Sayang sekali saudara-saudara! Alih-alih serukan persatuan, energi sebagian dari kita justru terperas oleh perseteruan antar kalangan. Terjebak konflik wahabiyah dan asy’ariyyah, terbiasa debat kusir soal demokrasi dan khilafah, tak lelah-lelah bantah-membantah masalah furu’iyyah, tak satu suara fatwakan perkara aqidah, berebut pengaruh tuk eksistensi kelompoknya semata, lantang merendahkan dan lirih meninggikan jalan juang saudaranya, dan semua itu dilakukan dengan semangat 45!
Benar kata KH. Wahid Hasyim, “Tidak ada ucapan yang amat mudah dikeluarkan semudah mengatakan semboyan yang umum dikeluarkan orang, yaitu bersatu menyebabkan teguh dan bercerai membawa roboh. Sungguh mudah benar mengucapkan perkataan ini, akan tetapi mengerjakannya adalah yang paling sukar dan paling rumit.”[1]
Masalah persatuan memang masalah lama yang senantiasa baru. Dulu perbedaan pandangan di antara kalangan umat Islam, telah ciptakan perselisihan yang berkembang jauh dan berkepanjangan. Pada tahun 1926, seorang ayah di Kudus menikahkan anak perempuannya dengan mengajukan syarat yang aneh kepada calon suami. Kalau setelah menikah si calon suami masuk Muhammadiyah, maka harus cerai dengan anaknya.[2]
Di tahun yang sama, terjadi pertikaian antara orang Muhammadiyah dan NU di masjid di babat, Jawa Timur. Hal itu dipicu oleh perbedaan pandangan mengenai pemerintahan wahabi di tanah suci. Orang NU mencelanya dengan menyebut berita yang beredar tentang keburukan wahabi, sedangkan orang Muhammadiyah memujinya karena keamanan di tanah suci menjadi lebih terjamin.[3]
Di Kepanjen, Malang, terjadi perebutan pengaruh antara kalangan tradisionalis dan modernis. Ketika itu, Tokoh Muhammadiyah yang juga penasihat Central Sarekat Islam, KH. Ahmad Dahlan, sering berkunjung ke sana untuk keperluan berdagang dan organisasi Sarekat Islam. Buah pikirannya mudah diterima warga setempat karena beliau memang dihormati di sana. Namun ada seorang ulama dari Kudus yang juga mempunyai hubungan dagang dengan orang-orang Kepanjen, namanya KH. Asnawi, menentang pikiran-pikiran Muhammadiyah dan bahkan mengajak orang-orang Kepanjen berbuat seperti yang beliau lakukan.[4] Di luar Jawa, bila Muhammadiyah bergerak di daerah-daerah kaum tradisionalis, pasti mendapat tantangan dari pejabat dan penduduk setempat. Sebab mereka mengganggap Muhammadiyah membawa paham baru.[5]
Secara formal, perselisihan antar kalangan umat Islam sebenarnya sudah terjadi di kongres-kongres Al-Islam. Di kongres Al-Islam pertama tahun 1922, yang dihadiri oleh Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Sarekat Islam serta kalangan tradisionalis, terjadi polemik. Pemimpin kalangan tradisionalis KH. Wahab Hasbullah beserta pendukungnya, mengaku setuju dengan pemakaian sistem sekolah dan pendidikan agama yang modern, namun mereka menolak perubahan kurikulum. Sebab kitab-kitab madzhab masih tidak dapat diganti. Sedangkan kalangan modernis sepakat bahwa paham madzhab-lah yang bertanggung jawab atas kemunduran pemikiran Islam.[6]
Agus Salim menceritakan bahkan kongres hampir saja gagal ketika kaum muslimin sudah saling mengkafirkan dan memusyrikkan. Meski kompromi dilakukan, namun kongres itu tetap tidak dapat menyatukan hati kalangan tradisionalis dan modernis.[7] Padahal kongres yang diselenggarakan atas kerjasama Sarekat Islam dengan Muhammadiyah itu bermaksud mencari isu pemersatu antara kaum tradisionalis dan modernis serta penyeimbang kaum nasionalis sekuler.[8]
Yang menonjol dari kongres ini adalah sikap kongres yang menentang ordonansi (peraturan pemerintah kolonial) mengenai guru pendidikan agama Islam. Ordonansi itu dinilai telah menghambat kegiatan guru agama Islam.[9] Sebab mewajibkan setiap guru agama Islam meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugas sebagai guru agama, dan harus membuat daftar murid-muridnya yang harus dikirim secara periodik kepada kepala daerah.[10]
Dalam kongres ini, Sarekat Islam dipilih sebagai pimpinan kongres 1922 dan kongres-kongres berikutnya.Alasannya karena antara kalangan modernis seperti Muhammadiyah dan Al-Irsyad dengan kalangan tradisionalis, memiliki perbedaan pendapat. Sementara kedudukan Sarekat Islam dalam dunia Islam unik dan mempunyai pengalaman dalam organisasi.[11]
Namun di kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan desember 1924, Sarekat Islam dan Muhammadiyah berselisih karena perbedaan pandangan tentang khalifah.[12] Sebelumnya, Komite Khilafat didirikan pada 4 Oktober 1924 untuk menyambut maksud negara Mesir mengadakan kongres khilafah.[13]
Topik utama yang dibicarakan dalam kongres ini seputar ijtihad, kedudukan tafsir Al-Manar, serta ajaran Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Dan kongres memutuskan Muhammadiyah dan Al-Irsyad bukan wahabi. Kedua organisasi itu tidak dianggap menyimpang dari madzhab, tidak mencap kafir golongan yang bertawassul (berdo’a kepada Allah melalui perantara), menghormati kitab yang ditulis ulama mu’tamad (dapat dipercaya) dan yang dibenarkan oleh ulama fuqaha muhadditsun (pakar hadits).[14]
Di tahun itu pula, terjadi peristiwa yang menghebohkan di Hijaz, Arab Saudi. Kala itu, Ibnu Sa’ud berhasil mengusir Syarif Husein dari Mekkah. Raja Ibnu Sa’ud lalu mulai membersihkan kebiasaan praktik keagamaan sesuai dengan pandangannya tanpa melarang pelajaran madzhab di masjidil haram. Aksinya ini mendapat sambutan baik dari sebagian umat Islam di Indonesia, sebagian lainnya menolak.[15]
Ibnu Sa’ud kemudian mengundang umat Islam di Indonesia untuk menghadiri kongres di Mekkah. Undangan itu dibicarakan di Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta pada 21-27 Februari 1925 dan di kongres Al-Islam kelima di Bandung pada 6 Februari 1926. Hasil kongres di Bandung memutuskan untuk mengirim Tokoh Muhammadiyah KH. Mas Mansur dan Tokoh Sarekat Islam Tjokroaminoto ke kongres Mekkah.[16]
Atas nama kalangan tradisionalis, KH. Wahab Hasbullah mengusulkan kepada kongres Bandung, agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca doa dalail al-khairat, dan ajaran madzhab, dihormati oleh Ibnu Sa’ud dalam negaranya, termasuk di Mekkah dan Madinah. Namun Kongres Bandung tidak menyambut baik usul-usul ini. Sehingga KH.Wahab Hasbullah dan tiga orang pendukungnya keluar dari komite khilafat.[17]
KH.Wahab Hasbullah selanjutnya berinisiatif mengadakan rapat-rapat bersama ulama kalangan tradisionalis di Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite “Meremboek Hidjaz” atau Komite Hijaz.[18] Komite inilah yang diubah menjadi NU pada rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926.[19]NU dibentuk untuk, “mengajak berpegangan dengan sekuat-kuatnya pada salah satu dari madzhab-madzhabnya Imam empat (yaitu imam kita Muhammad bin Idris Asy-syafi‘i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’man dan Imam Ahmad bin Hambal) serta mendatangkan sebab-sebab bagai segala kemaslahatan yang berjalan di atas syara’ agama Islam.”[20]
Rapat yang dihadiri oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Bisyri Syansuri (Jombang), KH. Ridwan (Semarang), KH. Raden Asnawi (Kudus), KH. Nawawi (Pasuruan), KH. Nakhrowi (Malang), dan KH. Alwi Abdul Aziz (Surabaya), dan beberapa ulama lainnya itu, masih tetap menempatkan masalah hijaz sebagai keputusan utama. [21]
Rapat memutuskan untuk mengirim dua delegasi menghadap Ibnu Sa’ud, supaya memperjuangkan hukum-hukum menurut empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaannya serta memperbaiki keadaan perjalanan haji. Namun kedua utusan itu tak jadi berangkat karena terlambat pesan tempat di kapal. Sebagai gantinya NU mengawatkan isi keputusan rapat mereka kepada kepala negara Arab Saudi dengan tambahan permintaan agar isi keputusan ini dapat dimasukkan ke dalam Undang-undang Hijaz. [22]
Tak ada jawaban terhadap permintaan ini. Maka NU menganggap Kongres Islam di Mekkah tahun 1926, yang dihadiri oleh KH. Mas Mansur dan Tjokroaminoto, sebagai suatu “kegagalan” karena tak ada satu pun masalah agama yang dibicarakan.[23]
Tak lama setelah kongres Al-Islam keenam di Surabaya pada September 1926 -kongres yang mengubah kedudukannya menjadi cabang Kongres Islam di Mekkah-, NU menyatakan sikap tidak setujunya dengan kongres tersebut dan pemerintahan Ibnu Sa’ud. Lebih dari itu, NU mengajak kaum muslimin agar membenci ajaran wahabi dan penguasanya di tanah suci, serta menyarankan orang-orang untuk tidak naik haji.[24]
Namun pada tahun berikutnya, NU mengutus KH.Abdulwahab dan Ustadz Ahmad Ghanaim al-Amir ke Mekkah. Mereka berangkat pada tanggal 29 Maret 1928 dan tiba di tanah suci pada 17 April 1928. Setelah menunaikan ibadah haji, mereka menemui Ibnu Sa’ud pada 13 Juni 1928. Di kesempatan itu, mereka meminta kepada Ibnu Sa’ud untuk memberikan kemerdekaan menjalani salah satu madzhab dari Imam yang empat (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali), membuat hukum yang tetap di Hijaz, mewakafkan tanah untuk pembangunan masjid sebagai maulud sayidatina Fatimah, Darukhaizaron dan lain-lainnya, serta menyiarkan tarif haji. Setelah menyampaikan hal itu, kini mereka menanti jawaban dari Ibu Sa’ud.[25]
Jawaban dari Ibnu Sa’ud pun akhirnya datang. Lewat surat, beliau menegaskan bahwa perbaikan di Hijaz memang merupakan kewajiban kerajaan. Terkait ibadah haji, beliau akan memperbaiki pelayanan haji selama tidak melanggar aturan Islam. Soal madzhab, beliau sependapat bahwa pada umumnya umat Islam bebas menjalankan agamanya, kecuali, “Urusan yang Tuhan Allah mengharamkan dan tiada terdapat sesuatu dalil dari kitabnya Tuhan Allah dan tiada Sunnah Rasulullah s.a.w. dan tidak ada dalam madzhabnya orang dulu-dulu yang soleh-soleh, dan tidak ada dari sabda salah satu Imam empat.”[26]
Mengenai keyakinannya, Ibnu Sa’ud menyatakan bahwa yang ia inginkan ialah apa yang tertera dalam Al-Qur’an dan hadits. Dan beliau hanya mengikuti orang-orang dulu yang soleh, yaitu para sahabat dan diakhiri oleh imam yang empat. “Adapun sesungguhnya semua barang dan kemauan kami, itulah mengajak kepada barang yang telah datang di dalam kitabnya Tuhan Allah dan haditsnya Rasulullah s.a.w. Itulah yang kami pakai agama terhadap kepada Tuhan Allah, dan dari fadholnya Tuhan Allah, kami menjalani di atas perjalanannya orang yang dulu-dulu yang soleh-soleh, permulaan orang yang dulu-dulu ialah sahabatnya Rasulullah s.a.w dan penghabisan orang yang dulu-dulu yaitu imam empat.”[27]
Surat itu ditutup raja dengan sebuah do’a, “Kami memohon kepada Tuhan Allah Yang Esa, mudah-mudahan semua mendapat pertolongan pada jalan yang baik dan benar dan baiknya hari kemudian. Hal yang demikian itulah barang yang wajib menerangkannya, mudah-mudahan Tuhan Allah melindungi atas kamu sekalian. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”[28]
Kembali ke kongres Al-Islam. Ketika Tjokroaminoto dan KH. Mas Mansur pulang dari kongres di Mekkah, diadakanlah kongres Al Islam keenam pada bulan September 1926 di Surabaya, untuk membicarakan hasil yang mereka dapatkan selama di sana. Sejak saat itu Centraal Comite Chilafat dibubarkan dan diganti Muktamar Alam Islam Hindi Syarqiyah (MAIHS) sebagai cabang Muktamar Alam Islam di Mekkah, yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.[29]
Sarekat Islam berusaha lebih maju dalam mempelopori gerakan Islam. Pada tahun 1927, Sarekat Islam membentuk Majelis Ulama yang dimaksudkan untuk membimbing kaum muslimin dalam menghadapi masalah-masalah yang diributkan. Majelis Ulama ini kemudian mengesahkan terjemahan Tjokroaminoto atas TheHoly Qur’an karangan Muhammad Ali.[30]
Terjemahan ini diprotes oleh Muhammadiyah dan kelompok-kelompok Islam lain karena perbedaan masalah teologi dengan organisasi Muhammad Ali, yakni Ahmadiyah Lahore. Tjokroaminoto menjelaskan maksud menerjemahkan karangan Muhammad Ali ini sudah disetujui oleh Tokoh Muhammadiyah H.Fakhroddin dan diketahui Tokoh Muhammadiyah lainnya, KH. Mas Mansur. Tjokroaminoto menuduh Muhammadiyah dengan sengaja menghalangi penerbitan terjemahannya agar tafsir Al-Qur’an Muhammadiyah tak kehilangan pasar. Pada bulan September 1928, Majelis Ulama ini akhirnya mengubah bentuk menjadi sebuah departemen dari Partai Sarekat Islam saja.[31]
Seperti diketahui, Ahmadiyah Lahore, melalui Mirza Wali Ahmad Baig diperkirakan menjejakkan kaki di Yogjakarta pada tahun 1924. Nama Ahmadiyah kala itu masih samar. Belum diketahui segala tindak tanduknya. Yang diketahui hanyalah Ahmadiyah yang menawarkan semangat yang hampir sama dengan semangat reformasi Islam yang sedang melanda tanah air. Ahmadiyah juga saat itu dikenal sebagai penentang gigih kristenisasi. Sehingga Ahmadiyah, mulanya diterima dengan baik oleh para aktivis Islam dari kalangan modernis, terutama Muhammadiyah.[32]
Di kongres Al-Islam kedelapan tahun 1927 di Malang, Muhammadiyah dan NU bersatu menentang ajaran-ajaran Ahmadiyah dan menolak Al-Qur’an terjemahan Indonesia ala Tjokroaminoto yang didasarkan pada naskah Inggris Ahmadiyah.[33] Pemakaian tafsir Muhammad Ali oleh para tokoh Islam saat itu, dapat dipahami jika melihat situasi saat itu. Bagi kalangan bukan santri seperti Tjokroaminoto, yang tak menguasai bahasa arab, tafsir Al Qur’an berbahasa inggris yang dapat mereka mengerti menjadi solusi untuk memahami ayat-ayat Al Qur’an. Diduga Tjokroaminoto membaca dan tertarik pada Holy Quran hingga berupaya menerjemahkan tafsir tersebut lewat perkenalannya dengan Mirza Wali Ahmad Baig. Terlebih usaha penerjemahan ini mendapatkan persetujuan pribadi dari H. Fakhroddin, seorang tokoh Muhammadiyah dan Sarekat Islam.[34]
Hubungan Sarekat Islam dan Muhammadiyah selanjutnya jadi kian memburuk. Pada tahun 1929, Sarekat Islam mengenakan sanksi disiplin umum kepada Muhammadiyah karena dianggap telah bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Hal ini tercermin dari sekolah-sekolah Muhammadiyah yang menerima subsidi pemerintah. Sarekat Islam menyebut sikap Muhammadiyah tidak nasionalis. Bahkan Tokoh Sarekat Islam Sukiman menilai Muhammadiyah sebagai organisasi anti politik bertopeng.[35]
Sanksi disiplin itu mengharuskan anggota Sarekat Islam yang berada di Muhammadiyah memilih: Muhammadiyah atau Sarekat Islam. Resolusi keras Sarekat Islam ini rupanya tak hanya kepada Muhammadiyah, tapi juga organisasi Islam yang lain, salah satunya Persatuan Islam (Persis) yang akan dijelaskan setelah ini. Deliar Noer menyebut masa resolusi Sarekat Islam ini sebagai awal pengasingan Sarekat Islam dari organisasi Islam lain.[36]
Masalah antara Sarekat Islam dan Persis lebih kepada perbedaan pandangan soal furu’. Sarekat Islam memandang perselisihan perkara furu’ yang dibesar-besarkan dapat menimbulkan perpecahan di antara umat Islam.[37] Sedangkan Persis menilai pembicaraan perkara furu’ yang dikesampingkan, menyebabkan kemunduran Islam. Oleh karena itu, Persis menyeru anggota Sarekat Islam:
“Janganlah tuan-tuan biarkan cabang-cabang PSI (Partai Sarekat Islam –pen) mencela, mengeji-ngeji dan memusuhi kaum yang memerangi bid’ah dan membicarakan furu’, karena kejatuhan Islam ialah lantaran orang-orangnya meninggalkan pokok agama dan terganti dengan bid’ah. Adapun perkara yang tuan-tuan namakan furu’ ialah hukum-hukum yang sangat perlu bagi orang-orang yang menjalankan ibadah saban hari.
Kalau dilarang orang membicarakan furu’ berarti melarang orang membicarakan ibadah. Sungguhpun tuan-tuan tidak mementingkan hal-hal ibadah yang mana sebagian dari Islam, sebagaimana tuan mementingkan politik, tetapi hal itu menjadi penting bagi golongan yang merasa wajib menjalankan ibadah, walaupun belum merdeka.
Kalau tuan-tuan biarkan cabang-cabang melarang yang tersebut lantaran mereka merasa tidak perlu kepada furu’, nanti orang lain ada hak melarang orang-orang masuk kumpulan politik dengan alasan , yang demikian itu belum perlu sekarang. Jangan tuan-tuan biarkan orang-orang Islam menjalankan bid’ah, dan jangan salahkan kaum lain memerangi ahli bid’ah, dengan alasan hendak menjaga persatuan. Akan jadi sia-sia pekerjaan tuan-tuan, kalau tuan-tuan lakukan begitu, karena tak dapat tuan-tuan persatukan golongan sunnah dengan golongan bid’ah, walaupun sampai kiamat.”[38]
Bagi Persis, masalah furu’ itu penting dan menentang bid’ah sebagai kewajiban berdasarkan ajaran Islam. Dan itu, tambahnya, tidak akan mengurangi kekuatan Islam dalam bidang politik. Justru kekuatan gerakan politik, menurutnya, hanya dapat diberikan oleh orang-orang anti bid’ah dan bukan oleh orang-orang yang pro bid’ah. Akibatnya, Sarekat Islam men-skors banyak anggotanya yang berada di Persis Bandung dan Garut.[39]
Ujian persatuan umat Islam juga datang dari luar. Di Kongres Sarekat Islam bulan April 1929, Sarekat Perempuan Islam Indonesia (SPII) berselisih dengan Persatuan Puteri Indonesia (PPI)soal poligami. PII mengatakan pengaruh poligami sangat buruk. Sedangkan SPII menegaskan Islam tidak mengharuskan poligami, namun membolehkannya. Poligami, lanjutnya, juga baik untuk mencegah pelacuran mengingat banyaknya jumlah perempuan. Organisasi Aisyiyah juga sependapat dengan SPII.[40]
Ujian lainnya, pemerintah kolonial dibantu kaum adat berusaha melenyapkan hukum Islam di Indonesia. Hal itu tampak di dalam ordonansi tahun 1929-1937. Di ordonansi 1929, kepala adat dalam kewenangannya sebagai pegawai urusan perkawinan, menyiapkan ketentuan-ketentuan hukum bagi prosedur-prosedur yang berhubungan dengan perkawinan Islam.[41]
Di ordonansi 1931, wewenang hakim-hakim agama dalam mengurus perkara warisan dihilangkan. Akibatnya, masalah warisan dialihkan ke mahkamah pribumi reguler dan sejak saat itu, masalah warisan tidak lagi diadili dengan hukum Islam, tapi berdasarkan hukum adat. Celakanya lagi, kaum adat juga meminta status quo, yang berakibat semua pintu usaha tokoh-tokoh Islam tertutup untuk mengembangkan kehidupan sosial. Berkurangnya kewenangan hukum Islam secara tiba-tiba ini, mendorong tokoh-tokoh Islam mendobrak pintu tersebut.[42]
Di ordonansi 1937, pemerintah kolonial mencoba mengajukan undang-undang yang mewajibkan kaum muslimin mencatatkan pernikahannya dan mengharuskan monogami.[43] Sontak, tokoh-tokoh Islam gencar melayangkan protes. Mereka tidak bisa menerima dan membiarkan ulah pemerintah kolonial yang sudah ikut campur dalam urusan Islam.[44]
Oleh: Muhammad Cheng Ho – Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa
[1] H.Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim, Mizan: Bandung, 2011, hlm. 356
[2]G.F. Pijper dengan penerjemah Yessy Augusdin dan Tudjimah, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia tahun 1900-1950, UI:Jakarta, 1984, hlm.113
[3]Ibid
[4]Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Iindonesia 1900-1942, LP3ES:Jakarta, 1982, hlm.247
[5]G.F. Pijper, Ibid
[6]Mizan Sya’roni, Thesis The Majlisul Islami A’la Indonesia (MIAI):Its Socio-religious and Political Activities (1937-1943), McGill University:Montreal, 1998, hlm.47
[7]Haji Agus Salim, Hindia Baru dalam Deliar Noer, Ibid
[8]Harry J. Benda dengan penerjemah Daniel Dhakidae, Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Pustaka Jaya:Jakarta, 1980, hlm. 77
[9]Deliar Noer, Ibid, hlm. 195
[10]Ibid, hlm. 194
[11]Ibid, hlm.152
[12]Harry J. Benda, Ibid, hlm. 78
[13]Deliar Noer, Ibid, hlm. 242
[14]Ibid, hlm. 248
[15]Ibid, hlm. 242-243
[16]Ibid, hlm.243
[17]Ibid
[18]Majalah Oetoesan Nahdlotoel ‘Oelama’ 1 Rajab 1347 H/4 Desember 1928 Tahun 1 No.1 hlm.9, KH. Saifuddin Zuhri, Mbah Wahab Hasbullah Kiai Nasionalis Pendiri NU, Pustaka Pesantren: Yogyakarta, 2010, hlm. 21, Deliar Noer, Ibid
[19]Deliar Noer, Ibid, hlm. 243
[20]Majalah Oetoesan Nahdlotoel ‘Oelama’ 1 Rajab 1347 H/4 Desember 1928 Tahun 1 No.1 hlm.9
[21]KH. Saifuddin Zuhri, Ibid, hlm. 21
[22]Ibid, hlm. 21-22 dan Deliar Noer, Ibid, hlm.244
[23]Ibid,hlm.245
[24]Ibid
[25]Majalah Oetoesan Nahdlotoel ‘Oelama’ 1 Rajab 1347 H/4 Desember 1928 Tahun 1 No.1 hlm. 11-12
[26]Ibid, hlm.14
[27]Ibid
[28]Ibid
[29]Majalah Pandji islam 5 September 1938 No.25 Tahun 5 hlm.2746
[30]Deliar Noer, Ibid, hlm.168
[31]Ibid
[32]Beggy Rizkiansyah, Jejak Tafsir Qur’an di Indonesia,http://jejakislam.net/?p=374 diakses pada Kamis 28 Januari 2016
[33]Harry J. Benda, Ibid, hlm.78
[34]Beggy Rizkiansyah, Ibid
[35]Deliar Noer, Ibid, hlm. 257
[36]Ibid
[37]Ibid, hlm.258
[38]Ibid, hlm.258-259
[39]Ibid, hlm.259
[40]A.K. Pringgodigdo SH, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Dian Rakyat:Jakarta, 1994, hlm.111
[41]Harry J. Benda, Ibid, hlm. 116
[42]Ibid, hlm.116-117
[43]Mujiburrahman, Disertasi Feeling Threatened: Muslim-Christian Realtions in Indonesia’s New Order, Amsterdam University Press:Leiden, 2006, hlm. 158
[44]Harry J. Benda, Ibid, hlm. 118-119
[…] Kembali ke Bagian 1 […]