“Tidak ada agama selain Islam yang untuknya misi bekerja keras banting tulang tanpa hasil dan padanya misi menggarukkan jarinya sampai berdarah dan terkoyak.” – Hendrik Kraemer
Sejarawan Belanda, Karel Steenbrink, dalam buku “Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Conflict and Contact: 1596-1950”, yang kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial dan Islam di Indonesia: 1596-1942” oleh Penerbit Mizan pada tahun 1995, menyebut ada beberapa tokoh penting di balik konflik dan kontak antara umat Islam vs kolonial Belanda.
Selain orientalis terkenal Christian Snouck Hurgronje (1857-1936), tokoh-tokoh lain yang disebut dalam buku itu di antaranya adalah Karel Frederik Holle (1829-1896), Godard Arend Johannes Hazeu (1870-1929), dan Hendrik Kraemer (188-1965). Mereka kebanyakan adalah lulusan studi Indologi di Belanda dan mengemban tugas sebagai orientalis dan Missionaris.
Snouck bertugas sebagai Adviseur voor Inlandsche Zaken (Penasehat untuk Urusan Pribumi) bagi pemerintah kolonial Belanda dalam kurun waktu 1889-1906. Ia terkenal dengan gagasan asimilasi-nya, dimana kaum pribumi harus didekati untuk dapat menjalankan cara pandang hidup ala Barat.
Untuk tugasnya itu, Snouck yang pernah menulis buku “Arti Islam bagi Para Umatnya di Hindia Timur” sebagaimana keterangan dalam Memoar Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat, mendekati anak-anak para priyayi untuk bisa mewujudkan gagasannya tersebut. Snouck rela mendatangi rumah-rumah mereka, mencarikan beasiswa, dan memberikan tempat tinggal bagi para kadernya. Rumahnya di Gang Sentiong, Kramat, Batavia, sering menjadi tempat menginap para pelajar yang menjadi binaannya. Mereka diajar bahasa Belanda, Inggris, dan Perancis, agar mampu memahami literatur-literatur Barat.
Dengan bantuan para tokoh pribumi, sebagaimana disebutkan dalam Memoar P.A.A Djadiningrat setebal 400 halaman lebih, Snouck berusaha memuluskan program-programnya. Di antara tokoh pribumi itu adalah Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya Al-Alawi (1823-1913), seorang Mufti Batavia dan Haji Hasan Mustopa (1852-1930), tokoh pribumi dari Jawa Barat.
“Orang-orang yang seringkali dijumpai di rumah Snouck di Gang Sentiong adalah Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya, Haji Hasan Mustopa, Van Heutz, dan K.F Holle, ” tutur Ahmad Djajadiningrat. (Lihat: Memoar Pangeran Ahmad Djajadiningrat, Jakarta: Paguyuban Keturunan P.A.A Djajadiningrat, 1996. Terjemahan dari “Herinneringen Van Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat, G.Kollf & Co. Amsterdam-Batavia, 1936)
Pangeran Ahmad Djajadiningrat adalah seorang putra priyai yang menjadi ambtenaar (aparatur pemerintah) di Banten, yang juga merasakan pengkaderan dari Snouck. Adiknya, Hoesein Djajadiningrat, bahkan di sekolahkan ke negeri Belanda atas rekomendasi Snouck dan menjadi doktor dalam bidang Indologi pertama yang berasal dari pribumi.
Snouck adalah Penasehat Urusan Pribumi bagi pemerintah kolonial Belanda di negeri ini yang pernah ditugaskan untuk meneliti tentang perjuangan rakyat Aceh dan menulis laporan tentang seluk beluk orang Aceh. Ia juga pernah tinggal di Makkah pada tahun 1885-1886, setelah sebelumnya berpura-pura masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Abdul Ghafar. Di Kota Suci itu, Snouck bertugas mengawasi para haji, yang dianggap menjadi pelopor bagi perlawanan terhadap kolonialisme. Sebagai orientalis, Snouck menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman.
Dari hasil penelitiannya di Aceh, Snouck menyimpulkan bahwa pemerintah Belanda harus memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi umat Islam yang hanya berfokus pada urusan-urusan ibadah di masjid dan mengawasi dengan ketat mereka yang terlibat dalam urusan politik atau kekuasaan. Bagi Snouck, Islam yang dijauhkan dari politik dia akan menjadi jinak.
Snouck selesai bertugas pada tahun 1906 dan kembali ke negeri Belanda setahun berikutnya. Namun, tugas sebagai Penasehat Urusan Pribumi kemudian digantikan oleh orang yang pernah menjadi asistennya selama bertugas di instansi tersebut, Godard Arend Johannes Hazeu.
Hazeu bertugas menggantikan Snouck dari tahun 1902 sampai tahun 1920. Sebagaimana Snouck, Hazeu juga memiliki misi yang sama. Ia merintis berdirinya Hollandsche Inlandsche School (HIS) yang bercorak netral agama namun kental dengan misi Kristen. Ia juga pernah menjadi Direktur Pendidikan dan Peribadatan Umum.
Dalam tugasnya, Hazeu juga pernah terlibat dalam konflik antara Islam dan misi Kristen di Sumatera Utara, dimana ia mendukung misi tersebut. Ia juga mendukung sikap pemerintah Belanda dalam kebijakannya yang tegas terhadap Sarekat Islam dan gerakan yang dianggap ekstrem dan fanatik.
Karel Frederik (K.F) Holle, tokoh yang disebut oleh Steenbrink dalam bukunya itu, juga memiliki sikap yang sama terkait sikapnya terhadap Islam. Holle, kata Steenbrink, menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk menetralisasi Islam. (Steenbrink, 1995: 106).
Pada masa itu, tak hanya berdiri Sekolah Netral yang didirikan oleh orang-orang Belanda, tetapi dibentuk pula apa yang disebut Neutraal Onderwijs Vereeniging (Organisasi Pendidikan Netral), dimana organisasi seperti Vrijmetselaarij(Freemason) juga ikut terlibat di dalamnya. (Lihat: Artawijaya, Freemason dan Teosofi: Persentuhannya dengan Elite Modern di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, 2019).
Seperti halnya Snouck, Holle juga pernah ditugaskan untuk meneliti perjuangan rakyat Aceh dan pengaruh orang-orang yang telah berhaji dalam melawan kolonial Belanda. Pada tahun 1873, Holle bersama sahabatnya, Raden Muhammad Musa, seorang Kepala Penghulu di Garut, Jawa Barat, untuk meneliti umat Islam di negeri itu, terutama mereka menjadi tokoh agama dan telah berhaji. Sama dengan hasil laporan Snouck, Holle juga menyimpulkan bahwa para haji adalah penghasut fanatisme dan eksklusifisme. Ia dengan tegas menganjurkan agar para haji tidak diberikan jabatan dalam pemerintahan di Hindia Belanda. Steenbrink, 1995: 106-110).
Steenbrink menyebut Raden Muhammad Musa, orang yang ikut menemani Holle dalam tugasnya itu sebagai Muslim liberal. Selain itu, Steenbrink juga pernah melibatkan Sayyid Usman, sahabat Snouck, yang disebut sebagai sekutu dari kalangan Arab di Hindia Belanda. Artinya, dalam tugasnya, baik Snouck ataupun Holle, menggunakan juga bantuan dari orang-orang Islam yang dianggap kooperatif bagi mereka.
Tokoh terakhir yang ditulis oleh Steenbrink dalam bukunya adalah Hendrik Kraemer, seorang Indologi dari Leiden, Belanda, yang berhasil menamatkan studinya pada tahun 1921. Kraemer datang ke Hindia Timur (Hindia Belanda) pada tahun yang sama dengan kelulusannya di Leiden dan kemudian aktif di Perkumpulan Bibel Belanda.
Kraemer juga menjadi adviseur (penasehat) organisasi Jong Java (Pemuda Jawa) dan mengajar mata kuliah Kristen dan Teosofi. Kiprahnya di Jong Java kemudian disebu-sebut memiliki andil, dimana Jong Java kemudian pecah, dengan keluarnya Raden Syamsurizal sebagai ketua yang kemudian mendirikan Jong Islamietend Bond (Perhimpunan Pemuda Islam/JIB).
Keluarnya anak-anak muda itu dari Jong Java karena mereka protes terkait perkuliahan yang ada di organisasi itu, dimana kuliah Kristen dan Teosofi diajarkan dalam kursus-kursus di organisasi itu, sementara kuliah Islam tidak diperbolehkan. Atas saran Haji Agus Salim dan musyawarah di gedung sekolah Muallimin Jogjakarta, maka digagaslah Jong Islamietend Bond, yang kemudian secara resmi berdiri di Batavia pada tahun 1925. (Lihat: Artawijaya, 2019).
Hendrik Kraemer dalam suatu kesempatan menyatakan, Islam adalah problem bagi misi Kristen. “Tidak ada agama selain Islam yang untuknya misi bekerja keras banting tulang tanpa hasil dan padanya misi menggarukkan jarinya sampai berdarah dan terkoyak.” (Steenbrink, 1995: 164)
Demikianlah para orientalis dan Missionaris di balik pertikaian antara Islam vs Kolonial di Indonesia pada masa lalu. Sebenarnya ada tokoh lain yang juga disebut oleh Steenbrink dalam bukunya, yang juga memiliki peran penting dalam pertikaian itu, diantaranya Thomas Stanford Raffles. Untuk tokoh ini, insyaAllah akan dibahas dalam tulisan selanjutnya.
Oleh : Artawijaya – Sejarawan