Lahirnya Sarekat Islam menandai gerakan baru pribumi di Hindia Belanda. Kemudian dari dalam muncul kaum merah yang radikal. Cikal bakal gerakan komunis di Indonesia. Perselisihan dalam tubuh Sarekat Islam pun tak bisa dihindari.
Hindia Belanda (Indonesia) diawal abad ke 20 adalah sebuah negeri yang telah melalui zaman yang berbeda. Selepas sistem ekonomi kolonial yang mengeksploitasi alam habis-habisan melalui tanam paksa (culturstelsel), tanah air kembali diperas bersama manusianya dengan munculnya perkebunan-perkebunan milik swasta asing. Situasi sosial dan ekonomi di Hindia Belanda ditandai dengan berbagai perubahan. Kantor pelayanan publik bermunculan, perusahan-perusahan swasta hadir di Hindia Belanda, industri seperti gula dan tembakau menjadi tulang punggung baru ekonomi di Hindia Belanda. Namun semua itu hadir bukan demi rakyatnya, tetapi demi mengokohkan kolonialisme di Hindia Belanda.
Orang-orang pribumi saat itu juga mulai menikmati pendidikan di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial. Politik etis yang mendorong pendidikan untuk orang pribumi sejatinya hanyalah kaki-kaki untuk menopang kolonialisme di Hindia Belanda. Kelak orang-orang pribumi yang mengecap pendidikan diproyeksikan sebagai petugas-petugas dalam sistem ekonomi kolonial. Meskipun begitu, bagi orang-orang pribumi pendidikan dapat menjadi pendongkrak status sosial. Pendidikan di sekolah kolonial tetap dianggap sebagai sesuatu yang menjanjikan bagi masa depan.
Orang-orang pribumi terdidik secara barat ini kemudian mendapatkan pencerahan baru dengan memasuki era media massa. Media massa lokal menjamur menjadi sumber pencerahan. Ratna Doemillah, Medan Prijaji atau Sinar Djawa dikenal sebagai media massa lokal saat itu. Media massa bukan satu-satu penanda perubahan zaman. Penanda lain adalah dimulainya organisasi-organisasi bagi orang pribumi, terutama Sarekat Islam sebagai simbol kebangkitan orang-orang pribumi. Hadirnya Sarekat Islam memberikan rasa harga diri bagi orang pribumi. Meski awalnya didirikan sebagai perkumpulan untuk dagang, namun dalam perkembangannya Sarekat Islam menjadi organisasi massa yang menyuarakan kepentingan rakyat, bukan sekedar perkumpulan tetapi menjadi pergerakan nasional.
Sarekat Islam meroket dan merebut hari masyarakat pribumi ketika itu. Jumlah anggotanya meledak, Dari 35 ribu orang di Agustus 1914, pada tahun1915, Sarekat Islam telah memiliki 490.120 anggota. Bahkan pada tahun 1919, anggota Sarekat Islam telah mencapai 2 juta orang.[1] Sarekat Islam memang mampu menyatukan penduduk pribumi. Agama Islam sebagai pengikat yang erat diantara masyarakat Hindia Belanda ketika itu. Kala itu, menyebut orang pribumi berarti adalah orang Islam. Sarekat Islam mampu menyatukan rakyat pribumi dari berbagai lapisan, mulai dari kalangan bangsawan, terdidik barat, petani, buruh hingga para ulama.
Atas azas Islam ini pula SI memilki daya ikat yang luar biasa. Bagi SI, agama Islam bukanlah sekedar ‘jualan’ untuk mengumpulkan massa, seperti yang dituduhkan sebagian kalangan. Dampak dari hadirnya Sarekat Islam amat terasa pada sisi keshalehan. Masjid-masjid menjadi lebih penuh, bukan hanya di hari Jumat, tetapi juga di hari-hari biasa. Ada kalanya masjid-masjid sampai penuh sesak tak mampu menampung jamaah. Banyak pekerja yang meminta libur pada hari Jumat. Di Menggala, Lampung, misalnya, warung tutup saat waktu Jumat.[2]
Tak dapat dipungkiri, Sarekat Islam mendapatkan tempatnya di hati rakyat juga karena karisma HOS Tjokroaminoto sebagai pemimpin pergerakan. Ia membawa Sarekat Islam menjadi organisasi nasional yang memihak kepentingan rakyat. Sarekat Islam memang tak dikekang oleh pemerintah kolonial. Gubernur Jenderal Idenburg menanggap kemunculan Sarekat Islam sebagai dampak dari politik etis yang mereka lakukan. Cepat atau lambat akan ada pergerakan semacam Sarekat Islam. Alih-alih mengekangnya, pemerintah kolonial memilih bersikap koperatif terhadap Sarekat Islam. Tjokroaminoto di lain sisi juga tidak bersikap frontal terhadap pemerintah kolonial. Indische Partij (IP) yang digerakkan oleh Douwes Dekker, dr. Tjipto Mangoenkoeseomo dan Ki Hajar Dewantara menjadi contoh dari sikap frontal terhadap pemerintah kolonial. Mengusung slogan “Hindia untuk Hindia”, IP dengan cepat dibungkam oleh pemerintah.
Di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto, Sarekat Islam berdiri di berbagai daerah, bahkan hingga luar pulau Jawa seperti Bali, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan hingga Maluku. Untuk memudahkan kordinasi dengan berbagai cabangnya (afdeling), dibentuk Centraal Sarekat Islam (CSI). CSI tidak memiliki kuasa atas cabang-cabangnya. Setiap afdeling SI memiliki otonomi tersendiri.[3] Salah satunya adalah Sarekat Islam cabang Surakarta dan Semarang, yang akan banyak berseberangan dengan CSI di bawah Tjokroaminoto.
SI Surakarta setelah menjadi tempat berdirinya Sarekat Islam, lama-kelamaan kehilangan pengaruhnya di bawah Haji Samanhoedi. Dilanda beberapa pengunduran diri pengurusnya yang berasal dari kalangan Kesunanan akibat tekanan pemerintah kolonial, SI Surakarta kemudian mendapat suntikan tenaga muda dari sosok Mas Marco Kartodikromo. Mas Marco yang sebelumnya bekerja di Medan Prijaji, menjadi editor Sarotomo, penerbitan media massa berkala dari Sarekat Islam Surakarta. Ia juga ditunjuk sebagai Komisioner SI. Mas Marco memiliki pendirian yang berbeda dengan Tjokroaminoto.[4]
Mas Marco Kartodikromo lahir di Cepu tahun 1890. Seperti mentornya, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara), ia adalah tokoh yang frontal mengkritik kebijakan pemerintah kolonial. Tahun 1914 ia mendirikan Indische Journalisten Bond (Ikatan Jurnalis Hindia). Ia juga menerbitkan Doenia Bergerak. Lewat Doenia Bergerak, ia mengkiritk Dr. Rinkes, Penasehat Urusan Pribumi, yang juga berhubungan baik dengan Tjokroaminoto. Sikap frontal Marco mengkritik pemerintah kolonial membuatnya dijerat dengan delik pers (persdelichten). Tahun 1915 ia dihukum selama 7 bulan penjara.[5] Sikap berseberangan CSI dengan cabang Sarekat Islam bukan hanya terjadi pada SI Surakarta saja, tetapi juga dengan SI Semarang.
SI Semarang memiliki sikap yang berseberangan dengan CSI sejak Semaoen, memegang kendali Sarekat Islam Semarang. Semaoen, yang lahir tahun 1899, awalnya adalah seorang juru tulis di Staatsspoor. Ia kemudian bergabung dengan SI Surabaya tahun 1914 dan terpilih menjadi sekertarisnya. Tahun 1915, Semaoen bertemu dengan Sneevliet dan segera tertarik dengan aktivitasnya. Semaoen kemudian bergabung dengan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), sebuah perkumpulan yang awalnya adalah klub debat kaum sosial demokrat di Hindia Belanda. Selain ISDV, Semaoen juga bergabung dengan VSTP (Vereniging van Spoor Tramweg Personal), serikat buruh kereta di Hindia Belanda. Di VSTP, Semaoen segera berperan besar terutama dalam menggerakan pemogokan-pemogokan buruh.[6]
Sosok Semaoen memang tak bisa dilepaskan dari figur Sneevliet sebagai mentornya. HJFM Sneevliet awalnya adalah aktivis serikat buruh di Belanda. Ia kemudian datang ke Hindia Belanda, mendirikan ISDV dan bergabung dengan VSTP. Di tangan Sneevliet, VSTP yang awalnya didominasi orang Eropa dan indo segera didominasi orang-orang pribumi.
Semaoen di VSTP segera menjadi salah satu pemimpinnya. Ia mampu menggerakkan berbagai pemogokan buruh. Begitu pula dengan perannya di Sarekat Islam. Sejak pindah dari SI Surabaya ke SI Semarang, Semaoen mampu menjadi ketua SI Semarang. Ia mampu menggaet anggota SI Semarang dari 1700 orang di tahun 1916, setahun kemudian menjadi 20 ribu orang. Melalui surat kabar Si Tetap dan Sinar Djawa, Semaoen menyuarakan berbagai kritik kerasnya kepada pemerintah kolonial.
Keadaan tahun 1917-1918 menyengsarakan. Kebijakan pemerintah kolonial semakin menjadi-jadi. Di tengah situasi sulit yang mencekik rakyat, keberpihakan pemerintah kolonial malah condong kepada pengusaha perkebunan. Air untuk irigasi sawah rakyat hanya diperbolehkan pada malam hari. Siang hari air mengalir untuk perkebunan. Rakyat yang pada siang hari sudah bekerja, harus bekerja keras lagi pada malam harinya mengawasi irigasi. Semaoen dalam Sinar Hindia menulis,”Ra’jat Hiindia tidak poenya keperloean sama sekali fatsal adanja fabrik goela, ondermining thee, koffie, rubber dan sebagainja jang bagitoe banjak, sebab hasilnja kapitalis loear Hindia dan loear negeri Belanda, sebab adanja ini semoa meroesak kemadjoen peroesahaan tanah boemipoetra, peroesahaan jang mana perloe sekalo boeat keselamatan ra’jat Hindia jang sebagian besar bikin merdeka boemipoetra dalam pentjarian idoepnja dan bikin makanan di sini.“[7]
Kritik keras Semaoen lewat SI Semarang ternyata bukan saja ditujukan pada pemerintah kolonial, namun juga kepada Centraal Sarekat Islam (CSI). SI Semarang di bawah Semaoen menjadi oposisi bagi CSI. Beberapa isu keduanya bersebarangan. Salah satunya adalah mengenai Ketahanan Aksi Hindia (Indie Werbaar Actie). Meletusnya Perang Dunia I, membuat para pengusaha di Belanda khawatir, ditambah lagi bahwa Hindia Belanda akan terseret juga ke dalam kancah peperangan tersebut dan merugikan kedudukan dan modal mereka di Hindia Belanda. Untuk itu mereka hendak memperkuat pertahanan mereka. Ini berarti orang-orang pribumi di Hindia Belanda dilibatkan sebagai milisi untuk mempertahankan wilayah mereka.
Wacana ini disambut dengan berbagai pendapat. Bagi CSI, Indie Werbaar dapat menjadi daya tawar untuk memperoleh kedaulatan politik di Hindia Belanda. CSI mendukung Indie Werbaar, dengan syarat rakyat Hindia Belanda memperoleh perbaikan kesejahteraan, perluasan pendidikan, hingga kedudukan yang sama dengan orang eropa di mata hukum. Melalui mosi pada kongres nasional pertama Sarekat Islam, mengemukakan bahwa lembaga perwakilan di Hindia Belanda yang dipilih oleh orang-orang pribumi (Indonesia) sendiri dan dipercayakan untuk mengelola pertahanan Indonesia. CSI, khususnya Moeis memang melihat Indie Werbaar lebih dari sekedar soal pertahanan tetapi juga ekonomi dan politik. Melalui lembaga perwakilan rakyat orang-orang pribumi, pada akhirnya nanti Indonesia akan memperoleh kemerdekaan penuh.[8]
Sebaliknya, kubu SI Semarang dibawah Semaoen menolak keras rencana ini. Menurut Semaoen, Indie Werbaar hanya akan merugikan rakyat. Menjadikan rakyat tameng kepentingan kolonial di Hindia Belanda. Dalam tulisannya di Sinar Hindia bulan Agustus tahun 1918, Semaoen menyebutkan orang-orang Jawa sudah melarat, hidup di kandang babi, hanya tulang dan berbalut kulit, maka ”djangan gembar-gembor paksa wong djowo djadi pemboenoeh.“[9]
Sikap SI di mata pemerintah kolonial sebenarnya juga dianggap sikap yang meragu. Rinkes dalam suratnya pada Gubernur Jenderal tanggal 10 Maret 1916 menyimpulkan bahwa alih-alih membuat satu mosi mendukung Indie Werbaar, Tjokroaminoto malah mengusulkan adanya Volksvertegen woordiging, atau perwakilan rakyat dijamin adanya.
Abdoel Moeis adalah salah satu tokoh CSI yang mempropagandakan perlunya dewan rakyat di Hindia Belanda. Bahkan ketika ia berkunjung ke Belanda untuk bertemu dengan pemerintah Belanda dengan tegas menyebutkan tujuan SI adalah otonomi politik. Meskipun ia juga menambahkan sejauh ini CSI puas di bawah kekuasaan Belanda selama pemerintah bisa bersikap cukup adil. Bagaimanapun, pernyataan Moeis membuat Gubernur Jenderal risau. Pemerintah kolonial pada desember 1916 memang akhirnya mengesahkan UU mengenai Volksraad (dewan rakyat). Namun dewan ini baru dipilih oleh pemerintah kolonial saat tahun 1918. Meski Volksraad hanya sebatas penasehat tanpa ada kewenangan lebih, namun CSI mendukung adanya Volksraad dan bersedia mengirimkan wakilnya duduk di Volksraad. Hal ini disebabkan karena CSI menganggap Volksraad sebagai transisi menuju otonomi politik.[10]
SI Semarang lagi-lagi bersikap berseberangan dengan CSI. Menurut mereka Volksraad hanyalah toneel (komedi) dan omong kosong. Kritik Semaoen sebagai wakil dari SI Semarang sangat pedas. Baginya Volksraad hanya mengelabui rakyat, seakan-akan pemerintah mendengarkan suara rakyat, padahal sebaliknya. Persoalan komposisi pemilihan anggota pun dianggap bermasalah karena hanya Tjoroaminoto yang dianggapnya mewakili kaum kromo. Semaoen mengajak rakyat untuk dijadikan wayang orang dalam toneel volksraad. Bagi Semaoen,“ Boekan ’Volksraad‘ jang akan bikin baik nasibnja ra’jat, tetapi gerakannja ra’jat sendiri“
Bersambung ke bagian 2: Sarekat Islam Tanpa Islam?
Oleh : Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Tulisan ini kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU)
1 Korver, A.P.E. 1985. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil? Jakarta: Grafiti Pers
3 Jaylani, Timur. 1959. Sarekat Islam: Its Contribution to Indonesian Nationalism. Tesis tidak diterbitkan untuk Institute Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada.
[4] Shiraishi, Takashi. 2005. Zaman Bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
[5] Ibid
[6] Soewarsono. 2000. Berbareng Bergerak; Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaoen. Yogyakarta: LKiS
[7] Gie, Soe Hok. 1999. Di Bawah Lentera Merah. Yogyakarta: Bentang Budaya
[8] Noer.
[9] Rambe, Safrizal. 2008. Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905 -1942. Yayasan Kebangkitan Insan Cendikia
[10] Ibid
[…] Lahirnya Komunisme di Indonesia (1) […]
[…] Sarekat Islam meroket dan merebut hari masyarakat pribumi ketika itu. Jumlah anggotanya meledak, Dari 35 ribu orang di Agustus 1914, pada tahun1915, Sarekat Islam telah memiliki 490.120 anggota. Bahkan pada tahun 1919, anggota Sarekat Islam telah mencapai 2 juta orang.[1] […]