Islamisasi berhasil mengubah masyarakat di Kepulauan Melayu dan Indonesia di tengah memudarnya pengaruh Sriwijaya dan Agama Hindu-Budha.
Senjakala Sriwijaya dan Penyebaran Islam
Kemunduran Sriwijaya sendiri bukan terjadi dalam satu masa yang singkat. Kegiatan perdagangan yang menjadi tulang punggung kerajaan tersebut mulai menemui persaingan yang berarti. Keberadaan fasilitas di pelabuhan ekspor-impor di Palembang bukan berarti para pedagang dari Samudera Hindia tak mengunjungi pelabuhan lain di Kepulauan Melayu-Indonesia. Prasasti di Jawa tahun 927 mengungkap Kam Sinha dari bagian selatan India mengunjungi Jawa. Para pedagang dari Samudera Hindia tidak bergantung secara eksklusif pada Palembang.[1]
Menjelang akhir akhir 1178, kapal-kapal dari Kanton berhenti di Lamuri, Sumatera Utara. Pada 1225, Chao Ju-Kua menulis tentang pedagang Cina yang mengunjungi wilayah Jawa. Palembang dan Jambi pada 1330 hanyalah merupakan satu di antara dua titik keberangkatan yang bisa digunakan untuk para pedagang Cina yang hendak menuju Samudera Hindia.[2] Sriwijaya mulai kehilangan kendalinya di Selat Malaka, telebih setelah serangan dari bangsa Siam dan Jawa.[3] Barus, Kedah dan Kampe adalah beberapa wilayah yang lepas dari genggamannya di akhir abad ke-13.[4]
Oliver Wolters menyebut serangan Rajendra Cola, Raja Tamil pada daerah bawahan Sriwijaya tahun 1025 juga memberi tekanan yang cukup besar terhadap Sriwijaya. Mengutip sumber Cina, pada 1028 mulai jarang kapal-kapal asing yang datang ke Kanton. Hal ini mungkin disebabkan ketakutan para pedagang yang khawatir akan kekacauan yang dibuat oleh Angkatan Laut Tamil pada fasilitas pelabuhan pusat perdagangan.[5] Penguasa Melayu di Jambi mulai menikmati hubungan diplomatik dengan Raja Cola dan kerap mengirim misi kepada Raja Tamil tersebut. Pada 1225 Palembang tak lagi menjadi Ibu Kota Sriwijaya dan beralih ke Jambi.[6]
Wolters mengutip sumber Cina yang menyebutkan bahwa, “…Kerajaan Sumatera yang lebih penting, yaitu Melayu yang mengontrol Jambi, dengan nama kuno “Sriwijaya”, walau ibu kotanya sudah tidak lagi di Palembang.” Palembang kemudian menjadi kota bawahan dan digantikan oleh Jambi. Pada gilirannya, Jambi kemudian diperintah dari pedalaman Minangkabau.[7]
Meski faktor-faktor ekonomi dan politik mempengaruhi kemunduran Sriwijaya namun tak dapat pula disangkal faktor lain yang turut mendorong kemunduran ini. Syed Naquib al-Attas menunjuk faktor Islamisasi yang dibawa oleh mubaligh Arab dan Melayu dari utara Sumatera dan menyebar ke selatan di jantung Sriwijaya. Hal ini seringkali diabaikan oleh sejarawan yang menepikan fakta bahwa Islam sebenarnya sudah hadir sejak abad ke-7 sehingga mustahil tiba-tiba Islam mencuat di abad ke-13.[8]
Syed Naquib al-Attas menyebutkan masa abad ke-9 atau sebelumnya adalah masa ketika Syaikh Ismail dan Sultan Muhammad yang dicantumkan dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu mengkonversi Fansur (Barus), Lamri, Aru dan Perlak dan kemudian menjadi Kesultanan Pasai ketika bergabung dengan Perlak. Inilah proses Islam berakar di bumi Melayu, dan secara perlahan mendakwahkan Islam sehingga meluas ke seluruh Kepulauan Melayu.[9]
Emigrasi Muslim ke kepulauan Melayu juga turut didorong oleh pembantaian yang terjadi di Kanton pada 878, ketika 120 ribu pedagang yang menetap di sana kemudian melarikan diri dan mencari perlindungan di Kedah dan akhirnya ke pesisir Kepulauan Melayu. Di sini mereka merasakan otonomi sipil dan agama yang tinggi. Di utara Sumatera, mengutip sumber Aceh, Islamisasi juga terjadi seiring kehadiran Syaikh Abdullah Arif yang datang di abad ke-12. Menurut Syed Naquib al-Attas, nama sebutan Abddullah Arif tak bisa dianggap sebagai nama, tetapi sebuah panggilan yang mencerminkan sosok dengan pengetahuan spiritual. Begitu pula Syaikh Ismail, istilah syaikh dipakai untuk merujuk pada keturunan Nabi Muhammad yang memiliki pengetahuan dalam soal agama.[10]
Sejak itu dakwah Islam terus berkembang di Kepulauan Melayu-Indonesia. Meningkatnya dakwah Islam di Indonesia pada abad ke-13 tak lepas dari pengaruh dominan tarekat sufi yang hadir sejak runtuhnya Kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad pasca serangan Mongol. Para penganut tasawuf ini kemudian menyebar dan menjelajah dan menjalin hubungan erat dengan pedagang dan perdagangan di kota-kota Islam yang mereka singgahi.[11] Syed Naquib al-Attas sendiri berpendapat bahwa fase abad ke-13 hingga abad ke-14 belumlah dimulai pengajaran tasawuf. Sebaliknya, masa ini adalah fase ketika konversi didorong oleh keyakinan dan belum tentu pemahaman. Pada masa ini, fiqih memainkan peran penting dalam menjelaskan syariat Islam. Barulah pada fase kedua (tahun 1400-1700-an), masa penjelasan hukum agama telah dilalui sehingga memasuki persoalan mengenai tasawuf dan kalam. Pada masa ini sufisme dan tulisan-tulisan para sufi dan tulisan para ahli kalam memainkan peran penting yang ditujukan untuk mengkonversi ‘jiwa’ dan mengenalkan konsep mendasar yang sesuai dengan pandangan hidup Islam.[12]
Tetapi melihat sejarah Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia hanya dari pembagian rentang waktu ini hanya memberikan sebagian gambaran mengenai penyebaran Islam. Tak kalah pentingnya adalah mengetahui proses penyebaran Islam dan menilai sejauh apa pengaruhnya terhadap masyarakat di Kepulauan Melayu-Indonesia?
Bagaimana menilai sebuah peradaban?
Sejak akhir abad ke-7 orang-orang Melayu memainkan peranan penting dalam perdagangan. Posisi Selat Malaka begitu penting dalam jaringan perdagangan dari Selatan India, Sri Lanka, ke Teluk Bengal, Sumatera, Semenanjung Malaya, Teluk Siam, Laut Cina Selatan, bagian bawah Mekong dan Vietnam.[13] Selat Malaka memiliki posisi penting sebagai gudang penyimpanan yang melindungi dari kekuatan angin Musim. Posisi penting Sini sudah hadir sejak awal abad Masehi yang menghubungkan lalu lintas perdagangan dengan India.[14] Maka tidak mengherankan jika posisi penting Selat Malaka mempengaruhi besarnya pengaruh kekuasaan baru komunitas Muslim seperti Kesultanan Samudera Pasai.
Sumatera yang sebelumnya telah menjadi pusat ilmu agama Budha ternyata tidak mampu berkembang luas dan filsafatnya tidak meresap ke dalam jiwa masyarakat.[15] Bahkan perkembangan Agama Budha turut meredup seiring tenggelamnya Kerajaan Sriwijaya. Agama Islam perlahan-lahan masuk mempengaruhi masyarakat di Kepulauan Melayu dan berpengaruh hingga kini. Tetapi mengapa hal ini dapat terjadi?
Syed Muhammad Naquib al-Attas menunjukkan betapa kelirunya para orientalis ketika menilai pengaruh suatu peradaban dan tidak memberi kriteria yang jelas tentang tinggi rendahnya peradaban. Para sejarawan hanya menilai dari fenomena eksternal seperti perdagangan, pergeseran dalam kekuatan ekonomi dan politik, dan dalam seni dan bentuk eksternal dari manifestasi relijius.[16]
Jacob Cornelis van Leur misalnya menilai candi-candi dan tugu-tugu dengan seni pahatannya sebagai satu ciri peradaban bermutu.[17] Kenyataannya, candi-candi di Jawa telah menjadi puing saat agama Hindu masih menjadi mayoritas.[18] Sebagaimana ditunjukkan Syed M. Naquib al-Attas, kesenian memang menyifatkan satu peradaban, tetapi “…Pandangan hidup yang berdasarkan kesenian itu semata-mata merupakan kebudayaan estetik, kebudayaan klasik, yang dalam penelitian konsep peradaban sejarah bukan menandakan suatu masyarakat yang bercorak keluhuran budi dan akal serta pengetahuan ilmiah.”
Melihat dari teori yang ditawarkan para sarjana dan orientalis tak dapat dipungkiri mereka adalah pengagum kebudayaan dan peradaban Jawa sehingga menonjolkannya di atas kebudayaan dan peradaban Melayu. Cara pandang seperti ini akhirnya hanya melihat Islam sebagai satu penampakan lahiriah saja, dalam nama belaka, tetapi berasumsi bahwa jiwa, inti dan karakter masyarakatnya tetaplah sama. Kenyataannya, Hinduisme dan Budhisme tidak berpengaruh besar dalam mengubah karakter inti dan pandangan alam (worldview) dari peradaban Melayu-Jawa. Namun Islam melakukan hal yang berbeda.
Para bangsawan pada masa tersebut menurut Syed Naquib al-Attas tidak benar-benar memahami akan ajaran murni yang terdapat pada filsafat Hindu. Mereka lebih mementingkan perkara-perkara yang terkait tata-upacara serta membesar-besarkan keagungan dewa-dewa bagi kepentingan para penguasa, demi menekankan bahwa merekalah penjelmaan dewa-dewa tersebut.[19]
Sumatera, terutama Sribhoga yang terletak di sekitar Palembang memang pernah menjadi pusat keilmuan Agama Budha seperti yang diberitakan I’tsing. Ia menyebut daerah seperti negeri Mo-lo-yu (Melayu) atau Shih-li-fo-shih (Sribhoga) sebagai negeri yang telah menerima agama Budha.[20] Bahkan pernah hadir sosok Atisha yang nantinya menjadi pembaharu Agama Budha di Tibet. Tetapi mengapa di Sumatera sendiri filsafatnya tidak meresap dan berkembang pada masyarakat Sumatera?[21] George Coedes dalam Indianized Nations in Southeast Asia menyebut bahwa di Indonesia pengaruh warisan sastra India memang lebih tampak dari pada warisan relijius India.[22] Inskripsi pada batu-batu Sriwijaya lebih banyak ditulis untuk motif politik daripada relijius, sehingga hanya sedikit memberikan informasi mengenai Budhisme.[23]
Di kepulauan Melayu, Budhisme memang lebih bepengaruh. Menurut Miksic, seperti banyak di bagian lain di Asia Tenggara, Budhisme di kebudayaan Melayu hidup bersama penganut Siwa, Wisnu dan Durgadan. Miksic juga menilai sulit untuk mengukur ketaatan penganutnya dan sangat mungkin Budhisme lebih popular di kalangan bangsawan ketimbang rakyat jelata. Sedangkan pengaruh Hinduisme mulai terjadi ketika masa kemunduran Sriwijaya pasca invasi Raja Tamil pada 1025.[24]
Syed Naquib al-Attas menduga bahwa Agama Budha yang tidak bersifat menyebarkan ajaran agamanya seperti Islam atau Kristen membuat mereka tidak berminat mengubah pandangan hidup masyarakat Melayu. Ia juga menunjuk adanya kemungkinan golongan pandita itu semuanya bukan berasal dari masyarakat setempat, melainkan orang-orang asing yang datang dari luar. Kesenjangan antara agama kaum elit dan rakyat jelata ini misalnya dapat kita lihat pada masyarakat Minangkabau yang pada abad ke-14 berada di bawah kekuasaan Adityawarman yang datang dari Jawa.
Jejak Sriwijaya yang pernah menjadi pusat agama Budha sepertinya tak tampak. Masyarakat petani Minangkabau pra-Islam misalnya, menganut animisme yang kemudian mendapat pengaruh dari luar. Alih-alih adanya jejak pusat keilmuan Budha di sana, kedatangan Adityawarman dari Jawa justru membuatnya memperkenalkan agama yang dianutnya, yaitu bentuk Tantrik dari Budhisme Iblis yang memiliki unsur-unsur Syiwa. Aspek ini berkembang subur di Keraton Jawa, tapi tak bertahan lama di Minangkabau. Salah satu ritualnya yang terkenal adalah ritus dengan korban manusia, minum darah dan tari-tarian memabukkan dan menggunakan tulang manusia yang telah dikeringkan untuk digerak-gerakkan, serta dilakukan di tengah kuburan pada malam hari.[25]
Selain itu, faktor bahasa sepertinya turut berpengaruh pada terbatasnya pengaruh Agama Budha di Sumatera. Bahasa asing seperti Sanskerta lebih dipakai dalam pengajaran Agama Budha, dan bukan Melayu yang dipakai masyarakat setempat.[26] Sebagai turunan dari bahasa Kitab Veda, Sanskerta pada masa awal dibakukan agar tidak berubah dari bahasa kitab tersebut. Termasuk kedudukan Sansekerta di Nusantara.[27]
Ada kemungkinan, bahasa ini membutuhkan bahasa lokal sebagai perantara antara wacana intelektual dan kebutuhan dokumenter dari kaum elit politik. Di sinilah kemudian Bahasa Melayu Kuno sebagai bahasa lokal menjadi perantara. Salah satunya terdapat dalam Prasasti Sriksetra (684) yang merekam pembukaan taman oleh Raja Sriwijaya dan memuat teks Melayu kuno.[28] Bahasa Melayu kemudian menjadi bahasa penerjemahan dan tampaknya dipelopori dari wihara-wihara pesisir Melayu dan Sumatera di bawah pengaruh Kerajaan Sriwijaya kemudian meluas ke Jawa.[29]
Begitu pula dengan kehadiran Agama Hindu yang menurut Syed Naquib al-Attas, serupa dengan Agama Budha, tidak bersifat menyebarkan ajaran agamanya (missionary spirit). Termasuk doktrin metafisika Hinduisme yang dikenali dan diterima oleh masyarakat pada masa itu. Hanya aspek estetis dan ritualistik Hinduisme yang dikenali dan diterima masyarakat. Penerimaan ini pun dilakukan lewat medium seni yang disampaikan oleh penyair, bukan oleh pemikir dan filosof. Aspek lainnya, Agama Hindu dan Budha berasal dari wilayah yang sama dan akhirnya hanya berkembang di wilayah Asia saja.[30]
Faktor-faktor seperti ini yang akhirnya menghambat penyebaran dan penerimaan Agama Hindu dan Budha di Kepulauan Melayu. Situasi kemudian berkembang sebaliknya ketika agama Islam perlahan-lahan masuk ke dalam masyarakat Melayu. Agama Islam sebagai agama dakwah yang membebani setiap Muslim untuk menyebarkan agamanya. Hal ini tentu luput dari penilaian orientalis yang menilai agama berdasarkan sejarah agama mereka sendiri (Kristen) dan secara keliru menganggap bahwa penyebaran agama haruslah di bawah sebuah organisasi kependetaan seperti dalam agama mereka.[31]
Kriteria penilaian yang keliru ini akhirnya membuat para orientalis luput menilai esensi penting dari masuk dan berkembangnya Agama Islam di Kepulauan Melayu. Islam berkembang dengan pesat di Kepulauan Melayu bukan saja mengubah struktur lahiriah masyarakatnya, tetapi lebih penting lagi mengubah struktur batin sampai ke jiwa masyarakat tersebut. Hal ini dapat terlihat dari pengaruh Islam dalam pemikiran dan bahasa masyarakat kepulauan Melayu.[32]
Menurut Syed Naquib al-Attas, “Justru dari pengkajian terperinci terhadap konsep-konsep kebudayaan yang mempunyai sumber-sumber tertentu, seperti yang tergambar dalam istilah-istilah penting mengenai pandangan hidup suatu masyarakat itu sajalah, akan dapat kita pahami gambaran kehidupan batin suatu masyarakat – bukan hanya dengan mengkaji sistem adat sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan.”[33]
Esensi ajaran Islam adalah beribadah hanya kepada satu Tuhan yang memiliki konsepsi unik bernama tauhid. Ajaran tauhid termaktub dalam Al-Qur’an dan tiba di Kepulauan Melayu bersamaan dengan penyebaran agama Islam. Di sinilah kemudian Al-Qur’an menjelaskan konsepsi bahwa manusia adalah mahluk rasional, mampu untuk memahami dan mengapresiasi tanda-tanda (ayat) yang menyatakan tentang Tuhan.[34]
Bahasa Arab yang terkandung dalam Al-Qur’an menurut Syed Naquib al-Attas mampu berkata-kata secara jelas dan tidak menimbulkan kekeliruan makna dalam menafsirkannya. Al-Qur’an sendiri sudah menyatakan sebagai yang terjelas (mubin). Bahasa Arab, sebagai sebuah bahasa memiliki tendensi yang saintifik, bukan estetik dalam struktur gayanya. Saintifik yang dimaksud Al-Attas adalah “sesuatu yang mempunyai bawaan dan bersifat aqliyah berdasarkan ilmu pengetahuan, yang mempunyai cara dan gaya menilik sesuatu mengikuti tata tertib ilmiah.”[35]
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Lanjut ke bagian 3: Jejak Islam di Bahasa dan Tulisan Jawi
[1] Wolters, O.W. 2019. Kejatuhan Sriwijaya, Kebangkitan Malaka. Depok: Komunitas Bambu.
[2] Wolters, O.W. Kejatuhan Sriwijaya, Kebangkitan Malaka.
[3] Coedès, George. 1975. The Indianized States of Southeast Asia. Canberra: Australian National University Press.
[4] Wolters, O.W. Kejatuhan Sriwijaya, Kebangkitan Malaka.
[5] Wolters, O.W. Kejatuhan Sriwijaya, Kebangkitan Malaka.
[6] Wolters, O.W. Kejatuhan Sriwijaya, Kebangkitan Malaka.
[7] Wolters, O.W. Kejatuhan Sriwijaya, Kebangkitan Malaka.
[8] Coedès, George. The Indianized States of Southeast Asia. Hal. 202., dan Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 2011 Historical Fact and Fiction. Johor Barhu: UTM Press.
[9] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Historical Fact and Fiction.
[10] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Historical Fact and Fiction…
[11] Johns, A.H.1961. “Sufism as a Category in Indonesian Literatur and History”, Journal of Southeast Asian History. 2:2. Indonesia.
[12] Al-Attas, Syed Naguib. A General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago.
[13] Andaya, Leonard. 2008. Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka. Honolulu: University of Hawai’I Press.
[14] Andaya, Leonard. Leaves of the Same Tree …
[15] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1977. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Bandung: Mizan.
[16] Al-Attas, Syed Naguib. A General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago.
[17] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.
[18] Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[19] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.
[20] I-Tsing. 1896. A Record of Buddhist Religion as Practised in India and Malay Archipelago. Terjemahan J. Takakusu, Oxford: Clarendon Press.
[21] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.
[22] Coedès, George. 1975. The Indianized States of Southeast Asia. Canberra: Australian National University Press.
[23] Miksic, John. 2010. “The Buddhist Hindu Divide in PreModern Southeast Asia”. Nalanda-Sriwijaya Center Working Paper Series, No. 1.
[24] Miksic, John. “The Buddhist Hindu Divide in PreModern Southeast Asia”.
[25] Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Paderi. Depok: Komunitas Bambu.
[26] I-Tsing. A Record of Buddhist Religion as Practised in India and Malay Archipelago. Lihat pula Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu dan Coedès, George. The Indianized States of Southeast Asia.
[27] Hunter, Thomas. 2009. Bahasa Sanskerta di Nusantara: Terjemahan, Pemribumian, dan Identitas Antardaerah dalam Henri Chambert-Loir, (ed.). Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
[28] Hunter, Thomas. Bahasa Sanskerta di Nusantara...
[29] Hunter, Thomas. Bahasa Sanskerta di Nusantara...
[30] Al-Attas, Syed Naguib. A General Theory of the Islamization...
[31] Al-Attas, Syed Naguib. A General Theory of the Islamization...
[32] Muhammad Naquib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.
[33] Muhammad Naquib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.
[34] Muhammad Naquib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Dan Al-Attas, Syed Naguib, A General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago.
[35] Muhammad Naquib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Hal. 50 dan Al-Attas, Syed Naguib, A General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago.