“…pada umumnya sudah selesai (pertikaian hukum adat dan Islam). Sehingga kalau boleh dikatakan dengan jernih dan tegas pertikaian adat di Minangkabau sudah selesai, bisa ditentukan dasar hukum adat dan di mana dasar hukum agama. Jadi, itu satu perkara yang tidak akan menerbitkan kekacauan sebagaimana disangkakan. Kedua, wajib umat Islam menjalankan syariat, biarpun tidak ada Indonesia Merdeka, biarpun tidak ada hukum dasar Indonesia, itu adalah satu hak umat Islam yang dipegangnya…
…Saya yakin keamanan bangsa-bangsa yang tidak beragama Islam dalam 300 tahun yang lalu itu bukan berdasar pada kekuasaan Balatentara, melainkan pada adat istiadat Islam yang 90% itu. Jadi tidak akan menimbulkan kekacauan sebagaimana yang disangkakan.”
(Haji Agus Salim, dalam Rapat Panitia Hukum Dasar BPUPKI 11 Juli 1945)[1]
Dikotomi Islam dan Kebangsaan
Kata-kata di atas adalah bantahan Haji Agus Salim (1884-1954) kepada Latuharhary yang tidak sepakat dengan kalimat “Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Pembukaan UUD 1945 sekaligus Piagam Jakarta yang telah disusun sebelumnya 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan. Latuharhary mengatakan bahwa adanya kalimat itu akan menimbulkan -berdasarkan informasi dari anggota BPUPKI lain- bahwa dengan adanya kalimat itu, di Minangkabau seorang penganut Islam harus meninggalkan adat istiadatnya. Sebagai putra Minang, Agus Salim perlu turut memberikan penjelasan.[2]
Singkat cerita, tanggal 18 Agustus 1945 setelah seorang opsir kaigun (Angkatan Laut) menemui Hatta dan menyatakan bahwa Indonesia Timur akan memisahkan diri apabila kalimat “Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dicantumkan. Dalam keadaan genting tersebut, karena baru merdeka dan keadaan belum stabil, para pemimpin bangsa sepakat untuk menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. [3]
Soekarno pun menjanjikan bahwa jika situasi negara tenteram, anggota MPR akan dikumpulkan untuk membuat Undang-undang yang lebih lengkap dan sempurna. Hatta pun berujar bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan diubahnya kalimat tersebut dan kelak dalam kondisi tenang umat Islam dapat mengajukan UU tentang syariat ke DPR.[4]
Belasan tahun kemudian Dewan Konstituante menyusun sebuah UUD, tetapi tidak mencapai kesepakatan hingga akhirnya Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakunya UUD 1945 menggantikan UUDS 1950. Ditekankan oleh Sukarno bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan serangkaian kesatuan dengan Konstitusi (UUD Sementara 1945). Hal ini kelak dikuatkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966.[5]
Penggantian itu dapat diterima oleh kaum Islamis. Namun, demikian tuduhan-tuduhan dan persepsi bahwa Islam bertentangan dengan semangat kebangsaan (nasionalisme) tidak hilang sepenuhnya. Masih ada sebagian pihak yang menganggap ditonjolkannya Islam dalam kehidupan bermasyarakat akan merusak persatuan bangsa. Menjadi seorang nasionalis artinya tidak terlalu fanatik terhadap agamanya. Sebaliknya, menjadi seorang Islamis berarti tidak nasionalis, tidak cinta tanah air, intoleran dan mengancam kebhinekaan. Dalam konteks inilah perlu kita kaji pemikiran Haji Agus Salim yang memiliki peran sentral dalam sejarah sejak zaman pergerakan nasional hingga awal kemerdekaan.
Peran Penting Agus Salim
Haji Agus Salim dikenal sebagai salah satu figur Islamis modern atau disebut juga ulama intelek, yakni sebutan untuk orang yang memiliki pemahaman Islam yang dalam dan luas, tetapi juga memahami pemikiran-pemikiran modern dari Barat. Tokoh yang menguasai setidaknya sembilan bahasa asing ini menempuh pendidikan Barat hingga menyelesaikan HBS (Hogere Burgerschool, sekolah setingkat SMA yang khusus untuk orang Belanda, Eropa dan Elit Pribumi) di Batavia sebagai lulusan terbaik.[6]
Setelah gagal untuk melanjutkan studi kedokteran di Belanda, Agus Salim sempat bekerja di Konsulat Belanda di Jeddah selama lima tahun. Selama lima tahun itu pula dia mendalami Islam serta berguru kepada ulama di Mekah asal Nusantara, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi yang tak lain adalah pamannya sendiri. Dia menemukan kembali keimanannya setelah sempat agnostik selama sekolah di HBS. “Selama lima tahun di Arab Saudi..bertambah dalam sikap saya terhadap agama, dari tidak percaya menjadi syak, dari syak menjadi yakin mengakui keadaan Allah dan agama Allah,” kata Agus Salim.[7]
Setelah kembali ke tanah air, Agus Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI) yang dipimpin HOS Tjokroaminoto. SI merupakan organisasi pertama yang berorientasi sosial-politik yang mengemban misi agar bangsa Indonesia bisa menentukan nasibnya sendiri. Organisasi ini juga bersifat nasional dengan jutaan anggota. Kecerdasan dan pengetahuannya yang luas membuat dia menjadi orang paling penting di SI setelah Tjokroaminoto. Nama Agus Salim mulai dikenal luas sebagai tokoh Islam. Ia pun pernah duduk sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) mewakili SI.[8]
Masa itu adalah masa di mana semangat kebangsaan disebarluaskan melalui percetakan. Peran Agus Salim juga amat penting di sini, karena ia menjadi pemimpin redaksi beberapa surat kabar, seperti Neratja, kemudian Bendera Islam yang kelak diubah namanya menjadi Fadjar Asia. [9]
Organisasi lain di mana Agus Salim berperan sentral di dalamnya adalah Jong Islamieten Bond (JIB), sebuah organisasi pemuda berideologi Islam yang berdiri tahun 1925. JIB banyak diisi oleh pelajar-pelajar yang tengah menempuh pendidikan Barat, tetapi masih memiliki semangat yang besar untuk mendalami ilmu agama. Agus Salim berperan sebagai pembina para aktivis JIB. Organisasi ini menghasilkan para cendekiawan muslim yang kelak berperan penting dalam sejarah nasional, seperti Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem, Syafruddin Prawiranegara, dan Mohammad Natsir.[10]
Di seputar masa proklamasi kemerdekaan, peran penting Agus Salim adalah sebagai anggota Tim Sembilan, yakni tim kecil yang dibentuk dalam BPUPKI, yang bertugas untuk menemukan jalan tengah dalam perumusan dasar negara. Sebelumnya dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei-1 Juni 1945, terjadi perbedaan pendapat antara kubu nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islam mengenai bentuk negara apakah akan negara kebangsaan atau negara Islam.
Setelah kemerdekaan, Agus Salim pernah menjabat beberapa posisi penting seperti Menteri Luar Negeri, Wakil Menteri Luar Negeri, dan Dewan Pertimbangan Agung. Perannya yang terpenting adalah saat memimpin delegasi Indonesia ke Mesir untuk menerima pengakuaan kedaulatan RI dari Pemerintah Mesir pada 23 Maret 1947. Pengakuan Mesir ini kemudian diikuti oleh pengakuan oleh negara-negara Arab lainnya, seperti Libanon , Irak, Arab Saudi, dan Yaman. Atas jasa-jasa selama hidupnya, pada tahun 1961 Agus Salim ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.[11]
Cinta Bangsa[12] dan Tanah Air[13]
Isu nasoinalisme pernah menjadi polemik antara Agus Salim dengan Sukarno. Dalam sebuah rapat PNI, Sukarno pernah berpidato mengenai pentingnya berjuang untuk “tanah air” yang dia ibaratkan sebagai “Ibu Indonesia”. Menurutnya, Ibu Indonesia adalah tempat yang amat cantik juga baik. Ibu sudah memberi kita makan dan minum serta menghasilkan kekayaaan dan memenuhi berbagai kebutuhan. Ibu Indonesia juga telah melahirkan pujangga, pahlawan, dan pendekar. Sukarno menyimpulkan,“Maka tidak lebih dari wajibmu apabila kamu memperhambakan, membudakkan dirimu kepada Ibumu Indonesia, menjadi putra yang mengikhlaskan setiamu padanya.”
Menanggapi pidato Sukarno, Agus Salim kemudian menulis artikel yang diterbitkan Fadjar Asia pada 29 Juli 1928. Menurutnya, kecintaan terhadap tanah air adalah suatu kewajaran, sebagaimana seseorang mencintai ibu yang melahirkan dan membesarkannya. Namun, Agus Salim menekankan pentingnya menjaga niat, asas, dan tujuan perjuangan di jalan Allah yang dengan begitu akan mendapatkan ganjaran juga di akhirat kelak. Berjuang di jalan Allah juga membuat bahagia walaupun berada dalam kesukaran dan membuat puas walaupun ada korban.
Agus Salim mengingatkan bahwa perjuangan atas nama tanah air dapat menimbulkan sikap yang menindas orang atau bangsa lain, seperti yang dilakukan bangsa Prancis, Austria, Jerman, dan Italia. Dia menulis,“..betapa ‘agama yang menghambakan manusia kepada berhala ‘tanah air’ itu mendekatkan kepada persaingan berebut-rebut kekayaaan, kemegahan dan kebesaran; kepada membusukkan, memperhinakan dan merusakkan tanah air orang lain, dengan tidak mengingati hak dan keadilan. Inilah bahayanya, apabila kita ‘menghamba’ dan ‘membudak’ kepada ‘ibu-dewi’ yang menjadi tanah air kita itu karenanya sendiri saja; karena eloknya dan cantiknya; karena kayanya dan baiknya karena airnya yang kita minum karena nasinya yang kita makan.”
Menurut Agus Salim, pergerakan yang bertumpu pada motivasi keduniaan tidak akan dapat menumbuhan sifat-sifat keutamaan yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaan. Perjuangan harus ditujukan untuk hal yang lebih tinggi daripada dunia, yaitu kepada hak, keadilan dan keutamaan berdasarkan ketetapan Allah agar tidak akan menyimpang karena dikuasai oleh hawa nafsu. Perjuangan haruslah lillahi ta’ala, karena Allah Yang Maha Tinggi semata.
Agus Salim menunjukkan contoh kecintaan Nabi Ibrahim pada “tanah air” Mekah yang didasari semata-mata karena perintah Allah sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 37. Ibrahim “mentanahairkan” Mekah bukan karena cantik dan kaya, malah sebaliknya, Mekah adalah tempat yang kering kerontang. Namun, Ibrahim mencintai Mekah karena Allah ta’ala dan menurut perintah Allah semata-mata. “Alangkah untung,’Ibu Indonesia’, jika putra-putranya hendak mencontoh sedikit cinta yang karena Allah belaka itu kepadanya,” pungkas Agus Salim.
Sukarno kemudian menanggapi tulisan Agus Salim. Menurut Sukarno, dengan menggaungkan semangat menghamba dan mengabdi pada “Ibu Indonesia”, perasaan cinta dan kerukunan antar golongan dalam pergerakan akan gampang diperkuat. Kepentingan-kepentingan partai yang sempit akan dikalahkan oleh kepentingan yang lebih tinggi yakni persatuan. Sukarno pun mengemukakan pepatah yang diyakininya: “united we stand, divided we fall”. (Fadjar Asia, 18 Agustus 1928)
Sukarno pun menjelaskan bahwa rasa kebangsaan yang diusungnya bukanlah rasa kebangsaan yang agresif sebagaimana di Barat, melainkan nasionalisme ketimuran sebagaimana yang diusuung Mahatma Gandhi, C.R Das, Aurobindi Gihise, Mustafa Kemal atau Sun Yat Sen. Nasionalisme demikian membuat bangsa Indonesia insaf bahwa selain menghamba pada tanah airnya, mereka harus menghamba pula pada Asia, pada semua kaum sengsara, dan pada dunia.
Sukarno mempertanyakan pendapat Agus Salim bahwa nasionalisme seperti yang diusungnya, sebagaimana diusung tokoh-tokoh yang disebutkannya, bisa dikatakan “agama” yang menghambakan manusia kepada berhala “tanah air”. Sukarno tidak ingin merubah pendiriannya karena menurutnya itu nasionalisme yang luhur. “Amboi, jikalau memang harus disebutkan begitu, jikalau yang disebutkan menyembah berhala, jikalau itu yang disebutkan membudak kepada benda, jikalau itu yang disebutkan mendasarkan diri kepada keduniaan, maka kita, kaum nasional Indonesia, dengan segala kesenangan hati bernama penyembah berhala, dengan segala kesenangan hati bernama pembudak benda, dengan segala kesenangan hati bernama mendasarkan diri atas keduniaan itu,” tulis Sukarno.
Dalam Fadjar Asia 20 Agustus 1928 Agus Salim menanggapi tulisan Sukarno. Menurut Salim, haluan dirinya (mewakili Partai Sarekat Islam-PSI) dan Sukarno (mewakili kaum nasionalis sekuler) sama-sama cinta bangsa dan tanah air. Tujuannya pun sama-sama meraih kemuliaan bangsa dan kemerdekaan tanah air. Perbedaan keduanya, adalah pada asas dan niat. Agus Salim, PSI dan kaum nasionalis-Islam lain niatnya Lillahi ta’ala. Dengan asas dan niat itu, kata Agus Salim, akan ada kerelaan jika tewas pada jalan perintahNya dan syukur jika mendapat kemenangan di jalan itu.
Maksud Agus Salim menanggapi pidato Sukarno tentang “Ibu Indonesia” bukanlah untuk merusak persatuan daripada pergerakan-pergerakan yang ada. Namun, maksudnya hanyalah memberikan keterangan atas apa yang dibenarkan dan tidak dibenarkan. Dalam keterangan asas PSI disebutkan bahwa PSI bisa bekerja sama dengan gerakan rakyat yang mendekatkan pada tujuan dengan memperhatikan aturan-aturan yang ada dan aturan Islam, tetapi PSI tidak akan menggantungkan nasib pada pergerakan tersebut.
Mengenai persatuan yang digaungkan Sukarno, Salim menulis, “Kita sangat menghargakan persatuan, memang perintah Allah. Tetapi kita tidak bersandar kepada persatuan, melainkan semata-mata kepada Allah.’Kepada Allah jua tawakalnya sekalian orang yang mukmin.’”
Agus Salim menambahkan bahwa meraih kemerdekaan bangsa dan tanah air bukanlah perkara yang singkat dan mudah, melainkan banyak sekali tipu daya dunia. “Hanyalah pengakuan batas-batas Allah yang dapat menjaga kesucian pergerakan keuatamaan itu,” tulis Agus Salim.
Di akhir tulisannya, Salim menyatakan bahwa perasaan cinta bangsa dan tanah air itu suci dan adil tatkala bangsa dan tanah air sendiri masih dalam kekalahan aniaya orang. Namun, saat kemerdekaan telah diraih dan bangsa telah merasa gagah, akan berganti dengan sikap merebut dan menggagahi kemerdekaan orang lain.“Lillahi ta’ala jangan gentar atau lengah karena sesuatu sebab yang daripada dunia. Lillahi ta’ala, supaya hak dan keutamaan belaka yang menjadi ukuran dan tujuan,” tandas Agus Salim.
Perbaikan oleh PSI di Bidang Ekonomi, Sosial, dan Politik
Pemikiran penting Agus Salim juga dapat dilihat dari artikel Ekonomi, Sosial dan Politik yang dimuat di koran Fadjar Asia tanggal 13 Februari 1929, Agus Salim menjelaskan makna pembangunan tiga aspek tersebut secara lebih luas. Menurutnya, selama ini pandangan rakyat, bahkan kaum terpelajar, terhadap tiga aspek di atas amatlah sempit dan parsial. Hal tersebut karena meniru-niru orang asing dalam memaknai pembangunan.
Ekonomi seringkali dimaknai sebagai usaha menghasilkan harta. Praktiknya, perbaikan ekonomi yang konsepnya ditiru dari asing, seringkali dipahami sebatas soal perbankan nasional yang sifatnya menarik harta orang kurang mampu untuk dipinjamkan kepada kaum pemodal. Hal pertama dan utama yang seharusnya diupayakan adalah memerdekakan pikiran bahwa kita tidak mesti takluk dan bergantung pada asing, yaitu Belanda. Rakyat harus memiliki cita-cita dan berusaha membangun kekuatan ekonomi sendiri sambil menghapus kekuatan modal asing.
Pembangunan sosial pun seringkali dimaknai sekadar pembangunan rumah sakit, rumah miskin, rumah yatim, ataupun sekolah. Hal-hal tersebut tak jarang hanya menguatkan penjajahan di Indonesia. PSI melakukan perbaikan sosial mulai dari sumbernya yaitu rumah tangga melalui perbaikan aturan perkawinan hingga ke tingkat masyarakat berupa pendidikan dan mengusung kesetaraan dalam masyarakat (tidak membagi-bagi golongan tinggi-rendah).
Adapun politik, seringkali dimaknai hanya sebatas mencampuri urusan pemerintah dan perlawanan kepada pihak kekuasaan. Partai politik pun dikesankan hanya bertujuan merebut kekuasaan. Tak jarang pula yang berpendapat, janganlah mengurus urusan politik dulu, lebih baik selesaikan masalah ekonomi dan sosial dulu.
Kegiatan ekonomi dan sosial semua didasarkan pada aturan hukum yang ada, sedangkan hukum yang digunakan di Hindia Belanda adalah produk politik yang dikuasai oleh orang-orang Belanda. Produk hukum jelas dibuat untuk kepentingan Belanda. Perbaikan ekonomi dan sosial, tanpa penguasaan politik oleh bangsa sendiri adalah sebuah hal yang mustahil.
PSI menggiatkan perbaikan di ketiga aspek itu karena asasnya, Islam, mengatur dan mendorong perbaikan di setiap aspek kehidupan: ekonomi, sosial, politik, dan aspek lainnya.
Makna Pancasila
Sebagai seorang cendikiawan nasional yang menjadi pimpinan organisasi sosial-politik terbesar di zaman pergerakan, guru bangsa, salah satu perumus dasar negara dan konstitusi, Agus Salim tentulah sosok yang sangat otoritatif dalam menjelaskan makna Pancasila. Pemaknaannya tentang Pancasila bisa diketahui di antaranya dari tullisannya berjudul Ketuhanan Yang Maha Esa di mingguan Islam populer Hikmah tanggal 21 Juni 1953.
Agus Salim menyatakan bahwa sebagai semboyan politik dan lambang persatuan, tafsir Pancasila tidaklah pasti dan terikat. Perbedaan penafsiran atas Pancasila adalah hal yang wajar disebabkan perbedaan pikiran yang ada dalam tiap golongan. Namun, jika kita jelaskan makna Pancasila itu ke luar, jangan sampai kita menegaskan perbedaan-perbedaan atau pertikaian-pertikaian yang ada dalam menafsirkan Pancasila.
Sebagai semboyan persatuan, Pancasila diharapkan dapat mempengaruhi paham tentang asa, tujuan, dan perjuangan tiap-tiap pergerakan di Indonesia. Kemudian tiap-tiap pergerakan mendidik anggotanya berdasarkan tafsirannya. Namun, kendala yang terjadi adalah tiap-tiap golongan merasa dirinya paling Pancasila dan gampang mendakwa orang lain khianat terhadap Pancasila.
Suatu keniscayaan apabila terdapat perbedaan-perbedaan tafsir mengenai Pancasila karena manusia yang menghuni bumi Indonesia ini amat beragam. Letak bahaya bukan pada beragamnya tafsir, tapi bagaimana cara menyikapi perbedaan. Perbedaan itu hendaknya dihadapi dengan semangat fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan (QS Al-Baqarah 148). Pancasila harus menjadi tempat bagi pergerakan-pergerakan untuk berkumpul dan bekerjasama. Kerjasama antar pihak harus dibina dan harus tertaut pada, paling tidak satu pokok Pancasila. Para pihak bekerjasama pada hal-hal yang disepakati.
Agus Salim memperingatkan bahaya persatuan apabila meniru hukum atau tata cara demokrasi Barat. Semangat fastabiqul khairat yang harus dikedepankan. Jangan sampai hal yang dominan dalam demokrasi adalah upaya-upaya yang menghalangi jalannya pemerintahan untuk melakukan perbaikan di masyarakat.
Artikel tersebut dibuat tahun 1953 di mana sejak awal tahun 1950-an Indonesia menganut demokrasi parlementer yang saling menjatuhkan sehingga pembangunan tidak berjalan, terjadi jegal-menjegal kekuasaan. Pada waktu itu memang sering terjadi perubahan pemerintahan di Indonesia.
Agus Salim juga berupaya agar setiap partai atau pergerakan yang beragam haluan tersebut dapat mencapai tujuannya-tujuannya, tanpa menyalahi dasar yang pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata lain, tidak boleh mengupayakan sesuatu yang bertentangan dengan aturan-aturan Allah.
Mengenai sila kebangsaan (sila ke-3), Agus Salim menjelaskan bahwa kebangsaan Indonesia tidak didasarkan pada keturunan atau peranakan, tetapi pada kenegaraan. Jadi, tanpa memandang status peranankannya, seseorang dikatakan berbangsa Indonesia apabila ia mengakui Indonesia negaranya dan ia berbakti padanya, bukan semata-mata karena ia orang pribumi.
Mengenai sila kerakyatan atau demokrasi (sila ke-4), Agus Salim menjelaskan bahwa penentu di dalam negara adalah rakyat melalui badan perwakilan rakyat yang anggota-anggotanya dipilh rakyat. Seluruh pihak harus tunduk kepada keputusan rakyat melalui wakilnya tersebut. Agus Salim menulis, “..tidaklah dibenarkan sesuatu golongan daripada rakyat memisah menyendiri atas dasar lapisannya dalam masyarakat…menentang, melawan, dan melanggar sesuatu yang ditetapkan dengan sah oleh suara terbanyak daripada rakyat itu (ijtimal umma) dengan menggunakan kekuatan perkosaan memaksa…”
Agus Salim melanjutkan, “Dengan mengingat sifat-sifat ini dapatlah kita mengenal tiap-tiap golongan, rombongan atau gerombolan dengan bentuk kepartaian atau badan atau lembaga apa pun juga, yang dengan sikapnya dan tingkah lakunya terbukti mengasingkan diri daripada umat sebangsa, setanah air kita, sekalipun mulutnya mengakui ikut. Mereka itu dengan berbagai corak dan ragamnya yang agak berlain-lain, dapat dikenali dengan tanda-tanda seperti di dalam ayat Al-Qur’an (S. Al-Anfal 21-23):
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang (munafik) yang berkata, ‘Kami mendengarkan’ padahal mereka tidak mendengarkan (karena hati mereka mengingkarinya). Sesungguhnya makhluk bergerak yang bernyawa yang paling buruk dalam pandangan Allah ialah mereka yang tuli dan bisu (tidak mendengar dan memahami kebenaran) yaitu orang-orang yang tidak mengerti. Dan sekiranya Allah mengetahui ada kebaikan pada mereka, tentu Dia jadikan mereka dapat mendengar. Dan jika Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka berpaling, sedang mereka memalingkan diri.”
Besar kemungkinan pihak yang dimaksud Agus Salim adalah Partai Komunis Indonesia. Hal ini disebabkan oleh watak Sosialisme-Marxisme atau Komunisme itu sendiri yang selalu mengusung revolusi yang tak lain adalah perebutan kekuasaan melalui kekerasan. Selain itu rekam jejak PKI di Indonesia yang mencoba merebut kekuasaan melalui teror dan membunuh banyak ulama tahun 1948 di Madiun dan sekitarnya.
Agus Salim juga memperingatkan adanya kelompok di Indonesia yang sekalipun mengakui Ketuhana Yang Maha Esa, kenyataannya menghasut rakyat untuk membesar-besarkan hawa nafsu keduniaan dan tamak kepada kebendaan. Patut diduga bahwa pihak yang dimaksud adalah PKI pula. Hal ini bukan tanpa alasan, mengingat dalam ideologinya, Komunisme (baik Marxisme maupun Leninisme) tidak mengakui bahkan memusuhi agama dan mengusung Materialisme.
Tudingan Agus Salim kepada PKI bukanlah didasari oleh prasangka atau sentimen kebencian semata, tetapi karena pemahaman dan interaksinya dengan Komunisme. Sejak tahun 1920-an Agus Salim memang menjadi benteng yang menahan infiltrasi komunisme ke tubuh SI.
Dari ketiga tulisan Agus Salim, dapat kita lihat bahwa sebenarnya keislaman yang kuat pada diri seseorang tidak menghambat seseorang untuk berperan dalam membina persatuan bangsa dan berkontribusi membangun bangsanya. Sebaliknya, keislaman seseorang malah memberikan inspirasi serta dorongan kuat untuk berkontribusi posifif dalam kemajuan bangsa.
Oleh : Fajar Perkasa – Peserta Kelas Memaknai Indonesia
[1] Lesus, Rizki. 2017. Perjuangan yang Dilupakan. Yogyakarta: Pro-U Media
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ibid.
[5] Rizieq, Muhammad. 2012. Pengaruh Pancasila Terhadap Penerapan Syariat Islam di Indonesia (tesis di Jabatan Fiqh dan Usul Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya).
[6] Kahfi, Erni H. 1996. Haji Agus Salim: His Role in Nationalist Movement in Indonesia During The Early Twentieth Century. (Tesis di Institute of Islamic Studies McGill University).
[7] Tempo. 2013. Seri Buku Tempo Bapak Bangsa : Agus Salim Diplomat Jenaka Penopang Republik. Jakarta: KPG
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Republika 1 Nov 2017. Mengenal Jong Islamieten Bond (https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/17/11/01/oyqf1h313-mengenal-jong-islamieten-bond)
[11] Tempo, Ibid
[12] Disebut nasionalisme (KBBI: paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri)
[13] Disebut patriotisme (KBBI: sikap seseorang yang bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya; semangat cinta tanah air)