Membuka Kembali Soenting Melajoe (SM)
Singkat cerita, setelah melewati berbagai diskusi panjang dengan ayah dan suaminya, Roehana pun memulai percakapan (surat-menyurat-pen.) dengan Pemimpin Redaksi Surat Kabar Oetosan Melajoe di Padang yang akrab dipanggil Datuk Soetan Maharadja. Roehana menyampaikan gagasan untuk menerbitkan suatu surat kabar khusus untuk perempuan. Ide itu diterima dengan baik oleh Datuk Soetan Maharadja sehingga terbitlah surat kabar Soenting Melajoe[1] pada bulan Juni 1912. Siti Roehana (28 tahun) menjadi redaktur surat kabar tersebut bersama dengan putri Datuk Soetan Maharadja, Zoebeidah Ratna Djoewita.
“Bertoekoek bertambahlah ilmoe dan kepandaian perempoean”
Kalimat di atas adalah slogan surat kabar Soenting Melajoe yang dapat kita temui mulai dari edisi No. 17 Tahun 1913.[2] Slogan tersebut bermakna bahwa jika terus ditempa, maka ilmu dan kepandaian perempuan akan bertambah, sesuai visi dari tim redaksi yakni memperbaiki kualitas hidup perempuan.
Soenting Melajoe diterbitkan di Padang oleh percetakan Snelpers Drukkerij[3] Orang Alam Minangkabau. Setiap edisi surat kabar ini umumnya memiliki tebal empat halaman. Jika melihat laman mukanya, Soenting Melajoe terbit antara hari Kamis-Ahad dengan biaya langganan sebesar ƒ[4] 0.15 per bulan untuk pembaca Hindia Belanda (masyarakat lokal/bangsa Melayu-peny.), dan ƒ 0.2 untuk masyarakat luar/non Melayu pada tahun 1912-1913, namun harga surat kabar perempuan ini meroket sejak tahun 1914 menjadi ƒ 0.25 dan ƒ 0.4 per bulan untuk masyarakat lokal dan luar berturut-turut.
Terbit hampir selama sepuluh tahun, jika dibandingkan dengan surat kabar sejenis (baca: yang ditangani oleh perempuan) seperti The Lily (1849-1855), Genius of Liberty (1851-1853), The Una (1853-1855), The Mayflower (1861-1864), Revolution (1868-1870), The Women’s Journal (1870-1931), Ballot Box (1876-1881)[5] Soenting Melajoe termasuk yang berumur panjang, dan itu sangatlah membanggakan. Sebagai surat kabar yang hadir di era kolonial (1912-1921)[6], Soenting Melajoe dapat dijadikan bahan riset untuk melihat ruang lingkup berita yang dimuat dalam rangka memahami berbagai informasi, diskursus, dan karakteristik bahasa jurnalistik perempuan Indonesia yang tersebar luas dalam masa pergerakan Indonesia. Selain itu, kita juga dapat menganalisa apa saja dampak Soenting Melajoe ini bagi masyarakat Indonesia.
Untuk acuan artikel ini, penulis menganalisa 30 eksemplar Soenting Melajoe dari tahun 1912-1921. Koleksi yang diakses dalam bentuk digital dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), kualitas dokumen baik walaupun ada beberapa halaman pada edisi tertentu yang tidak terbaca karena sobek, dan/atau terlipat saat proses pemindaian. Dari hasil pembacaan, ruang lingkup Soenting Melajoe mencakup informasi lokal, nasional, dan internasional. Soenting Melajoe juga memiliki rubrik khas seperti segmentasi surat dari pembaca, Chabar Berita, resep masakan, danriwayat/cerita baik dari Alam Melayu maupun dunia.
Edisi kedua tahun 1912 dibuka dengan artikel kesehatan berjudul “Obat-obatan” yang memuat berbagai macam tips menangani dan/atau membuat racikan obat untuk gangguan pencernaan, penyakit yang disebabkan gigitan hewan, hingga penyakit infeksi virus/bakteri seperti cacar dan kolera. Berikut cuplikannya:
“Obat sakit tjatjar. Bermoela dapat sakit djangan diganggoe satoe apa, kalau plenting soedah keloear betoel, boleh dibedaki dengan asam kawak tjampoer air sedikit, bedaki jang sering, jang sakit dapat rasa enak, warasnja tidak boerik”
“Obat sakit boeang2 air (cholera), air kendi tjampoer minjak poetih, minjak ppo, kalau ada dengan minjak Dhici, lantas minoemkan sampai maboek”
“…obat sakit midjen (boeang air darah). Santennja kelapa idjo ditjampoer air koenir, tempati mangkok, dan ditaroh dalam toewoeng besar jang diisi air mendidih biar angat, soedahnja angat diminoemkan”[7]
Alasan ditulisnya artikel/topik kesehatan tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, misalnya pada saat itu kasus kolera memang sedang ramai menjangkit kota Padang dan sekitarnya. Roehana dan tim terlihat mencoba mengedukasi masyarakat dengan caranya. Karena dahulu, sebut saja penyakit seperti cacar[8] itu masih sangat tabu, siapa yang terjangkit cacar dianggap mendapat gangguan dari roh halus. Jika dengan sosialisasi biasa Roehana tidak didengar, maka melalui artikel dalam surat kabarnya diharapkan masyarakat dapat memahami bahwa cacar adalah penyakit medis yang dapat disembuhkan.
Artikel kesehatan lain dalam edisi ketiga tahun yang sama membahas tentang ibu hamil dan bagaimana cara menjaga kandungan. Artikel-artikel kesehatan tersebut ditulis bergantian oleh Ratna Djuwita, Roehana, dan beberapa beberapa kontributor lainnya.
Untuk rubrik lain, biasanya Roehana menuliskan gejolak hatinya yang terpendam selama ini. Ia mengharapkan tulisannya, ataupun tulisan yang disuntingnya mampu membangkitkan semangat kaum perempuan yang membaca Soenting. Artikel demi artikel beredar di tengah khalayak, salah satu artikel yang menarik perhatian adalah artikel berjudul “Perhiasan Pakaian”. Artikel tersebut ditulis Roehana sebagai bentuk keprihatinannya atas kurangnya penghargaan bangsa terhadap warisan leluhur, dan malah seringkali lebih bangga dengan budaya Eropa. Seharusnya sekalipun kaum pribumi ingin maju, itu tidak berarti kita meningalkan adat dan langgam bangsa.
“…Roepanja begitoelah keadaan kita waktoe sekarang – beringin hendak mempeladjari dan meniroe kepandaian bangsa Europa dan lain2 – tetapi kepandaian nini moejang kita tidak diatjoehkan–tidak dihimatkan; hendaknja kepandaian lain kita peladjari atau kita tiroe jang mana berfaedah bagi kita, hendaknya kepandaian kita disambilkan djoega-; jang mana koerang manis di pandangan kita menoeroet adjakan lama, kita toekari malah dengan nan ketoedjoe oleh kita-; ..Di bangsa Europa dan lain2 sekalian kepandaian lama pendapat orang-orang toea dan barang poesaka moejangnja dipermoeliakannja dengan keterangan jang tjoekoep (boekoe)…”[9]
Adapula tulisan berjudul “Kebiasaan Kita jang Koerang Baik”[10] yang berisi tentang kesedihan terhadap nasib kaum perempuan, diperbudak turun temurun, dan dapat dibeli dengan uang.
“…Sekalian pembatja tahoe, ‘oeang manis’ kata kita, kata orang Belanda ‘geld is macht’ boleh dikatakan, ada oeang semoea djadi karena artinja di bahasa Melajoe ‘oeang berkoeasa’… Djadi tiap2 jang berkoeasa dapat memboeat sekehendak hatinja. Orang jang ta’ beroeang dan berpangkat banjak melarat karenanja. Melarat itoe adalah doea matjam: melarat badannja terboeang boeang, dan melarat hatinja merasa sakit doeka tjita”
Roehana juga sempat menyunting surat yang di dalamnya terdapat nama R.A Kartini, dikatakan bahwa kaum perempuan masih dianggap sebelah mata oleh lingkungan dibandingkan dengan kaum laki-laki.
“…Ingatlah almarhoem R.A. Kartini. Padoeka itoe meskipoen perempoean Djawa, kebidjaksanaannja tiada tereudah dari kepandaian perempoean bangsa Eropa. Kalau begitoe terang sekali, djika perempoean Djawa djoega mempoenjai hersens dan kepandaian, tetapi dari sebab kita perempoean ini biasanja hidoep seperti boeroeng jang tersangkar, djadi selamanja kita tidak akan dapat meloeaskan pemandangan kita. Itoelah sebabnja perempoean Djawa banjak jang bodoh. Dari lagi orang toea kita memang sebetoelnja koerang memperhatikan pengadjaran anak-anak perempoean. Sebab dia perloe poenja kepintaran seperti anak laki2, karena dibelakang kali dia toch tiada djadi prijaji, apabila hidoep akan meghambakan dirinja pada soeaminja, djadi kalau soedah dapat memasak nasi, memasak sajoer, membuat rokok, dan dapat melajani soeaminja, soedah tjoekoeplah. Kalau anak perempoean dapat menoelis, membatja soerat chabar dsb, orang toea kita tiada senang sekali kali, karena ia takoet kalau anaknja djadi lantjang, tahoe rahasianja orang laki2 dan dibelakang hari ia bersoeami, tiada ia akan menoeroet perintah soeaminja, meskipoen benar atau salah djoega.”
Dalam artikel yang sama juga dibahas tentang nasib perempuan yang tidak bisa berbuat banyak, bahkan dalam lingkup keluarga, perempuan justru sudah biasa dianggap sebagai “patung” yang bisa diminta ini dan itu tanpa bisa menolak.
“O, ya soedah tentoe perempoean jang boekan standbeeld (patung-pen.) tentoe tiada maoe disoeroeh menoeroet kehendaknja laki2… perempoean jang soeka toeroet membitjarakan halnja orang laki2, disamboet dengan perkataan yang lemah lembut (ik bedoel ironien, sarkasme-pen) “Diam! Orang perempoean tiada oesah toeroet tjampoer perkaranja orang laki2, tempatmoe hanja di dapoer pikirlah masakanmoe sadja djangan sampai mentah, itoelah lebih menjenangkan hatikoe.” Saja berdo’a kepada Allah, moga moga pemandangan orang laki2 kepada istrinja jang begitoe roepa, lekas dilenjapkan dari doenia kemadjoean ini, dan digantinja dengan adat sopan sopan santoen, beschaafd (beradab-pen)…”
Alangkah beruntungnya jika kaum perempuan kelak mendapat pendidikan sehingga dapat berdiri di atas kaki sendiri. Saat pendidikan sudah dapat dirasakan, saat itulah perempuan dapat berkarya dan memberi penghidupan bagi dirinya dan juga keluarganya.
“Zaman tahoen telah laloe, bangsa laki2 akan senang kepada perempoean jang mempunjai banjak kepandaian, karena ia akan dapat membantoe pekerdjaan lakinja, dapat mentjahari makan sendiri dengan kepandaian jang soedah dipeladjarinja, dan tentoe tidak akan diboeat speelgoed (mainan –pen.) lagi oleh laki2… Perempoean jang pintar tentoe tiada diwajoeh dan kalau ditjerai oleh soeaminja, sebab tiada maoe diwajoeh, tiada mendjadi apa; karena ia dapat tjahari penghidoepan sendiri…”[11]
Ide penerbitan Soenting Melajoe terus tersebar sampai ke dataran Asia, Afrika dan Eropa. Beberapa perempuan Minang yang tinggal di luar Hindia Belanda ikut mengirimkan surat. Ada yang menyambut dengan gembira, namun banyak pula yang mencemaskan keberadaan Soenting Melajoe yang setiap kali terbit memberikan kesadaran tentang hak-hak sosial perempuan dikhawatirkan orang tua dengan pandangan yang konservatif dapat menganggu pemikiran anak-anak perempuan mereka.
“Sesoenggoehnja ada banjak laki2 jang berbesar hati dan sjoekoer di atas kepandaian kita perempoean, tetapi ada poela jang berhati bingit; bingit hatinja di atas lahirnja Soenting Melajoe, Soerat chabar kita perempoean, orgaan kita perempoean; ditjemoohkannja kita, disindirnja kita; marilah kita terima dengan senjoem, dengan moeka jang djernih, dengan hati jang lapang; kita pandanglah jang meolok-olokkan kita itoe, akalnja baharoe sebagai akal anak2, sedangkan kita perempoean soedah ditakdirkan Allah mendjadi bangsa jang berhati moelia, mendjadi bangsa iboe bangsa jang memberi soesoe…”[12]
Keberadaan Soenting Melajoe membuat kaum perempuan berbesar hati dan sangat berharap untuk lebih maju. Banyak perempuan di tanah Melayu memandang SM dapat menjadi jalan pembuka terhadap segala kungkungan yang ada. Pantun berikut menunjukkan makna terbitnya Soenting Melajoe saat itu[13]
Soenting Melajoe empoenja nama
Terang tjoeatja boelan poernama
Tempat perempoean bertjengkrama
Marilah oeni, andoeng bersama
Andoeng dan amai oeni terbilang
Ke dalam taman kita beroelang
Kaboet pagi soedahlah hilang
Soedahlah lenjap bertoelan
Lewat editorial dan berita di Soenting Melajoe jugalah terbangun atmosfer menulis dan berpendapat antar pembacanya. Di tahun 1913 misalnya, terjadi balas-membalas surat antar pembaca yang bernama Kamsiah dan Timoer[14], keduanya beradu argumen tentang posisi perempuan di rumah, dapatkah perempuan memiliki hak untuk menentukan sendiri kegiatan hingga cara berpakaiannya, atau hanya menurut saja pada sang suami atau ninik mamak.
Timoer mengawali suratnya dengan memberi pandangan bahwa perempuan berhak untuk mengatur hal-hal personalnya, termasuk dalam cara berpenampilan. Menurutnya, perempuan tidaklah perlu mengoleksi terlalu banyak pakaian di rumah, secukupnya saja sesuai kebutuhan. Begitu juga perihal berdandan, janganlah berlebihan.
Namun, pembaca lain yang bernama Kamsiah kurang sepakat dengan pendapat Timoer. Ia merasa bahwa perempuan sudah semestinya berpenampilan menarik, menggunakan pakaian yang macam-macam dengan riasan wajah sedemikian rupa untuk menyenangkan hati suaminya. Ia beranggapan bahwa kehadiran perempuan adalah untuk memberi kesenangan pada suaminya, berikan yang terbaik untuk suaminya agar kehidupan rumah tangga bisa langgeng. Kamsiah membalas surat Timoer seperti berikut:
“Tetapi sepandjang pikiran hamba jang bodoh dongok ini, kita pr. tidak berdaja dan berkoeasa; menoeroet perentah selaloe dari ninik mamak dan soeami, T. tentoe lebih mengatahoei tentoe bermatjam matjam poela orang jang menjoekakan satoe satoenja.”
Timoer kemudian meluruskan lagi maksud tulisannya, memang betul perempuan berkewajiban melayani suami, namun ada saat di mana istri bisa melakukan hal lain, seperti berkegiatan di luar rumah dan/atau memilih sendiri pakaiannya sejauh masih pantas. Timoer percaya bahwa para suami dan ninik mamak tidak akan masalah dengan hal seperti itu asalkan diberi pengertian dengan cara yang baik-baik, juga dikarenakan zaman kini telah berubah menjadi maju. Pada saat kembali ke rumah, tentunya peran dan fungsi istri kembali sebagaimana mestinya.
Rubrik tersebut sangat ramai hingga menjadi laporan utama di beberapa edisi Soenting Melajoe. Pada akhirnya, seorang kepala sekolah di Padang bernama Sabarijah menulis surat untuk Timoer dan Kamsiah, isi surat ini bertujuan untuk menyudahi surat-menyurat keduanya selama hampir delapan bulan lamanya. Demi menghindari debat kusir, Sabarijah menulis:
“Maksoed hamba mengarang ini, boekanlah hamba hendak berperang pena poela dengan boenda Timoer dan kakanda Kamisah, sekali2 tida, hanjalah hamba kedar akan menjabarkan peperangan pena boenda T. dengan kakanda K. sadja.”
Agaknya masalah Kamsiah dan Timoer ini terjadi karena perbedaan pandangan terkait posisi perempan menurut adat. Kamsiah percaya sepenuhnya pada praktik adat istiadat yang kontra pada peran perempuan. Dimana dalam rumah tangga, perempuan hanya terima beres saja. Kewajiban perempuan hanya empat, yaitu suami dan anak-anak, rumah tangga, keluarga, dan hubungan antar sesama. Perempuan ibarat burung dalam sangkar. Hal tersebut sangat khas dengan konsep matrilineal, yakni walaupun perempuan memiliki status yang tinggi, tetapi kebebasan perempuan tiada berarti.[15] Namun sebaliknya, Timoer berpikiran progresif di mana perempuan dapat mengembangkan potensi dirinya lebih dari sekadar menjadi istri yang seribu satu tindakannya diatur suami/ninik mamak, bahkan dapat berperan dalam lingkungan apatah lagi bangsanya. Demikian kurang lebih perdebatan yang terjadi pada masa tersebut.
Dalam edisi-edisi selanjutnya terlihat jika perempuan-perempuan Minang telah mulai menyadari bahwa wilayah pengaruh mereka meluas dalam satu generasi dari hanya sekadar domestik, kampung, dan paling-paling nagarimereka, menjadi keluar sampai mencapai komunitas internasional. AlamMinangkabau tidak lagi ditentukan oleh pergerakan laki-laki saja. Dan dalam bahasa pergerakan, kata pergerakan itu tidak lagi sekadar berarti perubahan tempat fisik; seseorang bisa berpartisipasi dalam suatu pergerakan tanpa harus bermigrasi.[16]
Oleh: Ilma Asharina – mahasiswi pascasarjana Wageningen University dan peminat sejarah perempuan
[1] Walaupun nama Sunting Melayu paling mudah diartikan sebagai “Hiasan Melayu”, menyunting (sunting adalah akronim dari susun dan gunting-peny.) juga berarti “mengedit” atau “mengoreksi”. Pembaca pastilah tersenyum atas permainan kata ini; suratkabar itu adalah pengimbang yang sangat efektif terhadap pandangan-pandangan laki-laki konvensional dalam budaya Minangkabau. Lihat Hadler Jeffrey, 2010, Sengketa Tiada Putus Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme Minangkabau, Jakarta: Freedom Institute, hlm. 251. (Terjemahan dari Muslim and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism, Cornell University Press 2008).
[2] Soenting Melajoe No.17 diterbitkan pada Kamis, 17 April 1913.
[3] Snelpers Drukkerij (bahasa Belanda) artinya PerusahaanPercetakan Ekspres.
[4] f Dibaca florin, terkadang juga ditulis fl merupakan istilah lain untuk gulden, mata uang yang berlaku pada masa pemerintahan Hindia Belanda (catatan kaki ini dari penyunting).
[5] Herawati Maimon et.al., “Global News In Colonial Era In Sunting Melayu Newspaper”, International Journal of Scientific and Technology Research Volume 8, Issued 9 September 2019, hlm. 931.
[6] Era kolonialisme adalah masa pembaratan dan penanaman budaya feodal agraris tradisional kepada masyarakat koloni dalam hal ini masyarakat yang diatur oleh pemerintahan Hindia-Belanda sebagai koloni dari Kerajaan Belanda, dengan agent of change para bangsawan kraton dan para priyayi profesional, pejabat birokrasi kolonial yang dididik sekolah-sekolah modern Belanda dan pembumian kebudayaan barat modern masyarakat elit kulit putih terutama di Jawa.
[7] Lihat Soenting Melajoe No.2 diterbitkan pada Ahad, 14 Juli 1912.
[8] Jauh sebelum Roehana lahir, cacar menjadi penyakit epidemik paling mematikan dalam sejarah modern, tentu saja tidak terbatas hanya di Sumatra Barat. Pada akhir 1840-an, pemerintah Belanda memobilisasi di wilayah Minangkabau program Kepulauan Luar mereka yang pertama untuk inokulasi massal. Pada 1850, kira-kira 20.000 orang diisolasi. Lihat Hadler Jeffrey, 2010, Sengketa Tiada Putus Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme Minangkabau, Jakarta: Freedom Institute, hlm. 113. (Terjemahan dari Muslim and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism, Cornell University Press 2008).
[9] Lihat Soenting Melajoe No.10 diterbitkan pada Sabtu, 7 Agustus 1912.
[10] Lihat Soenting Melajoe No.19 diterbitkan pada Sabtu, 9 November 1912.
[11] Lihat Soenting Melajoe No.3 diterbitkan pada Jumat, 21 Januari 1916.
[12] Lihat Soenting Melajoe No.5 diterbitkan pada Sabtu, 3 Agustus 1912.
[13] Lihat Soenting Melajoe No.3 diterbitkan pada Sabtu, 20 Juli 1912.
[14] Lihat Soenting Melajoe No.13, 15, 18, 41 Tahun 1913.
[15] Khairat N., 2019, Gerakan Emansipasi Ruhana Kuddus dalam Memperjuangkan Kesetaraan Pendidikan Perempuan di Minangkabau (1911-1949 M), hlm. 64.
[16] Lihat artikel “Gerakan Perempoean Bangsa Asing” membahas hak-hak perempuan Cina yang makin meningkat, dalam Soenting Melajoe No.5, 3 Agustus 1912.