Pengantar
Tepat 79 Tahun lalu, bangsa kita memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka dari kungkungan penjajahan yang telah begitu lama mengurung serta membelenggu jiwa dan raga. Kemerdekaan tersebut tentu tidak lahir dalam ruang hampa dan oleh orang-orang yang juga hampa jiwanya. Kemerdekaan itu diperjuangkan dan diraih oleh mereka yang dalam kesehariannya sangat peduli akan arti cita-cita yang luhur mengenai kehidupan yang merdeka. Keluhuran cita-cita serta tingginya semangat hidup para pejuang kemerdekaan tentu tidak lepas dari pengaruh intelektualitas diri mereka. Banyak dari para pejuang kemerdekaan itu yang kemudian perjalanan hidupnya dibukukan baik sebagai tulisan sejarah (historiografi) atas suatu peristiwa yang dirinya ikut terlibat, atau sebagai karya khusus mengenai pribadinya dan berbagai peristiwa sejarah yang dibuatnya atau ikut dialaminya (biografi dan atau otobiografi).
Dari sekian banyak tulisan-tulisan sejarah itu, belum banyak yang dengan sengaja menyentuh perihal perkembangan literasi di Indonesia beserta tokoh-tokohnya. Tulisan ini bermaksud mengisi celah-celah kosong dari panggung sejarah Indonesia yang begitu besar namun jarang sekali menampilkan perihal kepentingan dan pengaruh literasi di atasnya. Istilah literasi yang dimaksudkan di sini ialah berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, Pasal 1 ayat (4) menjelaskan bahwa “literasi adalah kemampuan untuk memaknai informasi secara kritis sehingga setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya”.[1] Jadi, literasi di sini tidak dalam arti sempit sebagai keberaksaraan dan kemampuan membaca dan menulis saja.
Mengenai peningkatan kualitas pendidikan, telah dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31, Ayat 3: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”[2] Meski ternyata, pengamalan dari UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 ini dalam sejarah bangsa kita belum menunjukkan kesungguhan yang berarti, khususnya dari pihak pemerintah.
Mereka Besar karena Membaca
Tidak dapat dipungkiri, suatu peristiwa sejarah terjadi karena ada penggerak utama yang berpengaruh besar bagi masyarakat di sekitarnya. Tidak terkecuali dalam perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaannya. Sayangnya, dari sekian banyak nama tokoh sejarah kemerdekaan yang dikenalkan pada kita melalui buku-buku pelajaran sejak Sekolah Dasar, hampir tidak pernah kita jumpai kisah mengenai intelektualitas dari tokoh tersebut. Banyak dari tokoh perintis kemerdekaan kita menguasai banyak bahasa, baik bahasa daerah hingga bahasa-bahasa asing. Bahkan, ada yang menguasai banyak bahasa seperti Haji Agus Salim. Ia dikenal menguasai 9 bahasa asing yaitu: Arab, Turki, Belanda, Perancis, Jerman, Inggris, Cina, Jepang dan Latin. Selain itu, ia juga menguasai bahasa Melayu, Minang, Jawa dan Sunda.[3] Menariknya, Agus Salim-lah yang pertamakali menyampaikan pidato dalam bahasa Melayu di Volksraad (Dewan Rakyat) sebelum ia keluar dari dewan itu pada 1923 karena apa yang diputuskan dewan ini tidak diindahkan oleh pemerintah Hindia Belanda.[4]
Dari besarnya ketokohan Haji Agus Salim yang digelari The Grand Old Man of Republic[5] itu kita bisa mengambil pelajaran bahwa kebesaran seseorang bukan dilihat dari mana dia berasal dan seberapa banyak harta yang dia miliki, tetapi justru sedalam dan seluas apakah ilmu yang dia kuasai. Tentu saja, penguasaan ilmu berkaitan dengan penguasaan bahasa dan penguasaan bahasa sangat berkait erat dengan literasi sebagai salah satu unsur terpenting dalam pendidikan.
Penyebutannya sebagai contoh di sini, tentu tanpa maksud mengecilkan apalagi menafikan kebesaran tokoh-tokoh lain yang semasa dengannya, namun hanya sebagai gambaran saja bahwa bangsa kita mesti memiliki rasa bangga terhadap tokoh-tokoh kita sendiri secara wajar.
Mengapa Ajip Rosidi?
Ada banyak tokoh yang terlibat dalam proses peningkatan kualitas masyarakat Indonesia melalui pendidikan umumnya dan dalam bentuk literasi khususnya pada masa setelah kemerdekaan. Tokoh-tokoh tersebut terutama berkiprah karena cita-cita luhur yang diyakininya, sehingga meski sebagian tokoh literasi itu bukan bagian dari unsur pemerintahan (bukan pejabat dan atau pegawai di lembaga pemerintahan) mereka berhasil memberikan pengaruh yang cukup luas bagi masyarakat.
Adalah Ajip Rosidi (1938-2020), seorang yang hingga wafatnya berstatus sebagai “pengarang” dalam KTP-nya, seumur hidupnya didedikasikan untuk pengembangan kebudayaan nasional melalui literasi dan kesenian. Keseriusannya dalam menumbuhkan minat baca masyarakat secara nasional melalui bahasa Indonesia dan beberapa bahasa daerah seperti Sunda, Jawa dan Bali menjadi catatan sejarah yang menarik untuk kita tampilkan di atas panggung sejarah Indonesia.
Beruntungnya, Ajip Rosidi adalah tokoh yang apik dalam mendokumentasikan pekerjaannya sehingga generasi setelahnya dapat lebih mudah mengambil manfaat dari jejak langkah hidupnya. Pengalaman hidupnya yang penuh dengan pergaulan luas dengan tokoh literasi dari bangsa Indonesia hingga antarbangsa memberikan nilai lebih karena dengan begitu kita secara tidak langsung dapat melihat benang merah perkembangan literasi di Indonesia pasca kemerdekaan.
Meski seumur hidupnya tidak pernah menjadi praktisi politik, pejabat pemerintahan dan pegawai negeri (hanya pernah menjadi staf ahli Menteri P dan K[6]), Ajip tidak pernah merasa pesimis apalagi sampai berhenti memperjuangkan peningkatan kualitas masyarakat melalui literasi. Bahkan ketika menjadi ketua IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), ia berusaha menjadikan lembaga yang dipimpinnya sebagai mitra pemerintah dalam mengembangkan industri perbukuan dengan antaranya mengusulkan penghapusan berbagai pajak yang pada akhirnya hanya memberatkan masyarakat karena harga buku yang tidak terjangkau.
Memang, Ajip tidak hanya mengarang berbagai bentuk karangan kemudian mempublikasikannya pada khalayak. Lebih dari itu, ia pun terlibat menjadi redaktur, mendirikan beberapa penerbit, menerbitkan majalah, mendirikan lembaga-lembaga yang berfokus pada kebudayaan, mengadakan penelitian-penelitian serius dan konferensi hingga ke mancanegara meski pribadinya tidak memiliki ijazah dari perguruan tinggi, bahkan SMA-nya di Taman Madya tidak ia tuntaskan. Hingga sembilan tahun lalu, atau lima tahun sebelum wafatnya, ia mendirikan Perpustakaan Ajip Rosidi di Kota Bandung, yang ketika diresmikan pada 15 Agustus 2015 memiliki 40.000 koleksi dalam 15 kategori. Perpustakaan ini dibuka untuk umum dan gratis.[7] Hampir seluruh koleksi perpustakaan ini adalah dari koleksinya pribadi.
Artikel ini pertama-tama ditujukan sebagai penghormatan yang wajar atas berbagai kerja budaya dari seorang Ajip Rosidi, kemudian sebagai bentuk ikhtiar mewujudkan harapan-yang oleh Ajip dianggap sebagai satu-satunya- bahwa “akan tumbuh generasi muda yang bersih dan bermental baja, yang dengan hati yang ikhlas punya niat kuat untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari jurang kehancuran”.[8]
Oleh: Fakhri Nurzaman-Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
[1] Fansuri, Eep Saeful Rojab, 2018. Gerakan Literasi Sekolah Untuk Penguatan Pendidikan Karakter (Studi Fenomenologis pada Sekolah Menengah Pertama di Jawa Barat). Disertasi S3 pada SPs UPI Bandung. Hal. 12. Selanjutnya disebut Fansuri, Gerakan Literasi Sekolah…
[2] Satgas Literasi Sekolah Kemendikbud. Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Edisi 2. Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar dan Menegnah. 2018.
[3] Beberapa sumber menyebutkan Haji Agus Salim menguasai beberapa bahasa dalam jumlah yang berbeda. Lihat misalnya Sularto, St. (ed.), 2004. Haji Agus Salim (1884-1954) Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme. Jakarta: Gramedia. Hal. 104. Selanjutnya disebut Sularto, St. (ed.). Haji Agus Salim…; Adkhiyah, Linda, 2023. Membanggakan! Berhasil Kuasai 9 Bahasa Asing, Ini Sosok Diplomat Ulung dari Sumateria Barat. Diakses 17 Agustus 2024, https://www.harianhaluan.com/pendidikan/109664971/.; Iqbal, Muhammad. Agus Salim. Dalam Ensiklopedi Sejarah Indonesia, diakses 17 Agustus 2024, https://esi.kemdikbud.go.id/wiki/Agus_Salim.; dan Shadily, Hassan, dkk., 1991. Ensiklopedi Indonesia. Edisi Khusus. Jilid 1. Cetakan Ke-5. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. Hal. 113-114.
[4] Sularto, St. (ed.). Haji Agus Salim… hal. 39.
[5] Sularto, St. (ed.). Haji Agus Salim… hal. xxxi.
[6] Rosidi, Ajip. 2008. Hidup Tanpa Ijazah Yang Terekam Dalam Kenangan. Jakarta: Pustaka Jaya. Hal. 703. Selanjutnya disebut Rosidi, Hidup Tanpa Ijazah… Otobiografi tersebut menjadi rujukan utama dalam penulisan artikel ini.
[7] Chandra, Ery, 2018. Mengintip Perpustakaan Ajip Rosidi di Bandung yang Memiliki Koleksi 40 ribu Judul Buku, diakses pada 17 Agustus 2024 dari https://jabar.tribunnews.com/2018/11/22/. Untuk informasi mengenai perpustakaan ini dapat dilihat di laman https://perpustakaanajiprosidi.wordpress.com/.
[8] Rosidi, Hidup Tanpa Ijazah… Hal. 1184.