjemahan karya-karyanya dalam bahasa Indonesia yang salah satunya dimotori oleh Bahrum Rangkuti.
Selain wilayah Subkontinen India yang mengalami transformasi besar pasca masuknya kesadaran baru ummatic (komunitarian-peny.) tersebut, dapat dikatakan wilayah Asia Tenggara juga mengalami transformasi yang signifikan sejak masuknya paham pembaharuan ke wilayah tersebut yang salah satunya tercatat masuk melalui Singapura yang merupakan lalu lintas perdagangan dunia.
Di Singapura majalah Al-Manar tidak hanya merangsang kesadaran baru di tengah umat Islam Singapura sebagaimana tercermin dari sosok Sayid Muhammad bin Agil, Muhammad Alkalali dan Taher Jalaluddin yang menjadi tokoh penting dalam gerakan pembaharuan di Singapura. Ketiga tokoh tersebut terinspirasi dari majalah Al-Manar untuk membuat majalah serupa dalam bahasa Melayu yang dinamai Al-Imam. Alasannya karena masyarakat di Asia Tenggara (khususnya Melayu) lebih familier dengan bahasa Melayu dibandingkan dengan bahasa Arab.
Penekanan Buya Hamka soal majalah Al-Imam ini menarik untuk disimak. Sebagaimana ditegaskan di awal bahwasanya bingkai besar dari biografi K.H. Ahmad Dahlan ini adalah sebuah kesadaran baru ummah. Kesadaran inilah yang diartikulasikan dan disebarluaskan lewat berbagai medium salah satunya adalah majalah Al-Manar. Al-Manar menggerakkan pembaharuan kreativitas di wilayah Asia Tenggara untuk membuat majalah serupa yang “kontekstual” untuk masyarakat Melayu yakni Al-Imam.
Al-Imam inilah yang pada gilirannya juga menginspirasi kalangan Muslim di wilayah Indonesia (khususnya Sumatra Barat pada saat itu) untuk juga membuat media serupa bernama Al-Munir. Al-Munir sendiri digawangi oleh H. Abdullah Ahmad, H. Abdul Karim Amrullah, dan H. Muhammad Thaib Tandjung Sungajang. Para pembaharu di tanah Minang yang juga digerakkan oleh kesadaran ummatic yang sama dengan rekan-rekannya di Singapura, Mesir, dan juga subkontinen India.
Majalah Al-Munir ini menjadi penting di mata Buya Hamka karena melalui Al-Munir-lah, Ahmad Dahlan banyak mendapatkan inspirasi-inspirasi penting terkait dengan ide pembaharuan. Bahkan sebagaimana dinyatakan oleh Buya Hamka bahwa: “di dalam tahun 1916 datanglah Sjech Abdul Karim Amrullah melawat ketanah Djawa, bertemu dengan Tjokroaminoto di Surabaja dan menjelidiki politiek. Sesudah itu beliau melawat ke Djokjakarta, mendjadi tetamu dari pada K.H.A. Dahlan meminta izin hendak menjalin karangan-karangan beliau didalam “Al-Munir” ke dalam bahasa Djawa, supaya dapat dikursuskannja kepada murid-muridnja jang baru 4 tahun beladjar” (Hamka, 1952: 9).
Kita bisa mencermati narasi Buya Hamka tersebut sebagai penjelas bahwa ada kesinambungan gagasan dari Al-Manar yang berbahasa Arab hingga versi Jawa-nya yaitu Al-Munir yang disebarluaskan oleh K.H. Ahmad Dahlan untuk masyarakat Jawa. Layaknya mata rantai yang tidak terputus kesadaran ini meskipun diartikulasikan dalam berbagai bahasa yang berbeda namun tetap merujuk pada satu kesadaran ummatic yang bermula pada awal abad 19. K.H. Ahmad Dahlan adalah bagian dari kesadaran besar tersebut dalam konteks wilayah Jawa secara khusus dan juga Indonesia secara umum.
Rangkaian Panjang Diskursus Pembaharuan
Dari pemaparan Buya Hamka tersebut kita bisa mencermati bahwa sosok K.H. Ahmad Dahlan dihadirkan dalam rangkaian panjang diskursus pembaharuan ala Al-Manar hingga Al-Munir. Namun bagi Buya Hamka itu bukanlah satu-satunya perjumpaan yang mempengaruhi diri dan pemikiran Kiai Dahlan. Ada berbagai perjumpaan yang juga memperkuat kesadaran pembaharuan pada dirnya sehingga akumulasi kesadaran itulah yang bermuara pada pendirian Muhamamdiyah. Satu organisasi besar yang tidak hanya mengurusi soal pers semata tetapi juga permasalahan sosial-keagamaan secara lebih luas.
Buya Hamka menjelaskan setidaknya ada dua hal yang krusial yakni perjumpaannya dengan Syaikh Ahmad Soorkati, pendiri Al-Irsyad, dan juga perjumpaannya dengan karya-karya tokoh besar pembaharu di tanah Arab semacam Tafsir Al-Manar karya Syaikh Muhammad Abduh. Dengan kata lain Kiai Dahlan memiliki sejarahnya sendiri dalam bergumul dengan ide pembaharuan sebelum perjumpaannya dengan majalah Al-Munir dan juga Syaikh Soorkati -walau dalam tulisannya Buya Hamka tidak menjelaskan bagaimana asal mula Kiai Dahlan dapat berkenalan dengan ide-ide Syaikh Abduh tersebut-. Namun dari tiga perjumpaan tersebut bisa dikatakan bahwa ide besar yang diperjuangkan itu sama yakni kesadaran akan perlunya pembaharuan kesadaran ummatic demi kebangkitan peradaban Islam.
Berbagai perjumpaan itu pada gilirannya justru saling menguatkan posisi Kiai Dahlan dalam menjalankan ide pembaharuannya di tanah Jawa melalui pendirian Muhammadiyah. Dapat dikatakan bahwa dukungan moril berupa teman seperjuangan amat penting bagi Kiai Dahlan terlebih sejak awal dakwahnya dapat dikatakan banyak pihak yang cenderung antipati terhadap beliau. Bahkan dalam salah satu fase kehidupan K.H. Ahmad Dahlan sikap penentangan itu misalnya diwujudkan dalam bentuk aksi fisik berupa penghancuran Langgar Kidul (Surau/ Mushalla) yang dipakai oleh Kiai Dahlan untuk mengajari para muridnya.
Namun yang menarik sebagaimana ditegaskan oleh Buya Hamka, Kiai Dahlan sendiri tidak menganggap bahwa serangan atas dakwah beliau sebagai suatu yang harus disesali, bahkan Kiai Dahlan berkata: “Apalah jang akan didengkikan oleh musuh-musuh Muhammadijah kepada Muhammadijah. Muhammadijah gandjil benar, mana jang kena tjubit terus mendjadi kulit dan mana jang kena piuh terus mendjadi daging” (Hamka, 1952: 17).
Buya Hamka sendiri mengafrimasi apa yang dinyatakan oleh Kiai Dahlan tersebut dengan menyatakan: “Tjatjian dan serangan itu pulalah jang menimbulkan pengikut-pengikut jang setia, jang mau hilang sama timbul dengan beliau, terutama dalam kalangan jang muda-muda” (Hamka, 1952: 10). Buya Hamka kemudian merinci sejumlah nama murid-murid setia Kiai Dahlan seperti K.H. Abdullah Siradj, Sosrosoegondo, K.H. Ibrahim, H. Muchtar, H. Hisyam, H. Sudja, H. Hadikusumo, H. Fachruddin, H. Hadjid, H. Abdul Aziz, dan Ahmad Hani.
Kembali kepada perjumpaan Kiai Dahlan dan Syaikh Ahmad Soorkati bisa dikatakan merupakan bagian istimewa dari karya biografis tersebut, sebab pada perjumpaan itulah nama K.H. Ahmad Dahlan barulah disebut setelah sebelumnya Buya Hamka panjang lebar memaparkan transmisi ide-ide pembaharuan di berbagai belahan dunia termasuk juga Kawasan Sumatra Barat sebelum akhirnya masuk membicarakan mengenai wilayah Jawa.
Buya Hamka sendiri menarasikan perjumpaan antara Kiai Dahlan dengan Syaikh Ahmad Soorkati sebagai perjumpaan yang tidak diduga dalam sebuah kereta: “Setelah beliau mengambil tempat duduk di dalam kereta api itu, tiba–tiba di hadapannja dilihatnja seorang bangsa Indonesia Djawa, memakai serban, wadjahnja tenang dan djernih, tepi matanja agak bukung karena bekas kurang tidur, djanggutnja dipelihara baik-baik, bersih dan sederhana sikapnja. Lebih tertjengang lagi ulama muda dari tanah Arab itu, demi dilihatnja Kijahi muda itu tengah membatja sebuah kitab tafsir, tafsir jang sekian lama menarik hatinja, tafsir jang amat ditjintainja, tafsir jg. membukakan baginja pembaharuan semangat dalam Islam, jaitu Tafsir Muhammad Abduh!” (Hamka, 1952: 7).
Buya Hamka berkisah bahwa Syaikh Soorkati, seorang pembaharu asal Arab yang bermukim di Indonesia, merupakan pribadi yang gelisah dengan kondisi sosial yang terjadi di wilayah Jawa. Alasannya karena ia melihat kalangan Arab saat itu (khususnya yang mengaku sayyid) berada dalam penindasan kalangan bangsa Jawa bersama dengan kekuatan kolonial Belanda. Namun saat itu ia merasa belum berdaya untuk melakukan perubahan dengan upaya penyadaran baik di kalangan Arab maupun bangsa Jawa itu sendiri. Namun dengan perjumpaannya dengan “orang asing” Jawa yang sama-sama memiliki ide pembaharuan (yakni Kiai Dahlan) baik Syaikh Soorkati maupun Kiai Dahlan mendapat semacam kekuatan baru untuk menjalankan misi penyadaran tersebut. Menurut Buya Hamka saat itu Syaikh Soorkati dan Kiai Dahlan berbagai tugas dimana Syaikh Soorkati secara khusus menyasar kalangan Arab sedangkan Kiai Dahlan menyasar masyarakat Jawa. Strategi pembagian peran itulah yang kemudian diwujudkan dalam bentuk Muhammadiyah dan Al-Irsyad.
I’tikad dan Kepercayaan Sebagai Asas Perbaikan
Satu hal menarik yang dikemukakan Buya Hamka ialah penyadaran yang dipahami oleh kedua tokoh besar tersebut bukan terbatas kepada bidang politik saja walau keduanya juga merasa bahwa itu penting. Namun itu sudah menjadi tugas dari Sarekat Islam sehingga keduanya merasa bahwa bagian poltik itu bukan menjadi perhatian utama mereka. Bahkan sebagaimana dinyatakan Buya Hamka: “meskipun politiek jang diurus, belumlah ada -artinja kalau itikad dan dasar kepertjajaan ummat belum diperbaiki. Maka berdjandjilah kedua orang sahabat itu akan bekerdja sama membangunkan kaum Muslimin kernbali, menjadarkan rasa iman dan memperdalam pendidikan, supaja dapat mentjapai maksud keislaman…” (Hamka, 1952: 9). Pandangan dua tokoh tersebut penting untuk direnungkan sebab menurut keduanya politik tanpa fondasi ilmu yang kokoh (pemahaman yang hakiki mengenai keislaman) maka tidaklah memadai bahkan bisa dibilang sangat rapuh.
Penekanan kedua tokoh tersebut kepada aqidah, tauhid, dan pengilmuan yang benar tentang Islam dan tidak semata-mata politik sejatinya sejalan dengan tesis akademisi Muslim kontemporer seperti Kuntowijoyo misalnya yang menyerukan ide Islam sebagai ilmu, dalam arti Islam mesti menjadi fondasi bagi produksi pengetahuan secara luas untuk kepentingan transformasi ummah. Begitu pula dengan tesis dari eksponen Islamisasi Ilmu Kontemporer yang digagas S.M.N. Al Attas kemudian diikuti Ismail R. Al-Faruqi dengan Islamisasi Pengetahuan-nya yang melihat problem kesadaran di tengah umat itu berkait erat dengan problem ilmu dan tidak semata dengan kesadaran soal politik (dalam arti sempit) yang sekiranya juga dekat dengan pandangan Syaikh Soorkati dan juga Kiai Dahlan tersebut.
Lebih jauh dalam konteks ini argumen Kuntowijoyo yang membedakan antara kesadaran ideologis yang diwakili oleh Sarekat Islam dan kesadaran ilmu yang diwakili oleh Muhammadiyah mendapatkan justifikasi kuat dari penjelasan Buya Hamka tersebut. Walau perlu juga dipahami bukan maknanya politik kemudian “ditabukan” tetapi bagaimana politik mesti didasari oleh ilmu. Maka tidak mengherankan, menurut Buya Hamka, Muhammadiyah juga menjalin kerjasama intens dengan Sarekat Islam bahkan K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Mas Mansur diangkat sebagai penasehat dari Centraal Sarekat Islam. Sebaliknya Sarekat Islam juga berupaya membantu membangun organisasi Muhammadiyah lewat sejumlah tokohnya semacam H.O.S. Tjokroaminoto, Abdulmuis, dan H. Agus Salim. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Sarekat Islam yang lebih dahulu berdiri sebelum Muhammadiyah punya pengalaman lebih dalam membangun dan mengembangkan organisasi modern. Muhammadiyah banyak belajar dari organisasi Sarekat Islam tersebut dalam mengembangkan organisasinya.
Titik Balik Hadirnya Gerakan Pembaharuan di Jawa
Hal penting lainnya yang juga dapat ditarik dari penekanan Buya Hamka soal perjumpaan antara Syaikh Soorkati dan Kiai Dahlan sebagai titik tolak dari pembicaraan Buya Hamka soal Kiai Dahlan ialah kita mesti melihat bahwa pertemuan tersebut merupakan titik balik dari hadirnya gerakan pembaharuan di wilayah Jawa. Sebelum bertemu dengan Kiai Dahlan, Syaikh Soorkati sudah dipengaruhi kuat oleh ide-ide pembaharuan dan berupaya menyebarkan kepada sejumlah murid setianya. Situasi yang tidak jauh berbeda juga dialami Kiai Dahlan yang juga berupaya menyebarkan dakwah pembaharuan kepada kalangan muridnya.
Perubahan fundamental dapat dikatakan bermula dari adanya pertemuan tersebut di mana keduanya semakin yakin untuk melakukan perubahan kesadaran masyarakat di pulau Jawa. Bedanya ialah keduanya bersepakat Syaikh Soorkati lebih berfokus pada masyarakat Arab di pulau Jawa sedangkan Kiai Dahlan akan berfokus pada kalangan Jawa secara umum. Dengan kata lain pertemuan ini menjadi penanda bangkitnya kesadaran baru ummatic di tanah Jawa. Kesadaran baru inilah yang bagi Buya Hamka membentuk person baru juga yakni K.H. Ahmad Dahlan dan Syaikh Ahmad Soorkati yang kini telah menjelma menjadi sosok besar, sosok yang memimpikan perubahan fundamental bagi masyarakat Muslim di Indonesia. Bisa dikatakan bagi Buya Hamka di sinilah “kelahiran sesunggunya” seorang K.H. Ahmad Dahlan tanpa menampik sejarah kehidupannya sebelum membangun “aliansi” tersebut.
Perjumpaan dan Aliansi Sebagai Batu Loncatan
Cara pandang yang khas dengan melihat “kelahiran” Kiai Dahlan bersamaan dengan tekad besarnya -bersama Syaikh Soorkati- untuk mengubah masyarakat nampaknya tidak dapat dilepaskan dari pandangan Buya Hamka secara lebih luas dalam melihat bangkitnya kesadaran baru Ummatic yang dimulai pada awal abad 19 yang menurutnya bermuara pada dua fenomena yakni Kedatangan Napoleon ke Mesir dan Gerakan Wahhabi di semenanjung Arabia. Dalam konteks memahami gerakan Wahhabisme, Buya Hamka juga menarasikan adanya momen krusial dari dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan terjadinya aliansi antara dirinya dengan Ibnu Saud (yang disebut pula oleh Buya Hamka sebagai Saud al-Kabir).
Bagi Buya Hamka poin penting dari aliansi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Saud ialah paham pembaharuan mendapatkan momentumnya ketika mendapat sokongan dari kekuasaan. Kekuasaan dalam konteks ini tidak dipahami secara peyoratif tetapi sebagai kekuatan organisatorial dan juga disiplin kuat yang menyebabkan pembaharuan yang didakwahkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dapat menyebar dalam tempo yang singkat. Hal ini berbeda misalnya dengan fase sebelumnya dari dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab yang cenderung “dipersekusi” oleh berbagai kekuatan yang ada di wilayah tersebut.
Bisa dikatakan Buya Hamka mencoba menarik benang merah antara sejarah hidup Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan sejarah hidup Kiai Dahlan di mana momen aliansi menjadi tonggak bagi tersebarnya kesadaran baru di wilayah Arabia dan juga wilayah Jawa. Bedanya aliansi dalam kasus Kiai Dahlan dilakukan bersama sesama pendakwah yakni Syaikh Ahmad Soorkati. Namun yang paling penting ialah dengan terjadinya aliansi tersebut memberi jalan bagi kesatuan antara dakwah dan kekuatan. Kekuatan dalam konteks Kiai Dahlan adalah lahirnya Muhammadiyah yang menyokong upaya pembaharuan yang dilakukan oleh Kiai Dahlan secara lebih sistematis dibandingkan ketika ia “seorang diri” mengajar muridnya di berbagai tempat.
Tidak mengherankan ketika Buya Hamka menjadikan perjumpaan dan “aliansi” antara Syaikh Soorkati dan Kiai Dahlan sebagai momem penting dari kelahiran Muhamamdiyah namun pada saat yang bersamaan juga momen “kelahiran” Kiai Dahlan sebagai sosok baru. Sosok yang membidani dan mengembangkan Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Buya Hamka memberikan penekanan khusus pada perkembangan Muhammadiyah di tangan Kiai Dahlan. Menurutnya Kiai Dahlan mengambil strategi pematangan Muhammadiyah di wilayah Yogyakarta terlebih dahulu selama 8 tahun (1912-1920).
Setelah merasa cukup kuat, maka tanpa ragu Kiai Dahlan mengambil strategi berikutnya yakni meluaskan jangkauan Muhammadiyah ke berbagai wilayah pulau Jawa yang lain. Mulai dari Solo, Surabaya, Maidun, Garut, dan akhirnya Jakarta. Ketika Muhammadiyah telah melebarkan sayapnya ke berbagai wilayah, pada tahun 1921 Muhammadiyah mengajukan permohonan pada pemerintah kolonial untuk mengakui perkumpulan Muhammadiyah sebagai organisasi yang tidak hanya bergerak di Yogyakarta saja tetapi di seluruh Jawa.
Pemerintah Kolonial sendiri tidak dapat mencegah perluasan laju organisasi Muhammadiyah. Namun mereka berupaya untuk meneliti gerakan tersebut secara lebih saksama. Maka tidak mengherankan jika penasihat (adviseur) Belanda yang tadinya beragama Islam yakni Said Usman Betawi digantikan dengan orang Belanda asli semacam Dr. Hazeu, Van Ronkel, dan Schrieke. Bahkan pemuka zending terkenal bernama Samuel Zwemmer sampai bertandang ke Jawa dan menemui Kiai Dahlan secara langsung untuk menyelidiki seputar gerakan pembaharuan yang diinisiasinya.
Meskipun pemerintah kolonial mencoba mengawasi gerak gerik Muhammadiyah, namun di tangan Kiai Dahlan organisasi itu terus membesar. Tercatat pada tahun 1922 Kiai Dahlan mendirikan Aisyiyah, Hizbul Wathan, dan cabang-cabang Muhammadiyah di berbagai wilayah lain. Walaupun kerja keras Kiai Dahlan tersebut juga berdampak negatif bagi kesehatannya sendiri yang semakin menurun. Namun di tengah sakitnya tersebut ia tetap melanjutkan pekerjaanya meskipun berulangkali dicegah oleh murid-murid dan juga istrinya.
Kiai Dahlan yang “Sudah Selesai” dengan Dirinya Sendiri
Buya Hamka sendiri sempat mencatat ucapan Kiai Dahlan kepada istrinya soal mengapa ia begitu aktif membesarkan Muhammadiyah hingga mengorbankan dirinya sendiri. Kiai Dahlan berkata: “Saja mesti bekerdja keras, demikian katanja untuk meletakkan batu jang pertama dari pada amal jang besar ini. Kalau saja lambatkan dan saja hentikan katena sakitku ini, tidak ada orang jang akan sanggup meletakkan dasar itu. Saja sudah merasa bahwa umur saja tidak akan lama lagi. Maka djika saja kerdjakan lekas jang tinggal sedikit ini, mudahlah jang datang kemudian menjempurnakannja” (Hamka, 1952: 17).
Dari ucapannya tersebut dapat dipahami bahwa kesadaran ummatic telah melekat padanya sehingga ia tidak lagi berfikir tentang dirinya tetapi masa depan umat Islam di Indonesia. Pernyataan tersebut sekaligus menegaskan bahwa Kiai Dahlan adalah seorang yang memegang teguh komitmen yang dibuatnya bersama dengan Syaikh Soorkati bahwa tugas dari keduanya yang mesti ditunaikan ialah berupaya sekuat tenaga mengubah kesadaran masyarakat di wilayah Jawa menuju keyakinan Islam yang murni.
Melalui pernyataan Kiai Dahlan tersebut kita juga bisa berefleksi bahwa Muhammadiyah yang dibangun di era Kiai Dahlan adalah sebuah “rintisan” dan bukan satu “bentuk akhir”. Kiai Dahlan sendiri mengharapkan murid-muridnya akan meneruskan jejak perjuangannya dalam membesarkan organisasi tersebut. Maka tidak mengherankan setelah wafatnya Kiai Dahlan para murid setianya bukan membuat Muhammadiyah sebagai organisasi yang statis tetapi justru dinamis misal dengan didirikannya Majelis Tarjih di masa kepemimpinan K.H. Mas Mansur.
Generasi yang Melanjutkan Visi Sang Kiai
Perlu dipahami bahwa dinamisasi Muhammadiyah ini bukan maknanya dinamisasi tanpa arah yang jelas. Kita bisa menyimak penjelasan Buya Hamka tentang tiga visi pendirian Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan setelah mendiagnosis adanya tiga problem besar keumatan di Indonesia. Pertama, ialah problem kesadaran akibat ditinggalkannya asas dari agama Islam yakni Quran dan Sunnah yang shahih sehingga menyebabkan kemunduran dalam berbagai bidang, termasuk dalam hal ini ialah munculnya sikap takhayul -seringkali diistilahkan TBC/takhayul, bid’ah dan churafat– dan juga fanatik buta yang akut di tengah umat. Kedua, problem kesadaran berupa “tumpulnya” kepekaan sosial khususnya diidap oleh golongan kaya dan juga para pemimpin di tengah umat yang menyebabkan taraf hidup umat cenderung memprihatinkan. Ketiga, problem kemunduran sistem pendidikan Islam yang menyebabkannya tidak mampu menjawab tantangan zaman.
Menghadapi tantangan tersebut maka Kiai Dahlan, menurut Buya Hamka, merumuskan tiga visi besar Muhammadiyah yakni: pertama, bahwa Muhammadiyah berupaya kembali kepada Quran dan Sunah yang shahih sebagai solusi dari berbagai problematika umat. Kedua, Muhammadiyah melakukan berbagai aktivitas amal seperti mendirikan rumah sakit, rumah yakim piatu, rumah miskin, dan sebagainya dengan harapan untuk membangun kesadaran baru di tengah umat -khususnya di kalangan kaum berpunya dan juga para pemimpin- akan pentingnya untuk meningkatkan taraf hidup umat. Ketiga, pembaharuan pendidikan Islam agar masyarakat dapat menyerap esensi dari ajaran Islam secara mudah. Maka dalam upaya ini Muhammadiyah tidak hanya mengembangkan sistem pendidikan modern tetapi juga menyebarkan ilmu lewat sarana-sarana seperti buku dan majalah.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa dinamisasi yang dilakukan oleh para murid-murid Kiai Dahlan tidak lain adalah upaya aktualisasi visi besar tersebut. Sehingga dinamisasi Muhammadiyah bukan dilakukan sebagai gerak tanpa arah tetapi mesti mengacu pada tiga visi besar tersebut. Buya Hamka sendiri menukilkan pandangan dari K.H. Hadikusumo dan juga M.J. Anies sebaagi generasi penerus Kiai Dahlan yang menyadari cita-cita besar Muhammadiyah tersebut yakni: “menunaikan kewadiiban me’amalkan perintah-perintah Allah dan mengikuti sunnah Rasul-Nja, Nabi Muhammad s.a.w., guna mendapatkan karunia dan ridla-Nja di Dunia dan Achirat, dan untuk mentjapai masjarakat jg sentosa dan bahagia, disertai ni’mat dan rahmat Allah jang melimpah-limpah” (Hamka, 1952: 24).
‘Ibrah dari Sejarah sebagai Penunjuk Arah
Sebagai penutup, kita bisa menyatakan bahwa Buya Hamka melalui karya biografi mengenai Kiai Dahlan mampu memotret sosok besar tersebut dalam kacamata yang khas yakni dengan melihatnya sebagai bagian dari adicerita yang lebih besar tentang kebangkitan dunia Islam yang dimulai sejak awal abad 19. Ahmad Dahlan adalah bagian dari arus besar kesadaran baru yang bergema di seantero dunia Islam dan telah melahirkan transformasi sejarah di berbagai wilayah dunia Islam. Melalui karya Buya Hamka kita diajak untuk memahami bahwa Kiai Dahlan adalah seorang yang berfikir ummatic sehingga momen ketika kristalisasi kesadaran ummatic tersebut tercermin dalam fenomena perjumpaan Syaikh Ahmad Soorkati dan K.H. Ahmad Dahlan maka pada momen itulah Buya Hamka memulai untuk menceritakan kisah sang tokoh besar tersebut yang telah “dilahirkan kembali” dalam kesadaran baru untuk memajukan umat di Indonesia.
Bagi Buya Hamka kepergian K.H. Ahmad Dahlan pada 1923 tidaklah menjadi akhir dari sejarah tokoh besar tersebut. Bahkan tahun 1923 adalah awal dari sejarah sang tokoh yang dengan kesadaran barunya berhasil meletakkan batu fondasi bagi berdirinya gerakan Muhammadiyah yang dalam perjalanannya memainkan peran penting dalam berbagai tahap kesejarahan umat Islam di Indonesia. Sebagaimana dimimpikan oleh H. Aboebakar bahwasanya penulisan biografi tokoh-tokoh besar tersebut dengan maksud agar generasi muda dapat mengenal dan mengambil inspirasi dari para tokoh besar tersebut. Maka tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa Buya Hamka telah menyajikan satu kisah kehidupan K.H. Ahmad Dahlan yang memikat dan terus relevan untuk dibaca oleh generasi muda Muslim di Indonesia hingga kini.
Oleh: Nuruddin Al Akbar[1]
Referensi
Buya Hamka. (1952). Orang-Orang Besar Islam: K.H.A Dahlan. Djakarta: Sinar Pudjangga.
Rush, J. R. (2017). Adicerita Buya Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
[1] Peserta Webinar Antarabangsa Pemikiran Buya Hamka.
[2] Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh (1909-1979), seorang ulama besar dari Aceh yang oleh kawan-kawannya dijuluki “Ensikoledia Berjalan” karena kedalaman dan keluasan ilmunya. Nama sebenarnya hanya Aboebakar, namun karena Bung Karno sangat kagum terhadap putra Aceh tersebut hingga menyematkan asal daerah di bekalang namanya. Catatan dari penyunting.