Di saat hubungan penguasa dan ulama memanas, di saat fatwa ulama diragukan dan dianggap fitnah, di saat ulama dicurigai, digertak, diancam, dan dikriminalisasi, di saat kesaksian ulama di pengadilan dianggap dusta, di saat ulama didata layaknya buronan, di saat rumah ulama digeledah bak pengedar narkoba, di saat gerak khatib mau dipersempit dengan standardisasi, dan di saat politik Islam diadu dengan konstitusi, maka membicarakan kiprah dakwah seorang ulama-pujangga legendaris Buya Hamka, bukan hanya relevan, melainkan juga sangat penting untuk dijadikan rujukan utama dalam sikap keagamaan kita.
Tepat hari ini, 109 tahun silam, Hamka dilahirkan. Ia seakan hadir ditakdirkan untuk menjadi sosok berwibawa di hadapan penguasa. Bahwa berdakwah yang benar bukan menuruti selera penguasa sebagaimana bunyi gendang begitu gerak tari, dan bukan pula didasarkan pada keterampilan merias kata-kata, kecermatan menjual agama, dan seni memperkosa ayat suci dan sabda Nabi, bukan! Melainkan justru meneguhkan prinsip, menyuarakan kebenaran dan keadilan secara merdeka, serta berakhlak mulia.
Hamka telah membuktikan itu. Kala ia menjadi politisi partai Islam Masyumi, ia menyaksikan rezim Sukarno inkonstitusional dan tidak demokratis. Sebab kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif berada dalam satu genggamannya. Dan Front Nasional menjadi alat pelaksanaanya. Maka pada sidang Konstituante 1959, ia mengkritiknya dengan lantang, “Trias politica sudah kabur di Indonesia. Demokrasi terpimpin adalah totaliterisme. Front Nasional adalah partai negara.”
Beberapa tahun setelah Konstituante dibubarkan oleh Sukarno, Hamka tak lepas dari akibat kritikannya itu. Dengan tuduhan macam-macam, termasuk tuduhan makar, ia dipenjara oleh aparat Sukarno tanpa proses pengadilan. Namun apakah itu membuat ia dendam kesumat pada Sukarno? Ternyata tidak! Ia tetap menerima permintaan Sukarno yang menginginkan ia mengimami shalat jenazahnya kelak (Irfan Hamka, Ayah: Kisah Buya Hamka, 2013). Meski berstatus mantan tahanan, wibawa Hamka tak roboh di mata Sukarno. Subhanallah! Air tuba dibalas air susu! Lapang sekali dada Hamka! Orang-orang besar memang selalu menyediakan ruang di hatinya untuk dibenci.
Jiwa Hamka juga independen sekali! Sebab saat itu, menurut Nurcholish Madjid, dalam buku “Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka” terbitan 1978, Sukarno sedang gencar-gencarnya dinilai sebagai pengkhianat bangsa oleh penguasa orde baru dan umat Islam, karena kaitannya dengan Gestapu dan persekongkolannya dengan PKI. Menyalati jenazah Sukarno, kata Nurcholish, “berarti Buya Hamka berhadapan dengan opini sebagian besar penguasa, dan lebih penting lagi, melawan arus opini umat.” Dan Hamka berani melawan itu.
Naiknya Suharto memimpin orde baru, kembali menguji keteguhan Hamka. Kali ini lebih ngeri. Sebab ia dilantik oleh penguasa sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama. Posisi yang membuatnya sangat dekat dengan penguasa. Dan ia sadar betul akan hal itu. Dalam pidato pengarahannya di hari pembukaan Musyawarah Nasional MUI, ia katakan, “Kadang-kadang benar-benar ulama-ulama terletak di tengah-tengah laksana kue bika yang sedang dimasak dalam periuk belanga. Dari bawah dinyalakan api; api yang dari bawah itu ialah berbagai ragam keluhan rakyat. Dari atas dihimpit dengan api; api yang dari atas itu ialah harapan-harapan dari pemerintah supaya rakyat diinsafkan dengan bahasa rakyat itu sendiri.” (Panji Masyarakat, 15/8/1975). Dalam perjalanannya memimpin MUI, ia justru tampak “galak” dan kritis terhadap penguasa.
Sewaktu penguasa mengatur-atur, melarang-larang, dan menghukum-hukum khatib yang tak menuruti seleranya, Hamka marah. Tiga kali meja Departemen Agama dipukulnya. Menteri Agama kala itu, Alamsyah, yang duduk di sampingnya, sampai kaget. “Saya tak setuju kesempatan berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha dijadikan medan politik. Sayang masih ada rekan-rekan yang mempergunakan kesempatan itu untuk mengungkapkan ketidakpuasan politiknya,” tegas Hamka. Hamka juga menolak intervensi penguasa terhadap isi khutbah. “Kalau semua khatib, khutbahnya harus diperiksa dulu, saya berhenti saja jadi khatib.” (Tempo, 23/8/1980).
Kemudian, saat penguasa mewacanakan perayaan natal bersama dengan kedok toleransi, Hamka meresponnya dengan mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam mengikuti natal. Sebabnya tiada lain karena dalam natal ada ritual-ritual ibadah agama Kristen. Dan menghadiri peribadatan agama lain terlarang bagi seorang muslim. MUI merasa berkewajiban mengingatkan umat Islam agar tidak terjebak menyerahkan aqidahnya hanya karena takut dianggap intoleran.
Dalam sebuah khutbah Jum’at di Masjid Agung Al-Azhar, Hamka menegaskan, ”Haram hukumnya bahkan kafir bila ada orang Islam menghadiri upacara natal. Natal adalah kepercayaan orang Kristen yang memperingati hari lahir anak Tuhan. Itu adalah aqidah mereka. Kalau ada orang Islam yang turut menghadirinya, berarti dia melakukan perbuatan yang tergolong musyrik. Ingat, dan katakan pada kawan-kawan yang tidak hadir di sini. Itulah aqidah tauhid kita ” (Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr. Hamka, 1981).
Fatwa itu sampai ke telinga penguasa dan membuatnya gerah. Mereka lalu meminta fatwa itu dicabut. Namun Hamka menolaknya dan lebih memilih mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum MUI. Terlalu berharga aqidah umat baginya ketimbang hanya menjadi stempel penguasa. Posisinya boleh lengser, tapi pendiriannya tak mampu digeser oleh tekanan penguasa. Fatwa itu tetap ada hingga kini, melindungi dan menjaga aqidah umat.
Kita amat sangat membutuhkan banyak sosok seperti Hamka hadir saat ini. Sosok yang berwawasan luas, merdeka dan tegas menyatakan kebenaran di hadapan penguasa, teguh memegang prinsip, berakhlak mulia, dan berwibawa. Semoga segera muncul Hamka-Hamka baru!
Oleh: Andi Ryansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
bermanfaat sekali postingan nya bos