Secara sosiologis Peradilan Agama telah ada semenjak zaman kesultanan-kesultanan Islam pra-kolonial di Nusantara. Peradilan Agama telah tumbuh dan berkembang atas kehendak sejarah bangsa Indonesia lebih dahulu daripada berdirinya negara Republik Indonesia. Peradilan Agama telah hadir sebelum penjajah Belanda menginjakkan kaki di bumi Indonesia.
Sejarah mencatat kebijakan pemerintah Hindia Belanda di bidang peradilan, sebagaimana dikemukakan Karel A.Steenbrink dalam buku Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19 (1984), melakukan pemisahan antara Pengadilan Umum dan Pengadilan Agama. Menurut istilah Karel A.Steenbrink, Pengadilan Agama di era Hindia Belanda mengalami perubahan status dari terdaftar hingga negeri.
Politik hukum kolonial melancarkan deislamisasi melalui teori receptie hukum (Staatsblad 1929 Nomor 221). Perkara perdata sesama orang Islam diselesaikan oleh hakim agama Islam menurut hukum Islam apabila hal tersebut telah diterima oleh hukum adat dan sejauh tidak ditentukan lain oleh suatu ordonansi. Teori resepsi hukum sebetulnya tidak menguntungkan bahkan merugikan bagi umat Islam di masa itu.
Pengakuan resmi pemerintah Hindia Belanda terhadap Peradilan Agama dimulai semenjak 19 Januari 1882. Saat itu Belanda mengeluarkan Staatsblad van Nederlandsch Indie Nomor 152 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Staatsblad tersebut antara lain menyatakan: Di mana ada Pengadilan Negeri, diadakan Pengadilan Agama (daerah hukum yang sama) dan Pengadilan Agama terdiri atas Penghulu yang diperbantukan pada Pengadilan Negeri. Pengadilan Agama tidak asing disebut sebagai Pengadilan Penghulu. Tahun bersejarah 1882 jadi patokan bagi Kementerian Agama ketika menerbitkan buku Kenang-Kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia.
Pada masa pendudukan balatentara Jepang tahun 1942 sampai 1945,
semua undang-undang dan peraturan produk zaman Hindia Belanda tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pemerintahan Jepang. Pemerintah militer Jepang pada bulan Maret 1943 membentuk Kantor Urusan Agama (KUA) di tingkat pusat dengan nama Shumubu, dimana Penghulu mempunyai jabatan sebagai Imam Masjid, Kepala Kantor Urusan Agama, Wali Hakim, Penasehat Urusan Agama, Penasehat Pengadilan Negeri, dan Hakim Agama.
Setelah proklamasi kemerdekaan dan lahirnya Kementerian Agama tanggal 3 Januari 1946, urusan Peradilan Agama dan Mahkamah Islam Tinggi dialihkan menjadi kewenangan Kementerian Agama berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5/SD/1946 terhitung sejak 12 Maret 1946. Dengan demikian, Pengadilan Agama menjadi bagian dari sistem peradilan negara yang secara kelembagaan, administrasi dan keuangan ditangani oleh Kementerian Agama.
Pengadilan Agama dalam Sistem Bernegara
Pengadilan Agama bukan institusi yang berdiri sendiri dan bukan lembaga hukum di luar negara. Pengadilan Agama merupakan bagian dari peradilan negara dalam sistem hukum nasional. Hukum agama merupakan sumber bahan baku hukum nasional di negara kita. Sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa mempertegas sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan negara sekuler.
Dalam perkembangan politik hukum nasional hingga dekade 1960-an, susunan peradilan di Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, terdiri dari Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sejak 1980 di masa Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara, pengadilan agama dengan berbagai bermacam nama disatukan dengan nama Pengadilan Agama untuk seluruh Indonesia.
Pengadilan Agama telah melalui perjalanan sejarah yang panjang selama hampir satu setengah abad bahkan lebih, dalam menegakkan keadilan di ranah hukum keluarga dan beberapa hukum perdata agama yang dibutuhkan dalam kehidupan umat Islam. Kelembagaannya tetap Pengadilan Agama yang melambangkan sifat nasionalnya, meski memiliki kekhususan mengadili perkara warga negara yang beragama Islam saja. Sama seperti Kantor Urusan Agama (KUA), tidak dinamakan Kantor Urusan Agama Islam, karena melambangkan sifat nasional institusi di bawah Kementerian Agama.
Pengadilan Agama di seluruh Indonesia, termasuk Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, dibentuk dengan kuasa Undang-Undang, hakim-hakimnya merupakan pejabat negara, panitera dan pegawainya adalah aparatur sipil negara (ASN). Dalam perundang-undangan yang mengatur kekuasaan kehakiman, kedudukan Pengadilan Agama disejajarkan dengan tiga jenis pengadilan lainnya yakni Pengadilan Umum, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Sebelum adanya Undang-Undang Pengadilan Agama, meski Hakim Pengadilan Agama diangkat oleh Menteri Agama, namun putusan Pengadilan Agama masih memerlukan pengukuhan. Putusan perceraian yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) masih harus dikonfirmasi ke Kantor Urusan Agama Kecamatan. Pengadilan Agama saat itu belum mempunyai lembaga Kejurusitaan. Orang yang berperkara di Pengadilan Agama tidak bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, karena belum ada kamar Pengadilan Agama di Mahkamah Agung.
Sekitar tahun 1982 di masa Menteri Agama H. Alamsjah Ratu Perwiranegara dan dilanjutkan oleh Menteri Agama H. Munawir Sjadzali, M.A., pemerintah melakukan terobosan politik hukum untuk melahirkan Undang-Undang Peradilan Agama. Penyusunan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama dilakukan sejak 1982. Malahan menurut data yang disampaikan Prof. H. Mohammad Daud Ali dalam sebuah artikelnya di Harian Pelita tanggal 18 dan 19 Juli 1989, usaha mempersiapkan Undang-Undang Peradilan Agama telah dimulai sejak tahun 1971.
Pada waktu itu berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman tahun 1982 dibentuk Panitia Interdepartemental/Tim Pembahasan Peradilan Agama dan Penyusunan RUU Peradilan Agama yang diketuai Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, S.H., Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung. Panitia/Tim RUU Peradilan Agama yang dibentuk oleh Menteri Kehakiman didukung oleh Kementerian Agama dari sisi penganggarannya.
Lahirnya Undang-Undang Peradilan Agama
Dalam buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila terdapat analisa sangat penting yang ditulis oleh pakar hukum terkemuka Prof. Dr. H. Ismail Suny, S.H.,MCL. Tulisan Ismail Suny ketika itu menanggapi pro-kontra Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU-PA). Meski dikemukakan tiga puluh lima tahun lalu, namun substansi dan pesan utamanya masih relevan, baik di masa sekarang maupun dalam menatap perjalanan Peradilan Agama ke depan.
Ismail Suny mengemukakan, “Penafsiran sistematis dari pasal 27 ayat 1 (UUD 1945) yang menjamin persamaan di depan hukum dengan pasal 29 ayat 2 yang menjamin kemerdekaan untuk memeluk agamanya masing-masing, adalah hubungan lex generalis dengan lex specialis. Persamaan di depan hukum di mana kepada seluruh warga negara diberikan pelayanan hukum yang sama tanpa diskriminasi oleh sebab-sebab ras, warna kulit, golongan, kepercayaan dan sebagainya. Ini berlaku umum, jadi lex generalis. Lex specialis adalah hak untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kepada semua penduduk diberi hak untuk memeluk dan menjalankan ibadat agamanya masing-masing. Ada kekhususan hukum untuk pemeluk agama tertentu dan akibatnya adanya peradilan khusus untuk pemeluk agama tertentu.”
Pakar hukum tata negara Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H. menyanggah logika yang memandang bahwa kalau Peradilan Agama memutuskan perkara dengan hukum Islam, lantas Indonesia berubah menjadi Negara Islam. Semula, Peradilan Agama memang milik orang Islam, milik kesultanan-kesultanan Islam sejak zaman pra-kolonial. VOC dan pemerintah kolonial Hindia Belanda kemudian mengakui eksistensinya walau mereka juga mempreteli kekuasaan dan wewenangnya. Di masa merdeka, negara Republik Indonesia mengukuhkannya dan menjadikannya peradilan negara.
Tulisan Yusril Ihza Mahendra yang dimuat di Majalah Panji Masyarakat No 616/Juli 1989 lebih jauh menandaskan bahwa sejak merdeka tak pernah negara tak mengurusi agama. Mula-mula diurus oleh Kementerian PPK (Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan), kemudian dalam Kabinet Sjahrir I, diurus oleh Menteri Negara Haji Rasjidi, B.A. Dalam Kabinet Sjahrir II, barulah ada Kementerian Agama yang juga dipimpin oleh Haji Rasjidi, B.A.
Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU-PA) disampaikan kepada DPR-RI oleh Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali pada tanggal 28 Januari 1989. Tim Penyusun RUU Peradilan Agama beranggotakan wakil-wakil dari Mahkamah Agung, Kementerian Kehakiman, Kementerian Agama, Universitas Indonesia dan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, diketuai oleh Busthanul Arifin. Tim penyusun bekerja di Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Kehakiman. Tim menyiapkan dua naskah rancangan undang-undang yaitu RUU Susunan dan Kekuasaan Peradilan Agama dan RUU Hukum Acara Perdata Peradilan Agama yang kemudian disatukan menjadi RUU Peradilan Agama.
Pembahasan yang alot di DPR dan diskusi yang luas di ruang publik seputar RUU Peradilan Agama mewarnai dinamika politik waktu itu. Pada tanggal 29 Desember 1989 RUU Peradilan Agama disetujui oleh DPR-RI untuk disahkan menjadi Undang-Undang Peradilan Agama.
Dr. H. Tarmizi Taher (Menteri Agama RI periode 1993 – 1998) dalam buku Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH (1996) menyebut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah lompatan besar. Dari segi perundang-undangan, Undang-Undang itu adalah lompatan 100 tahun, sedangkan dari segi hukum substantif adalah lompatan 100 windu.
Menteri Agama periode 1983 – 1993 Munawir Sjadzali, M.A. dalam memoar 70 Tahun mengungkapkan, di banyak negara yang dalam undang-undang dasarnya yang tegas dinyatakan Islam sebagai agama negara, kedudukan mahkamah syariah tidak sekokoh dan seterhormat Pengadilan Agama di Indonesia. Menteri Agama dalam kesempatan itu mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dua pakar hukum, yaitu Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, S.H., Ketua Muda Mahkamah Agung untuk Urusan Lingkungan Peradilan Agama, dan Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, S.H., Wakil Sekretaris Kabinet dan Guru Besar di Fakultas Hukum UI.
Bayangkan semenjak RUU-PA disampaikan dengan Keterangan Pemerintah oleh Menteri Agama dalam sidang DPR-RI tanggal 28 Januari 1989 mendapat tanggapan pro-kontra. Bahkan ada kalangan yang bersikap apriori memandang RUU-PA sebagai upaya terselubung menghidupkan Piagam Jakarta. RUU-PA sampai disetujui menjadi Undang-Undang, mendapat respons beragam dari masyarakat, politisi, cendekiawan, pengamat dan tokoh-tokoh agama serta keterlibatan media massa begitu luar biasa. Segala badai rintangan dapat dilalui dengan kerjasama erat antara Kementerian Agama dan Kementerian Kehakiman dalam mengawal RUU-PA hingga ditetapkan menjadi undang-undang.
Menteri Kehakiman Ismail Saleh, S.H., pada waktu itu mengemukakan ada tiga dimensi pembangunan hukum nasional. Pertama, dimensi pemeliharaan yaitu dimensi untuk memelihara tatanan hukum yang sudah ada, walaupun tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan. Dimensi ini perlu ada untuk mencegah kekosongan hukum dan merupakan konsekuensi logis dari pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, dimensi pembaruan yaitu dimensi yang merupakan usaha untuk lebih meningkatkan dan menyempurnakan pembangunan hukum nasional. Ketiga, dimensi penciptaan yaitu dimensi dinamika dan kreativitas, menciptakan suatu perangkat perundang-undangan yang baru, yang sebelumnya belum pernah ada.
Sejak kelahiran Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh: (1) Pengadilan Agama, dan (2) Pengadilan Tinggi Agama. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.
Sistem Peradilan Satu Atap
Peralihan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung meninggalkan catatan sejarah yang menjadi bagian dari memori bangsa. Untuk diketahui, setelah lahirnya Undang-Undang Peradilan Agama, Busthanul Arifin, Muchtar Zarkasyi, Menteri Agama Munawir Sjadzali dan Ketua Mahkamah Agung Ali Said, S.H. sepakat bahwa Peradilan Agama tetap di bawah pembinaan Kementerian Agama tanpa mengurangi kesetaraannya dengan Peradilan Umum.
Kementerian Agama sampai masa Menteri Agama Prof. H.A. Malik Fadjar tahun 1999 masih tetap mempertahankan Peradilan Agama di bawah Kementerian Agama. Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, S.H. yang menjabat Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Agama dan didukung oleh Prof. Dr. Ismail Sunny, S.H., berpendapat bahwa Peradilan Agama harus tetap di lingkungan Kementerian Agama. “Kalau bersatu dengan Peradilan Umum, maka mentalnya akan seperti Peradilan Umum”, kata Busthanul Arifin saat itu.
Sejak tahun 2004 Peradilan Agama beralih di bawah naungan Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Peradilan Agama menjadi “satu atap” dengan tiga peradilan lainnya, dalam arti secara teknis maupun pembinaan organisasinya berada di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Pada tanggal 30 Juni 2004 secara resmi dilakukan pengalihan organisasi, administrasi dan keuangan lingkungan Peradilan Agama dari Kementerian Agama kepada Mahkamah Agung. Pro dan kontra sempat terjadi sebelum menjadi keputusan politik yang harus diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak. Sesuai realitas waktu itu keinginan sebagian warga peradilan agama sendiri yang sejak 1999 ingin bergabung dengan Mahkamah Agung. Kementerian Agama sejak lama telah memperjuangkan peningkatan anggaran dan struktur organisasi Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Agama, namun belum berhasil.
Drs. H. Wahyu Widiana, M.A. adalah Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama “terakhir” di Kementerian Agama. Ia lalu diangkat menjadi Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama pertama pada Mahkamah Agung. Selain itu patut dikenang Drs. H. Taufiq S.H.,M.H., Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Agama dan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI yang pernah menjabat Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama (1990 – 1992) dikenang sebagai pionir Hakim Agung dari lingkungan Peradilan Agama. Peran dan jasanya dalam menjaga roh Peradilan Agama setelah lepas dari Kementerian Agama takkan terlupakan. Menurut Taufiq, rasa keagamaan tidak boleh hilang dari para Hakim Agama sampai kapan pun.
Dalam sebuah acara Taufiq berpesan kepada jajaran Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama: “Suatu ketika kita di MA, memang ada tantangannya. Kita tidak boleh lengah. Perlu dijaga mental agar tidak goyah oleh fasilitas dan anggaran yang besar. Jangan sampai terjadi waktu gaji sedikit, fasilitas terbatas bisa menjaga integritas. Tetapi setelah berubah, fasilitas wah, gajinya lumayan, lalu mental ikut berubah.”
Menurut Taufiq, Peradilan Agama harus dibangun oleh warga Peradilan Agama sendiri. Tidak bisa mengharapkan orang lain. Sebagai contoh, penanganan perkara ekonomi syariah yang sudah menjadi kewenangan Pengadilan Agama, tiba-tiba pernah ada upaya untuk mengeluarkannya. Menyikapi masalah tersebut Taufiq dan Wahyu Widiana (Dirjen Badan Peradilan Agama) berupaya mempertahankannya. Setelah dikonsolidasikan dengan MUI dan Pengadilan Agama di daerah-daerah, muncul surat-surat dari daerah menyatakan tidak setuju apabila ekonomi syariah dikeluarkan dari kewenangan Peradilan Agama.
Tantangan Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah mengalami perubahan dua kali, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Setelah 35 tahun Undang-Undang Peradilan Agama menjadi hukum positif yang berlaku sejak diundangkan, pasal yang diubah di antaranya menyangkut kewenangan Peradilan Agama. Menurut ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) perkawinan; (b) kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; dan (c) wakaf dan shadaqah.
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, terjadi perluasan kewenangan Peradilan Agama sebagaimana tercantum pada pasal 49 bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) perkawinan; (b) waris; (c) wasiat; (d) hibah; (e) wakaf; (f) zakat; (g) infaq; (h) shadaqah; dan (i) ekonomi syari’ah.
Sejak perubahan Undang-Undang Peradilan Agama, peran Menteri Agama dalam pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan Peradilan Agama telah beralih ke Mahkamah Agung. Perubahan Pertama Undang-Undang Peradilan Agama menyisipkan pasal baru 3A bahwa di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan Undang-Undang.
Dalam konteks hukum keluarga, Peradilan Agama mempunyai peran penting untuk menjaga ketahanan keluarga yang dibentuk melalui perkawinan yang sah menurut hukum agama masing-masing. Prof. Dr. H. Muhammad Tahir Azhary, S.H. (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia) mengingatkan tugas Pengadilan Agama sangat berat. Di dalam kasus perceraian, Pengadilan Agama ikut menentukan nasib atau kelanjutan suatu keluarga. Pengadilan Agama, dengan demikian, memiliki peran yang sangat penting, berat, dan unik, berbeda dengan pengadilan biasa.
Perluasan kewenangan Peradilan Agama dalam mengadili perkara ekonomi syariah dan obyek perkara lain sesuai kebutuhan masyarakat di masa depan, membutuhkan kompetensi hakim, panitera, integritas hakim dan wawasan hukum segenap insan Peradilan Agama. Hakim Peradilan Agama wajib memahami seutuhnya spirit keluasan dan keadilan hukum Islam serta implementasinya di masyarakat.
Dalam rangka pendidikan hakim agama dan untuk memenuhi kebutuhan kaderisasi hakim Peradilan Agama di seluruh Indonesia, Mahkamah Agung dapat melakukan kerjasama dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (UIN dan IAIN) khususnya yang memiliki Fakultas Syariah dan Hukum dan Pascasarjana Program Studi Hukum Islam.
Perkara yang masuk ke Peradilan Agama menyangkut hukum perkawinan dan keluarga, sengketa waris, gugatan harta wakaf, perkara ekonomi syariah, dan lain-lainnya yang kian meningkat, memerlukan penyelesaian yang tepat dan berkeadilan. Penguasaan hakim terhadap seluk-beluk persoalan ekonomi syariah yang tumbuh dan berkembang di era kekinian menjadi satu keniscayaan dalam upaya peningkatan kualitas Peradilan Agama di negara kita.
Tantangan Peradilan Agama di masa kini dan masa mendatang tidak ringan. Tugas Hakim Agama bukan sekadar memutus perkara, tetapi menghadirkan keadilan substantif berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Penguasaan hakim Pengadilan Agama terhadap hukum syariah harus menjangkau aspek maqashid syariah yang lebih dalam ketika memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara. Pengadilan Agama sekaligus diharapkan semakin berperan dalam membangun kesadaran hukum masyarakat khususnya umat Islam.
Perubahan nilai-nilai kehidupan masyarakat dan merenggangnya kohesivitas pada sebagian komunitas bangsa menjadi tantangan yang harus dijawab oleh institusi negara, termasuk Pengadilan Agama sebagai benteng bagi para pencari keadilan. Untuk itu kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan dan marwah Pengadilan Agama wajib dijaga sejalan dengan cita-cita negara hukum. Dalam kaitan ini patut diingat, jiwa Pengadilan Agama sebetulnya adalah mendamaikan, bukan menghukum.
Oleh: Fuad Nasar – Peminat Kajian Sejarah, Penulis buku “Jejak Pengabdian Ulama: Pelopor Penasihatan Perkawinan
BIBLIOGRAFI
Ahmad, Amrullah, dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, S.H. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
Departemen Agama, Peranan Departemen Agama Dalam Revolusi dan Pembangunan Bangsa, (Jakarta: Jakarta: Biro Penerbitan & Perpustakaan Agama, 1965).
Noer, Deliar, Administrasi Islam Di Indonesia (Jakarta: CV Rajawali, 1983).
Panitia Penulisan Buku 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, M.A., Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995).
Sabrie, Zuffran, editor, Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila Dialog Tentang RUUPA (Jakarta: Pustaka Antara PT, 1990).