Tokoh pendidikan Islam, almarhum Prof. Dr. H. Mahmud Yunus diabadikan menjadi nama salah satu Perguruan Tinggi Keagamaan Islam di lingkungan Kementerian Agama yaitu Universitas Islam Negeri (UIN) Mahmud Yunus Batusangkar, Sumatera Barat. Peran Mahmud Yunus mengembangkan modernisasi pendidikan Islam dan memperjuangkan eksistensi pendidikan agama pada lembaga pendidikan umum sejalan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak dapat dilupakan dalam sejarah pendidikan Indonesia.
“Pendidikan agama bagi bangsa kita jauh tertinggal beratus tahun di belakang.” Kalimat ini ditulis oleh Menteri Agama K.H. Muhammad Iljas dalam kata sambutan pada Almanak Djawatan Pendidikan Agama 1959. Dalam kaitan itu sangat beralasan Menteri Agama mengutarakan penghargaannya atas usaha dan amal perbuatan yang dilakukan para pejuang pendidikan agama berdasarkan tulus dan ikhlas, tidak untuk diketahui orang, tetapi hanya untuk Allah Swt semata-mata, dengan penuh rasa tanggungjawab atas tugas yang diserahkan kepadanya, dengan harapan bahwa usaha itu akan membawa faedah dan manfaat. Salah seorang tokoh dan pejuang pendidikan agama yang patut dikenang dedikasi dan jasanya kepada umat, bangsa dan negara ialah Prof. Dr. H. Mahmud Yunus.
Mahmud Yunus lahir di Sungayang, Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat pada tanggal 30 Ramadhan 1316/10 Februari 1899. Menamatkan Sekolah Desa di Surau Masjid Balai Senayan dan Madras School/Diniyyah School di Sungayang. Mahmud Yunus pernah menjadi guru dan kepala sekolah di madrasah yang didirikan oleh Syaikh H.M. Thaib itu. Tokoh ulama pendidik itu telah melakukan pembaharuan dan sistem baru pendidikan Islam sebelum mempelajari ilmu pendidikan di Mesir.
Sebagai guru dan praktisi pendidikan Mahmud Yunus merupakan salah seorang anggota pendiri (muassis) Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di kota Padang yang dipelopori dan dipimpin langsung oleh Dr. H. Abdullah Ahmad pada tahun 1918. Selain itu Mahmud Yunus memimpin Normal Islam School Padang selama 11 tahun sekitar tahun 1931-1938 dan 1942 dan 1946.
Pada tahun 1919 ia mendirikan perkumpulan pelajar-pelajar Islam berhaluan modernis di Sungayang dengan nama Sumatera Thawalib dan menerbitkan majalah Al-Basyir. Menurut Mahmud Yunus, dalam Riwayat Hidup yang ditulisnya sendiri, Sumatera Thawalib yang besar di Minangkabau ada lima, yaitu: Thawalib Padang Panjang, Thawalib Parabek, Thawalib Padang Japang, Thawalib Sungayang/Batusangkar, dan Thawalib Maninjau. Thawalib Padang Panjang lebih terkenal dan masyhur karena letaknya di kota Padang Panjang, sedang Thawalib-Thawalib yang lain letaknya di desa-desa dan kampung-kampung. Di masa itu pelajar-pelajar Thawalib dapat pindah dari satu Thawalib ke Thawalib lainnya.
Sewaktu revolusi kemerdekaan Mahmud Yunus menjabat Sekretaris Menteri Agama PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) di Sumatera Barat yang dijabat oleh Mr. T.H Moehammad Hasan dan kemudian K.H. Masjkur. Mahmud Yunus tercatat sebagai salah satu tokoh pendidikan Islam yang memperjuangkan pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah umum negeri dan memperjuangkan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri yang pertama.
Pada tanggal 1 Januari 1951, ia diangkat oleh Menteri Agama K.H. A. Wahid Hasjim menjadi Kepala Penghubung Pendidikan Agama pada Kementerian Agama RI di Jakarta. Mahmud Yunus bertugas sebagai pegawai Kementerian Agama merangkap menjadi dosen.
Mahmud Yunus kala itu merancang ketetapan afirmatif berkenaan dengan eksistensi pendidikan dalam sistem pendidikan nasional, yakni: (1) mewujudkan Peraturan Bersama Menteri P dan K dan Menteri Agama tentang Pendidikan Agama di sekolah-sekolah swasta. (2) mendirikan Pendidikan Guru Agama disingkat PGA pada tahun 1951 di delapan kota. (3). menetapkan Rencana Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. (4) mewujudkan Peraturan Bersama Menteri P dan K dan Menteri Agama tentang Peraturan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta. Mahmud Yunus mengusulkan kepada Menteri Agama K.H. Wahib Wahab agar Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta menjadi perguruan tinggi tingkat sarjana penuh. Mahmud Yunus dalam pengabdian panjangnya di lingkungan Kementerian Agama pernah menjadi Dekan ADIA.
Sejarah pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) tahun 1960 yang merupakan penggabungan PTAIN Yogyakarta dan ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) Jakarta menorehkan peran empat tokoh pejuang pendidikan Islam yang gigih dan berjasa merintis IAIN, yaitu: Prof. T.M. Hasbi Ash-Ashiddieqy, Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya, Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, dan Prof. Dr. H. Bustami A. Gani, di samping tokoh lainnya.
Perguruan Tinggi Agama Islam di bawah Kementerian Agama dalam hal ini Institut Agama Islam Negeri Al-Jam’iah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah ketika pertama kali diresmikan terdiri dari 4 fakultas yang berlokasi di Yogyakarta dan Jakarta, yaitu: Fakultas Ushuluddin (Yogyakarta) dengan Dekan Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya, Fakultas Syariah (Yogyakarta) dengan Dekan Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Fakultas Tarbiyah (Jakarta) dengan Dekan Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, dan Fakultas Adab (Jakarta) dengan Dekan Prof. Dr. H. Bustami A. Gani.
Pada bulan Mei sampai Nopember 1961, Mahmud Yunus ditugaskan oleh Kementerian Agama mengunjungi 9 negara Islam dalam rangka mempelajari pendidikan agama di negara-negara tersebut, yakni: Mesir, Saudi Arabia, Syria, Lebanon, Yordania,Turki, Irak, Tunisia dan Marokko. Ia beberapa kali diundang ke Mesir mengikuti Muktamar Majma’ Buhutsul Islamiyah Universitas Al-Azhar.
Dalam pengabdian di lingkungan IAIN, selain menjabat Dekan pertama Fakultas Tarbiyah IAIN di Jakarta, Mahmud Yunus ditunjuk sebagai Rektor Pertama IAIN Imam Bonjol Padang. Ia menjabat dari tahun 1967 sampai mengajukan permohonan pensiun pada akhir tahun 1970.
Mahmud Yunus merupakan ulama Indonesia pertama yang menulis terjemahan/tafsir Al-Quran berbahasa Indonesia. Tafsir Mahmud Yunus dikenal luas oleh masyarakat Islam di tanah air sejak sebelum kemerdekaan. Tafsir yang legendaris itu ditulis mulai November 1922 dengan huruf Arab Melayu. Di masa itu, sebagaimana diutarakan Mahmud Yunus dalam Riwayat Hidup yang ditulis dalam tahun-tahun terakhir menjelang akhir hayat, ada fatwa ulama bahwa menerjemahkan Al-Quran hukumnya haram. Mahmud Yunus yang berpikiran modern tetap menerjemahkan Al-Quran dan menerbitkannya per juz tiap bulan, mulai dari juz pertama, juz kedua, juz ketiga dan seterusnya.
Sebuah capaian luar biasa di zamannya Mahmud Yunus mendapat kesempatan menempuh pendidikan tinggi di Universitas Al-Azhar dan Darul Ulum Mesir. Sewaktu kuliah di perguruan tinggi Darul Ulum Mesir, ia memperoleh perspektif berpikir modern sejalan dengan ikhtiarnya menerjemahkan Al-Quran. Guru-gurunya di Darul Ulum menjelaskan hukumnya mubah (boleh) menerjemahkan Al-Quran bahkan dianjurkan atau termasuk fardhu kifayah dalam rangka menyampaikan Dakwah Islamiyah kepada bangsa asing yang tidak menguasai bahasa Arab.
Mahmud Yunus pulang ke Indonesia setelah lulus ujian Syahadah Alimiyah (titel alim dan syekh, ijazah tertinggi) di Universitas Al-Azhar. Ia juga menamatkan diploma guru (ijazah tadris) dari Darul Ulum Mesir tahun 1930. Pada bulan Ramadhan 1354 H/Desember 1935, ia kembali menerjemahkan Al-Quran yang telah dikerjakan sebelum berangkat ke Mesir. Tafsir Qur’an Karim karya Mahmud Yunus menyajikan terjemahan ayat per ayat dalam Al-Quran dan ulasan singkat ayat-ayat tertentu.
Dalam penerjemahan dan penulisan tafsir juz ke-7 sampai 18, Mahmud Yunus dibantu oleh sahabatnya H.M. Kasim Bakry dan M. Yaman Gelar Radjo Endah membantu memperbaiki bahasa dan ejaan. Tafsir Qur’an Karim Mahmud Yunus semula diterbitkan per jilid 10 juz hingga semuanya 3 jilid. Mulai cetakan tahun 1938/1357 H diterbitkan lengkap satu buku 30 juz. Tafsir Qur’an Karim karya Mahmud Yunus sampai kini telah mengalami cetak ulang lebih dari tujuh puluh kali.
Pada tahun 1972 Mahmud Yunus melakukan revisi atas penulisan tafsir sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Dalam edisi revisi, terjemahan ayat disusun ulang mengikuti tata bahasa Indonesia modern, sedang keterangan dan ulasan tafsir ayat-ayat ditambah dan diperluas.
Selain menulis tafsir, Mahmud Yunus menyusun Terjemahan Al-Quran tanpa tafsir untuk memudahkan membaca Al-Quran, serta Tafsir Al-Fatihah, Yasin dan Terjemahannya, Juz ‘Amma dan Terjemahnya, secara terpisah.
Dalam risalah Kesimpulan Isi Al-Quran, ia mengemukakan:
“Sesungguhnya mengeluarkan hukum-hukum atau ilmu pengetahuan dan yang lain-lain itu dari dalam Al-Quran, tak ubahnya seperti mengeluarkan mutiara dari dalam lautan. Jika orang yang mengeluarkan mutiara itu, hanya memakai perkakas lama dan serba kurang, tentu ia dapat mengeluarkan sedikit saja. Tetapi jika ia mempunyai alat perkakas modern serta sempurna, tentu ia menghasilkan mutiara yang banyak. Tetapi meskipun begitu, mutiara yang dalam lautan itu tidak juga akan habis-habisnya. Maka begitu pulalah mengeluarkan hukum-hukum dan ilmu pengetahuan dari dalam Quran itu. Meskipun sekarang telah kita usahakan mengeluarkan apa-apa yang tersebut dalam kitab ini, tetapi janganlah kita sangka, bahwa mutiara yang dalam Quran itu telah habis, bahkan banyak lagi yang tersembunyi di sana-sini. Jika selalu kita membaca Quran dan memperhatikan isinya, niscaya akan terbuka juga bagi kita rahasia-rahasianya yang lain. Oleh sebab itu hendaklah tiap-tiap orang Islam membiasakan membaca Quran, meskipun beberapa ayat tiap-tiap hari, supaya bertambah keimanan kita kepada Allah dan supaya bersih hati kita daripada sifat yang tidak baik.”
Mahmud Yunus menekuni penulisan Tafsir Al-Quran dan menyempurnakannya semenjak berusia 20 tahun sampai berumur 73 tahun. Dalam Pendahuluan cetakan ke-11 tahun 1964, dikemukakannya bahwa menerjemahkan Al-Quran bukanlah perkara mudah, sebab bahasanya sudah sangat tua, telah lebih dari 1.300 tahun serta mempunyai kata-kata yang kaya, yang tidak ada atau sukar adanya dalam bahasa Indonesia yang masih dalam perkembangan.
“Jika betul tafsir ini dan Kesimpulan Isi Quran itu, maka adalah semata-mata hidayah dan karunia Allah, dan jika khilaf atau salah, maka adalah kesalahan saya sendiri.” ungkapnya dalam Tafsir Quran Karim, pengantar cetakan tahun 1973.
Selain menulis Terjemahan dan Tafsir Al Quran, Mahmud Yunus banyak menulis buku-buku agama untuk bahan pelajaran sekolah dan bacaan umum. Menurut data, sepanjang hidupnya Mahmud Yunus menulis 49 judul buku dalam bahasa Indonesia dan 26 buku dalam bahasa Arab, di antaranya: Marilah Sembahyang Jilid I, II, III dan IV, Puasa dan Zakat, Haji Ke Mekkah, Hukum Warisan Dalam Islam, Soal Jawab Hukum Islam, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Pelajaran Sembahyang Untuk Orang Dewasa, Manasik Haji Untuk Orang Dewasa, Beriman dan Berbudi Pekerti, Marilah Ke Al-Quran, Pokok-Pokok Pendidikan/Pengajaran, Ilmu Jiwa Kanak-Kanak, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Pemimpin Pelajaran Agama, Sejarah Pendidikan Islam, Sejarah Pendidikan Islam Di Minangkabau, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Pendidikan Di Negara-Negara Islam, Pedoman Dakwah Islamiyyah, Moral Pembangunan Dalam Islam, Ilmu Musthalah Hadits, Muzakaraat Ushulu al-Fiqh, Ilmu an-Nafs, Beberapa Kisah Nabi dan Khalifahnya, Al-Adyan, Al-Masaail al-Fiqhiyah ‘ala Madzahib Al-Arbaah, At-Tarbiyah wa Ta’lim dan Ilmu an-Nafs, Kamus Arab-Indonesia, Kesimpulan Isi Al-Quran, dan Do’a-Do’a Rasulullah.
Prof. Dr. H. Mahmud Yunus wafat di Jakarta tanggal 16 Januari 1982, jenazahnya dimakamkan di Pemakaman IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jalan Semanggi Ciputat. Semoga pengabdian, perjuangan serta karyanya diterima di sisi Allah dan menjadi suri tauladan bagi segenap umat Islam karena pendidikan pada hakikatnya adalah satu-satunya tumpuan harapan masa depan bangsa.
Oleh: M. Fuad Nasar – Pemerhati sejarah