Suku Dayak merupakan salah satu suku yang mendiami pulau Kalimantan. Jumlah mereka kurang lebih diperkirakan 3.000.000 jiwa pada tahun 1986.[i] Suku Dayak juga memiliki banyak sub-suku, dalam beberapa penelitian menyebutkan ada 7 sub-suku Dayak dan yang lainnya menyebutkan hingga 18 sub-suku. Masyarakat dalam suku Dayak juga memeluk berbagai agama: Kaharingan[ii], Kristen, dan juga Islam. Suku dayak terkenal dengan jiwa kesatria dan keberanian mereka, hal ini sebagaimana yang digambarkan oleh M.T.H. Perealer dalam Novel Antropologinya “Ran Away From The Dutch”[iii], ditulis semasa ia bertugas menjadi pejabat sipil di daerah Groote en Klaine Dajak (Sekarang Kalimantan Tengah) dengan pangkat letnan satu sekaligus komandan benteng Kuala Kapuas (1860-1864), sebelumnya ia juga turut serta dalam perang Banjar yang berkecamuk pada tahun 1859.
Kolonialisme di Kalimantan
Kolonialisme mulai masuk ke Kalimantan tepatnya di Kalimantan bagian selatan pada abad 17 awal. Hal ini terbukti dari adanya berita penyerangan Belanda terhadap Keraton Banjar pada tahun 1612.[iv] Sejak saat itu Belanda (baik VOC (1602-1799), maupun pemerintah Kolonial Hindia Belanda (1800-1945)) mulai mengadakan berbagai kontrak dan perjanjian yang menguntungkan pihak kolonial, dalam pengertian; mengeruk sumber daya alam dan menindas masyarakat.
Masyarakat Kalimantan yang menghadapi berbagai penindasan tidak tinggal diam. Tidak terhitung jumlah perlawanan yang sudah dilakukan: Mulai dari yang dilakukan di daerah-daerah oleh penduduk setempat hingga yang didukung oleh pihak luar seperti kerajaan Demak dan Makassar.[v] Tetapi semuanya belum sepenuhnya berhasil, hanya memperlambat laju kolonialisasi.
Di akhir awal abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda semakin berkuasa atas kerajaan Banjar dan wilayah-wilayah pedalaman sekitar yang dihuni oleh suku Dayak. Dengan kekuasaan tersebut Belanda berhasil membuat pemerintahan boneka di dalam kerajaan Banjar dan membuang beberapa keluarga kesultanan Banjar (Baca: Pangeran Antasari: Sebuah Novel Sejarah, Helius Sjamsuddin).
Hal ini menimbulkan kekacauan dan permasalahan di kesultanan Banjar. Hingga seorang Pangeran yang masih merupakan keluarga Kesultanan Banjar yaitu Pangeran Antasari memutuskan untuk mengadakan gerakan perlawanan melawan pemerintah kolonial Belanda. Pangeran Antasari yang memiliki kepribadian seorang kesatria pemberani mendapat dukungan dari masyarakat kesultanan Banjar dan juga masyarakat dari suku-suku Dayak di pedalaman yang sudah mulai merasakan penindasan yang dilakukan pemerintah kolonial. Puncaknya, pecahnya perang Banjar disusul dengan tragedi ditenggelamkanya salah satu kapal uap terbaik milik pemerintah Kolonial Belanda yaitu kapal “Onrust”[vi] pada tanggal 26 Desember 1859 oleh pasukan Pangeran Antasari yang dipimpin oleh Tumenggung Surapati, salah satu kepala suku Dayak.
Perang Banjar dan Perang Barito (1859-1905)
Perlawanan masyarakat Kalimantan terhadap kolonialisme semakin gencar ketika komisaris pemerintah F.N. Nieuwenhuyzen yang dikirim untuk menangani permasalahan di Banjarmasin mengeluarkan pengumuman bahwa kesultanan Banjar dihapuskan dan wilayahnya diperintah langsung oleh pemerintah kolonial Belanda sejak pengumuman tersebut dibuat, tanggal 11 Juni 1860. Sejak saat itu para tokoh bangsawan kesultanan Banjar menarik diri ke pedalaman dan akhirnya bergabung dengan para kepala suku (mayoritas Dayak) Dibawah kepemimpinan Tumenggung Surapati untuk membangun sebuah wilayah basis perlawanan dari hilir ke hulu sungai Barito yang bernama Boven Dusun.[vii]

Sejak saat itu pertempuran antara pasukan Pangeran Antasari dari kesultanan Banjar ditambah dengan pasukan Surapati yang terdiri dari orang-orang Dayak melawan pasukan kolonial Belanda tidak dapat dicegah, meskipun berbagai usaha diplomasi kedua belah pihak telah dilakukan. Bahkan, di tahun berikutnya (1861) terjadi sebuah pertempuran besar di Tongka Montalat yang menewaskan pemimpin patroli daerah Tongka Letnan Van Vloten sekaligus penggantinya Sersan Abenhalder. Keadaan ini memaksa pejabat pemerintah kolonial yang ada Den Haag menaruh perhatian lebih kepada permasalahan yang ada di Banjar dan memutuskan untuk melakukan operasi militer. Bahkan Residen Tromp meminta pasukan dari batavia dan bantuan dana untuk mengatasi permasalahan tersebut. Walhasil, pasukan kolonial mulai mampu mengatasi perlawanan tersebut, dan setelah Pangeran Antasari meninggal 1862, pasukan kolonial sedikit demi sedikit mampu mendominasi pertempuran hingga akhirnya pada tahun 1867 memaksa Tumenggung Surapati mundur hingga ke pedalaman Murung.[viii]
Dengan meninggalnya Pangeran Antasari dan mundurnya Tumenggung Surapati perlawanan dilanjutkan oleh Gusti Muhammad Seman yang merupakan anak dari Pangeran Antasari. Menghadapi perlawanan Gusti Muhammad Seman yang masih muda dan belum memiliki pengaruh yang kuat seperti ayahnya, pemerintah kolonial Belanda mengambil cara diplomasi. Sayangnya, cara itu tidak berhasil, karena ternyata Gusti Muhammad Seman memiliki cita-cita dan semangat perlawanan sebagaimana Ayahnya. Akhirnya, munculah perang Banjar tahap kedua atau sering disebut sebagai Perang Barito.[ix]
Perang Barito memiliki dua tokoh utama, Gusti Muhammad Seman dari bekas Kesultanan Banjar dan Panglima Batur yang merupakan kepala suku Dayak yang menyatukan beberapa daerah di Barito Hulu (Siang Murung, Bumban, Bahan Batu Tuhup, dan Batu Supang Lahun) untuk melawan kolonial Belanda.[x] Kolaborasi ini menyebabkan pemerintah Kolonial Belanda geram dan menggalakan kembali operasi militer ditambah dengan marsose untuk melawan keduanya.
Sosok Paglima Batur
Panglima Batur sendiri merupakan panglima suku Dayak Bakumpai[xi]. Dalam beberapa tulisan suku Dayak Bakumpai masuk ke dalam rumpun suku Dayak Ngadju atau Biaju, dan lainnya masuk dalam kelompok Barito[xii], dikarenakan hidup disepanjang alur sungai Barito. Ia lahir di Buntok Kacil (Sekarang masuk Kab. Barito Utara) tahun 1852 dengan nama lengkap Batur bin Barui[xiii], Ayahnya sendiri merupakan seorang Panglima dan tokoh masyarakat di Boven Dusun semasa perlawanan Tumenggung Surapati.[xiv]
Serangkaian perlawanan yang dilakukan panglima Batur dimulai setelah ia bertemu dengan Gusti Muhammad Seman di awal tahun 1904. Yang pertama, di bulan maret 1904 Panglima Batur melancarkan sebuah serangan ke daerah yang disebut Kasintu dan berhasil ia duduki setelah melakukan pengepungan selama satu hari. Selanjutnya sang panglima melanjutkan perjalanannya ke Jaan, tempat yang dulu pernah menjadi basis perlawanan Gusti Muhammad Seman yang direbut oleh pemerintah kolonial di tahun 1886. Panglima Batur juga berhasil merebut dan menghancurkan benteng Kuala Sirat yang dipimpin oleh Demang Sylvanus, kaki tangan pemerintah kolonial Belanda.[xv]
Masih di tahun yang sama, Panglima Batur dan Gusti Muhammad Seman melakukan satu usaha perlawanan yang besar, yaitu menyerang benteng Muara Teweh, benteng pemerintah kolonial yang cukup kuat, sipersenjatai dengan meriam dan senjata modern lainnya. Selain benteng Muara Teweh, Panglima Batur juga menyerang Benteng Rakit di Barito Utara.
Atas serangkaian serangan tersebut pemerintah kolonial Belanda semakin serius mengadakan operasi militer dengan jumlah besar dengan pasukan khusus. Operasi ini akhirnya membuahkan hasil, pada tahun 1905 pemerintah kolonial Belanda berhasil mengepung pasukan Gusti Muhammad Seman di Kalang Barah. Dalam pengepungan tersebut Gusti Muhammad Seman Gugur. Meskipun begitu perlawanan terus berlanjut dibawah kepemimpinan panglima Batur.[xvi]
Pasca kematian Gusti Muhammad Seman beberapa pasukan perlawanan mulai goyah, mereka mulai menarik diri dari pertempuran. Lain halnya dengan sang panglima yang terus melakukan penyerangan dan perlawanan meskipun dalam skala yang lebih kecil dari sebelumnya. Untuk itu Pemerintah kolonial Belanda tidak tinggal diam dengan apa yang dilakukan oleh panglima Batur. Operasi militer tetap dilakukan. Tetapi, karena medan yang cukup sulit dan keadaan alam yang belum dikuasai sepenuhnya, pemerintah kolonial Belanda kerap kali gagal untuk menangkap panglima Batur. Sang panglima kerap kali lolos dari berbagai pengepungan yang dilakukan.[xvii]

Sampai akhirnya pemerintah kolonial Belanda memakai strategi lain, yaitu dengan memanfaatkan rasa sayang sang Panglima terhadap sanak kerabatnya. Pemerintah kolonial Belanda menawan satu daerah yang memiliki kekerabatan dengan panglima Batur dan menyuruh sepupu sang Panglima yaitu Djumajid untuk memaksa sang Panglima menyerah agar mereka selamat. Dengan begitu akhirnya Panglima Batur menyerah dan ditangkap lalu dibawa ke Banjarmasin untuk diadili.
Pengadilan Belanda memutuskan untuk memberikan hukuman mati di tiang gantungan kepada panglima Batur atas segala perlawanannya. Sang panglima naik ke tiang gantungan pada tanggal 30 Mei 1906[xviii], meski demikian sebelum naik ke tiang gantungan sang panglima mengajukan satu permintaan yaitu membaca dua kalimat syahadat sebelum akhirnya ia pulang menghadap Rabb-nya.
Oleh Mikael Marasabessy – Penulis buku H.O.S. Tjokroaminoto: Dari Santri Menjadi Guru Tokoh Bangsa
[i] Masri Singarimbun, Beberapa Aspek kehidupan Masyarakat Dayak, Universitas Gadjah Mada.
[ii] Kaharingan adalah kepercayaan/agama asli suku Dayak di Kalimantan, ketika agama-agama besar belum memasuki Kalimantan. Kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan.
[iii] Novel Antropologi ini kemudian diterjemahkan oleh Helius Sjamsuddin dengan judul “Desersi: Menembus Rimba Raya Kalimantan”.
[iv] Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Depdikbud, 1978.
[v] Ibid.
[vi] Nama “Onrust” diambil dari bahasa Belanda artinya “Tidak Pernah Istirahat”. Sesuai dengan namanya kapal Onrust bisa berlayar selama 4 hari penuh dengan radius kurang lebih 1500 km. Panjang kapal ini sekitar 24 meter dengan lebar 4 meter. Dilengkapi dengan radar dan meriam (jejakrekam.com)
[vii] Harto Juwono dan Yosephine H, Perang Barito 1900-1907: Perlawanan Panglima Batur, Banjar Aji, 2008
[viii] Ibid.
[ix] Ibid.
[x] H. Mukeri Inas, Sosok Panglima Batur di Kancah Perang Barito; Penerbit Mekar Surya, 2012.
[xi] Helius Sjamsuddin; Pegustian dan Temenggung: akar sosial, politik, etnis, dan dinasti perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, 1859-1906; Balai Pustaka, 2001.
[xii] Masri Singarimbun, Beberapa Aspek kehidupan…..
[xiii] H. Mukeri Inas, Sosok Panglima Batur…
[xiv] Harto Juwono dan Yosephine H, Perang Barito ….
[xv] Ibid.
[xvi] H. Mukeri Inas, Sosok Panglima Batur…
[xvii] Ibid.
[xviii] Harto Juwono dan Yosephine H, Perang Barito ….