“Beberapa hari saya menjalani masa tahanan, tanpa diketahui, tiba-tiba ada keributan, kericuhan yang luar biasa, saat itu ada gempa, banyak bangunan hancur lebur. Masjid kaum (Masjid Agung Sumedang) di sebelah barat, hancur lebur, gedung bioskop juga hancur sebagian bangunannya jatuh ke sungai, banyak rumah pada hancur, diamuk gempa”
Sumedang menjadi pusat gempa bumi pada Minggu 31 Desember 2023. Wilayah ini telah berguncang selama 6 kali dan telah menyebabkan sejumlah bangunan mengalami kerusakan parah. Gempa terus berlanjut hingga hari Selasa 2 Januari 2024.
Gempa yang terjadi pada penghujung 2023 ini menyimpan tanda tanya bagi sebagian besar masyarakat Sumedang. Pasalnya, selama ini Sumedang dikenal sebagai wilayah yang aman dari potensi gempa bumi.
Tak banyak yang tahu, bahwa sesungguhnya 68 tahun silam Sumedang pernah menjadi pusat (baca: episentrum) gempa. Bagaimana gempa melanda Sumedang saat itu? Sebesar apa kerugian yang ditanggung Sumedang akibat gempa tersebut?
Viral
Gempa besar pernah melanda Sumedang pada Minggu 14 Agustus 1955. Ketika masyarakat Sumedang tengah menikmati libur akhir pekan, gempa berskala besar tiba-tiba mengguncang wilayah ini pada pukul 10.23 WIB.
Gempa yang melanda Sumedang pada pertengahan 1955 itu terbilang sangat besar dan layak disebut sebagai bencana nasional. Saking besarnya, gempa ini viral sehingga menarik banyak perhatian media massa, termasuk koran milik orang-orang Belanda.
Koran Tubantia melaporkan gempa Sumedang pada Senin 15 Agustus 1955. Sedangkan, koran Het Nieuwsblad, Algemeen Dagblad, Het Vrije Volk, dan AID de Preangerbode mengabarkan gempa ini secara serentak pada Selasa 16 Agustus 1955.
Tidak ada korban jiwa akibat gempa. Akan tetapi, koran Het Vrije Volk yang terbit pada Selasa 16 Agustus 1955 menyebutkan, 38 bangunan ambruk termasuk di antaranya kantor bupati dan kantor telepon. Sedangkan, ratusan bangunan lainnya mengalami kerusakan parah. Kantor militer dan Masjid Agung Sumedang rusak parah. Bahkan, atap bioskop Sumedang juga dikabarkan runtuh akibat goncangan gempa ini.
Sementara itu, koran AID de Preangerbode pada 16 Agustus 1955 melaporkan secara cukup rinci ihwal jumlah bangunan yang rusak. Kerusakan bangunan umumnya terjadi pada daerah padat pemukiman. Dilaporkan 130 rumah rusak di Sumedang Selatan, 90 di Sumedang Utara, 28 di Cimalaka, dan 12 di Tanjungkerta.
Ekspresi Masyarakat
Ekspresi masyarakat Sumedang menghadapi gempa tergambarkan melalui koran Indische Courant yang terbit pada 24 Agustus 1955. Koran tersebut mengabarkan bahwa sebagian masyarakat Sumedang meyakini gempa disebabkan oleh perkara mistis atau takhayul.
Selain itu, sebagian masyarakat Sumedang juga mengaitkan penyebab gempa dengan krisis politik. Perlu diketahui, pada dekade 1950-an, partai-partai politik di Indonesia seperti PNI, Masyumi, NU, dan PKI bersaing untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Pada saat itu, Indonesia sedang menyongsong pelaksanaan pemilu. Catatan mengenai gempa Sumedang pada 1955 terdokumentasikan dengan baik dalam sebuah memoar berbahasa Sunda, berjudul 60 Taun Ngabaladah Babakan Bagja karangan Uu Somawikarta, tokoh Persatuan Islam (Persis) Sumedang dan anggota Masyumi Conggeang.
Uu mengisahkan keadaan tatkala gempa sedang mengguncang Sumedang. Saat itu, dirinya tengah dijadikan sebagai tahanan politik di kantor Corps Polisi Militer (CPM) akibat difitnah sebagai komplotan DI/TII bersama anggota Masyumi lainnya. Uu memandang gempa saat itu sebagai balasan dari Allah kepada pemerintah yang memiliki sifat iri dengki.
“Sawatara dinten abdi na tahanan, teu kanyahoan deui, der aya kaributan, genjlong anu pohara, harita aya lini, seueur bangunan anu runtag ubrak abrik. Masjid kaum belah kidul rujad rebah, gedong bioskop deui, sabeulah ti kalerna, gubrag ka walungan, seueur oge bumi2 pada raruksak, diamuk ku sang lini. Batur abdi sakur nu dina tahanan ting gorowok ka lini, pokna hempek kadinyah teh, amuk bae, singrongkah bongan kami dinyeyeri, make ditahan, dipitnah, ku anu dengki.”
Terjemahan:
“Beberapa hari saya menjalani masa tahanan, tanpa diketahui, tiba-tiba ada keributan, kericuhan yang luar biasa, saat itu ada gempa, banyak bangunan hancur lebur. Masjid kaum (Masjid Agung Sumedang) di sebelah barat, hancur lebur, gedung bioskop juga hancur sebagian bangunannya jatuh ke sungai, banyak rumah pada hancur, diamuk gempa. Teman-teman saya saling berteriak, ricuh sekali pokoknya, menjadi balasan karena kami (Masyumi) disakiti, ditahan, difitnah, oleh yang mendengki (pemerintah).”
Uu menceritakan tindakan yang menurutnya tidak masuk akal Bupati Sumedang saat menghadapi gempa dalam catatannya sebagai berikut:
“Dua dinten lini teh teras-terasan, lucu Kangjeng Bupati, marentah peupeuncitan, bejana sapi cenah huluna kubur deuih, diparepehan beuki we hayang seuri.”
Terjemahan:
“Dua hari gempa terus menerus, lucunya Yang Mulia Bupati memerintahkan supaya menyembelih, sapi katanya, lalu kepalanya dikubur, dipenuhu, semakin saja ingin tertawa.”
Para ahli geologi dan umumnya masyarakat Sumedang saat itu menduga gempa disebabkan oleh aktivitas vulkanik Gunung Tampomas. Namun, dugaan tersebut tidak terbukti karena Gunung Tampomas rupanya telah lama berstatus sebagai gunung berapi yang tidak aktif. Sampai tulisan ini selesai, belum dijumpai pemberitaan tentang penyebab gempa di Sumedang pada 1955.
Beberapa koran mengabarkan kerugian akibat gempa ditaksir mencapai 10 juta rupiah. Untuk ukuran zaman itu, nominal uang sebesar itu amat fantastis. Hal demikian menjadi isyarat bahwa gempa tersebut sangat melumpuhkan keadaan Sumedang.
Tanggapan Para Pemimpin
Sejumlah pejabat memberikan tanggapan atas bencana alam yang menimpa Sumedang. Dalam koran AID De Preangerbode pada 16 Agustus 1955, Bupati Sumedang yang saat itu dijabat oleh Soelaeman Soewitakoesoemah mengungkapkan rasa prihatin atas bencana yang melanda wilayahnya.
Tatkala diminta untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman, Soelaeman menuturkan bahwa pilihan tersebut bukanlah tindakan yang terhormat. Ia memilih tetap bekerja melayani masyarakat di kantor bupati. Menurutnya, rakyat pasti akan mencarinya ke tempat itu.
Para pejabat Jawa Barat tak luput, ikut turun ke Sumedang. Gubernur Jawa Barat yaitu Ipik Gandamana dan sekretarisnya bernama Lekatompessy bersama pejabat lainnya datang ke Sumedang, menyaksikan secara langsung dampak gempa dan penderitaan rakyat Sumedang.
Presiden Sukarno tercatat ikut menaruh perhatian terhadap bencana gempa di Sumedang. Kabar ini dimuat dalam koran Indische Courant pada 21 November 1955. Dikabarkan bahwa setelah melaksanakan kunjungan dari Cirebon, Sukarno menyempatkan diri untuk berpidato di depan rakyat Sumedang. Ia mendengar keluhan masyarakat perihal gempa. Sukarno menghimbau kepada rakyat supaya bergotong royong membangun lagi Masjid Agung Sumedang.
Gempa Sumedang yang terjadi pada pertengahan 1955 terbukti mengakibatkan kerugian amat besar. Menurut berbagai laporan media massa pada saat itu, gempa terjadi selama sepuluh kali, dalam dua hari, dimulai pada Minggu pukul 10.23 WIB dan berakhir pada Senin, sekitar pukul 09.00 WIB.
Oleh: Naufal Al-Zahra – Pegiat Sejarah dan Aktivis Pemuda Persatuan Islam (Persis) Sumedang