Dewasa ini kepercayaan publik terhadap partai politik mengalami tren penurunan. Berdasarkan survei yang dirilis Indikator Politik Indonesia pada 2022, partai politik mendapatkan tingkat kepercayaan paling rendah bersama dengan institusi Kepolisian Republik Indonesia (POLRI).[1]

Rendahnya tingkat kepercayaan tersebut dipicu oleh kenyataan bahwa selama ini partai politik menjadi sarang bagi para koruptor. Selain itu, pejabat publik yang berasal dari partai politik juga cenderung dianggap lebih seirama dengan kepentingan partai, alih-alih kepentingan masyarakat.

Sejarah bangsa ini pernah meriwayatkan kisah seorang kader partai yang berani berbeda dengan jalan partainya sendiri. Siapakah dia? Kader partai itu ialah Jusuf Wibisono.

Jusuf Wibisono. Sumber foto: wikipedia

Tokoh Masyumi yang Terlupakan

Dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah, pada 1909.[2] Jusuf merupakan salah satu kader teras Partai Masyumi dan pemimpin Sarekat Buruh Islam Indonesia (SBII). Dibandingkan dengan tokoh Masyumi lain seperti Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara, nama Jusuf sangat jarang disebut orang.[3] Karena itu, namanya kian sunyi dari pembicaraan lalu terlupakan dari memori kolektif bangsa kita.

Semasa kecil, Jusuf dikenal sebagai anak yang nakal dan keras kepala. Wataknya yang keras seolah menjadi cermin dari nama akhirnya (baca: Wibisana), yang diambil dari tokoh epos Ramayana. Tokoh tersebut digambarkan mempunyai tabiat yang keras, tetapi konsisten membela kebenaran. Jusuf meretas jalannya sendiri sebagai aktivis pergerakan ketika duduk di bangku sekolah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Saat itu, ia aktif dalam beberapa perhimpunan, seperti Jong Islamieten Bond (JIB), Studenten Islamische Studieclub (SIS), dan Muhammadiyah.

Aktivitas sehari-hari Jusuf muda sebagai pelajar sekaligus aktivis pergerakan membuat nalar kritisnya terasah. Dengan kemampuan berbahasa Belanda yang baik, berbagai literatur tentang pergerakan maupun politik dilahapnya. Begitu pun dengan literatur-literatur keislaman yang ditulis dalam bahasa Belanda, ia serap juga. Terlepas dari adanya tendensi yang bersifat pribadi, hasil penelaahan Jusuf terhadap beragam pustaka itulah yang menjaga pikirannya tetap kritis selama aktif dalam Masyumi.

Kritik atas Susunan Kabinet Natsir

Jusuf menjadi sosok yang menarik perhatian tokoh-tokoh Masyumi ketika ia dipercaya menjadi pelaksana tugas sementara ketua umum partai itu. Hal demikian terjadi disebabkan Natsir, selaku Ketua Umum Masyumi, telah diberi kepercayaan oleh Presiden Sukarno menjadi Perdana Menteri. Alih-alih menyokong penuh, Jusuf tampil menjadi pihak yang berseberangan paham dengan pemerintahan yang dipimpin oleh orang partainya sendiri. Ia tak segan melancarkan kritik kepada kawannya yang sedang bertugas menjadi kepala pemerintahan.

Natsir tidak berhasil membina koalisi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Sebagai gantinya, ia merumuskan zaken kabinet[4] yang diisi oleh tenaga profesional dari orang-orang tak berpartai serta dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Persatuan Indonesia Raya (PIR), Partai Indonesia Raya (Parindra), Demokrat, dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Kritik Jusuf pada pemerintahan Natsir dimulai beberapa hari setelah kabinet terbentuk.[5] Dengan nada cukup keras, kritik tersebut dituangkan dalam majalah pekanan yang ia pimpin yaitu Mimbar Indonesia, pada 16 September 1950.

“Natsir membawa barang baru dalam hukum ketatanegaraan, anasir baru yang mempersukar pekerjaannya sendiri karena memperkecil lingkungan orang-orang yang dia bisa kerjasama.”,[6] terang Jusuf.

Baginya, PNI merupakan partai besar yang perlu dirangkul ke dalam kabinet. Lagi pula, yang dibutuhkan pasca-revolusi bukanlah format zaken kabinet, melainkan suatu kabinet koalisi yang mencerminkan semangat persatuan nasional.

“Maksud memang bagus, cuma sayang bahwa teamwork itu meleset ke arah nepotisme. Sebagian besar orang-orang yang diambil oleh formatur ialah orang yang dia kenal intim. Tidak dipertimbangkan olehnya bahwa tiga menteri-menteri yang menduduki kursi penting, ada mempunyai pertalian darah yang erat,”[7]kata Jusuf.

Tiga nama menteri yang disindir oleh Jusuf dalam kritiknya di atas antara lain adalah Mr. Assaat, Menteri Dalam Negeri, dr. Abdul Halim, Menteri Pertahanan, dan dr. Bahder Djohan, Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PP & K). Mereka ini sama-sama berasal dari Minangkabau, kampung halaman Natsir.

Dalam kritiknya, Jusuf turut mengomentari kecenderungan ideologi yang dianut oleh menteri-menteri di bawah komando Natsir. Menurutnya, sekali pun secara lahiriah kabinet diisi oleh orang-orang tak berpartai, tetapi, “sebenarnya memeluk satu aliran politik yang tertentu.”[8] Jusuf tujukan sindiran tersebut kepada menteri-menteri yang berhaluan sosialis. Dalam kabinet yang disusun Natsir,  memang terdapat beberapa orang tak berpartai yang mempunyai kecenderungan dekat dan menganut paham sosialisme. Bahkan, wakilnya Natsir, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX dikenal sebagai tokoh yang alam pikirannya sangat lekat dengan sosialisme, walaupun ia sendiri bukan anggota partai sosialis.

Dalam kritik itu, Jusuf juga meluapkan kekecewaannya kepada Natsir yang malah tidak menyerahkan posisi dua kementerian strategis; Menteri Pertahanan dan Menteri PP & K, kepada Masyumi. Padahal, ketika sedang melobi PNI, Natsir bersikeras mempertahankan posisi dua menteri itu supaya dipegang oleh partainya. Selain kritiknya di atas, masih banyak lagi kritik yang dilontarkan Jusuf selama pemerintahan Kabinet Natsir.

Natsir dan Soekarno, berfoto dalam Kabinet Natsir. Sumber foto: wikipedia

Perkara Mosi Hadikusumo

Kabinet Natsir hanya mampu melaksanakan tugas dalam waktu kurang dari satu tahun. Selama masa jabatannya itu, Natsir memiliki pandangan yang berbeda dengan Sukarno terkait penyelesaian masalah Irian. Di samping itu, sikap oposisi yang dipimpin oleh PNI dan PKI juga sering kali merintangi pelaksanaan program-program kabinet.

Kabinet Natsir sempat mendapatkan mosi tidak percaya dari Sukri Hadikusumo, anggota parlemen dari PNI. Isi mosi tersebut di antaranya menuntut supaya Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 1950 tentang Peraturan Susunan Panitia Pemilihan di Daerah yang diurus oleh Menteri Dalam Negeri segera dicabut. PP No. 39/50 itu disinyalir akan sangat menguntungkan Masyumi yang telah memiliki cabang di hampir seluruh kabupaten se-Indonesia. Walaupun sebenarnya, PP itu sendiri diciptakan oleh Susanto Tirtoprodjo, Menteri Dalam Negeri dari PNI pada masa sebelumnya.[9]

Disebabkan Mosi Hadikusumo mendapatkan suara mayoritas di parlemen. Maka, Assaat, Menteri Dalam Negeri, didesak untuk mengundurkan diri. Meski begitu, kabinet bersikeras mempertahankannya. Sikap yang ditunjukkan kabinet tersebut lantas dikritik oleh Jusuf.

“Memang bukan suatu keharusan bagi sesuatu kabinet untuk meminta berhenti karena sesuatu mosi tidak percaya, tetapi itu terang menimbulkan antipathie sehingga mengurangi kesanggupan membantu pemerintah dari golongan masyarakat yang politis…”[10]

Merasa tidak lagi memperoleh dukungan yang cukup dari parlemen maupun partai koalisi, Kabinet Natsir lalu mengembalikan mandatnya kepada Presiden Sukarno pada 21 Maret 1951.[11]

Tetap Membela Kebenaran

Setelah kabinet yang dikepalai oleh Natsir itu bubar, dalam sebuah rapat Masyumi, Jusuf mendapatkan serangan dari rekan sesama partai. Sambil memegang majalah Mimbar Indonesia, Alwi Abubakar Achsien seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU) berbicara dengan berapi-api, menghardik sikap Jusuf yang berbeda manakala partainya sedang memimpin pemerintahan. Ia ingin supaya Jusuf dikeluarkan dari partai. Jusuf menanggapi ucapan tokoh NU tersebut dengan perkataan yang sangat jantan.

“Oleh orang tua saya, saya diberi nama Wibisono; dan justru karenanya saya hendak menjunjung tinggi nama saya itu. Saya berpendirian akan tetap membela kebenaran meskipun saya harus berhadapan dengan saudara tuaโ€ [12] ujar Jusuf.

Lalu, bagaimanakah reaksi Natsir atas sikap oposisi Jusuf? Walau rasa kecewa sebagai manusia tak bisa dipungkiri adanya, Natsir tetap menaruh rasa hormat pada Jusuf dan tidak merintanginya untuk memperoleh haknya sebagai kader partai. Jusuf pernah mewakili Masyumi menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Soekiman dan Kabinet Ali-Roem-Idham juga juru kampanye partai tersebut menjelang Pemilu 1955.

Oleh: Naufal Al-Zahra โ€“ Pegiat Sejarah dan Aktivis Pemuda Persatuan Islam (Persis) Sumedang


[1] https://indikator.co.id/rilis-survei-08-juni-2022/ (catatan dari penyunting).

[2] Soebagio IN, Jusuf Wibisono Karang di Tengah Gelombang. Jakarta: Gunung Agung, 1980, hlm. 1.

[3] Hal ini mungkin saja terjadi karena Jusuf Wibisono keluar dari Masyumi lantaran merasa kebijaksanaan partai tersebut tidak realistis. Setelah keluar dari Masyumi, Jusuf tetap aktif di SBII dan bergabung dengan PSII. Ia juga menerima ajakan dari Presiden Sukarno untuk bergabung DPR-GR mewakili SBII. Akibat hal itu, Jusuf semakin dikucilkan oleh rekan-rekannya dari Masyumi. Lihat dalam Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 1987, hlm. 400-401.

[4] Zaken kabinet ialah istilah untuk kabinet yang jajaran menterinya terdiri dari ahli di luar orang-orang partai. Kabinet seperti ini selain pada masa Natsir terjadi juga pada masa Kabinet Djuanda dan Wilopo. (Catatan dari penyunting).

[5] Kabinet Natsir dilantik pada 7 September 1950. Lihat dalam Lukman Hakiem, Biografi Mohammad Natsir. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2019, hlm. 242.

[6] Soebagio IN, op cit, hlm. 88.

[7] Ibid.

[8] Ibid, hlm. 89.

[9] Lukman Hakiem, op cit, hlm. 293.

[10] Soebagio IN, op cit, hlm. 93.

[11] Lukman Hakiem, op cit, hlm. 295

[12] Soebagio IN, op cit, hlm.98.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here