“Bagaimanapun keras kewajiban itu namun wajib dilaksanakan. Memang inti daripada Risalah Islamiyah ialah da’wah amarma’ruf nahimunkar itu. Masyarakat yang tidak ada kegiatan da’wah amarma’ruf nahimunkar niscaya akan rusak binasa menjadi korban hawanafsu manusia yang tidak terkendalikan.”
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam sudah lama berakar, bahkan Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi Islam tertua di Indonesia. Sebagai gerakan Islam, Muhammadiyah bukan saja bertugas menyampaikan risalah Islam, tetapi juga menerapkannya dalam masyarakat. Itu sebabnya amal Muhammadiyah dapat kita saksikan dalam berbagai aspek di masyarakat, mulai dari pendidikan hingga kesehatan.
Risalah Islam di dunia bukan saja membawa pada kebahagiaan dan kesejahteraan, tetapi juga peradaban yang luhur. Peradaban yang luhur tersebut hanya bisa berdiri jika ditopang oleh masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pertanyaannya adalah bagaimana merintis jalan menuju masyarakat tersebut? Djarnawi Hadikusuma, seorang tokoh Muhammadiyah yang juga putra dari ulama Muhamadiyah, Ki Bagus Hadikusuma dalam karyanya Risalah Islamiyah menuturkan jalan yang ditempuh oleh umat Islam dalam membentuk masyarakat yang sering dikenal dengan istilah ‘Baldatun, Tayyibantun wa Rabbun Ghafur.’
Lahir di Kauman, Yogyakarta, 4 Juli 1920 ia adalah putra dari Ki Bagus Hadikusumo dan Siti Fatmah. Djarnawi mengawali sekolah di Bustanul Athfal Muhammadiyah di Kauman, lalu melanjutkan ke Standaardschool Muhammadiyah dan Kweekschool Muhammadiyah. Ia besar dengan didikan para ulama seperri KH Mas Mansur, KH Faried Ma’ruf, KH Abdul Kahar Muzakkir, KH Siradj Dahlan bahkan sempat berguru kepada Buya Hamka. (Republika, 14 Juli 2013)
Selepas menuntut ilmu, Djarnawi kemudian menjadi mubaligh dan guru agama Islam di sekolah Muhammadiyah di Medan Sumatera. Perjalanan menjadi guru di Medan ditempuhnya sepanjang tahun 1938 sampai 1942. Sejak 1944 ia menjadi kepala sekolah Muhammadiyah Tebingtinggi hingga September 1949, ketika ia kembali ke Yogyakarta. Di Yogyakarta terlibat intens di kepengurusan Muhammadiyah, hingga kemudian tahun 1967 ia terpilih sebagai Ketua III PP Muhammadiyah. (Republika, 14 Juli 2013)
Djarnawi dikenal sebagai penulis yang produktif, temanya mulai dari bidang keislaman, biografi kristologi, bahkan ia menulis lagu mars Muhammadiyah yang berjudul Sang Surya. Selain itu ia juga dikenal sebagai pendiri sekaligus pemimpin pencak silat Tapak Suci Muhammadiyah sejak tahun 1966 sampai 1991.(Republika, 14 Juli 2013)
Berbagai amal yang ditunaikan Djarnawi Hadikusumo tentu saja tak lepas dari peran serta para ulama yang mendidiknya serta pengaruh Muhammadiyah dalam dirinya. Kiprah Muhammadiyah dalam masyarakat turut mewarnai perjalanan hidup Djarnawi. Bagi Djarnawi Islam bukan saja persoalan ibadah dalam arti sempit, namun juga dalam arti yang luas, yaitu membentuk masyarakat. Risalah Islam menurut Djarnawi hadikusuma memiliki bayangan dan konsepsi yang jelas tentang masyarakat yang ideal. Djarnawi menyatakan bahwa, “Islam bukan hanya agama yang menentukan cara ibadah dan hidup berkeluarga, tetapi juga mengarahkan perkembangan masyarakat.” (Djarnawi Hadikusuma: 1973)
Mengacu pada sejarah Rasulullah di kota Madinah, Djarnawi menggambarkan proses pembentukan masyarakat yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Sejarah pembentukan masyarakat tersebut inilah yang menjadi acuan umat Islam dalam membentuk masyarakat yang ‘Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.’ ‘Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur,’ dapat diartikan ‘Negeri utama di bawah naungan Tuhan yang Maha Pengampun.’ Penggambaran negeri tersebut menurut Djarnawi dapat dilihat dari penggambaran dalam surat Saba. Peradaban yang tinggi, mampu membangun bendungan besar yang mengairi sistem irigasi, pertanian dan perkebunan yang subur dibawah pimpinan raja yang adil. (Djarnawi Hadikusuma: 1973)
“Rezeki melimpah ruah disertai kehidupan rohani yang mengabdi kepada Tuhan, Maka terciptalah keamanan dan kesejahteraan lahir dan batin, atau menurut istilah masa kini: materiil dan spiritual,” demikian Djarnawi menjelaskannya. (Djarnawi Hadikusuma: 1973)
‘Baldatun Thayyibantun wa Rabbun Gafur’ dapat dipahami sebagai negeri dimana kesejahteraan, kebahagiaan, dan keutamaan luas merata. Selain meratanya kesejahteraan dan hidup masyarakatnya yang cukup, negeri itu mensyaratkan, “…suburnya taqwa kepada Allah, berkembangnya ibadah dan amal-amal yang baik serta bermanfaat serta tercerminnya akhlaq yang utama dalam masyarakat.”
Bisa jadi dalam masyarakat tersebut masih terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, tetapi menurut Djarnawi, hal itu berhasil dibatasi seminim mungkin, dilakukan dengan sembuyni-sembunyi dalam tempat tertutup karena khawatir diketahui orang lain. Demikian pula halnya orang kafir dan musyrik, semakin mengecil karena giatnya dakwah.
Menarik ketika Djarnawi menyebutkan bahwa kemaksiatan dilakukan sembunyi-sembunyi. Suatu hal yang amat sulit kita temukan saat ini di Indonesia. Kemaksiatan dan kemunkaran telah dilakukan bukan saja terang-terangan, tetapi juga dengan kebanggaan. Oleh sebab itu peran dakwah menjadi penting dalam masyarakat.
Pada dasarnya manusialah yang membutuhkan bimbingan, pengajaran dan diselamatkan. Allah tidak membiarkan hamba-Nya – memakai istilah Djarnawi- ‘sengsara dan rusak binasa.’ Oleh karena itu Allah berikan yang dibutuhkan manusia, yaitu orang-orang yang mengingatkan. Namun menurut beliau, “Yang dapat membimbing langsung kepada umat manusia, haruslah manusia juga, bukan malaikat dan sebagainya. Pembimbing itu harus hidup ditengah manusia yang dipimpinnya, agar dapat sependerita dan sepenanggungan, memberi contoh dan tauladan yang baik.” Itulah yang diemban para Nabi dan Rasul. (Djarnawi Hadikusuma: 1973) Meski kini para nabi dan rasul telah tiada namun bukan berarti dakwah itu terhenti. Sebaliknya dakwah tersebut terus berjalan.
Salah satu sendi Islam menurut Djarnawi Hadikusumo adalah kecintaan. Kecintaan ini yang menjadi sendi kehidupan dalam rumah tangga dan kemudian diperluas menjadi sendi dalam masyarakat. Dengan rasa cinta ini anggota masyarakat akan saling terhindar dari sikap saling menganiaya, sebaliknya saling tolong-menolong, bela-membela serta bantu-membantu. Djarnawi kemudian mengutip hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari, yaitu, ” Tidak benar beriman tiap kamu sekalian sebelum mencintai saudaranya seperti cintanya kepada diri sendiri.”
Dari rasa cinta itu kemudian Djarnawi menjelaskan, “Kecintaan kepada orang tidak hanya berarti kasih, membela dan membantu; tetapi juga memberi nasihat yang baik. Melarang perbuatannya yang keliru atau tidak baik, menunjukkan kesalahannya dan kalau perlu memaharinya. Maka berlakulah apa yang diistilahkan “amarma’ruf nahi munkar.”” (Djarnawi Hadikusuma: 1973)
Amar ma’ruf nahi munkar adalah syarat dalam membentuk masyarakat yang baik. Mengutip surat Ali Imran ayat 104, Djarnawi mengingatkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar kewajiban setiap mu’min. Amarma’ruf adalah “menyuruh, menggerakkan serta membimbing manusia untuk membangun kemanfaatan. Adapun nahimunkar ya’ni melarang, menghalangi dan menghindarkan terjadinya kemunkaran secara represip dan preventip. Represip artinya menghilangkan atau menghentikan kemunkaran yang sedang terjadi, dan preventip yaitu usaha untuk mencegah kemungkinan terjadinya kemunkaran.” (Djarnawi Hadikusuma: 1973)
Amar ma’ruf memang sebuah upaya untuk menghasilkan kebaikan, namun Djarnawi mengingatkan bahwa kemunkaran akan menghancurkan kebaikan yang telah dibangun. Djarnawi mengibaratkan amar ma’ruf seperti menanam padi dan nahi munkar seperti memberantas hama.
Djarnawi kemudian mengingatkan pula bahwa dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar tidaklah mudah. Sebuah perjuangan yang berat. Karena bukan saja mengajak manusia kepada kebaikan, tetapi juga melayani orang-orang yang melawan karena merasa dirugikan kesenanganya. Namun betapa pun beratnya, itu adalah kewajiban yang harus dijalani. Djarnawi kemudian mengingatkan,
“Bagaimanapun keras kewajiban itu namun wajib dilaksanakan. Memang inti daripada Risalah Islamiyah ialah da’wah amarma’ruf nahimunkar itu. Masyarakat yang tidak ada kegiatan da’wah amarma’ruf nahimunkar niscaya akan rusak binasa menjadi korban hawanafsu manusia yang tidak terkendalikan.” (Djarnawi Hadikusuma: 1973)
Tidak semua orang dalam masyarakat berbuat kemungkaran, namun menurut Djarnawi, mengutip surat Al-Anfal ayat 25 orang-orang yang tidak berbuat kemungkaran turut merasakan akibatnya. Oleh karena itu, meski amar ma’ruf nahi munkar dibebankan pada tiap mu’min, namun dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mutlak dilakukan secara terarah dan terorganisir. Djarnawi mengutip surat Ali Imran ayat 104 yang memerintahkan terbentuknya suatu umat yang mengemban kewajiban itu. Umat menurut Djarnawi berarti satu golongan yang memiliki kesamaan kondisi, maksud dan tujuan. Maka dalam umat tersebut diperlukan adanya, pemimpin, pembagian tugas dan peraturan. “Menilik kemajuan masa kini memang adanya organisasi suatu hal uang mutlak bagi penyiaran da’wah Islam amarma’ruf nahi munkar. Mutlak bagi mempertahankan kelanjutan adanya da’wah amarma’ruf nahi munkar itu sendiri dan mutlak pula bagi suksesnya,” terang Djarnawi.
Meski demikian, dalam berdakwah tetap diperlukan panduan. Karena tujuan da’wah menurut Djarnawi, bukannya mengalahkan tetapi menimbulkan kesadaran dan pengertian. Pendekatan dalam berda’wah dengan memberikan pengertian yang diarahkan untuk menumbuhkan rasa perlu kepada tuntunan beragama; dan harus dihindarkan sejauh-jauhnya setiap tindakan atau keterangan yang bersifat memaksa, menakut-nakuti, membujuk atau memburuk-burukkan.
Selanjutnya, menundukkan hati orang yang diberi da’wah. Berda’wah juga harus dilakukan dengan memberi contoh amal yang baik serta akhlaq yang mulia sehingga kebaikan dan manfaat Risalah Islamiyah tercermin dalam pribadi juru da’wah atau organisasinya. Dan tak kalah penting, “Amarma’ruf nahimunkar juga harus dilaksanakan dengan pendekatan guna menumbuhkan kesadaran tentang perlunya usaha yang ma’ruf dan perlunya segala bentuk kemunkaran dikikis habis.”
Demikianlah pandangan Djarnawi Hadikusuma tentang dakwah amar ma’ruf nahi munkar dalam masyarakat sehingga mengarahkan masyarakat menjadi “Baldatun Thayyibantun wa Rabbun Ghafur.” Sebuah tantangan berat bagi sebuah negeri yang saat ini, amar ma’ruf nahi munkar seringkali dibalas dengan sambutan “agama urusan pribadi.”
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tabligh edisi Juni 2017