Muqaddimah

Ketika antara Mohammad Natsir dan cita-citanya (gelar Meester in de Rechten) semakin dekat, keinginan dan orientasi Natsir justru berubah, ia ingin segera berkhidmat kepada Islam secara langsung dan memberikan manfaat kepada masyarakat agar dapat mengangkat derajat masyarakat yang ditindas penjajah. Walaupun demikian sebagai anak yang berbakti kepada kedua orangtuanya tak lupa Natsir berkirim surat untuk memberitahukan keinginannya itu kepada orangtuanya. Alhasil, orangtuanya pun merestui dan mendoakan Natsir agar dapat meraih cita-citanya. Padahal pada saat itu dengan nilai ujian akhir AMS yang baik, dirinya berhak mendapatkan beasiswa di Recht High Schoolen di Batavia (sekarang Jakarta) dan pendidikan Fakultas Ekonomi di Rotterdam Belanda atau jika ia memilih menjadi pegawai negeri ia bisa mendapatkan gaji 130,00 Gulden.[1] Dengan kesempatan yang ada di depannya tak membuat Natsir goyah berubah akan keputusan yang diambilnya untuk berkhidmat kepada Islam.

M. Natsir. (Sumber foto: KITLV Digital Image Library http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced?q_searchfield=natsir)

Salah satu usaha untuk mewujudkan cita-citanya yang baru ini adalah berkiprah dalam dunia pendidikan, karena Natsir paham bahwa kemajuan dan kemunduran sebuah bangsa itu berkaitan erat dengan pendidikan.[2] Natsir mengatakan pula bahwa mengurus pendidikan anak itu bukan hanya fardhu ain bagi tiap-tiap orangtua yang mempunyai anak, akan tetapi juga fardhu kifayah bagi tiap anggota dalam masyarakat.[3] Jadi kaum Muslimin wajib mengadakan di antara kaumnya satu golongan yang akan mendidik anak-anak, supaya didikan anak-anak itu jangan diserahkan kepada mereka yang tidak sehaluan, tidak sedasar, tidak seiman dan tidak seagama dengan kita. Begitulah peringatan dari Nabi kita Muhammad SAW. Begitu pula perintah dari Allah SWT.[4]

Ditambah lagi ia merasa gundah dengan sistem pendidikan yang ada pada saat itu, pendidikan ala Barat yang diterapkan pemerintah kolonial Hindia Belanda hanya dapat mengisi otak saja tetapi jiwa-jiwa peserta didiknya dibiarkan kosong melompong.[5] Demikian pula sebaliknya, pendidikan tradisional pesantren dan madrasah memang menghasilkan lulusan yang beriman dan berakhlak mulia akan tetapi tidak mengenal perkembangan dunia dan bahasa asing.[6] Intinya bagi Natsir sistem pendidikan yang ada pada saat itu belum mampu untuk melahirkan manusia yang seimbang. Ia ingin membentuk sistem pendidikan yang komprehensif, memadukan antara pendidikan pesantren dengan pendidikan umum ala Barat.[7] Sistem pendidikan yang dibayangkan Natsir ialah sistem pendidikan yang mampu mencetak insan yang beriman dan berakhlak mulia yang tidak gagap terhadap perkembangan dunia di sekitarnya.[8] Oleh sebab itu Natsir membentuk lembaga pendidikan yang dikenal dengan Pendidikan Islam.

 

Jalan hidup Mohammad Natsir

Mohammad Natsir, lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, pada tanggal 17 Juli 1908, ia adalah seorang anak pegawai pemerintah. Ia pergi ke Bandung pada tahun 1927 untuk melanjutkan studinya pada Algemene Middelbare School (setingkat SMA), setelah ia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertamanya HIS dan MULO di daerah Minangkabau. Di daerah ini ia pernah belajar pada sebuah sekolah agama di Solok yang dipimpin oleh seorang yang bernama Tuanku Mudo Amin, seorang pengikut dan kawan dari Haji Rasul (Ayah Hamka). Ia juga mengikuti pelajaran secara teratur yang diberikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang. Dapatlah dikatakan bahwa Natsir telah mengenal ajaran-ajaran pembaharuan ini semenjak ia kecil.[9]

Di Bandung, minat Natsir terhadap agama berkembang. Pada tahun 1929 ia menjadi anggota Jong Islamieten Bond cabang Bandung, di mana ia juga memberikan pelajaran kepada sesama anggota lain. Kemudian ia mengajar Islam di Hollands Inlandse Kweekschool (HIK, Sekolah Guru) dan MULO di Bandung. Disebabkan oleh turut sertanya ia secara teratur di dalam sidang Jum’at yang diadakan Persis, Natsir mempunyai hubungan yang rapat dengan tokoh-tokoh Persatuan Islam ini. Tambahan lagi ia pun mengikuti kelas khusus yang diselenggarakan A. Hassan untuk anggota-anggota muda Persis (Persatuan Islam), yang belajar di berbagai sekolah menengah milik pemerintah Hindia Belanda. Dari kalangan pemimpin Persis ini jugalah, Natsir memperoleh teman dalam memecahkan problema-problema hidup yang mulai tumbuh dalam kepalanya.[10]

Majalah Persis yang bernama Pembela Islam memberikan kesempatan pula kepada Natsir untuk mengeluarkan pendapatnya. Sedemikian rupa perhatian Natsir kepada studi tentang Islam, sehingga ia menolak tawaran dari pemerintah Hindia Belanda untuk sebuah beasiswa yang akan mengantarkannya belajar ke sekolah tinggi hukum di Batavia atau ke sekolah tinggi ekonomi di Rotterdam di negeri Belanda. Ia malahan memikirkan pendidikan di kalangan anak-anak muslim. Natsir pun mempelajari ilmu pendidikan setelah menyelesaikan studinya di AMS dan memperoleh diploma untuk pendidikan pada tahun 1931.[11]

Allah telah memberinya kesempatan untuk mengelola lembaga pendidikan selama sepuluh tahun sebagai salah satu wadah agar ia dapat berkhidmat kepada Islam, mulai merintis pendidikan melalui kursus yang pesertanya hanya lima orang saja hingga akhirnya berkembang menjadi Pendidikan Islam yang memiliki empat jenjang pendidikan yaitu: Taman Kanak-Kanak, HIS, MULO dan Kweek School (Sekolah Guru). Semua mata pelajaran yang diberikan di sekolah pemerintah Hindia Belanda, diberikan pula di Pendidikan Islam di mana pelajaran agama Islam adalah mata pelajaran wajib.

Peserta didik tidak hanya sekedar menghafal akan tetapi dipacu agar lebih aktif, seperti murid kelas akhir Kweek School menjadi khatib dalam shalat Jumat yang diselenggarakan Pendidikan Islam. Pada saat itu Pendidikan Islam bahkan dapat dikatakan termasuk pelopor dalam penyelenggaran shalat Jumat di sekolah.[12] Kepada murid-murid dari kelas terendah sampai tertinggi diberikan pelajaran kerajinan tangan dan sepekan sekali murid MULO dan Kweek School diajak berkebun. Murid-murid berpraktek ke lapangan supaya mereka tahu bagaimana sulitnya petani menumbuhkan dan merawat tanaman agar tumbuh dengan baik dan bisa dijual. Di Pendidikan Islam, Natsir juga mengajarkan seni agar meningkatkan rasa seni anak didiknya.[13]

Natsir wafat pada tanggal 6 Februari 1993 di Jakarta, walaupun Pendidikan Islam sebagai salah satu wadah perjuangan Natsir ditutup pada masa pemerintahan Jepang, benih dan cita-cita yang ditebarkan Natsir, hidup dalam pribadi keluaran sekolah Pendidikan Islam.

Konsep Pendidikan Islam

Kegelisahan Natsir akan sistem pendidikan saat itu, membuat Natsir memikirkan konsep pendidikan yang seimbang dan komprehensif. Natsir menginginkan sistem pendidikan yang mampu mencetak generasi-generasi yang beriman, berakhlak mulia dan berwawasan luas. Bagi Natsir sistem pendidikan Barat yang dijalankan pemerintah kolonial Hindia Belanda hanya sanggup mengisi otak saja akan tetapi jiwa dibiarkan kosong. [14]

Natsir tidak setuju dengan dikotomi ilmu yang memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum, oleh sebab itu ia memadukan antara pendidikan agama ala pesantren dan pendidikan ala Barat. Natsir dalam Capita Selecta mengatakan “Seorang pendidik Islam tidak usah memperdalam dan memperbesarkan antagonisme (pertentangan) antara Barat dengan Timur itu. Islam hanja mengenal antagonisme antara hak dan batil. Semua jang hak ia akan terima, biarpun datangnja dari Barat, semua jang batil akan ia singkirkan walaupun datangnja dari Timur. Sebab, buat seorang Hamba Allah, djasmani dan ruhani dunia dan achirat, bukanlah dua barang jang bertentangan jang harus dipisahkan, melainkan dua serangkai jang harus lengkap-melengkapi dan dilebur mendjadi satu susunan jang harmonis dan seimbang. Inilah jang dimaksud oleh firman Allah : “Dan demikianlah Kami jadikan kamu suatu umat jang seimbang, adil dan harmonis, supaja kamu djadi pengawas bagi manusia dan Rasul djadi pengawas atas kamu” (Q.s. Al-Baqarah : 143).[15] Ia ingin agar peserta didiknya mendapatkan keduanya agar kelak tidak hanya menjadi insan yang beriman tapi kurang luas wawasannya atau wawasannya luas tapi imannya rusak dan akhlaknya buruk.

Pendidikan menurut Natsir adalah satu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusian dengan arti yang sesungguhnya. Pimpinan semacam ini sekurangnya perlu kepada dua perkara.

  1. Satu tujuan yang tertentu tempat mengarahkan pendidikan.
  2. Satu asas tempat mendasarkannya yakni tauhid.

Dengan konsep pendidikan yang seimbang dan komprehensif diharapkan dapat menghantarkan kepada tujuan pendidikan yang didasari dengan tauhid. Tujuan pendidikan sendiri menurut Natsir sama dengan tujuan hidup. Natsir menjelaskan bahwa tujuan hidup itu ialah menyembah (beribadah) Allah sebagaimana yang terdapat dalam Firman Allah: “Dan Aku tidak jadikan jin dan manusia melainkan supaya menyembah Aku…” (Q.S. Adz-Dzariyat:56).

Dalam Fiqhud Dakwah, M. Natsir mengatakan:

Menyembah Allah SWT berarti memusatkan penyembahan kepada Allah SWT semata-mata, dengan menjalani dan mengatur segala segi dan aspek kehidupan di dunia ini, lahir dan batin, sesuai dengan kehendak Ilahi, baik sebagai orang perseorangan dalam hubungan dengan Khaliq, ataupun sebagai anggota masyarakat dalam hubungannya dengan sesama manusia.[16]

Menurut Natsir penghambaan yang menjadi tujuan hidup dan menjadi tujuan pendidikan, bukanlah suatu penghambaan yang memberi keuntungan kepada yang disembah, tetapi perhambaan yang mendatangkan kebahagiaan kepada yang menyembah, penghambaan yang memberi kekuataan kepada yang memperhambakan dirinya. Inilah yang disebut Natsir dengan Islamietisch paedagogich ideal (tujuan pendidikan Islam) yang harus diberikan kepada anak-anak kaum muslimin. [17]

Untuk mencapai tujuan pendidikan ini harus dilandasi dengan tauhid yang kuat. Dalam pandangan Natsir, pendidikan tauhid hendaklah diberikan kepada anak sedini mungkin, selagi masih muda dan mudah dibentuk, sebelum didahului oleh materi ideologi dan pemahaman yang lain.[18] Tanpa adanya pendidikan tauhid, betapapun luarbiasa intelektual seseorang tanpa dilandasi dengan tauhid maka lambat laut akan ambruk terpuruk.

Sebagai contoh Natsir menceritakan dalam Capita Selecta bagaimana Prof. Paul Ehrenfest, seorang guru besar fisika yang meninggal dunia dengan cara yang mengenaskan. Paul Ehrenfest kehilangan arah tujuan hidupnya, guncang jiwanya sehingga dia nekat membunuh anaknya dan akhirnya dia pun membunuh dirinya sendiri. Dia depresi melihat anaknya tidak seperti yang diharapkan. Dia berharap bahwa anak ini dapat menggantikannya meneruskan perjuangan sebagai fisikawan, dia telah mencoba segala usaha untuk mendidik anaknya dengan sebaik-baik upaya tetapi gagal. Realitanya memang anak ini menderita down syndrome sehingga sang ayah mencoba kesana kemari mendatangi dokter untuk menyembuhkannya akan tetapi usahanya ini tak kunjung membuahkan hasil. Harapannya pun pupus dan hancur sudah hatinya, dia iri melihat orang-orang yang senantiasa aman dan tentram sanubarinya walaupun musibah menimpa mereka. Dia ingin mendapat ketenangan dan kedamaian sebagaimana orang-orang yang mempunyai tempat bersandar, tempat bergantung, tempat mengadu, mempunyai keyakinan dan pegangan dalam hidupnya. Natsir mengatakan dalam Capita Selecta:

Ingin hatinja hendak seperti orang itu, orang jang ada mempunjai tempat bergantung, ada mempunjai satu kejakinan dan pegangan dalam hidupnja, jakni kejakinan jang dinamakan orang “kepertjajaan agama”.

Paul Ehrenfest mengatakan dalam suratnya kepada Prof. Kohnstamm, “Mir fehlt das Gott Vertrauen. Religion ist notig. Aber wem sie nicht moglich ist, der kann eben zugrunde gehen” yang artinya “yang tak ada pada saya ialah kepercayaan kepada Tuhan. Agama adalah perlu. Tetapi, barang siapa yang tidak mampu memiliki agama, ia mungkin binasa lantaran itu, yakni bila ia tidak bisa beragama”

Dia pun berdoa diakhir masa hidupnya “Mudah-mudahan Tuhan akan menolong kamu, yang amat aku lukai sekarang ini”.

Begitulah gambaran batin seorang atheist. Seorang yang pada hakikatnya amat rindu untuk mempunyai Tuhan, tetapi tidak dia temukan dalam hidupnya. Seolah-olah dengan membunuh diri itu dia dapat mencari Tuhan di dalam kuburnya dan agar bisa lepas dari siksaan ruhani yang amat berat menyiksanya di dunia ini.[19] Natsir mengatakan pertentangan batin yang dialami Prof. Ehrenfest ini adalah kerusakan batin yang pangkalnya adalah pada kekurangan pimpinan rohani di waktu kecil. Lantaran ketinggalan memberikan nutrisi batin dalam pendidikan dan terlalu condong kepada pendidikan yang sifatnya hanya pengembangan intelektualitas semata.[20]

Pendidikan yang demikian, lanjut Natsir, sebenarnya adalah mempertukarkan alat dengan tujuan. Itulah pendidikan yang ketinggalan dasar dalam “Mengenal Tuhan, mentauhidkan Tuhan, mempercayai dan menjerahkan diri kepada Tuhan”. Meninggalkan dasar ini berarti melakukan satu kelalaian yang amat besar, yang tidak kalah besar bahayanya dari pada berkhianat terhadap anak-anak yang kita didik, walaupun sudah kita sempurnakan makan dan minumnya dan telah kita cukupkan pakaian dan perhiasannya serta sudah kita lengkapkan pula ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnya. Semua ini tak ada artinya apabila ketinggalan memberikan dasar Ketuhanan.[21]

Penutup

Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan yaitu tujuan pendidikan harus searah dengan tujuan diciptakannya manusia yakni beribadah kepada Allah dan Tauhid sebagai dasar pendidikan tersebut. Konsep pendidikan Natsir ini sangat relevan jika diterapkan dalam pendidikan kita sekarang mengingat masih banyak “Ehrenfest” di negeri kita yang mengalami keguncangan batin dan kerapuhan jiwa karena tak adanya asupan rohani yang cukup dalam dirinya sehingga membawa dirinya hanyut dalam kubangan lumpur kebiadaban.

Oleh: Aco Wahab – Alumni Ma’had Aly Imam Al-Ghazzaly

[1] Lukman Hakiem, Biografi Mohammad Natsir Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2019, h. 28-29

[2] M. Natsir, Capita Selecta, www.itsar.web.id. , h. 51

[3] Ibid, h.55

[4] Ibid

[5] Lukman Hakiem, Biografi Mohammad Natsir Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan, h. 40

[6] Ganna Pryadharizal, Sabili Edisi Khusus 100 Tahun Mohammad Natsir: Natsir Sebagai Guru Bangsa, Jakarta Timur: PT Bina Media Sabili, h.45

[7] Ibid, h.45-46

[8] Lukman Hakiem, Biografi Mohammad Natsir Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan, h. 40

[9] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 – 1942, Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia, 1996, h.100

[10] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 – 1942, , h.100

[11] Ibid

[12] Lukman Hakiem, Biografi Mohammad Natsir Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan, h.49

[13] Ibid

[14] Lukman Hakiem, Biografi Mohammad Natsir Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan, h. 40

[15] M. Natsir, Capita Selecta, www.itsar.web.id. , h.58

[16] Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah, Jakarta: Media Dakwah, 2003, h. 24

[17] Lukman Hakiem, Biografi Mohammad Natsir Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan, h. 42

[18] Sabili Edisi Khusus 100 Tahun Mohammad Natsiri, h.55

[19] M. Natsir, Capita Selecta, www.itsar.web.id, h.110-111

[20] Ibid,h. 111

[21] M. Natsir, Capita Selecta, www.itsar.web.id , h. 111

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here