Partai Masyumi didirikan di Yogyakarta dalam sebuah kongres yang menghadirkan perwakilan dari berbagai organisasi Islam yang ada di Indonesia. Kongres tersebut berlangsung pada 7 dan 8 November 1945. Deliar Noer dalam Partai Islam di Pentas Nasional (1987: 49) menyebutkan pada awalnya hanya empat organisasi Islam yang masuk Masyumi, yakni Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Organisasi Islam lain di Jawa seperti Persatuan Islam dan Al Irsyad bergabung dengan Masyumi segera sesudah mereka didirikan kembali.

Dengan komposisi penyatuan dari berbagai organisasi Islam ini, Masyumi sempat menjadi partai Islam terbesar pada masanya. Bahkan ketika NU memutuskan keluar dan membentuk partai tersendiri, Masyumi masih memperoleh kemenangan besar perolehan suara dalam pemilu 1955, hanya kalah dengan Partai Nasional Indonesia yang ada di urutan pertama.

Kampanye Partai Masyumi pada pemilu 1955. Sumber foto: Time Life

Mendirikan Serikat Buruh Islam Indonesia

Tak hanya bergerak dalam bidang politik dan perjuangan di parlemen, tetapi Masyumi juga merambah kepada perjuangan gerakan buruh. Ditambah lagi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang merupakan lawan utama Masyumi, juga sangat gencar menghimpun kelompok buruh sebagai basis massa mereka. Untuk itulah beberapa anggota Masyumi berinisiatif mendirikan Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII).

Iskandar Tedjakusuma, Menteri Perburuhan masa Presiden Soekarno, dalam Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia (2008: 58-59) mencatat bahwa SBII didirikan pada 27 November 1948. Ketua pertamanya saat itu ialah Mohammad Dalyono. Sampai tahun 1956 serikat buruh ini mengklaim memiliki 275.000 anggota.

Di tahun 1953, SBII sempat diguncang perpecahan internal. Dalyono selaku ketua umum saat itu menghendaki agar SBII keluar dan terpisah dari Masyumi sebagai organisasi buruh yang independen dan bergabung dengan serikat buruh Islam lainnya. Namun dalam Kongres SBII ke-6 di Surabaya usul tersebut ditolak. Jusuf Wibisono yang juga pengurus pusat Partai Masyumi menyebut hal itu mustahil sebab setiap serikat buruh saat itu memiliki haluan dan sandaran pada partai politik tertentu.

Dalyono akhirnya mengundurkan diri dari SBII dan kongres menetapkan Jusuf Wibisono sebagai ketua selanjutnya. Perbedaan pendapat perihal status SBII antara harus berada di bawah Masyumi atau sebagai organisasi buruh yang independen inilah yang juga pada akhirnya menyebabkan beberapa tokohnya keluar dan mendirikan Kongres Buruh Islam Merdeka (KBIM).

Aksi buruh di masa lampau. Sumber foto: https://disnakertrans.bantenprov.go.id/

Perjuangan Buruh Tanpa Marxisme

SBII memang bukan hanya berada di bawah pengawasan Masyumi, tetapi juga merupakan badan otonomnya dalam bidang perburuhan. Sebagai konsekuensi atas statusnya ini, dalam persoalan politik maupun ideologi SBII juga mesti bersandar pada Masyumi. Karena itu, kehadiran SBII juga menjadi pesaing dari Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOSBI) yang ada di bawah kendali PKI. Sebab Masyumi dan PKI, dua organisasi yang menaungi dua organisasi buruh itu memang menjadi lawan politik bagai air dan minyak.

“Salah satu cerminannya,” tulis Iskandar Tedjakusuma, “ialah posisi SBII yang menolak teori perjuangan kelas dan berpihak pada kerjasama dengan manajemen dalam mencari jalan-jalan keluar untuk memperbaiki upah dan kondisi kerja.” (2008: hlm. 76).

Konsep yang dipegang oleh SBII ini bisa kita lihat misalnya pada saat pemerintah mengeluarkan peraturan No. 1 tahun 1951 mengenai pelarangan mogok di perusahaan-perusahaan yang vital. Kebijakan ini disetujui oleh SBII, namun justru membuatnya dituduh oleh SOSBI sebagai organisasi buruh yang anti mogok dan memihak majikan.

Tuduhan pihak SOSBI ini tidak sepenuhnya benar, sebab sepanjang tahun 1955, SBII bersama Komite Buruh Seluruh Indonesia (KBSI) melakukan aksi mogok umum. Jusuf Wibisono juga membantah tuduhan itu dan mengungkapkan bahwa SBII akan melakukan aksi mogok apabila perundingan dengan pihak majikan tidak menemui hasil.

Puji Suwasono dalam skripsinya di Universitas Indonesia dengan judul Serikat Buruh Islam Indonesia 1947-1960 (2002: 69-70) juga mencatat sejumlah aksi yang dilakukan oleh SBII sepanjang tahun 1955 itu. Antara lain pada bulan Februari di Lampung Selatan yang diikuti oleh 1.500 buruh pelabuhan. Lalu pada bulan Maret di tahun yang sama SBII Tanjung Priuk juga melakukan aksi yang sama. Di Sumatera bersama Aksi Buruh Perkebunan Sumatera Utara, SBII juga mengadakan kongres untuk menuntut perusahaan perkebunan agar meningkatkan kesejahteraan buruh perkebunan di sana.

Segala aksi dan gerakan yang dilakukan oleh SBII mendasarkan dirinya pada ajaran Islam. Inilah yang membedakannya dengan SOSBI yang menggunakan dasar sosialisme-marxisme. Jusuf Wibisono bahkan menuliskan sebuah buku berjudul Islam dan Sosialisme (1950), yang isinya banyak menjelaskan perbedaan antara Islam dengan sosialisme-marxisme. Di antaranya ia menyebutkan bahwa apa yang dicita-citakan oleh Karl Marx mengenai kesejahteraan kelas buruh mungkin bertujuan mulia, namun ajarannya mengenai materialisme-historis yang menyatakan bahwa semua ideologi, agama, hukum, hingga politik dilahirkan dari kondisi ekonomi adalah berlawanan dengan nilai dan ajaran Islam.

Meski demikian, sebagaimana halnya paham sosialisme, Jusuf Wibisono menjelaskan bahwa Islam pun mengajarkan agar kaum buruh mesti diperhatikan kesejahteraannya dan berjuang melawan majikan yang menindas. “Kaum buruh harus bangun bersatu untuk melawan kaum majikan yang memperlakukan mereka tidak adil, itu dapat sokongan penuh dari pelajaran agama Islam yang mengajarkan bahwa orang-orang Muslimin harus menegakkan keadilan dan peri kemanusiaan,” tegasnya (1950: 59).

Jusuf Wibisono. Sumber foto: wikipedia

Keluar dari Masyumi dan Berganti Nama

Menjelang tahun 1960 terdengar kabar desas-desus bahwa Masyumi akan dibubarkan oleh Presiden Soekarno. Soebagijo dalam Jusuf Wibisono: Karang di Tengah Gelombang (1980: 240-241) menuturkan, kondisi menjelang masa Demokrasi Terpimpin itu membuat khawatir Jusuf Wibisono mengenai nasib SBII apabila juga akan dibubarkan, sebab SBII merupakan badan otonom Masyumi.

Untuk itu dalam suratnya pada 18 Desember 1958, kepada Pengurus Pusat Masyumi, Jusuf Wibisono meminta diri untuk keluar dari partai. Lalu dalam Muktamar SBII di Semarang tahun 1960 memutuskan bahwa SBII juga turut melepaskan hubungannya dengan Masyumi. Hal ini dilakukan agar SBII juga tidak ikut dibubarkan oleh pemerintah apabila Masyumi dibubarkan.

Maka ketika Masyumi bubar dan dilarang keberadaannya oleh Soekarno pada 1960, SBII selamat dan tetap dibiarkan berdiri. Pada 1961, KBIM kembali melebur bersama SBII dengan nama baru, Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (GASBIINDO), yang masih diketuai oleh Jusuf Wibisono.

Oleh: Syaidina Sapta W. – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB), Mahasiswa Magister Sejarah dan Kebudayaan Islam, UIN Jakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here