Setidaknya ada dua penilaian umum mengenai gambaran Partai Komunis Indonesia (PKI) di mayoritas benak masyarakat Indonesia hari ini. Jika kita coba tanyakan pada orang tua kita yang dibesarkan pada era Orde Baru, biasanya mereka mengatakan orang-orang PKI adalah sekelompok orang jahat yang tidak percaya Tuhan, tukang rusuh, dan hobi membantai orang. Apapun kata sifat yang dinisbatkan mereka pada PKI responsnya nyaris selalu berkonotasi negatif.

Memori kolektif rakyat Indonesia tentang PKI telah kadung kotor dan berantakan. Perasaan jijik dan benci hampir selalu melekat pada partai berlambang palu arit ini. Selain karena kenangan pahit dari peristiwa Pemberontakan PKI Madiun 1948 dan propaganda mengenai bahaya PKI oleh rezim Orba, beberapa waktu sebelum pecah peristiwa G30S pada 1965, orang-orang PKI memang sedang pro-aktif melakukan penyerobotan atas tanah-tanah milik pemuka masyarakat.

Fenomena aksi sepihak ditujukan sebagai respons PKI terhadap lambatnya pelaksanaan land reform yang dicanangkan oleh pemerintah. Penyerobotan ini mengalami penolakan keras dari para pemilik tanah juga masyarakat yang bukan anggota atau simpatisan PKI. Mereka mempertahankan kepemilikan tanah sekuat tenaga dengan melawan kejumawaan PKI. Alhasil, bentrokan antara massa anti-PKI dengan orang-orang PKI pun sulit dihindari.

Walaupun demikian, penilaian umum masyarakat mengenai PKI tidak sepenuhnya sesuai fakta sejarah. Selalu ada pengecualian khusus dalam narasi historis yang membuat masyarakat awam barangkali kebingungan. PKI sebagai partai yang dicap anti-tuhan rupanya pernah memiliki segelintir kader haji dan kiai. Hal ini mungkin sangat membingungkan, tetapi sejarah menjawabnya demikian.

PKI dan Kiai

PKI pernah menarik minat para haji dan kiai. Sebagai organisasi massa yang bergerak di akar rumput, keanggotaan PKI awalnya terbuka untuk berbagai kelompok masyarakat. Organisasi ini menjadi payung untuk orang-orang yang mengaku sebagai kaum mustadh’afin. Bahkan, pada awalnya PKI sempat menggunakan identitas keislaman untuk menarik perhatian masyarakat. Tatkala membahas sejarah gerakan sosial di Banten, Sartono Kartodirdjo menyatakan banyak haji yang ikut terlibat pemberontakan PKI di Banten pada 1926.[1]

Selain di Banten, ada juga haji dan kiai yang justru memilih bergabung dengan PKI. Di antaranya yang sangat terkenal adalah Haji Misbach, seorang haji dari Solo yang menggerakkan rakyat lewat propaganda wong cilik khas orang-orang komunis. Ia membina surat kabar Islam Bergerak dan majalah Medan Moeslimin. Haji Misbach adalah model seorang pemimpin Islam yang melabuhkan aspirasi politiknya kepada PKI.

Di balik ketenaran Haji Misbach, ada seorang pemimpin Islam yang juga memilih PKI sebagai tempat bernaungnya. Namanya adalah K.H. Achmad Dasuki Siradj, seorang kiai yang sekampung halaman dengan Haji Misbach. Sosok ini tampaknya masih jarang dibahas oleh para penulis, bahkan peneliti sejarah PKI sekelas Donald Hindley pun hanya menyebutkan riwayat Dasuki Siradj sepintas lalu saja, itu pun sekadar disebut dalam catatan kaki. Padahal, profil kiai yang juga kawan Haji Misbach ini menyimpan daya tarik tersendiri di tengah masa silang sengkarut ideologi yang begitu menggairahkan. Ia menjadi pecahan anomali yang terkubur di dasar sejarah politik Indonesia pada dasawarsa 1950-an.

Barangkali salah satu kendala yang dihadapi para penulis manakala membahas sosok Kiai Achmad Dasuki Siradj adalah kelangkaan sumber mengenai perjalanan hidupnya. Tampaknya, tidak banyak penulis yang mengurai biografi kiai PKI ini. Karenanya, profil K.H. Dasuki Siradj seolah terkubur dalam sekali di tengah memori kolektif bangsa Indonesia.

Istiqamah dengan PKI

K.H. Achmad Dasuki Siradj dilahirkan di Solo pada permulaan abad ke-20. Ia menulis tahun kelahirannya, 1903 tanpa disertai keterangan tanggal dan bulannya dalam seutas portofolio keanggotaan Majelis Konstituante.[2] Pada awal abad ke-20, Solo cukup terkenal sebagai kota yang menjadi pusat perekonomian Jawa Tengah. Sebagaimana lazimnya, perkembangan ekonomi yang pesat di sebuah daerah selalu diiringi dengan berbagai macam gejala sosial yang menarik.

Solo menjadi kota kelahiran Sarekat Dagang Islam (SDI). Organisasi ini didirikan di sebuah perkampungan yang menjadi sentra produksi kain batik populer di Solo, yakni Kampung Laweyan. SDI dibentuk oleh seorang pengusaha batik kenamaan dari Laweyan, Haji Samanhoedi.[3] Organisasi ini menjadi benteng untuk pengusaha pribumi ketika mereka harus bersaing dengan para pengusaha Cina.

Dasuki Siradj menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rakyat (SR). Setelahnya, ia meneruskan jenjang pendidikannya ke lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ia mengaku pernah nyantri ke Pondok Pesantren Djansaren, Madrasah Manbaul Ulum Surakarta, dan Pondok Pesantren Kasingan Rembang. Belum ditemukan secara rinci ihwal kronik kehidupan akademiknya. Namun, secara garis besar, Dasuki Siradj menuliskan kronik tentang kiprahnya sebagai seorang aktivis yang cukup malang melintang dalam dunia pergerakan.

Kiai dari Solo ini telah berjibaku dengan banyak aktivitas pergerakan partikelir sejak usianya masih belia. Pada 1918, ia mendirikan forum diskusi Idzharul Haq yang ditulisnya sebagai debatting club. Idzharul Haq ditujukan untuk menggencarkan dakwah Islam kepada para anak muda yang mempunyai minat terhadap wacana-wacana intelektual.

Sembari membina anak-anak muda, Dasuki Siradj juga mengaku pernah belajar menulis di akademi pekanan Panggugah yang dipimpin oleh dr. Tjipto Mangunkusumo, seorang pemimpin pergerakan senior. Aktivitas ini dilakoninya sejak 1919 sampai dengan 1926. Pada masa pubertas intelektualnya, Dasuki Siradj bergabung dengan PKI pada 1924 yang saat itu baru setahun didirikan.

Sebagai seorang aktivis, Dasuki Siradj pernah ikut andil dalam pengorganisasian massa berjumlah besar. Ia pernah aktif memobilisasi massa aksi dalam demonstrasi di Masjid Besar Solo.  Aksi ini dilakukan oleh umat Islam sehabis menunaikan shalat berjamaah pada 1926. Barangkali karena dianggap membahayakan Pemerintah Hindia Belanda, kiai PKI ini ditangkap dan diasingkan ke Boven Digoel, Papua pada 1927.

Selama kira-kira enam tahun, Dasuki Siradj berada di pengasingan yang dikenal dengan julukan Tanah Merah itu. Pada 1933, ia dibebaskan lalu pulang ke Pulau Jawa. Tampaknya, gairah aktivisme Dasuki Siradj sama sekali tak memudar walau pernah diasingkan oleh pemerintah. Ia masih tetap sama seperti sebelumnya, aktif membina pergerakan anak-anak muda. Bahkan, mantan tahanan Pemerintah Hindia Belanda ini bergabung lagi dengan PKI sampai masa Pendudukan Jepang. Di masa ini, Dasuki Siradj sempat ditangkap oleh Kempeitai, polisi rahasia Jepang pada 1943. Setelah Indonesia merdeka, ia pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) 1945-1947 dan memimpin Gerakan Republik Indonesia (GRI) pada 1947-1949.

Dasuki Siradj merupakan kiai yang istiqamah dengan PKI, meskipun karenanya ia pernah disengsarakan oleh penguasa. Komitmennya dengan PKI ibarat sebuah ungkapan, ‘’tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan’’. Ia menjadi segelintir kiai yang berani tampil beda, di saat banyak kiai memilih untuk meleburkan diri ke dalam gerakan dan partai politik Islam. Oleh sebab itu, tak mengherankan jika Dasuki Siradj dipercaya sebagai Dewan Harian Seksi Comite PKI cabang Surabaya.

Ahmad Dasuki Siradj. Sumber foto: konstituante.net

Kontra Argumen Masyumi

Kehadiran Dasuki Siradj cukup menarik perhatian para politisi besar di Jakarta setelah terpilih menjadi anggota Majelis Konstituante. Ia dipilih untuk mewakili aspirasi daerah Solo, Jawa Tengah. Salah satu momen bersejarah yang pernah ditunjukkan Dasuki Siradj di depan banyak politisi ialah ketika berpidato di Sidang Konstituante pada 26 November 1957. Saat itu, suasana sidang cukup panas karena telah memasuki babak kedua pandangan mengenai dasar negara.

Majelis Konstituante terbelah menjadi dua kubu besar dalam menyikapi persoalan dasar negara. Semua partai nasionalis sekuler dan partai non-Islam termasuk PKI berada di barisan pendukung Pancasila. Sementara, partai-partai Islam seperti Masyumi, NU, PSII, dan Perti menyokong penuh Islam sebagai dasar negara Indonesia. Karenanya, dalam situasi ini, Dasuki Siradj berada di barisan pendukung Pancasila kontra pendukung Islam.

Pada saat disilakan menyampaikan pidato, Dasuki Siradj menjadi pembicara ke-5 setelah Atmodarminto dari Fraksi Gerakan Rakyat Indonesia (Gerinda). Pada babak kedua ini, Dasuki Siradj mencoba memperkuat argumentasi Blok Pancasila dan melakukan counter atas argumen yang diajukan oleh Blok Islam pada babak pertama. Kiai PKI ini melancarkan kritik pedas kepada wakil-wakil Masyumi ketika membela dasar negara.

Terlebih dahulu, Dasuki Siradj menyindir pidato sejumlah wakil Blok Islam yang isi pembicaraannya tidak sesuai dengan kenyataan zaman. Menurutnya, pimpinan umat Islam selalu menghadirkan semangat romantisme sejarah Islam pada masa Rasulullah Saw beserta salafus shalih, sedangkan dalam kenyataannya banyak di antara mereka sendiri yang tidak meneladani kiprah mereka. Ia mengatakan:

‘’Dan apa yang diketahui oleh rakyat pada masa sekarang ini didalam praktek Islam sehari-hari yang dilakukan oleh kebanyakan para pemimpin Islam adalah sangat berlawanan dan tidak cocok dengan petunjuk Quran yang telah dikemukakan para pembicara dan yang oleh beliau-beliau itu dijadikan bukti atas kebenaran dan kebaikan Islam dan oleh karenanya diinginkan Negara Republik Indonesia itu didasarkan atas Islam.’’[4]

Kiai dari Fraksi PKI ini kemudian mengomentari isi pidato Mohammad Natsir, Ketua Umum Masyumi. Sebelumnya, Natsir membahas tentang keunggulan Islam dalam melindungi masyarakat yang plural sembari mengutip Surat Al-Hajj ayat 40. Selain itu, ia juga menguraikan hujjah Islam sebagai anasir anti-penjajahan dengan mengutip Surat Al-Hajj ayat 39. Dasuki Siradj melancarkan kritik kepada Natsir dan ‘’Kiai Masyumi’’ lainnya yang membisu dalam menyikapi Darul Islam (DI) / Tentara Islam Indonesia (TII). Padahal, kelompok tersebut diklaim memegang teguh ajaran Islam, namun dalam kenyataannya justru tidak melindungi masyarakat.

‘’Bagaimana tidak saudara ketua, siapa yang tidak mengerti bahwa di Indonesia ada perlakuan kejam yang terang melanggar peri kemanusiaan yaitu perbuatan gerombolan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII) yang bukan saja menggarong harta benda rakyat, membunuh rakyat, dan membakari rumah-rumah rakyat tapi juga membakar masjid dan juga menembaki mereka yang sedang sembahyang. Dalam hal ini yang nyata para pemimpin Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) tidak sepatah katapun menyebutnya. Mengapa saudara yang terhormat  Moh. Natsir sebagai gembong pemeluk agama Islam yang menyatakan kebenaran dan kebaikan serta kewajiban pemeluknya untuk tunduk kepada ajaran Islam tidak suka membicarakan hal ini.’’[5]

DI/TII merupakan sekelompok umat Islam yang mendeklarasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949.[6] NII didirikan di Cisayong, Tasikmalaya ketika wilayah Jawa Barat dikuasai oleh Belanda, sementara Republik Indonesia berhijrah ke Yogyakarta. Pimpinan kelompok ini adalah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, bekas pemimpin Sarekat Islam (SI) juga Masyumi.[7] Pimpinan Masyumi sebenarnya telah menegaskan perbedaan corak ide dan gerakannya dengan DI/TII. Bahkan, telah memanggil Kartosuwirjo untuk pulang, namun ia menolaknya.[8] Setelah kedaulatan Indonesia pulih, DI/TII masih tetap mengingkarinya  dan mencoba untuk menebar teror kepada aparat maupun masyarakat yang mendukung RI.

Pada saat itu, Dasuki Siradj menuding pimpinan Masyumi telah memutarbalikkan kenyataan. Ia berkata bahwa yang sebenarnya berbuat kehancuran selama ini berasal dari pihak yang berteriak negara Islam. Ia menyesalkan sikap Masyumi yang sangat lembek dalam persoalan DI / TII bahkan meminta amnesti kepada pemerintah untuk mereka.

‘’Partai Komunis Indonesia (PKI) yang oleh beberapa pembicara dari golongan Islam dituduh anti-agama, anti-tuhan bahkan ada pula yang menyatakan apabila Partai Komunis Indonesia (PKI) nanti berkuasa tentu masjid-masjid dan agama-agama akan dihancurkan, pemeluk agama akan dibasmi, katanya. Saudara ketua, rakyat mengerti bahwa sampai detik ini PKI tidak berkuasa; tetapi kenyataan telah menunjukkan bahwa banyak masjid-masjid yang telah menjadi korban pembakaran, orang bersembahyang sudah banyak yang dibunuh tetapi bukan dibunuh dan dibakar oleh orang-orang anggota-anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) melainkan oleh gerombolan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII).’’[9]

Ia juga menyesalkan pernyataan K.H. Isa Anshary yang seolah membenarkan aksi DI/TII di beberapa derah. Tampaknya, Dasuki Siradj tidak menyangka kata-kata tersebut akan keluar dari lisan pimpinan Masyumi tersebut. Ia amat khawatir, jika saat ini saja teror dari milisi Islam tersebut sudah menyengsarakan rakyat, apalagi nanti kalau seandainya Indonesia berubah menjadi negara Islam.

‘’Betapa tidak saudara ketua, kalau yang terhormat Saudara K.H. Moh. Isa Anshary sudah tegas menyatakan bahwa perbuatan Darul Islam (DII), Tentara Islam Indonesia (TII) itu berlaku karena negara kita tidak berdasar Islam, katanya tapi saudara ketua apa lagi jika Islam sudah dijadikan dasar bagi negara kita, DI dan TII sudah dilegalisir, mereka akan dapat berbuat sesuka hatinya sambil berkedok ‘’tugas Islam’’ sedang pemimpin-pemimpinnya akan tutup mulut seperti sekarang ini atau malah membenarkan karena yang diperlakukan sewenang-wenang itu bukan orang Islam sedang sekarang ini sudah membunuh orang sembahyang di surau toh juga dibenarkannya.’’[10]

Hampir seluruh pidato yang disampaikan oleh Dasuki Siradj mengungkapkan dosa-dosa DI/TII dan kritik pedas untuk pimpinan Masyumi. Ia membangun argumentasi untuk menyerang wakil-wakil Masyumi berdasarkan apa yang telah diucapkan mereka pada pidato sebelumnya. Ia menanyakan sikap pimpinan Masyumi sebenarnya atas gerakan teror tersebut.

‘’Bagaimana sikap para pemuka Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) terhadap Darul Islam (DI) Tentara Islam Indonesia (TII) itu? Yang nyata mereka mengusulkan pengampunan umum, akan menggembirakan dan menyetujui DI TII. Adakah persesuaiannya antara petunjuk Quran dan praktik pemimpin Masyumi, saudara ketua? Tidak. Tidak ada persesuaiannya, melainkan perlawanan yang terdapat antara petunjuk Quran dengan perbuatan mereka.’’[11]

Dasuki Siradj menyesalkan ketidakselarasan sikap pimpinan Masyumi. Ia menuduh, antara apa yang mereka ucapkan dan amalkan justru berlawanan. Ia bahkan menyindir Natsir, wakil Masyumi yang telah berpanjang kalam mengutip ayat-ayat Al-Quran untuk memperkuat argumentasinya dalam mendukung dasar negara Islam, namun yang ia ucapkan tidak sesuai dengan kenyataan yang berlaku pada masa itu.

‘’Apa gunanya saudara ketua, apabila petunjuk Quran dikemukakan sebagai petunjuk yang baik dengan contoh yang baik pula, tetapi yang mengemukakan itu sendiri tidak suka melaksanakannya. Bukan hanya tidak suka melaksanakannya saudara ketua, tetapi bahkan apa yang diperbuat mereka adalah bertentangan diametral dengan apa yang dikemukakannya. Saya merasa sangat gembira dan juga saya sampaikan terima kasih kepada saudara yang terhormat Moh. Natsir yang telah mengemukakan alasan-alasannya dengan menggunakan ayat Al-Quran. Sebab hal yang demikian itu bagi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) tidak lain kecuali pernyataan yang berarti penelanjangan diri.’’[12]

Dasuki Siradj menyatakan bahwa penolakan PKI atas dasar negara Islam bukanlah dilandasi oleh rasa ketidakpercayaan pada agama Islam. Namun, dirinya mengklaim khawatir jika ajaran Islam justru digunakan oknum sebagai modus untuk menghalalkan kejahatan, sebagaimana yang tampak pada perilaku gerombolan DI/TII. Dasuki Siradj menyatakan, PKI menerima Pancasila karena ia adalah kesepakatan yang dapat diterima oleh semua elemen masyarakat Indonesia. Ia mengatakan ini seraya mengutip tulisan Natsir dalam Capita Selecta Jilid 2 yang membahas tentang Pancasila.[13]

Seterusnya, Dasuki Siradj menyangkal pidato Kasman Singodimedjo yang sangat curiga pada PKI dan menguraikan kegagalan Pancasila. Sebagai balasannya, ia mengakui Pancasila memang pernah macet, namun hal itu disebabkan karena jalannya pemerintahan dikendalikan kabinet Masyumi; Kabinet Natsir (1950-1951), Kabinet Soekiman (1951-1952), dan Kabinet Boerhanoeddin Harahap (1955-1956) yang ia anggap anti-Pancasila.[14]

Jelang akhir pidatonya, Dasuki Siradj sempat menanggapi ajakan dari Haji Moh. Thaha, kawan sekampungnya dari Solo yang mengajaknya kembali kepada Islam dalam pidato di Majelis Konstituante. Ia berterima kasih dan mengatakan bahwa dirinya tidak pernah keluar dari Islam. Ia membalas ajakan dari kawannya itu dengan nada penuh sarkas, ‘’Jika saudara yang terhormat itu mengajak saya kembali kepada Islam itu berarti untuk menjalankan hukum Allah dalam praktik politik, maka menurut pengalaman saya yang telah 33 tahun di dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) hanya disitu itulah tempat mengamalkan hukum Allah dalam arti politik, bukan di tempat yang lainnya.’’[15]

Memungkas pidatonya, kiai PKI ini mengajak kawannya, Haji Moh. Thaha untuk masuk PKI. ‘’Apabila saudara yang terhormat memang dengan sungguh-sungguh hati hendak menjalankan hukum Allah dan beramal dengan ikhlas marilah bersama dengan saya di dalam lingkungan Partau Komunis Indonesia (PKI)’’.[16] Lantas, sebelum mengucap salam, Dasuki Siradj berterima kasih kepada kawannya tersebut karena telah berani memvonis DI/TII sebagai pengkhianat Islam.

Oleh: Naufal Al-ZahraPegiat Komunitas Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) dan Penulis Buku Romantika Perjuangan Masyumi & NU (RMPN)


[1] Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. Depok: Komunitas Bambu. 2015, hlm. 359

[2] Selengkapnya mengenai biodata atau portofolio K.H. Achmad Dasuki Siradj dapat diakses pada https://www.konstituante.net/en/profile/PKI_achmad_dasuki_siradj

[3] A.P.E. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?. Jakarta: Grafiti Pers. 1985, hlm. 11.

[4] Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Jilid VI. 1957, hlm. 470

[5] Ibid, hlm. 472

[6] Naufal Al-Zahra, ‘’Bergerilya hingga Berkuasa: Sejarah Neo-NII Tahun 1962-2023’’. Jurnal El-Badr, Vol. 1, No. 1, hlm. 104

[7] Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Grafiti Pers. 1983, hlm. 17; PB. Masjoemi, Masjoemi Partai Politik Oemmat Islam Indonesia. Tanpa kota, tanpa penerbit. 1945, hlm. 3.

[8] Lukman Hakiem, Utang Republik pada Islam. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. 2021, hlm. 66.

[9] Konstituante Republik Indonesia, Loc cit, hlm. 472.

[10] Ibid, hlm. 473.

[11] Ibid, hlm. 475

[12] Ibid.

[13] Ibid, hlm. 478

[14] Ibid.

[15] Ibid, hlm. 479

[16] Ibid.a

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here