Penerapan kebijakan Politik Etis dalam bidang pendidikan dengan keluarnya Undang-undang Pendidikan tahun 1871, membawa babakan baru dalam perlakuan pemerintah kolonial Hindia-Belanda terhadap Islam dan ummat Islam di Nusantara. Babakan baru ini berada di bawah pengaruh seorang Orientalis terkemuka pada masa itu, Dr. Christian Snouck Hurgronje,[1] yang menjadi peletak dasarnya. Snouck Hurgronje datang ke Hindia-Belanda pada tahun 1889. Pada tahun yang sama, Snouck Hurgronje ditunjuk sebagai penasehat pada Kantor Urusan Orang Pribumi dan Arab (Kantoor voor Inlandsche Zaken). Kantor yang menurut Karel C. Steenbrink kemudian menjelma menjadi Shumubu di jaman Jepang, dan juga menjadi cikal-bakal Departemen Agama Indonesia ini pun didirikan atas usul dan usaha Snouck Hurgronje.[2]
Berkat pengalamannya di Timur Tengah dan menyelesaikan perang Aceh, Snouck Hurgronje, sarjana Sastra Semit yang mempunyai andil sangat besar dalam penyelesaian perang Aceh ini, kemudian berhasil menemukan suatu pola dasar bagi kebijaksanaan pemerintah Hindia-Belanda untuk menghadapi Islam di wilayah Hindia-Belanda. Pola ini secara resmi tetap merupakan pedoman bagi pemerintah Hindia-Belanda, meskipun dalam tahun-tahun terakhir tidak seluruhnya bisa diterapkan. Pola ini pula yang menjadi pedoman kerja bagi para Adviseur voor Inlandsche Zaken berikutnya, terutama untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang penasehat bagi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, tentang segala sesuatu mengenai pribumi.[3]
Dalam posisi sebagai seorang penasehat (adviseur) di Kantoor voor Inlandsche Zaken ini,Snouck Hurgronje mulai memperkenalkan sebuah pendekatan baru untuk menghadapi persoalan-persoalan Islam. Sebelumnya, kebijaksanaan pemerintah Hindia-Belanda terhadap Islam hanyalah berdasarkan rasa takut dan tidak mau ikut campur. Sebab, saat itu mereka belum banyak menguasai masalah tentang Islam.[4] Snouck Hurgronje kemudian menjelaskan tentang berbagai hal yang tidak diketahui, dan bahkan sangat ditakuti oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda selama ini. Misalnya bahwa di dalam agama Islam tidak dikenal lapisan kependetaan semacam pendeta, atau bahkan Paus dalam agama Kristen; Kyai tidak apriori fanatik; Penghulu merupakan bawahan pemerintah pribumi, dan bukan atasannya; Ulama independen bukanlah komplotan jahat, sebab mereka hanya menginginkan ibadah haji; Pergi haji ke Mekah pun bukan berarti fanatik dan berjiwa pemberontak.[5] Sekalipun menegaskan bahwa pada hakikatnya orang Islam di Hindia-Belanda memiliki sifat damai, namun Snouck Hurgronje juga tidak menutup mata terhadap kemampuan politik fanatisme Islam. Namun bagi Snouck Hurgronje, musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik.[6]
Sejak dibukanya Terusan Suez di Mesir pada tahun 1869, setiap tahun ribuan kaum muslimin Indonesia menunaikan ibadah haji ke Makkah. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian membawa “ajaran ortodoks” setelah naik haji, atau setelah sekian lama bermukim di tanah suci. Ajaran ortodoks adalah sebutan pemerintah Belanda dan Kristen untuk ajaran-ajaran Islam yang menyangkut aqidah, yang dikembalikan kepada tuntunan Al Qur’an dan Hadits. Maka, lambat laun ajaran ini menjadi semakin berkembang dan berhasil menggantikan kedudukan mistik dan sinkretisme yang selama ini telah menguasai Indonesia. Tentu saja, pemerintah Belanda pun tidak melupakan kenyataan bahwa berbagai perlawanan ummat Islam di Hindia-Belanda memang banyak dimotori oleh para haji dan ulama. Kenyataan ini menimbulkan banyak suara di kalangan pejabat pemerintah Hindia-Belanda yang menginginkan agar pemerintah melarang orang Islam berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Sebab, ibadah haji dinilai akan menyebabkan kaum pribumi menjadi fanatik. Pemerintah Hindia-Belanda pun kemudian mengeluarkan bermacam-macam peraturan yang membatasi dan mempersulit pelaksanaan ibadah haji, sekalipun kemudian dicabut juga.[7]
Dalam situasi itulah, sebagai seorang jagoan Orientalis dan Islamolog, Snouck Hurgronje tampil untuk mendudukkan masalah tentang hubungan antara “ibadah haji” dan “fanatik” ini. Menurut Snouck Hurgronje, “koloni Jawa” di luar negeri memang harus diawasi, dan ternyata kemudian –melalui Konsul Belanda di Jeddah— semua sepak terjang para mukimin itu diteliti. Bahkan kemudian bukan hanya di Jeddah saja yang diawasi, tetapi juga di Kairo, di Kalkutta, dan di Singapura, Belanda memasang “radar” untuk mengawasi gerak-gerik kaum pribumi. Sementara itu, salah satu cara untuk menjinakkan kaum pribumi dan menghadapi Islam adalah dengan mengangkat penghulu sebagai pegawai negeri, yang antara lain bertugas membantu Bupati dalam mengawasi ummat Islam. Sedangkan Gubernur Jenderal secara rahasia diinstruksikan oleh raja Belanda untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka memelihara tugas pengawasan yang dilakukan oleh para bupati terhadap para ulama pribumi.[8]
Snouck Hurgronje lalu membedakan Islam dalam arti “ibadah”, dengan Islam sebagai “kekuatan sosial politik”. Dalam hal ini, Snouck Hurgronje membagi masalah Islam atas tiga kategori, yakni: 1. Bidang agama murni atau ibadah; 2. Bidang sosial kemasyarakatan; 3. Bidang politik; di mana masing-masing bidang menuntut alternatif pemecahan yang berbeda. Resep inilah yang kemudian dikenal sebagai Islam Politiek, atau kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Hindia-Belanda.[9]
Snouck Hurgronje kemudian memberikan berbagai saran kepada pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk menyelesaikan berbagai masalah yang menyangkut ketiga kategori di atas. Dalam bidang agama murni, atau ibadah, pemerintah kolonial Hindia-Belanda disarankan untuk bersikap netral dan memberikan kemerdekaan kepada ummat Islam untuk melaksanakan perintah agamanya, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.[10] Khusus tentang masalah meningkatnya pelaksanaan ibadah haji, walaupun pemerintah kolonial Hindia-Belanda sangat takut akan dampak yang ditimbulkan oleh para haji yang memimpin berbagai pemberontakan di Nusantara dan terus mengawasi mereka, Snouck Hurgronje tetap memasukkan persoalan ibadah haji ke dalam kawasan netral, karena ibadah haji masih menyangkut urusan ibadah. Pemberian kebebasan dalam pelaksanaan ibadah haji, menurut Snouck Hurgronje, “akan meyakinkan para ulama tentang niat baik pemerintah Belanda, dan akan menyadarkan pula bahwa mereka tidak perlu takut pada pemerintah kolonial, selama tidak mencampuri urusan politik.”[11]
Dalam bidang sosial kemasyarakatan, Snouck Hurgronje menyarankan agar pemerintah Hindia-Belanda memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku, dengan cara menggalakkan rakyat agar mendekati Belanda, dan bahkan membantu rakyat yang akan menempuh jalan tersebut. Sementara itu, dalam bidang politik dan ketatanegaraan, Snouck Hurgronje telah memperingatkan pemerintah kolonial dengan keras, bahwa: pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan-Islam.[12] “Karena itu, setiap ada tanda-tanda kemunculannya, haruslah secara tegas dihadapi dengan kekuatan, dan semua campur tangan yang datang dari luar negeri dalam perkara-perkara Islam haruslah dipatahkan sejak dari tunasnya”.[13]
Pergeseran dalam kebijakan kolonial terhadap Islam ini sesungguhnya merupakan langkah awal dalam visi Snouck Hurgronje, yang membayangkan terciptanya sebuah Hindia-Belanda yang ideal menurut penilaiannya, di masa depan. Snouck Hurgronje percaya bahwa kepemimpinan masyarakat Hindia-Belanda di masa depan, tidak bisa bergantung pada kaum Muslim yang taat maupun pada para tetua adat. Menurut pendapat Snouck Hurgronje, kaum Muslim yang taat tidak bisa terlalu diharapkan untuk bisa mengembangkan sebuah ikatan yang lestari antara Negeri Hindia dan Negeri Belanda. Sementara itu, para tetua adat yang telah lama menjadi penghadang terkuat untuk melawan Islam, juga dianggap terlalu konservatif untuk dapat diharapkan sebagai pengusung tujuan-tujuan jangka panjang pemerintahan kolonial Belanda. Karena sebuah Hindia-Belanda yang modern tidak bisa dipimpin, baik oleh kaum Muslim yang taat maupun oleh para tetua adat, maka Snouck Hurgronje kemudian menyadari tentang pentingnya upaya menciptakan para elit Hindia baru, yang berorientasi Barat.[14]
Menurut pandangan Snouck Hurgronje, para elit Hindia baru yang berorientasi Barat inilah yang diharapkan bisa merawat masyarakat Hindia modern, seiring dengan garis-garis kebijakan ‘asosiasi’ (association policy). ‘Asosiasi’ yang dimaksud oleh Snouck Hurgronje di sini ialah upaya untuk menciptakan ‘sebuah Negara Belanda Raya, yang terdiri atas dua wilayah yang terpisah secara geografis, namun merupakan bagian-bagian yang terkait secara spiritual, di mana yang satu berada di Eropa Barat-Utara, dan yang lain berada di Asia Tenggara’.[15]
Sejalan dengan kebijakan Politik Etis, Snouck Hurgronje juga memberikan rekomendasi yang senada, terutama tentang pendidikan, yakni agar Hindia-Belanda mencapai situasi yang dicita-citakannya. Snouck Hurgronje memberikan rekomendasi kepada pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk mempromosikan organisasi pendidikan berskala-luas, dan menekankan tentang perlunya landasan nilai-nilai universal dan bersifat netral agama dalam pendidikan kaum pribumi, sehingga akan bisa ‘mengemansipasi’ elit baru yang akan muncul nanti. Mengemansipasi’ dalam konteks ini mengandung arti menjauhkan elit baru dari ajaran Islam. Dengan demikian, proses kelahiran kesadaran nasional Hindia-Belanda dipandu melalui kerjasama dengan, dan atas arahan, pihak Belanda, dan tidak diarahkan oleh gerakan Pan-Islamisme yang (dianggap) berbahaya secara politik.[16]
—
[1] Dr. Christian Snouck Hurgronje dilahirkan di Oosterhout, pada tanggal 8 Februari 1857, dan meninggal di Leiden, pada tanggal 26 Juni 1936, dalam usia 79 tahun. Christian Snouck Hurgronje adalah anak keempat dari pasangan Pendeta J.J. Snouck Hurgronje dan Anna Maria, puteri pendeta Ds. Christian de Visser. Perkawinan kedua orang tuanya didahului skandal hubungan gelap, yang menyebabkan pendeta itu kemudian dipecat dari gereja Herformd di Tholen, Zeeland pada 3 Mei 1849, ketika J.J Snouck Hurgronje telah memiliki enam orang anak. C. Snouck Hurgronje lahir jauh sebelum perkawinan resmi kedua orang tuanya pada tanggal 31 Januari 1855. Setelah tamat sekolah menengah, pada usia 18 tahun, Snouck Hurgronje memulai kuliahnya di Universitas Leiden pada tahun 1875. Awalnya ia mengambil kuliah di Fakultas Teologi, namun kemudian pindah ke Fakultas Sastra jurusan Arab. Lima tahun kemudian, tahun 1880, Snouck Hurgronje berasil meraih gelar Doktor dengan predikat cum laude dengan disertasi Het Mekaansche Feest(Perayaan di Mekah). Ia lalu mengajar di Pendidikan Khusus Calon Pegawai di Hindia-Belanda (Indologie), di Leiden. Pada akhir tahun 1884, Snouck Hurgronje datang ke Jeddah dan tinggal di sana selama lima bulan, kemudian memasuki kota suci Makkah dan tinggal di sana selama tujuh bulam (Februari – Agustus 1885). Kunjungan ini dilakukannya di luar musim haji sehingga leluasa menggunakan waktu sehari-hari untuk membicarakan masalah Islam dengan para ulama Makkah. Snouck Hurgronje juga bermaksud melihat koleksi buku-buku dan naskah di sana, sekaligus meneliti situasi dan kondisi ‘warga Negara Belanda’ di kota suci Makkah. Ternyata Snouck Hurgronje menemukan bahwa sesungguhnya Makkahlah letak jantung kehidupan Islam di Hindia Belanda, dan di sini pula urat nadi selalu memompakan darah segar yang tak terhitung berapa jumlahnya ke seluruh penduduk muslim di Hindia-Belanda. Snouck Hurgronje bisa memasuki kota suci Makkah yang terlarang bagi orang-orang non muslim karena berpura-pura menjadi seorang muslim bernama Abdul Gaffar. Sepulang dari Makkah, Snouck kembali mengajar di Universitas Leiden. Pada tahun 1889 Snouck Hurgronje tiba di Hindia-Belanda dengan tugas meneliti masyarakat Aceh, dan kemudian menetap di Batavia untuk meneliti masalah Islam di Jawa. Snouck Hurgronje lalu diangkat menjadi Penasehat Bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam. Beberapa kali ia berangkat ke Aceh untuk memberikan saran-saran yang membantu Jenderal J.B. Van Heutz menakhlukkan Aceh. Pada 11 Januari 1889 Snouck Hurgronje diangkat menjadi Adviseur voor Inlandsche Zaken (penasehat Kantor Urusan Pribumi dan Arab). Sebagai penasehat Gubernur Jenderal tentang kaum pribumi, dialah peletak dasar bagi kebijakan pemerintah kolonial Belanda tentang Islam. Lihat dalam Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda. LP3ES. Jakarta. 1985. hlm 115 – 125.
[2] Karel C. Steenbrink. Kawan dalam Pertikaian – Kaum Kolonial dan Islam di Indonesia. (1596 – 1942). Terjemahan. Mizan. Bandung. 1995. hlm 88.
[3] Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda. hlm 2.
[4] Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda. hlm 2.
[5] Harry J. Benda. The Crescent and The Rising Sun: Indonesian Islam Under The Japanesse Occupation 1942 – 1945. KITLV. Den Haag. Holland. 1958. hlm 21.
[6] Ibid. hlm 22 – 23.
[7] Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda. hlm 3.
[8] Ibid. hlm 3.
[9] Ibid. hlm 12.
[10] Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda. hlm 12.
[11] Harry J. Benda. The Crescent and The Rising Sun. hlm 87.
[12] Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda. hlm 12.
[13] Harry J. Benda. The Crescent and The Rising Sun. hlm 24.
[14] Harry J. Benda. The Crescent and The Rising Sun. hlm 25 – 27.
[15] Karel C. Steenbrink. Kawan dalam Pertikaian – Kaum Kolonial dan Islam di Indonesia. (1596 – 1942). hlm 88.
[16] Karel C. Steenbrink. Kawan dalam Pertikaian – Kaum Kolonial dan Islam di Indonesia. (1596 – 1942). hlm 89.
Oleh : Hanibal Wijayanta
Foto : Mekkah di masa silam (The Union of Islamic World Students- www.rohama.org)
[…] Wijayanta, Kebijakan Haji di Hindia Belanda,2013,http://jejakislam.net/?p=227, diakses pada 15 September […]