JIHAD. Kata tersebut saat ini tampaknya lebih terasa sebagai momok yang menakutkan ketimbang kemuliaan ajaran Islam. Berbagai kejadian yang mendistorsi makna jihad dan gelombang pemikiran dari luar yang mengibliskan kata jihad membuat kita enggan untuk membahasnya. Padahal kata Jihad begitu mulia. Kata Jihad bahkan begitu erat perannya dalam proses tegaknya Republik Indonesia. Tanpa jihad, tak mungkin Indonesia bisa merengkuh kemerdekaannya.
Pentingnya peran jihad sehingga, salah satu tokoh Muhammadiyah, yaitu Buya A.R. Sutan Mansur membahasnya secara khusus dalam ceramahnya selama beberapa tahun, yaitu tahun 1952 sampai 1957. Ia membahasnya secara khusus dalam kursusnya mengenai jihad di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Akhmad Rasyid Sutan Mansur adalah tokoh Muhammadiyah yang disegani. Ia adalah salah satu pelopor berkembangnya Muhammadiyah di Sumatera, terutama di Minangkabau. Lahir pada 27 Jumadil akhir 1313 H/ 15 Desember 1895. Ia dididik oleh Haji Abdul Karim Amrullah, atau Haji Rasul, salah satu dari tokoh kaum mudo, Kelompok reformasi Islam di Minangkabau. (H.A.R Sutan Mansur: 1979)
Ia kemudian mengajar di Kuala Simpang, Aceh selama tahun 1918-1919. Tahun 1920 ia menentang peraturan pemerintah dalam melakukan pancang rimba (Bos Wezen). Ia juga dilarang untuk studi ke Mesir oleh pemerintah kolonial. Urung ke Mesir, tahun 1921 ia kemudian merantau ke Jawa, tepatnya kota Pekalongan, untuk menjadi guru agama. Di kota inilah ia berkenalan dengan Muhammadiyah yang sedang dirintis oleh KH Ahmad Dahlan. Ia amat tertarik dengan Muhammadiyah. Buya Hamka menyebut, ketertarikan AR Sutan Mansur terhadap Muhammadiyah karena ,Muhammadiyah mengajarkan Islam bukan hanya untuk dipelajari, tetapi juga diamalkan.
Buya Hamka bercerita bahwa AR Sutan Mansur mendengarkan KH Ahmad Dahlan ketika menjelaskan surat Al Maa’uun. KH Ahmad Dahlan kala itu meminta perhatian bagaimana melaksanakan ayat-ayat dalam masyarakat Islam. “Lalu beliau jelaskan maksud yang terutama mendirikan Muhammadiyah hendak dengan secara teratur menyusun tenaga kaum Muslimin melaksanakan perintah Allah.” (Hamka : 1974)
AR Sutan Mansur kemudian menjadi pemimpin Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di Pekalongan, para perantau Minangkabau di sana memintanya untuk mengembangkan Muhammadiyah di Sumatera Barat. Ia pun hijrah ke Minangkabau pada akhir 1925. Di Bukittinggi, ia memperlihatkan ketenangan jiwanya. Para pemuda yang tertarik pada gerakan komunis dilunakkan hatinya. Diantaranya Abdullah Kamil, Zain Jambek dan Abdul Malik Siddik. Tiga orang inipun akhirnya menjadi mubaligh Muhammadiyah, mengikuti AR Sutan Mansur. (Hamka: 1974)
Buya Hamka mengingat kelembutan dakwah AR Sutan Mansur,
“Jiwa beliau sangat besar. Benar-benar tumbuh dari pada hatinya yang tulus ikhlas bahwa di sekelilingnya perlu ada pemimpin-pemimpin dan mubaligh-mubaligh yang pintar dan cerdas. Semua dihargainya, semua digalakkannya. Dia tidak bosan berbicara satu jam dua jam dihadapan seorang calon pemimpin yang sudi mendengarkan dan dia pun sudi mendengarkan dengan sungguh-sungguh apabila mereka mempercakapkan suatu persoalan dihadapannya. Dia tidak akan memutarkan kepala ke pihak lain, sehngga timbullah kepercayaan pada diri sendiri pada murid-muridnya, karena mereka dihargai.” (Hamka: 1974)
Sesungguhnya bukan saja caranya membawa diri yang menarik dari AR Sutan Mansur, tetapi juga kedalaman ilmunya, termasuk ketika ia membahas jihad. AR Sutan Mansur menyatakan bahwa jihad itu berasal dari pengharapan manusia untuk dibela (ditolong-pen) oleh Allah. Namun Allah hanya akan menolong, jika orang mau menolong agama Allah. Ada pun cara menolong agama Allah adalah dengan berjihad.
Jihad menurut AR Sutan Mansur, terdiri dari 3 tahap yang harus ditempuh. Pertama, adanya roh suci yang menghubungkan mahluk dengan khaliknya. Roh suci yang beliau maksud adalah iman kepada Allah, pokok dari jihad. Tanpa ada iman, tak akan ada pendorong untuk berjihad.
Kedua, adanya tenaga illmu. Ketiga, adanya tenaga benda. Menurutnya, ketiga hal itu harus ada. Jika ilmu ada namun alat-alat materil tidak ada, maka jihadnya tidak akan mencapai hasilnya. Namun semua tetap berpangkal pada roh atau iman. Iman yang berupa hasil dari taqarrub (mendekatkan diri pada Allah) yang diimani dengan ‘ilmul yakin.’ (AR Sutan Mansur : 1982)
Sumber jihad adalah petunjuk Allah. AR Sutan Mansur mencontohkan dengan kisah-kisah bangsa terdahulu. Ia menjelaskan, “Rasul itulah yang behadapan dengan ummat yang mempunyai ciri kebangsaannya sendiri-sendiri dengan segala macam peradaban (kulturnya) masing-masing. Bagi tiap ummat itu telah dibangkitkan seorang rasul yang membawa risalah kepada suatu peradaban dan tingkat kemajuan ummat itu sendiri.”
Termasuk pula ummat Nabi Muhammad. Kemudian sepeninggal Nabi Muhammad SAW tinggallah umat dalam keadaan kufur, kebodohan dan kedurhakaan. Maka tak ada jalan lain untuk memulihkannya, kecuali dengan jihad. Menurut beliau tak akan ada perbaikan, kemakmuran, keamanan dan kebahagiaan jika tidak dimulai dari iman dan jihad yang bersumber dari petunjuk Allah. Dan balasan atas jihad tersebut adalah anugerah Allah berupa baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Negara yang aman makmur, dan Allah mengampuni para penghuninya.
Selepas membahas amal jihad, Buya Sutan Mansur juga membahas sifat dari mujahid. Orang yang membela agama Allah menurutnya terletak pada : thahirun linafsihi muthahhirun lighairihi. Suci dirinya dan terdapat pula mensucikan yang lainnya. Seperti sifat air mutlak pada thaharah. Buya Sutan Mansur kemudian menjelaskan,
“Jadi orang mukmin/mujahid dan penolong agama Allah itu sifatnya seperti ma-ul mutlak. Mereka sanggup mengangkat derajat mereka sendiri; si kuat sanggup menjadi khadam bagi si lemah; si kaya sanggup mencurahkan kasih sayangnya kepada si miskin dengan memberikan sebagian hartanya; si pandai sanggup memimpin orang-orang yang bodoh. Jadi bukan masyarakat nafsi-nafsi (individualistis), di mana kepribadian tak ada harganya sama sekali; si kuat menindas yang lemah, si kaya acuh tak acuh dengan si miskin; siapa kuat di atas, siapa lemah tertindas!” (AR Sutan Mansur : 1982)
AR Sutan Mansur menjelaskan bahwa jihad dilakukan dalam dua kondisi. Dalam masa perang dan masa damai. Jihad dalam masa perang menurutnya bukan semata di garis depan, tetapi juga persiapan mendukung peperangan itu sendiri, seperti urusan logistik. Namun beliau menekankan bahwa jihad di masa damai lebih berat daripada di masa perang. Di masa damai Jihad adalah membangun, menegakkan dan menyusun. Baginya kalah dalam jihad di masa damai lebih berbahaya ketimbang di masa perang. Di masa damai, kekalahan ditandai dengan masuknya kebudayaan asing. Seringkali orang tak sadar sedang dijajah karena tak terasa secara lahiriah, padahal kebudayaannya telah dijajah.
Ada tiga aspek jihad di masa damai. Pertama adalah mendidik dan mengajar. Menurut AR Sutan Mansur,
“Mendidik artinya memberikan pimpinan dan mengisi jiwa dengan kesadaran kepada yang dididik. Sedang mengajar artinya memberikan kcerdasan otak, tumpuannya otak. Jadi mendidik itu lebih luas skopnya (jangkauannya-pen), lebih penting dan lebih sukar karena tumpuannya adalah hati dan perasaan.” (AR Sutan Mansur : 1982)
Jihad yang kedua adalah jihad ekonomi. Jihad ekonomi berarti kemandirian ekonomi. Salah satunya mampu membiayai sekolah (lembaga pendidikan). Namun bukan hanya kemandirian tetapi tak kalah penting adalah cara berekonomi yang jujur, bukan memperoleh dengan cara yang batil, menerabas halal-haram, dan dalam pusaran tamak.
Dalam pelaksanaannya jihad ekonomi menurut AR Sutan Mansur harus bermulai dari Masjid. Ia menyebutnya dengan istilah ‘masjid ekonomi.’ Yaitu mengutamakan ekonomi yang dirihdhoi Allah, yang sumbernya dari roh agama yang datang dari hasil yang halal, terang halalnya dan terang manfaatnya. Terang maslahatnya dan tidak merusak. Ia didasarkan atas keridhoan ilahi, yang meletakkan titik tolak ekonomi pada masjid.
“Jadi Minal Masjid Ilal Iqtishad, berarti keseluruhan proses ekonomi sejak awal sampai pada akibat yang ditimbulkan oleh proses ekonominya itu, adalah hasil dari jiwa agama dan roh masjid.
Jadi bukan saja masjid tempat sujud, tempat kita menyujudkan diri, tapi juga menyujudkan keseluruhan hidup dan kehidupan Allah. Keseluruhan hidup artinya tidak hanya terbatas pada peribadatan sehari-hari, tetapi juga pada persoalan di luar shalat.
Tempat sujud! Bukan hanya kening, lutut dan jari tangan di waktu shalat saja yang termasuk dalam arti ‘sujud,’ tetapi kehidupan di luar masjid pun harus disujudkan dalam masjid. Jadi seluruhnya Minal Masjid Ilal Iqtishad,“ demikian jelas beliau. (AR Sutan Mansur : 1982)
Begitu penting peran masjid, maka bukanya soal pendidikan dan ekonomi saja jihad di masa damai, tetapi juga soal jihad politik. Politik yang bermuara dari masjid. Minal Masjid Ilas Siyasah. Politik yang disujudkan dalam masjid. Artinya menjalankan politik yang mendekatkan pada mardhatillah (keridhoan Allah).
AR Sutan Mansur mengutip surat An-Nisa tentang pentingnya mengikuti Allah, RasulNya lalu ulil amri. Ulil amri (pemimpin) bagi umat Islam amat penting, karena menentukan Amar dan Nahi yaitu ‘menyuruh’ dan ‘mencegah.’ Yaitu melaksanakan suatu peraturan tertentu pada umat, yang harus ditaati oleh umat tersebut.
Beliau kemudian menekankan bahwa Allah telah mewajibkan umat Islam untuk mengangkat ulil amri yang memegang urusan umat Islam. Sebab jika tak ada ulil amri, menurutnya agama akan rusak karena tak ada lagi orang tempat kembali dalam urusan agama. Ibarat kambing tanpa gembala. Hal ini menimbulkan bahaya bagi umat Islam. Menurutnya,
“Seperti sekarang ini, tak ada lagi Ulil Amri yang mengurus kita lalu mudah saja faham-faham, isme-isme yang bertentangan dengan Islam masuk. Komunisme masuk, marxisme masuk, marhaenisme masuk, sosialisme masuk, segala-galanya masuk. ‘You can see’ (baju tanpa lengan yang biasa dipakai perempuan-pen) juga masuk, pendeknya segalam macam mode dapat masuk.
Maka sekarang lantaran tak ada Ulil Amri, seluruh Dunia Islam secara hukum berdosa, lebih dari dosa biasa; sebab urusan Ulil Amri ini lebih penting dari urusan dunia. Kata kita agama dulu baru dunia.
Jadi orang lalu memusatkan politik kepada dunia, sedang kaum muslimin memusatkan politik kepada agama. “ (AR Sutan Mansur : 1982)
Umat Islam menurut AR Sutan Mansur wajib menaati ulil amri. Maka ketika mengangkat ulil amri harus ditinjau dari segi imannya. Jika sudah menyimpang dari garis dan ketentuan-ketentuannya, tidak wajib lagi bagi umat Islam menaatinya, bahkan wajib menggantinya, yaitu memakzulkannya. Oleh sebab itu ulil amri harus mau diingatkan. Beliau bahkan mengingatkan, bahwa pemimpin dan ulama harus membiasakan hidup di tengah-tengah rakyat. Bukan di atas pundak rakyat.
Begitu penting jihad bagi umat Islam, terutama jihad di masa damai. Maka jika terlihat atau terdengar ulama telah meninggalkan jihad di masa damai, maka segala aliran akan masuk ke tengah-tengah umat. Dan ini tinggal menunggu kehancuran umat tersebut.
Satu pesan penting AR Sutan Mansur pada warga Muhammadiyah patut diresapi. Ia berkata,
“Maka ummat Muhammadiyah hendaknya benar-benar menjadi umat yang mengamalkan jihad, ummat yang benar-benar tegak bagai gunung batu yang tak goyang dilanda angin, dan bila ia hancur, ia menjadi tumpukan sebesar tegaknya semula.
Atau bagai batu karang yang tegak dan muncul di permukaan laut, dipukul gelombang, maka gelombang itu yang akan hancur memecah ke samping, namun batu karang itu tetap tegak.
Maka jikalau Muhammadiyah itu lemah, telah lama ia hancur jadi abu, tak dimasukkan perhitungan lagi.” (AR Sutan Mansur : 1982)
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Tulisan ini dimuat di Majalah Tabligh edisi Januari 2017