Seperti Anshar di Madinah, yang menyambut saudaranya seiman para Muhajirin Mekah, semua warga bahu membahu membantu. Para wanita di kampung pun sampai lupa memasak untuk keluarganya, saking ingin memuliakan tamunya.
Hasan Ali, muslim Rohingya itu masih lahap menikmati sarapan nasi dengan kolnya di bekas pabrik kertas yang disulap menjadi barak pengungsian bagi sekitar 400 ratusan pengungsi Rohingya dan Bangladesh di Bayeun, Aceh Timur. Seperti biasa, kini makanan sudah bisa diambil sendiri di atas meja coklat depan dapur umum di sudut pengungsian.
Di bawah rerembunan nyiur itu, satu persatu pengungsi itu mengambil nasi dengan centongnya di dalam ember besar setinggi pinggang itu. Nampak relawan Aceh meletakkan lauknya ke atas piring plastik berwarna warni. Tak jauh dari sana, pengungsi Rohingya yang mudah dikenal dengan gelang ini berkumpul, bercengkrama, sambil lahap menikmati makanan.
Sayup-sayup dari kejauhan nampak datang dari gerbang puluhan orang, dengan kaos oblong, dan suara khas Aceh yang terdengar. Biasanya, para pengungsi Rohingya ini acuh, melanjutkan makanannya. Namun, kali ini nampak berbeda. Para pengungsi yang tadinya sedang lahap menyulang nasi ke mulutnya, tiba-tiba berhenti seketika.
Ibu-ibu Rohingya yang sedang mengasuh anak, segera berlari mendekat ke pos penjagaan. Para pengungsi yang sedang beraktivitas tetiba saja menoleh, melihat, dan segera mendekat. “Mereka semua meninggalkan semua aktivitas mereka melihat ada yang datang,” kata Saifullah, warga Aceh yang sudah 20 hari berada di penampungan Bayeun bertugas menjadi relawan, kepada jejakislam.net sepenggal Juni di Aceh.
Semua mata seakan terbelalak. Siapakah yang datang? Bupati? Gubernur? Artis? Atau Presiden, sehingga semua orang Rohingya tak mempedulikan apa yang sedang mereka lakukan. Mata Hasan Ali tiba-tiba berkaca, bulir bening itu menggunduk, pecah tak tertahankan. Satu persatu pipi para pengungsi pun meleleh basah.
Orang –orang di seberang sana pun tak kuasa menahan tangisnya. Suasana haru seakan menyergap dalam sepersekian detik. Air mata tumpah ruah, dalam riuh haru, semua larut. Siapakah mereka yang datang, sehingga Hasan pun tak kuasa membendung air matanya.
Dilihatnya lamat-lamat para pria lusuh berkulit coklat di hadapannya. Tangis semakin pecah menjadi. Semua berpelukkan. Melihat guratnya, seakan makan dan aktivitas lainnya tak begitu penting dibanding sosok-sosok yang kini ada di depan matanya. Rindu? Begitulah ungkapan hati para pengungsi kepada mereka, para manusia yang mungkin paling berjasa menyelematkan dirinya.
Air muka dan bau lusuh tubuh pria-pria yang sudah tak asing lagi bagi Hasan Ali dan ratusan muslim Rohingya. Bagaimana akan lupa, bukankah merekalah yang menemukan Hasan yang dalam keadaan nyaris tak bernyawa di tengah ganasnya lautan?
Bukankah mereka yang mengulurkan tangan dan Hasan pun menyambut uluran tangan dengan sangat payah. Bukankah mereka yang berusah payah berlayar ke tengah samudera hanya untuk menolong saudaranya yang nyaris tewas di tengah ganasnya lautan?
Ingatan akan malam itu berkelebat kembali. Sepenggal dini hari, saat Hasan Ali hanya bisa berharap lirih, dengan suaranya yang parau memekikkan takbir, yang mungkin akan menjadi takbir terakhirnya, menguap bersama derunya ombak di lautan. Baru tadi senja, harapan itu seolah muncul. Di tengah lautan yang nun jauh puluhan kilometer dari Aceh, seorang Nelayan menemukan mereka setelah terombang-ambing berhari- hari di lautan.
Hanya melemparkan makanan, sang Nelayan yang berharap bisa menolongnya mengapa tiba berbalik arah, menjauh dan menghilang dari pandangan. Pupus sudah, harapan akan bisa melihat daratan. Di atas geladak sendiri, para anak sudah tak kuasa menahan lapar dan dahaga. Para ibu hanya menangis dengan air mata yang sudah mengering, tak tahu lagi apa yang akan diperbuat.
Hingga senja usai, Nelayan tadi tak kunjung datang. Seakan tak ada harapan lagi, hanya mengikuti kemana arus bertepi. Namun, siapa sangka, di malam nan sunyi, sinar-sinar petromak nampak dari kejauhan, semakin mendekat. Sayup-sayup suara- suara Melayu itu mendekat, semakin banyak.
“Byur…byur…” para muslim Rohingya melompati kapal, menembus lautan, mengayun-ayunkan tangan, berenang mendekat pada perahu-perahu yang kini sudah ada di hadapannya. Rupanya, nelayan tadi sore yang bersua kini membawa ‘pasukannya’ melewati 35 mil lautan, bermodal solar sendiri, menyelamatkan para manusia perahu ini.
“Allahu Akbar…Allahu Akbar..” pekik takbir parau Hasan kini mulai mencuat, dengan tangis haru. Satu per satu, para manusia di lautan ini dinaikkan ke perahu-perahu kecil sang Nelayan. Tak sanggup karena terlalu banyak, akhirnya kapal hijau Rohingya saja yang ditarik oleh sekira tiga perahu, dan bertambah seiring perjalanan menuju muara. Dari muara, para manusia perahu ini masih harus menaiki perahu menuju kampung para nelayan, Simpang Lhee, Julok menembus rawa dan sungai.
Terdengar kabar akan ada ‘tamu’ muslim dari negeri seberang, warga Simpang Lhee pun segera menyambutnya. Memuliakan tamu alias pemuliaa jamee merupakan adat Aceh yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi. Kelak kita akan melihat bagaimana warga Aceh memandang para tamunya sekaligus memuliakannya.
***
“Di sini ada adat pemuliaa jamee (memuliakan tamu) Biar kata kami nggak punya apa-apa tapi kami harus memuliakan tamu, biarpun kami kelaparan,” kata Iwan, salah satu warga yang pagi itu ‘meyambut’ para muhajirin Rohingya.
Selain adat pemuliaa jamee, Sejarawan dan Pakar Budaya Maritim Aceh Tgk. Malikulshaleh Al Alubi kepada jejakislam.net mengatakan bahwa para nelayan Aceh pun ‘terikat’ dengan adat Aceh di atas lautan, yaitu menolong siapapun yang terombang-ambing dilautan.
“Di Aceh ada istilah Pemuliaa Jamee. Adat yang berkaitan dengan agama, masyarakat sangat antusias membantu. Apalagi ini terkait musibah. Bahkan, sebagian warga Aceh mengatakan: ‘Kalau warga Rohingya ingin selamanya tinggal di Aceh pun tak masalah’.”
“Terlebih terikatnya Nelayan dengan adat laut. Siapapun yang terlantar di tengah lautan, nelayan harus menolongya. Termasuk kasus-kasus antar nelayan Aceh saling menolong, terlebih lagi ini sesama muslim,” katanya saat silaturahim JIB dengan Centre of Information Samudera Pasai Heritage (CISAH) di Lhokseumawe.
Menurutnya, hukum-hukum adat laut diwariskan sejak abad 16 era Aceh Darussalam secara turun temurun secara lisan dari generasi ke generasi. Hingga tahun 1996 diadakan musyawarah para Panglima Laut Aceh, pawang, tetua, Tokoh Kemaritiman, hingga tekong-tekong (boat) merumuskan adat Aceh. “Dijadikan Qanun tertulis saat ini, tentang Adat kemaritiman dan laut di Aceh,” katanya.
Menolong orang terdampar di lautan, hanyalah salah satu adat laut di Aceh. Pun dengan pemuliaa Jamee (memuliakan tamu) hanyalah satu di antara sekian adat Aceh yang menggerakkan rakyat Aceh menolong pengungsi Rohingya. “Menolong mereka bagi warga Aceh memang ini adalah ikatan batin, yang pertama karena mereka muslim, dan kedua karena adat istiadat kami yang tidak bertentangan dengan hukum syara,” tambah Tgk. Malikul Shaleh Al Alubi.
Di tempat terpisah, saat JIB bertandang ke Banda Aceh, Sekretaris Masyarakat Pencinta Sejarah Aceh (Mapesa) Mizuar al Asy mengakatan bahwa sebenarnya sudah ada adat masyarakat Aceh sebelum adanya Islam, namun Islam datang melakukan islamisasi dan pengembangan hingga menjadi suatu yang paripurna.
“Terjadi islamisasi, hingga tibalah masa keemasan, kemakmuran, paripurna, dan adat mulai dilembagakan mulai era Sultan Alaudin Al Qahar kalau merujuk Bustanus Salatin. Alaudin Riayatsyah, beliau yang mengadatkan adat Aceh yang dikenal sekarang, satu zaman dengan Sultan Sulaiman al Qanuni Turki Utsmani,” kata Mizuar Mahdi Al Asyi.
Selain itu, diungkapkan beberapa warga Aceh kepada jejakislam.net kedatangan Rohingya ke Aceh mengingatkan mereka akan memori satu dekade silam, saat Tsunami Melanda. Seakan mereka menatap diri mereka di masa silam, saat hidup dalam barak-barak, tenda-tenda, selama bertahun-tahun. Kita simak bagaimana warga Aceh Utara, Nek Antiqah (70) tak kuasa menahan tangisnya hingga membasahi keriput pipinya.
“Saya sedang memerhatikan antrian panjang ini, memori saya telah kembali, ingatan tentang kejadian sebelas tahun silam telah menyesakkan dada, memilukan hati dan air mata tak sanggup saya bendung,” kata Mawardi, pegiat CISAH menirukan perkataan Nek Antiqah yang jauh-jauh membawa sekresek bantuan untuk Rohingya di Kuala Cangkoi, Aceh Utara.
“Ketika kami di barak pengungsian korban Tsunami dulu,” Nek Antiqah melanjutkan,”Nasib kami masa itu persis seperti yang saya lihat di depan mata saya hari ini,” lirihnya. Tatapan Nek Antiqah seakan menerawang masa silam. Dibukanya lembaran masa lalunya yang begitu jelas. Jelas sekali. Dengan mantap ia lanjutkan kisahnya.
“Dulu kami harus melewati antrean panjang untuk mendapatkan nasi dari dapur darurat seperti ini juga,” katanya sambil mengenang. Sambil menahan haru, dibuka kembali lembaran masa silamnya.
“Hingga tersirat sebuah pertanyaan, apakah mereka yang antri di bagian paling belakang akan sampai, di depan meja jamuan dan bisa menikmati makanannya? Karena sangat panjang, saya takut sekali tak tersisa… apa-apa lagi.. untuk mereka, saya takut ada yang tak sempat makan,” sambil terisak.
Di tengah segala keterbatasan, masyarakat Aceh –wabil khusus Kuala Cangkoi yang hancur sebagai Tsunami dan sempat dijadikan tempat pengungsian Rohingya- seakan merasakan dejavu, bercermin, melihat wajah mereka sendiri. “Kami merasakan betul bagaimana kami hidup di pengungsian, tahun 2004 kami Tsunami, baru kembali ke rumah tahun 2007,” lirih Ruslan Utsman yang kehilangan istrinya saat Tsunami melanda.
Suasana yang begitu terkenang, menepuk memori melihat anak-anak yang ssedang tertawa, meliuk “sruuuuut” di perosotan. Ayunan yang terus bergoyang, hingga besi pun tak luput dari kaki yang sedang berjongkok. Menyimak bacaan Qur’an yang begitu merdu selepas shalat ashar.
Antre di dapur umum, tinggal di barak-barak pengungsian. Melewati hari demi hari dengan penuh kecemasan, hingga senyum dan harap. Melewati malam demi malam dengan doa dalam rukuk dan sujud, agar dapat bersua dan bercengkrama dengan sanak karib yang entah berada di mana, nun jauh di sana, atau mungkin sudah tiada.
“Seakan memori terulang. Kepiluan dan kesedihan, juga pengalaman di pengungsian pernah kami alami. Kita juga pernah mendapat bantuan dari luar negeri, tinggal di barak-barak. Malah kita lebih lama lagi, kita satu tahun tinggal di barak,” kenang Tgk Malikul Shaleh Al Alubi sambil menghela nafas. Dengan mata semakin berkaca ia melanjutkan.
“Tsunami mungkin adalah musibah terbesar yang dialami masyarakat Aceh karena kita mengalaminya secara langsung. Pada saat 26 Desember tsunami, kami pindah ke masjid Baiturrahman, lalu pindah lagi berkali-kali tinggal di barak. Jadi perasaan warga Rohingya pernah kami rasakan juga.”
“Lebih-lebih lagi penjajahan atas mereka sangat luar biasa dan mereka juga berbulan-bulan tinggal di lautan……” lirih Tgk dengan mata semakin memerah dan berkaca. Ia pun tak kuasa melanjutkan kisahnya, karena tak kuat menahan haru.
***
Suasana haru pun semakin menjadi-jadi. Di naungan surau tempat sujud itu, kini ratusan pengungsi akhirnya menjejakkan kaki pertama kali usai para Nelayan itu membawa mereka ke daratan. “Karena sama-sama Islam, kami begitu dekat,” tambah Iwan terkenang. Warga Aceh lainnya, Saifullah sambil menunjukkan foto-foto kepada saya ketika baru pertama kali Rohingya di Julok mengatakan bahwa dirinya pun tak kuasa menahan air mata melihat akhirnya mereka bisa selamat.
Terlihat jelas bagaimana mereka begitu kelaparan. Warga Kecamatan Julok dan dari luar kampung mulai berdatangan. Meunasah berubah mejadi pusat aktivitas warga. Seorang nenek – nenek datang dari jauh membawa sebambu beras. Pria paruh baya lainnya dengan sigap menyiapkan motornya untuk membawa sebagian pengungsi menuju puskesmas.
Saifullah pun mengaku menangis melihat para pengungsi dan kesungguhan warga Aceh membantu mereka. Ibu-ibu yang membawa bungkusan kain berisi nasi putih. Tanpa aba-aba lagi, sedetik dua, Hasan Ali dan kawannya melahap nikmat nasi yang sudah lama tak dinikmati. Hasan masih tak peduli, di mana dirinya berada, namun ia begitu merasakan kehangatan yang begitu mendalam.
Para Nelayan pun tak kuasa menahan tangis. Diambilnya piring dan nasi, didekati para bocah yang sudah lemas itu. Satu per satu mulut kering mereka disulang dengan nasi dari sentuhan lembut sang Nelayan. Sepotong dua potong pakaian menggunung di teras Meunasah, entah dari mana datangnya.
“Dulu mereka tiba sangat lusuh dan kurus. Sudah lama tidak mandi,” kenang Saifullah. Karenanya, bak air yang selemparan batu dari Meunasah kini berubah menjadi pemandian dadakan. Satu persatu warga mengguyurkan air, memandikan para bocah. Orang-orang Rohingya tampak girang, akhirnya bisa lagi mencium bau air tawar.
“Berbulan-bulan kami tidak makan, sampai di sini kami bisa makan,” kenang Hasan. Dirinya pun menangis sejadi-jadinya disusul tangisan warga yang tak kuasa melihat kondisi nelangsa para rohingya. Seperti Anshar di Madinah, yang menyambut saudaranya seiman para Muhajirin Mekah, semua warga bahu membahu membantu. Para wanita di kampung pun sampai lupa memasak untuk keluarganya, saking ingin memuliakan tamunya.
“Memang tak semua Rohingya menikmati santapan saat itu. Ratusan dari mereka masih dalam perjalanan menyusul sebagian lainnya. “Pagi mereka dipindah ke Pores untuk pendataan, sampai di sana siang,” kata Saifullah. Dengan berat hati, warga Julok harus ‘merelakan’ mereka pergi. Entah kemana mereka akan tinggal, padahal sebagian mereka siap menampung Rohingya.
“Jam dua ada kabar mereka akan ditampung sementara di Kuala Langsa atau SKB Aceh Timur,” tambah Iwan. Usai pendataan sebanyak 300an pengungsi Polres, satu per satu Rohingya menaiki bus Polisi, truk Pol PP dan beberapa bus juga kendaraan pengendali massa.
“Dari sana, saya tak berhenti-henti menangis melihat mereka,” kenang Saifullah. Menjelang senja, bus sudah tiba di tapal batas Aceh Timur dengan Langsa. Namun, mereka masih belum mendapatkan izin tinggal di Kuala Langsa, karena tempatnya masih belum memadai. Akhirnya Rohignya pun sementara diturunkan dan duduk berbaris dengan pandangan kuyu karena sebagian di antara mereka masih banyak yang belum makan.
“Saat di Kantor Polisi siang, mereka tak di beri makan, kami bingung saat itu mau kasih makan apa mereka,” kenang Saifullah. Dalam ketidakpastian, sayup-sayup terdengar suara dari corong Meunasah. Suara yang menggerakkan kalbu, suara panggilan dari para tokoh Islam, tentang ayat al Qur’an dan hadits Nabi, anjuran membantu para pengungsi.
Suasana di Julok, kini terulang kembali di Alor Dua, perbatasan Langsa dan Aceh Timur. Sambil meringkuk, duduk, warga pun berdatangan kembali. Pemandangan yang berulang, ketika seorang pemuda datang membawa baju. Seorang nenek renta dibonceng sang cucu yang ngebut mengendarai motor bebek nampak turun dan tersengal sambil membopong kardus dan sekeresek pakaian bekas.
”Untong golom teulat (untung belum terlambat, Red),” katanya dengan nafas tersengal-sengal, seperti dilansir Jawa Pos. Padahal si nenek mengatakan berasal dari Bayeun Keude, 10 kilometer dari lokasi.
“Saking kita ga ada uang, sampai semua warga patungan, apa yang ada di kantongnya ya itu dikeluarin semua. Beras yang ada di rumah dimasak, tapi masih belum cukup,” kenang Saifullah yang saat itu pun menemani Rohingya menanti keputusan di mana mereka akan tinggal.
Kemuning senja semakin memerah. Sampai langit gelap, tak ada info bahwa mereka akan ditempatkan di mana. “Sampai magrib, kami masih tertahan di Alor Dua. Kasihan mereka, belum semua makan juga,” kata Saifullah. Iwan menambahkan, tempat yang semula direncanakan sedianya sudah disiapkan warga.
“Kami jadi bongkar semua,” kata Iwan. Akhirnya di tengah pekatnya malam, barulah ada keputusan bahwa Rohingya akan ditempatkan di bekas Pabrik Kertas, Bayeun Aceh Timur. “Baru sekitar jam 9 malam akhirnya mereka semua tiba di sini. Belum ada apa-apa di sini, masih kosong,” kenang Saifullah.
Selama dua pekan, pengungsian Bayeun tak henti-hentinya didatangi warga yang ingin membantu. Apapun, termasuk sekresek beras semua dibawa. Nampak baju menumpuk. Sampai-sampai akhirnya pemerintah membatasi tak semua warga dapat masuk.
Namun, spesial bagi puluhan orang yang kini sedang dalam suasana haru ini, mereka mendapatkan izin dari Wakil Bupati untuk bersua dengan Hasan Ali dan lainnya kapan pun mereka mau. “Tak pernah terbalas jasa mereka,” kata Hasan Ali. Para nelayan Aceh ini kini menjadi tamu istimewa.
Suasana haru, semua bercampur aduk menjadi satu. Semua larut dalam tangis, hingga berujung canda dan tawa. Kini, Hasan Ali sudah sangat sibuk karena ia satu-satunya pengungsi Rohingya yang bisa berbahasa Melayu di Bayeun. Terkadang, Saifullah pun selama dua pekan di pengungsian sudah tak merasa sendiri lagi, karena seakan sudah bersua dengan keluarga barunya.
“Kalau malam saya jaga diajak ngobrol, sudah kaya saudara sendiri. Walau kita nggak terlalu ngerti bahasa mereka. Warga Aceh sendiri sangat mendukung mereka. Kami semua membantu insya Allah karena Allah saja. Tidak ada bagi kami relawan mendapat apa dari kantor, ini memang tugas kewajiban kami. Mereka semua adalah saudara kita. Insya Allah semua lillahi ta’ala,” kata Saifullah.
Mizuar Mahdi, Aktivis Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapessa) seakan setuju dengan ungkapan Saifullah, bahwa merawat kemanusiaan – muslim Rohingya- merupakan amanah besar yang diwariskan para pendahulunya sejak dari zaman Pasai hingga Aceh Darussalam hingga generasi selanjutnya.(baca wawancara jejakislam.net dengan Arkeolog Aceh Deddy Satria: Islam di Aceh Islam yang Global, bukan Islam yang Independen)
“Dulu, Aceh dengan terbuka menolong banyak kaum yang datang. Kami melihat ini bukan pengagungan, kami hebat dulu, itu justru tanggungjawab berat bagi kami, bagaimana kami melanjutkan warisan para pendahulu,” ungkapnya.
“Kami tidak bangga, justru kami sedih apabila mereka tak diperlakukan bagaimana sama seperti kita, belajar agama, mendapat pendidikan layak dan paling penting mereka suatu saat harus kembali ke kampung halamannya dengan damai,” tutup Mizuar Mahdi.
Oleh: Rizki Lesus – Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)