“Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakuan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah, yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan memiliki ilmu pengetahuan”
– Rohana Koeddoes ; Jurnalis muslimah pertama di tanah air.
Perempuan melakoni pekerjaan sebagai jurnalis sudah bukan hal yang tabu. Namun secara persentase jumlah jurnalis perempuan masih sedikit ketimbang jurnalis pria. Dari semua jumlah jurnalis yang ada di Indonesia, hanya tercatat 17 persen saja jurnalis perempuannya. Di Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara “liberal” saja, hanya 36 persen dari keseluruhan pekerja media yang berjenis kelamin perempuan.
Kuantitas pekerja media berjenis kelamin perempuan bukanlah sesuatu yang esensial. Perlu diperhatikan pula, apakah perempuan yang membanjiri ladang pekerjaan kewartawanan kian bermanfaat bagi masyarakat?
Dengan jumlah sedikit pun, sejarah mencatat beberapa jurnalis perempuan yang membawa perubahan bagi masyarakat. Sebut saja Veronica Guerin. Guerin merupakan jurnalis Irlandia yang memiliki kepedulian untuk meliput skandal narkotika di Irlandia pada tahun 1900-an. Tragisnya, nyawa Guerin akhirnya raib akibat ditembak oleh mafia narkotika Irlandia yang tak suka dengan ulahnya. Namun, semenjak peristiwa tersebut, pemerintah dan masyarakat Irlandia pun mulai secara serius memberantas kasus narkotika.[1]
Beralih ke wilayah Timur Tengah, dunia mencatat nama Tawakkol Karman. Muslimah asal Yaman ini ditetapkan Komite Nobel meraih Hadiah Nobel Perdamaian 2011. Tawakkol mengangkat derajat perempuan di Yaman yang masih diperintah secara kesukuan. Ia juga berjuang memberantas buta huruf di kalangan perempuan. Tawakkol juga merupakan jurnalis yang kritis. Ibu dari tiga orang anak itu pada 2005 mendirikan Perhimpunan Wanita Jurnalis Tanpa Belenggu.[2]
Ditanya mengenai apakah jilbab yang dikenakannya mengekang aktivitas jurnalistiknya, Tawakkol tak setuju bukan main. Baginya, praktik mengenakan jilbab dalam Islam merupakan perlambang peradaban yang tinggi,
“Manusia di masa lalu hampir telanjang. Kemudian, kecerdasan manusia berkembang manusia mulai mengenakan pakaian. Apa yang saya hari ini dan apa yang saya kenakan merupakan tingkat tertinggi pemikiran dan peradaban yang manusia telah capai, bukan sebuah pengekangan. Jika manusia sekarang perlahan mengurangi bahan pakaian pada tubuhnya, ia kembali ke zaman purba dahulu!”[3]
Indonesia pun memiliki jurnalis perempuan penabuh genderang perubahan bagi masyarakat. Ia hidup di era dan lingkungan di mana perempuan tak terbiasa mengecap pendidikan baik formal maupun informal. Keresahan serta asanya terhadap nasib perempuan yang dimarjinalkan acapkali ia abadikan dalam pelbagai tulisan. Dialah Roehana Koeddoes.
Roehana Koeddoes lahir di Kotogadang, Minangkabau, 20 Desember 1884. Muslimah dengan nama asli SIti Roehana adalah putri pertama dari perkawinan Moehamad Rasjad Maharadja Soetan dengan Kiam. Ia adalah saudara sebapak dengan Sutan Sjahrir. Beruntunglah ia. Sejak kecil, Roehana mendapatkan perhatian dan dapat memenuhi kebutuhan dirinya dengan layak. Ayahnya memiliki beragam buku, majalah, dan surat kabar. Roehana pun, dengan restu sang ayah, melahap bacaan-bacaan ayahnya tersebut.[4]
Tumbuh di lingkungan keluarga yang tidak membeda-bedakan pendidikan untuk anak lelaki dan perempuan membuat Roehana tumbuh sebagai pribadi terpelajar. Kendati demikian, karena kaum perempuan di tanah kelahirannya tak akrab dengan pendidikan[5], Roehana pun dianggap aneh dengan segala pengetahuan yang ia miliki. Sejak kecil ia memang pandai, dan rajin mebaca surat kabar secara lantang dengan bahasa arab dan melayu. Ia pun akhirnya menjadi guru mengaji cilik bagi teman-teman sebaya, bahkan bagi para remaja. [6]
Namun, berkat kegigihan Roehana dalam mengubah keadaan perempuan Minangkabau—situasi pun perlahan terbalik. Dengan meyakinkan masyarakat setempat melalui proses yang berliku, didirikanlah Sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) yang mengajarkan keterampilan tangan serta pendidikan dasar seperti menulis, membaca, berhitung, agama dan akhlak[7]. Amai setia juga mengajarkan bahasa arab dan latin bagi kaum wanita.[8]
Di KAS ia dipercaya oleh lebih dari 60 perempuan dalam musyawarah, yang mendaulat dirinya menjadi pemimpin KAS. Ia kembali menjadi pengajar untuk sekolah di perkumpulan tersebut. KAS menjadi perkumpulan yang amat berkembang sehingga menjadi unit usaha perempuan pertama di minangkabau. Termasuk di dalamnya usaha simpan pinjam. Bahkan tahun 1916 ia pun pernah mendirikan Rohanna School di Bukittinggi.[9]
Kiprah Roehana memang diawali dari dunia pendidikan. Namun ternyata ia tak terhenti hingga di situ. Roehana gemar menulis. Berbagai buah pemikirannya serta saripati dari hasil bacaannya sering ia tuliskan. Jenis tulisannya beragam, mulai dari artikel, surat, serta puisi yang berisi keinginan untuk memajukan kaum perempuan. Roehana ingin agar buah pemikirannya dapat menjangkau luas tak terbatas pada muridnya saja. Akhirnya, tercetuslah ide dalam benak Roehana untuk merintis surat kabar.
Upaya yang ia lakukan selanjutnya ialah menghubungi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Oetoesan Melajoe, Datuk Soetan Maharadja. Datuk Soetan Maharadja dikenal sebagai salah satu tokoh pers di minangkabau. Sebelumnya ia pernah mendirikan Pelita Ketjil, sebagai surat kabar pertama berbahasa melayu dan didirikan oleh orang melayu minangkabau. Sumatera Barat, khususnya padang, menjadi salah satu kota pelopor serta penggerak dunia pers di Indonesia. Berbagai media massa dapat ditemukan dengan beragam latar, mulai dari agama (Al Moenir, Al Itqan, Al bayan) adat (Berito Minangkabau, Berito adat, Oetoesan Minangkabau), sastra (Surya) bahkan untuk anak-anak (Pelipoer Hati).[10]
Melalui surat kepada Datuk Soetan Maharadja, Rohanna Koedoes mengungkapkan nasib perempuan di Kotogadang. Ia menyampaikan, tujuannya menulis adalah semata-mata agar perempuan bisa mendapat pendidikan yang layak. Suratnya yang panjang dan menyentuh itu akhirnya menggugah Soetan untuk menawarkan bantuan.
Soetan pun akhirnya meminta anaknya Zubaedah Ratna Juwita bersama Roehana merintis dan mengelola surat kabar yang khusus mewartakan tentang perempuan Pada 10 Juli 1912, terbitlah surat kabar yang Roehana idam-idamkan selama ini dengan nama Soenting Melajoe. Soenting Melajoe sendiri bermakna “Perempuan Melayu”.[11]
Ragam tulisan di Soenting Melajoe adalah artikel, syair yang berisikan imbauan kepada perempuan di mana saja berada. Terdapat pula sejarah, biografi dan berita dari luar negeri yang disadur Roehana dari media-media berbahasa Belanda. Selama menulis di Soenting Melajoe, Roehana tetap tinggal di Kotogadang dan mengirimkan dua artikel per minggu kepada Ratna Juwita di Padang.
Ada dua tujuan yang hendak dicapai oleh Roehana dalam keterlibatannya di bidang jurnalistik. Pertama, Roehana memiliki keinginan yang kuat untuk mengomunikasikan ke pada khalayak tentang pembebasan perempuan dari keterbelakangan, terutama akses terhadap pendidikan. Di sini Roehana ingin mengubah image masyarakat tentang perempuan, dimana perempuan itu tidak sebagai kaum yang terjajah tetapi harus dimerdekakan. Kedua, terlihat adanya “proyek” besar dari Roehana untuk mengeluarkan perempuan dari keterbelakangan ilmu pengetahuan, keterpinggiran yang dikontruksi oleh budaya, dan keterjajahan perempuan dari berbagai ketidakadilan, termasuk dalam bidang pendidikan.[12]
Ragam tema tulisan Roehana ihwal perempuan beragam. Umumnya, tulisan Roehana lebih banyak menyoroti kehidupan perempuan dari lapisan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Ia merasakan bagaimana penderitaan perempuan dari kalangan menengah ke bawah karena ia sendiri merasakan hidupnya yang penuh perjuangan.
Roehana juga menyinggung sistem Matriarchaat di Minangkabau, di mana warisan pusaka dan keluarga jatuh pada garis keturunan anak perempuan. Melalui pembahasan sistem ini, tampak pula pembelaan Roehana terhadap kaum lelaki. Dengan adanya matriarchaat, seorang nenek lebih banyak memberikan kasih sayang pada cucu dari anak perempuannya. Sedangkan kasih sayang untuk cucu dari anak lelaki sangat kurang. Bagi Roehana, cucu dari anak jenis kelamin apapun patut mendapat kasih sayang yang layak.
Nasib perempuan-perempuan Jawa pun ia bahas. Ia menyimpan keprihatinan terhadap perempuan-perempuan yang mau dijadikan istri simpanan secara tidak sah oleh petinggi Belanda. Bahkan, ada pula yang ditelantarkan setelah lahir anak dari hubungan mereka. Ada pula yang anaknya diambil dan dikirim di Belanda, dan ibunya tak pernah diberi kabar nasib anaknya hingga akhir hayat.
Bahkan Soenting Melayoe yang digawangi Rohanna pernah memuat berita penindasan terhadap perempuan di perkebunan karet di Deli Serdang. Soenting Melayoe mengkritik keras pemerintah colonial yang membiarkan perempuan bekerja berat dengan upah yang sangat rendah. Situasi ini menyebabkan maraknya pelacuran di Deli Serdang. Berita ini dimuat oleh Soenting Melayoe, No. 22, 14 Juni 1915.[13]
Roehana tumbuh dan berkembang dengan adat istiadat serta pengajaran Islam. Biasanya anak perempuan hanya belajar agama tentang shalat dan menghafal Alquran, namun mereka tidak bisa baca tulis huruf Arab. Roehana tidak mau hanya sekadar menghafal saja. Ia ingin belajar baca tulis Alquran, dan tahu pula tafsirnya.[14] Ketika telah mempelajarinya, kemudian ia mengajari nilai-nilai Alquran pada muridnya. Ia menekankan bahwa agama adalah tiang dari segala ilmu.[15]
Memang, nilai-nilai keislaman pada saat itu terkontaminasi ajaran adat istiadat Minangkabau. Hal ini dapat dilacak dari distorsi ajaran Islam oleh Kerajaan Pgaruyung di Batusangkar, Tanah Datar. Batusangkar merupakan asal keberadaaan nenek moyang masyarakat Minangkabau. Setelah nilai-nilai Islam diterapkan secara baik oleh Kerajaan Pagaruyung, kerajaan tersebut diperintah oleh raja yang menafsirkan kaidah Islam seenaknya. Sang raja tak segan-segan untuk berpoligami sebanyak-banyaknya, berjudi, sabung ayam, mabuk-mabukan, dan lain sebagainya.[16]
Kembali pada kisah Roehana, semangat memajukan nasib kaum perempuan pun berkobar tak hanya di kalangan perempuan saja. Pria pun turut menyatakan dukungannya kepada Roehana. Pada awalnya, penulis Soenting Melajoe adalah perempuan. Namun, pada perkembangannya laki-laki pun turut menyumbangkan tulisan untuk menyokong kemajuan perempuan.[17]
Rupanya, upaya perjuangan Roehana untuk memajukan kaum perempuan memunculkan kekhawatiran dari berbagai pihak. Beberapa ketakutan karena Roehana dianggap akan menyuruh istri untuk tak patuh pada suami, tidak mau ke dapur, dan tidak memiliki anak. Merupakan sesuatu yang tak layak jika perempuan terlibat aktif dalam pergerakan-pergerakan politik.[18]
Roehana menepis anggapan tersebut. Istri dari Abdoel Koeddoes ini dengan tegas berpendapat, berputarnya zaman tidak akan pernah mengubah perempuan untuk menyamai laki-laki. Perempuan tetap perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Hal yang harus berubah adalah pendidikan dan perlakuan yang layak bagi perempuan.[19] Berikut pernyataannya:
“Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakuan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah, yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan memiliki ilmu pengetahuan”[20]
Emansipasi yang Roehana maksudkan tidaklah menuntut persamaan hak antara kaum perempuan dengan laki-laki. Namun, ia ingin mengukuhkan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara kodrati. Roehana berpandangan, untuk dapat menjadi perempuan sejati tentulah membutuhkan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Maka, ia pikir sangatlah diperlukan pendidikan untuk perempuan.[21]
Soenting Melayoe bahkan seringkali bersiteru dengan surat kabar perempuan lain, yaitu Soeara Perempoean (1917 – 1919). Soeara Perempoean yang berhaluan liberal, dengan tidak mengikat dirinya pada adat, menyuarakan kebebasan perempuan yang setara dengan perempuan Eropa. Salah satu polemiknya adalah memuat kritik terhadap perempuan yang kebablasan dalam kebebasan, yang dimuat dalam Soenting Melayoe (Jumat, 23 April 1920),
“Sebaliknja kalau ditilik poela kepada kemadjoean bangsakoe perempoean di Alam minangkabau ini, adoehai hantjoer loeloeh hatikoe, karena meingat kemadjoean mereka itoe tidaklah tambah mengharoemkan namanja Alam Minangkabau ini, hanjalah seolah-olah sebagai menanam ratjoen boeat menghinakan perempoean2 Melajoe di Alam Minangkabau ini di mata bangsa lain., kemadjoean mereka itoe soedahlah melebihi watasnja lagi memakaikan sebagaimana hak perempoean.” [22]
Roehana pun dikenal sebagai pribadi yang seimbang dalam menjalankan tugas-tugas dan tugas rumah, serta antara waktu bekerja dan beristirahat. Barangkali inilah yang membuat suaminya segenap hati mendukung Roehana, di samping karakter Abdul yang pada dasarnya berwawasan luas.
Semenjak Soenting Melajoe, Roehana tiada pernah berhenti berkiprah di dunia jurnalistik. Ia senantiasa berjuang melalui dunia ini. Misalnya ketika dia hijrah ke Medan, Roehana menjadi redaksi pada surat Kabar Perempuan Bergerak yang diterbitkan di Medan. Pada tahun 1924 Rohana kembali pulang ke kampung halaman. Meski demikian, eksistensinya sebagai “orang pers” mendapat sambutan yang luas. Roehana pun dibidik oleh surat kabar Radio yang diterbitkan oleh Cina Melayu Padang untuk menjadi redakturnya.
Selain itu, buah pikiran Rohana tersebar hingga lintas pulau melalui tulisan. Tidak hanya pada media massa terbitan lokal, tapi sudah merambah ke media yang terbit di pulau Jawa. Berkat dedikasinya di dunia pers, Roehana dinobatkan sebagai wartawati atau jurnalis perempuan pertama di negeri ini yang bergerak memperjuangkan kaumnya. Pemerintah Sumatera Barat menobatkan Rohana sebagai wartawati pertama di Minangkabau, dengan diberikannya penghargaan kepada Roehana Koedoes pada tanggal 17 Agustus 1974. Penghargaan ini diterima setelah dua tahun Roehana meninggal dunia pada tanggal 17 Agustus 1972.[23]
Jurnalisme Berpihak
Sudah lebih dari setengah abad kemerdekaan Indonesia berumur. Keleluasaan perempuan dalam berkiprah telah jauh lebih baik dibandingkan dengan pada masa Uni Rohana. Secara umum tiada halangan berarti bagi perempuan untuk bekerja sebagai jurnalis. Namun industri media yang kini cenderung berpihak pada kepentingan politik dan kapitalis membuat kiprah jurnalis—baik lelaki maupun perempuan—kian memudarkan mata hati masyarakat untuk tertuntun cahaya fitrah Islam.
Jurnalisme yang dilakoni Roehana adalah jurnalisme yang memihak. Secara teoritis, jurnalis dituntut untuk bersikap netral. Namun pada kenyataannya, media tentu memiliki kepentingan masing-masing baik secara terselubung ataupun secara jelas dinyatakan. Seperti itulah yang dijalankan oleh Rohanna Koedoes yang memilih untuk memihak pada nasib perempuan, namun berada dalam naungan agama.
Roehana Koeddoes, di satu sisi tak pernah bercita-cita menjadi jurnalis. Tujuan utamanya semata-mata adalah sebuah jihad dalam menyampaikan ilmu yang ia miliki. Menjadi jurnalis adalah media untuk menyampaikan ilmu. Berbeda dengan kecenderungan masyarakat sekarang yang lebih mengejar titel, tanpa menetapkan dengan pasti tujuan hidup mereka.
Roehana mengajarkan kita untuk menetapkan tujuan mulia di segala mula tindakan kita. Tak hanya itu, dara Minangkabau ini sangat percaya akan kekuatan mimpinya. Jika percaya serta konsisten dalam mewujudkan mimpi mulia kita, maka dengan sendirinya Allah akan mencarikan jalan agar kita menggapainya.
Tantangan antara zaman Roehana dan zaman kita tentu berbeda. Dulu, perempuan begitu dikekang atas nama tradisi. Roehana memperbaiki keadaan tersebut dengan kembali menegaskan posisi perempuan yang sesungguhnya dalam Islam. Kini, perempuan begitu liar tak terkendali atas nama modernitas. Menjadi sebuah tantangan bagi pejuang Islam kini, termasuk jurnalis, untuk kembali menegaskan jati diri perempuan sesuai dengan nuur Islam.
Oleh : Tristia Riskawati (bekerja di media Masjid Salman ITB. Alumni Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad)
[1] http://biography.yourdictionary.com/veronica-guerin
[2] http://www.britannica.com/EBchecked/topic/1796326/Tawakkul-Karman
[3] http://dailymuslims.com/2012/04/28/hijab-is-a-symbol-of-the-highest-level-of-civilization-says-noble-prize-winner/
[4] Fitriyanti, Roehana Koeddoes: Perempuan Sumatera Barat, Yayasan Jurnal Perempuan : Jakarta, 2001, hlm. 17-19
[5] Fitriyanti, Ibid, hlm. 11
[6] Hanani, Silfia. 2012. “Rohana Kudus dan Pendidikan Perempuan”. Bukittinggi: STAIN Syech M. Djamil Djambek. Hlm 5
[7] Fitriyanti Ibid, hlm. 57-58
[8] Sunarti, Sastri. Kelisanan dan Keberakasaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau (1859-1940an), Kepustakaan Populer Gramedia : Jakarta, 2013.
[9] Hanani, Silfia. 2012. “Rohana Kudus dan Pendidikan Perempuan”. Bukittinggi: STAIN Syech M. Djamil Djambek. Hlm 6-7
[10] Sunarti, Sastri.
[11] Fitriyanti, Ibid, hlm. 69-71
[12] Hanani, Silfia. 2012. “Rohana Kudus dan Pendidikan Perempuan”. Bukittinggi: STAIN Syech M. Djamil Djambek. Hlm 9
[13] Sunarti, Sastri. Hal 184.
[14] Fitriyanti, Ibid, hlm. 24
[15] Fitriyanti, Ibid, hlm. 35
[16] Fitriyanti, Ibid, hlm. 6
[17] Fitriyanti, Ibid, hlm. 6
[18] Fitriyanti, Ibid, hlm. 6
[19] Fitriyanti, Ibid, hlm. 6
[20] Sunarti, Linda. 2013. Islamic Women’s Movement in Indonesia in The Beginning of The 20th Century. Universitas Indonesia. Hlm. 393-394
[21] Sunarti, Linda. 2013. Ibid, hlm 394
[22] Sunarti, Sastri.
[23] Hanani, Silfia. ibid
Woww..
artikel kelas dewa.
terima kasih banyak 🙂