“Kita toendjoekkan bahawa kita benar-benar orang jang ingin merdeka.
Dan oentoek kita, saoedara-saoedara, lebih baik kita hantjoer leboer daripada tidak merdeka.
Sembojan kita tetap: MERDEKA ataoe MATI.
Dan kita jakin, saoedara-saoedara, pada akhirnja pastilah kemenangan akan djatuh di tangan kita
sebab Allah selaloe berada di pihak jang benar
pertjajalah saoedara-saoedara, Toehan akan melindungi kita sekalian
Allahu Akbar…! Allahu Akbar..! Allahu Akbar!
MERDEKA!!! “– Pidato Bung Tomo jelang pertempuran 10 November 1945.
Kabar proklamasi itu baru tiba di Surabaya pada hari Sabtu, 18 Agustus 1945. Lewat radio yang diserobot oleh para pemuda, kabar itu disiarkan. Dua hari kemudian, Surat Kabar Soeara Asia memuat berita proklamasi tersebut. (Roeslan Abdulgani: 1994)
Gegap gempita menyelimuti surabaya. Para pemuda menggelegak darahnya menyambut hawa kemerdekaan. Masa itu adalah masa-masa revolusi. Satu pemindahan kekuasaan dari tangan bengis penjajah Jepang pada rakyat.
Rakyat mulai merebut kekuasaan
Aksi-aksi perlawanan terhadap sisa-sisa kekuasaan Jepang mulai merebak. Di beberapa daerah seperti Bandung, Semarang dan Surabaya, para pemuda tanah air mulai berani melawan otoritas Jepang dan sebagian menyerangnya. pangkalan-pangkalan militer Jepang diserang oleh para pemuda, sebagian berusaha merebut senjata dari pihak Jepang. (Anthony J.S. Reid: 1996)
Di Bandung, pada 10 Oktober 1945, serangan para pemuda kemudian dibalas Jepang dengan keras. Para pemuda dipaksa mengosongkan gedung-gedung yang sebelumnya mereka rampas. Penguasaan militer kembali ke tangan Jepang, sebelum akhirnya diserahkan pada pihak sekutu seminggu kemudian. (Anthony J.S. Reid: 1996)
Begitu pula di Semarang. Pada 14 Oktober 1945 menjadi ajang perang terbuka. Sebagai balasan atas ditangkapnya 300 orang sipil Jepang oleh para pemuda, pihak Jepang mulai membersihkan kota tersebut dari para pemuda yang militan. Para pemuda kemudian membalas dengan menghabisi para tawanan Jepang tersebut. Pihak Jepang kemudian membalas dengan melakukan pembunuhan besar-besaran. Saat tentara sekutu mendarat tanggal 20 Oktober, setidaknya diketahui 2000 orang Indonesia dan ratusan orang Jepang tewas. (Anthony J.S. Reid: 1996)
Di Surabaya, pada 3 September 1945, atas desakan para pemuda, diproklamirkan pemerintahan Republik Indonesia daerah Surabaya yang melepaskan diri dari pemerintahan Jepang. Menyusul proklamasi pemerintahan lokal tersebut, bendera-bendera merah putih berkibar di kantor-kantor pemerintahan, kecuali di markas-markas militer Jepang dan Kempetai. (Roeslan Abdulgani: 1994)
Aksi-aksi pemuda yang membara tak mudah ditaklukkan. Menurut Bung Tomo, di Surabaya kala itu para pemuda mulai mengibarkan bendera merah putih. Di Syuutyo (Keresidenan) Surabaya, bendera merah putih dikibarkan. Hal ini sontak mengundang amarah pembesar Jepang. Bendera itu kemudian diturunkan paksa. Para pemuda tak kehilangan akal, mereka mencari batang kayu yang panjang dan dipasang di menara yang tinggi. Membuat orang Jepang segan untuk mencabutnya. (Bung Tomo: 2008)
Pengibaran bendera ini pula yang memunculkan peristiwa bersejarah di Hotel Oranje (Yamato). Beberapa orang Belanda bekas tawanan Jepang bertindak arogan. Terlebih ketika pesawat Belanda dari Balikpapan menyebarkan selebaran dari udara. Selebaran itu berisi informasi agar mereka bersiap-siap menerima kedatangan Belanda dan sekutu yang disertai gambar bendera merah-putih-biru dan potret Ratu Wilhelmina. (Roeslan Abdulgani: 1994)
Ketika bendera Belanda berkibar di Hotel Oranje
Pada hari Rabu, 19 September 1945, Di bawah pimpinan Ploegman dan Spit, sekelompok orang Belanda dan Indo-Belanda berkumpul, menaiki atap hotel Oranje (Yamato) di Tunjungan. Secara demonstratrif dan arogan mereka mengibarkan bendera bahkan memiliki senjata Jepang. (Bung Tomo: 2008 dan Roeslan Abdulgani: 1994)
Bung Tomo yang kala itu menjadi wartawan Kantor Berita Antara, bersama fotografer Abdul Wahab meliput peristiwa tersebut. Abdul Wahab kemudian memotret peristiwa tersebut. Tak lama Abdul Wahab kemudian dipukul oleh seorang ‘inlander’ (pribumi pendukung Belanda), dan nyaris dikeroyok. (Bung Tomo: 2008)
Aksi arogan orang-orang Belanda dan Indo-Belanda ini segera mengundang kemarahan masyarakat. Mereka berkumpul di sekitar Hotel Oranje. Semakin lama semakin banyak jumlahnya. Sebagian membawa bambu runcing, golok, keris dan pedang. Sepasukan Kenpeitai (Polisi Militer Jepang) pun datang. namun rakyat sudah tak peduli. Batu-batu melayang. Menghampiri orang-orang Belanda yang berada di atap Hotel Oranje. (Bung Tomo: 2008)
Tiba-tiba suara letusan tembakan terdengar. Rakyat semakin murka. Baku hantam tak terhindarkan. Tinju lawan tinju. berlemparan batu. Golok dan senjata tajam lain mulai bermain. Beberapa pemuda nekad naik ke atas Hotel Oranje. Seorang kemudian jatuh dipukul orang Belanda. Lainnya tetap mencoba merangsek ke atas menuju bendera. Tangga tiba-tiba disandarkan. Para pemuda semakin melaju. Tiba-tiba saja seorang merobek warna biru bendera tersebut. (Bung Tomo: 2008)
“Ya Allah, pemuda yang berada di atap itu menyobek kain warna biru yang melekat di bendera tiga warna tersebut sehingga tinggal warna merah putih!
Perlahan-lahan dinaikkan Sang Merah Putih tersebut. Getaran jiwa yang meluap-luap bagaikan air bah tidak tertahankan,” demikian kesaksian haru Bung Tomo yang menyaksikan peristiwa tersebut. (Bung Tomo: 2008)
Sementara serdadu Kenpeitai hanya termangu, orang-orang Belanda melarikan diri ke belakang hotel. Ploegman tewas menemui ajalnya di insiden tersebut. Meski Sudirman, residen Surabaya meminta sudah meminta rakyat untuk bubar, namun permintaan itu tak ditanggapi.
Bung Tomo kemudian naik ke atas, dan mengajak mereka menyanyikan Indonesia Raya. Setelah puas bernyanyi, perlahan mereka membubarkan diri. Truk-truk membawa mereka meninggalkan Jalan Tunjungan. (Bung Tomo: 2008)
Hawa kemerdekaan tak bisa dibendung lagi. Penguasa di Jepang memimnta masyarakat menjaga ketertiban. Bung Tomo yang saat itu menjadi Pemimpin Redaksi Antara di Jawa Timur mengisahkan bahwa serdadu Kenpeitai mulai berpatroli. Di Kantor Antara, Kenpeitai menempel pengumuman permintaan ini. Pamflet ini ditempel pada kaca di luar kantor Antara. Tak lama, pamflet itu disobek rakyat. Kemudian ditempel kembali. Dan disobek kembali. Kejadian ini terus berulang. (Bung Tomo: 2008)
Kenpeitai kemudian menempelkan pamflet tersebut dari dalam kaca kantor Antara agar tak disobek masyarakat. Dan tentu saja awak redaksi Antara tak berani menyobeknya. Namun awak redaksi tak kehilangan akal. Mereka menempelkan pengumuman berisi teks proklamasi pada luar kaca Kantor Antara. Tak pelak, teks proklamasi itu menutupi pamflet dari penguasa jepang yang ditempel dari dalam. Sehingga masyarakat pun hanya membaca teks proklamasi. (Bung Tomo: 2008)
Di belahan lain kota Surabaya,luapan perlawanan sudah tak tertahankan. Para pemuda merangsek ke pos polisi dan pangkalan militer jepang. Mereka hendak merampas senjata-senjata Jepang. Bentrok hamper tak terindarkan antara para pemuda yang bermodal alat seadanya dengan militer Jepang yang bersenjata api. Bermodal kenekadan dan Bahasa Jepang seadanya, Bung Tomo meyakinkan pemimpin militer Jepang di pangkalan tersebut untuk menyerahkan senjata mereka. Bentrokan pun terhindarkan. (Bung Tomo: 2008)
‘Sekutu’ yang tak bersekutu
Situasi di tanah air tak bisa pula diceraikan dengan perkembangan situasi dunia kala itu. Sebagai pihak yang kalah dalam perang, Jepang tunduk pada ketentuan sekutu. Para interniran (tawanan perang Jepang) dan aset militer Jepang menjadi tanggung jawab penguasa militer Jepang yang sudah tak berharga di mata rakyat. Jepang memilih untuk menyerahkan semua tanggung jawab pada sekutu.
Sekutu sendiri mulai menapakkan kakinya di Indonesia lewat kewenangan South East Asia Command (SEAC) yang berpusat di Sri Lanka. SEAC yang dipimpin Lord Mounbatten mengangkat secara tergesa-gesa Sir Philip Christison sebagai Panglima Hindia Belanda. Christison saat itu bekerja tanpa banyak tahu mengenai situasi di Indonesia. SEAC sepakat dengan pemerintah Belanda untuk mengadakan satu pemerintah transisi dan kekuasaan de facto berada ditangan sekutu. Sedangkan urusan sipi diserahkan kepada Netherlands Indies Civil Administration. (Anthony J.S. Reid: 1996)
Pada 20 September, Christison mengatakan pada pers bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia tidak akan dicopot sebagai kolaborator-kolaborator. Sebaliknya, ia meminta agar diperlakukan sebagai tamu dan dibantu bekerja sama untuk mengurus tawanan perang.
Pernyataan ini sontak diprotes oleh pihak Belanda, sehingga pihak sekutu kemudian meralat pernyataan mereka. Namun di media-media Indonesia, pernyataan awal Inggris segera meluas dan disambut hangat. Pernyataan awal Inggris dianggap sebagai pengakuan terhadap Indonesia. Bagaimanapun, kehadiran sekutu tetap dianggap krusial oleh para pemimpin Indonesia. (Anthony J.S. Reid: 1996)
Di pihak sekutu sendiri setidaknya ada tiga pihak yang terlibat, yaitu Inggris, Australia dan Belanda lewat Netherland Indies Civil Administration (NICA). Kehadiran Inggris dan Australia tidak dianggap sebagai ancaman oleh masyarakat Indonesia kala itu. Namun lain halnya dengan Belanda. Sudah mahfum, NICA dianggap sebagai representasi Belanda yang ingin menduduki kembali Indonesia. (Anthony J.S. Reid: 1996)
Masyarakat segera bersikap frontal terhadap perwakilan Belanda. Di Sulawesi Selatan misalnya, pemimpin-pemimpin lokal menolak berhubungan dengan Belanda. Tak butuh waktu lama bagi Inggris untuk mengetahui bahwa kehadiran NICA malah mempersulit pekerjaan mereka di Indonesia.Kebijakan Inggris adalah untuk menghindari kontak bersenjata di Indonesia. Maka untuk menekan sikap provokatif belanda terhadap masyarakat Indonesia, maka di Jawa dan Sumatera, NICA diganti dengan Allied Military Administration – Civil Affairs Branch (AMACAB) di bawah pengawasan Inggris yang lebih ketat. (Anthony J.S. Reid: 1996)
Di Jakarta, para pemimpin Indonesia lewat Sukarno mencoba menjalin kesepahaman dengan pihak sekutu. mereka mencoba meyakinkan kehadiran sekutu tidak akan dianggap sebagai ancaman. Dengan melakuan perjanjian dengan sekutu setidaknya ini adalah langkah awal pengakuan sekutu terhadap Indonesia.
Persoalannya, apa yang coba yakinkan di Jakarta tak semulus keadaan di daerah. Di daerah-daerah, militer belanda acapkali memprovokasi rakyat dan bertindak arogan. Bung Tomo bahkan menyaksikan sendiri bagaimana arogansi tersebut dipertunjukkan di Jakarta.
“…di depan Tangsi Batalyon 10 Kerajaan Tentara Keradjaan Belanda, beberapa orang serdadu yang berpakaian seperti Gurkha dan berkulit hitam menunjuk-nunjuk dan mengejek kami dengan sangat menjengkelkan,” sesal Bung Tomo. Terkadang mereka juga berani menyetop kendaraan orang lain dan kemudian merampasnya,” terang Bung Tomo. Mereka di lindungi oleh serdadu Inggris. Bahkan serdadu inggris juga terlibat melecehkan perempuan-perempuan Indonesia. (Bung Tomo: 2008)
Setidaknya, menurut Bung Tomo di Surabaya, para serdadu tersebut tidak akan seberani di Jakarta. “Aku kembali ingat terhadap seluruh keadaan di Kota Surabaya. Di sana kemerdekaan telah kita kuasai sepenuhnya, sedangkan di ibu kota, bangsa Indonesia harus hidup dalam ketakutan…,” kenang Bung Tomo.
Di Jakarta, Bung Tomo memanfaatkan kehadirannya untuk bertemu dengan para pemimpin Republik Indonesia. Di hadapan Soekarno, Bung Tomo menyatakan bahwa di Surabaya dan Jakarta rakyat siap melawan. Mereka hanya membutuhkan komando dari para pempimpin Indonesia.
Soekarno kemudian menjawab, “Adik, saya harap adik jangan hanya mengukur kekuatan kita dengan keadaan di Jawa Timur. Cobalah Adik lihat juga daerah lainnya. Banyak pasukan Nippon yang belum juga menyerahkan senjatanya kepada kita. Dari itu sebaiknya kita sekarang berusaha dulu merebut senjata tantara Nippon di seluruh Indonesia.”
Jawaban Soekarno diterima Bung Tomo. Namun ia mengusulkan agar semangat rakyat dipelihara dengan siaran radio. Siaran yang memperingatkan rakyat untuk tetap waspada dan bersiap-siap.
Bung Tomo kemudian mengemukakan keyakinannya bahwa “…justru dengan menunjukkan kepada sekutu tantara serikat akan adanya rakyat yang berjiwa dan berpendirian ekstrem (extreme atau tidak mau mengalah sedikit pun) dalam hal ini mempertahankan negaranya itu, tentara serikat akan lebih menghargai adanya pemerintah Republik Indoneisa yang bisa diajak berunding. Pemerintah bisa mempergunakan rakyat yang ekstrem itu sebagai kekuatan yang berdiri di belakang mereka dalam perundingan.” (Bung Tomo: 2008)
Usul Bung Tomo diterima. Ia diijinkan untuk membuat siaran radio perlawanan. Siaran itu kemudian dikenal sebagai ‘Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia’. Radio ini pulalah yang mengubah jalan hidupnya. Pidato-pidatonya kelak dikenal sebagai pidato yang membakar semangat perlawanan.
Radio Pemberontakan bergema di udara
Berbekal alat seadanya radio ini menjadi siaran pemberontakan yang berpengaruh. Melayang di udara, radio in kemudian menurut Bung Tomo, “Radio pemberontakan benar-benar merupakan jiwa dari api perlawanan rakyat terhadap Inggris dan Belanda kala itu.”
“Disamping itu,Radio Pemberontakan senantiasa mendorong agar orang-orang terkemuka di tempat-tempat yang jauh dari Surabaya, terutama mereka yang pada masa penjajahan Belanda terkenal sebagai ‘pemberontak’ bersedia segera menceburkan diri dalam kancah perjuangan yang panasnya sedang memuncak. Siaran Radio Pemberontakan itu kemudian tidak hanya diambil oleh radio Surabaya, tetapi juga oleh sebagian pemancar Radio Republik Indonesia lainnya, seperti di Malang, Solo dan Yogyakarta,” tambah Bung Tomo.
Hal ini dibenarkan oleh sejarawan Ben Anderson yang mengamati pergerakan para pemuda masa itu dalam karyanya, Revoloesi Pemoeda (2018). Menurut Ben Anderson, Bung Tomo yang selalu memulai siarannya dengan pekik takbir “Allahuakbar, Allahuakbar!” itu berhasil menggerakkan para kiyai dan santri di kaki gunung dan pesisir Jawa Timur. Serta di Pulau Madura. Sejak Oktober 1945 para kiyai pedesaan bergerak memenuhi Surabaya meninggalkan pesantren mereka. (Ben Anderson: 2018)
Menariknya, siaran-siaran radio Bung Tomo dapat dijangkau oleh rakyat justru lewat radio-radio yang dibagikan oleh Jepang untuk menyebarkan propaganda mereka di kampung-kampung kota. Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda menyebutkan,
“Suara bergelora yang tidak kelihatan raganya ini, yang memohon bantuan dan perlindungan Allah dalam logat Surabaya yang kental dan menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya, memberi suatu kepemimpinan tanpa hirarki dan inspirasi tanpa melaksanakan belenggu organisasi dan peraturan-peraturan formal.”
Tanpa banyak yang pernah melihat wajahnya, siaran Bung Tomo segera dikenal oleh rakyat dan berbagai tokoh, termasuk tokoh-tokoh Islam. K.H. Saifuddin Zuhri, yang kala itu menjadi aktivis muda Nadhlatul Ulama, mengenang pidato-pidato Bung Tomo yang menggelegar.
“Hampir semua orang tidak percaya bahwa pidato melalui radio pemberontakan tiap malam itu suara Bung Tomo pemimppin dan komandan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia. Mereka yakin benar bahwa itu suara Bung Karno. Bunyi suaranya bernada bariton, lantang dan gegap gempita seperti gaya Bung Karno. Tekanan-tekanan dan ulangan-ulangan aksentuasinya persis seperti cara Bung Karno bertiwikerama, menuding dan menantang. Pidatonya menggelora membangkitkan semangat percaya kepada diri sendiri.” (K.H. Saifuddin Zuhri: 1982)
Bung Tomo, Ulama dan Umat
Hubungan Bung Tomo dengan para tokoh Islam bukan sebatas siaran udara. Bung Tomo mampu menggerakan massa non-santri. Namun ia sendiri bertemu dengan K.H. Hasyim Asy’ari untuk mendapatkan nasehat dari ulama besar tersebut. Bahkan Bung Tomo pernah memberi wejangan di markas Kiyai Blauran, yaitu di rumah K.H. Yasin, di Blauran, gang IV/24, Surabaya. Tempat itu menjadi markas bagi para pejuang dan kiyai yang berdatangan ke Surabaya untuk berjihad. (Abdul Latif Bustami dan Sejarawan Tebuireng: 2015)
Limpahan santri dan kiyai yang berjihad ini tentu saja tak bisa dilepaskan dari Fatwa Jihad yang digelorakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 di Surabaya atau hanya 18 hari sebelum pecahnya perang dahsyat 10 November 1945 di Surabaya. Fatwa jihad tersebut sebenarnya adalah sebuah rumusan yang berjudul Toentoetan Nadhlatoel Oelama Kepada Pemerintah Republik Soepaja mengambil Tindakan Jang Sepadan. (Abdul Latif Bustami dan Sejarawan Tebuireng: 2015)
Rumusan yang kini dikenal dengan resolusi jihad tersebut menyatakan, (1) Memohon dengan sangat kepada pemerintah Republik Indonesia supaja menentukan sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan dan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki-tangannya dan (2) Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan agama Islam. (Abdul Latif Bustami dan Sejarawan Tebuireng: 2015)
Aksi konkrit resolusi jihad tersebut, selain membentuk Partai Islam Masyumi pada 7 November 1945, juga membuat bangkitnya semangat jihad umat Islam melawan Pasukan Sekutu. Di Surabaya, fatwa itu bergema. Surat kabar Warta Indonesia, pada 12 November 1945 memberitakan;
“Kijahi-kijahi telah banjak berkoempoel di Soerabaja. Mereka itoe memoesatkan segenap kekoeatan batihinnja oentoek perdjoeangan jang hebat bertaroeh njawa ito. Kijahi menempatkan segenap kesaktiannja pada perdjoeangan bangsa kita di Soerabaja. Kesaktian kijahi itoe terboekti! Radio Soerabaja diserang dengan bom oleh Inggris tetapi berkat kesaktian kijahi2 itoe bom Inggris jang djatoeh di sana tidak berboenji.” (Abdul Latif Bustami dan Sejarawan Tebuireng: 2015)
Begitu pula surat kabar Ra’jat pada tanggal 14 November 1945 menuliskan tajuk “Kesaktian kijai2: Bom melempem.” Dalam surat kabar itu diwartakan,
“Kijahi alim oelama dari berbagai wilajah telah membandjiri Soerabaja bersedia mati demi bangsanja. Mereka jang mengalir teroes meneroes ke Soerabaja itoe telah teken mati. Mereka bersedia berkoerban oentoek kedaulatan negara dan bangsanja. Mereka telah menjerahkan diri pada Toehan. Allah Hoe Akbar. Mati Sjahid. Kijahi2 sekalian rakjat Indonesia (,) dimoelai kata Kijahi Mashoed dari Radio Pemberontak Soerabaja (,) ‘Berangkatlah ke Soerabaja.”
Tak pelak, pekik Takbir pidato Bung Tomo yang terkenal itu tak bisa dilepaskan para ulama yang bahkan juga meneriakkan Takbir di Radio Pemberontakan yang dipimpin oleh Bung Tomo. Perpaduan hubungan pemuda revolusioner seperti Bung Tomo dengan ulama menghasilkan pekik Takbir yang dibakar oleh semangat jihad fi sabilillah yang telah menimbulkan gelombang dahsyat para ulama dan umat untuk berjihad di Surabaya dan wilayah lainnya di tanah air.
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Pustaka:
Abdul Latif Bustami dan Tim Sejarawan Tebuireng. 2015. Resolusi Jihad: Perjuangan Ulama: Dari Menegakkan Agama Hingga Negara. Pustaka Tebuireng: Jombang.
Anderson, Bennedict. 2018. Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Tangerang Selatan : Marjin Kiri.
Bung Tomo. 2008. Pertempuran 10 November 1945. Jakarta: Visi Media.
Abdulgani, Roeslan. 1994. Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia. Surabaya.
Reid, Anthony J.S. 1996. Revolusi Nasional Indonesia. Sinar Harapan: Jakarta.
Zuhri, K.H. Saifuddin. 1982. Bung Tomo dari Barisan Avant Garde Revolusi Indonesia dalam Kaleidoskop Politik di Indonesia jilid 3. Gunung Agung: Jakarta.