Pembentukan undang-undang perkawinan memiliki sejarah panjang di negara kita. Semenjak zaman penjajahan telah timbul kesadaran seputar kepincangan dalam pelaksanaan hukum perkawinan dan gagasan untuk memperbaikinya, baik dari kalangan pergerakan Islam maupun dari pergerakan perempuan yang netral agama. Ketentuan mengenai perkawinan di zaman kolonial Hindia Belanda diatur di dalam beberapa sumber hukum, seperti Kitab Undang-Undang Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S 1933 No 74),  Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken S 1898 No 158), Huwelijksordonnantie S.1929 No. 348 jo. S. 1931 No. 467. Vorstenlandsche Huwelijkorddonnantie S. 1933 No. 98 dan Huwelijksordonnantie Buitengewesten S. 1932 No. 482.

Maria Ulfah Subadio, S.H., Menteri Sosial tahun 1946 – 1947,  dalam buku Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan (1981) mengungkapkan, sekitar permulaan tahun 1937 Pemerintah Hindia Belanda membuat rancangan pendahuluan Ordonansi Perkawinan Tercatat yang ditawarkan kepada masyarakat. Ordonansi ini tidak berlaku untuk umum, tetapi untuk orang Indonesia dan Timur Asing bukan Cina. Organisasi-organisasi Islam menolak rancangan Ordonansi Perkawinan Tercatat.

Setelah tercapainya kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.  Undang-Undang tersebut ditetapkan di Linggarjati pada tanggal 21 Nopember 1946 oleh Presiden Soekarno dan Menteri Agama K.H. Fathurachman Kafrawi, serta diumumkan pada 26 Nopember 1946 oleh Sekretaris Negara, A.G. Pringgodigdo.

Undang-Undang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk semula hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Sedangkan berlakunya di daerah luar Jawa dan Madura ditetapkan dengan undang-undang lain. Delapan tahun kemudian dengan berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1954, Undang-Undang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.

Undang-Undang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk tahun 1946 disahkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang di masa itu menjalankan fungsi sebagai lembaga perwakilan rakyat tahun 1945 – 1950. Di dalam ketentuan pasal-pasalnya tidak mengatur substansi hukum materiil perkawinan. Pasal 1 Undang-Undang No 22 Tahun 1946 menetapkan bahwa nikah yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjukkan olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 juga diatur barangsiapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah  atau wakilnya, dihukum denda.  

Sebelum adanya Undang-Undang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, para pegawai yang mengurus nikah, talak dan rujuk menerima pembayaran dari masyarakat yang berurusan dalam pelayanan nikah. Tetapi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946, semua biaya masuk ke kas negara. Pegawai pencatat nikah menjadi pegawai negeri dengan gaji tetap.

Pemerintah melalui Surat Perintah Menteri Agama Nomor 1/Oktober 1950 ditanda-tangani oleh Menteri Agama K.H. A. Wahid Hasjim membentuk Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk. Panitia ditugaskan untuk meninjau semua peraturan mengenai perkawinan dan menyusun Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang berlaku untuk seluruh warga negara. Panitia diketuai oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan Gubernur Sumatera pertama setelah Indonesia merdeka.

Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk pada bulan Mei 1953 memutuskan perlunya menyusun beberapa rancangan undang-undang, yaitu rancangan undang-undang pokok yang berlaku secara umum, rancangan undang-undang organik menurut agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Katolik dan Protestan serta rancangan undang-undang untuk golongan yang tidak termasuk salah satu golongan agama tersebut.

Rancangan Undang-Undang Perkawinan Umat Islam adalah yang pertama selesai disusun sebagai hasil kerja Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk. RUU dimaksud disampaikan kepada Menteri Agama pada bulan April 1954. Sekitar tahun 1958 RUU Perkawinan Umat Islam diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Hasil Pemilu Pertama 1955. Dalam waktu bersamaan anggota DPR yang dimotori oleh Ny. Soemari mengajukan usul inisiatif RUU Perkawinan yang berlaku umum untuk seluruh warga negara Indonesia.          

Pembahasan atas 2 (dua) draft RUU Perkawinan di parlemen, yaitu RUU Perkawinan Umat Islam dari pemerintah dan RUU Perkawinan usul inisiatif DPR mendapat perhatian besar dari masyarakat, termasuk dari organisasi-organisasi Islam dan organisasi wanita.  Sebagian kecil kalangan Islam berpendapat bahwa hukum perkawinan Islam sudah cukup sempurna sehingga tidak perlu dibuat undang-undang tersendiri. Kalau pun harus dibentuk undang-undang, maka yang berwenang membicarakan hanyalah pemeluk-pemeluk agama Islam saja. Sebagian besar kalangan umat Islam berpendapat, meski hukum perkawinan Islam sudah sempurna, tetapi tetap diperlukan undang-undang yang mengikat dengan sanksi hukum yang nyata.

Sementara di sisi lain, golongan Kristen menyampaikan pendapat yang berbeda yaitu tidak mendukung pembentukan undang-undang perkawinan. Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Peraturan Pernikahan Umat Islam dianggap berada di luar kompetensi dan hak wewenang DPR dan pemerintah, sehingga rancangan undang-undang dimaksud tidak bisa diputuskan oleh lembaga negara seperti DPR. Perbedaan pendapat dan penolakan dari golongan Kristen menyebabkan pembahasan 2 (dua) RUU Perkawinan tidak bisa dilanjutkan dalam persidangan DPR di masa itu yang menganut sistem musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan. DPR mengabaikan realitas kebangsaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai pemeluk agama, sedangkan golongan terbesar atau mayoritas dari warga negara adalah pemeluk agama Islam. Menurut faktanya sebagian besar umat Islam membutuhkan undang-undang perkawinan.  

Sejarah mencatat bahwa perjuangan untuk melahirkan suatu undang-undang perkawinan yang aspiratif dari sisi keagamaan, terlepas dari perdebatan soal pilihan ”unifikasi hukum” atau ”diferensiasi hukum”, pada kenyataannya tidak mudah diwujudkan. Beberapa elemen masyarakat terutama umat Islam dan lembaga negara mendorong disusunnya undang-undang perkawinan. Konperensi BP4 Pusat (waktu itu nomenklaturnya Badan Penasihatan Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian) pada tahun 1962 dan 1973 mengeluarkan rekomendasi; mendesak supaya RUU Perkawinan segera diundangkan. Selain itu salah satu Ketetapan MPRS yaitu Tap Nomor XXVIII/MPRS/1966 menyatakan, ”supaya segera diadakan Undang-Undang Perkawinan.”

Pada tahun 1968 Menteri Agama K.H. Moh Dachlan mengajukan konsep RUU Perkawinan kepada DPR Gotong Royong. RUU Perkawinan yang diajukan Menteri Agama mendapat penolakan dari kalangan nonmuslim. Penolakan disampaikan dalam Memorandum Fraksi Katholik.  Sampai tahun 1973 Fraksi Katholik di DPR-RI tetap menolak RUU Perkawinan yang disusun sesuai hukum Islam. Konsep RUU Perkawinan khusus umat Islam yang disusun tahun 1967 dan RUU tahun 1968 yakni RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan yang di dalamnya mencakup materi yang diatur dalam Rancangan tahun 1967 akhirnya ditarik (dicabut) kembali oleh pemerintah.

Pada 16 Agustus 1973 Presiden Soeharto menyampaikan kepada DPR-RI konsep Rancangan Undang-Undang Perkawinan, yaitu RUU dari Menteri Kehakiman dan menarik (mencabut) kembali RUU Perkawinan Umat Islam dan RUU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perkawinan yang sebelumnya telah disampaikan kepada DPR. Konsep RUU Perkawinan yang disusun Pemerintah di awal Orde Baru bersifat nasional dan pada dasarnya berlaku untuk semua warga negara Indonesia.

Konsep RUU Perkawinan tahun 1973 tidak mengakomodir hukum agama khususnya Islam di bidang perkawinan sehingga ditolak oleh berbagai elemen umat Islam. Salah satu pasal kontroversial adalah draft pasal 10 ayat (2) berbunyi, ”Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan.” Dengan kata lain, perbedaan agama disamakan dengan perbedaan suku dan daerah, dalam arti tidak mempengaruhi sahnya suatu perkawinan. 

Maria Ulfah Subadio dalam bukunya yang disebut di awal tulisan ini, menggambarkan situasi pada waktu itu: ”Pada tanggal 27 September 1973 Pemerintah diwakili oleh Menteri Agama H. Mukti Ali dan Menteri Kehakiman Oemar Seno Adji, menyampaikan jawaban atas pandangan umum para anggota DPR mengenai RUU tentang Perkawinan itu. Gedung DPR penuh sesak dengan para peminat, terutama kaum wanita. Belum lama Menteri Agama H. Mukti Ali berbicara, terdengar teriakan-teriakan yang tidak menyetujuinya, sehingga Menteri Agama tidak dapat meneruskan pembicaraannya. Belum sampai giliran Menteri Kehakiman Oemar Seno Adji berbicara, pemuda-pemuda memasuki ruangan sidang DPR dengan teriakan Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Mereka menduduki kursi-kursi pimpinan DPR, sehingga pimpinan DPR meninggalkan ruang sidang dengan diikuti oleh para anggota DPR dan pengunjung lainnya.” 

Mukti Ali 7 Buya Hamka. Sumber foto: Tempo.co

Polemik dan penolakan RUU Perkawinan kian meluas dari kalangan umat Islam dan sulit dibendung. Substansi RUU dianggap membawa misi terselubung untuk melegalkan perkawinan campuran beda agama. Dalam RUU Perkawinan, seseorang boleh melangsungkan perkawinan di luar hukum agama yang dianutnya.

Pandangan dan tanggapan para tokoh senior umat Islam di masa itu, seperti Prof. Dr. Hamka, Mohammad Natsir, Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Dr. H. Anwar Harjono, SH, dan lain-lain mengisi halaman surat kabar dan majalah. Ormas-ormas Islam melancarkan upaya untuk mencegah disahkannya RUU Perkawinan yang dinilai  bertentangan dengan hukum perkawinan dalam agama Islam. Majalah Panji Masyarakat, Kiblat, Suara Muhammadiyah, Al Muslimun dan surat-surat KAMI, Abadi, Nusantara dan lain-lain, menurunkan ulasan dan artikel yang menyoroti RUU Perkawinan.     

Pembahasan RUU Perkawinan di DPR merupakan pembahasan RUU yang paling ”menghebohkan” di masa Orde Baru. Polemik seputar RUU Perkawinan memanaskan suhu politik nasional karena mengandung isu agama yang sangat sensitif. Pernyataan istri Presiden bahwa Undang-Undang Perkawinan yang menyeluruh akan ditetapkan oleh DPR pada tahun itu juga (1973), memunculkan tanda tanya besar di masyarakat. Dalam struktur negara, seorang istri pejabat tidak ada sangkut pautnya dengan urusan pemerintahan. Sebagian kalangan masyarakat mempertanyakan, kenapa Menteri Kehakiman yang mengajukan RUU Perkawinan kepada DPR, bukan Menteri Agama. Bukankah masalah perkawinan adalah pokok kehidupan keagamaan suatu bangsa?  

Polemik RUU Perkawinan adalah ”ujian” bagi Prof. Dr. H.A. Mukti Ali yang belum genap dua tahun menjabat Menteri Agama. Bertepatan dengan bulan suci Ramadhan Menteri Agama H.A. Mukti Ali berupaya menjembatani kepentingan umat Islam di satu sisi dan kepentingan pembentukan hukum nasional di sisi lain. H.A. Mukti Ali kemudian ditunjuk sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan RUU di DPR. H.A. Mukti Ali dianggap sebagai orang yang paling bertanggungjawab terhadap RUU Perkawinan. Padahal Departemen Agama tidak ikut dalam penyusunan konsep RUU yang kontroversial itu.

Menteri Agama H.A. Mukti Ali dan Kafrawi Ridwan selaku Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, permasalahan materi RUU Perkawinan berada dalam lingkup tugas Menteri Agama memikul beban politis untuk menggoalkan menjadi undang-undang dalam pembahasan dengan DPR. Di sisi lain, penolakan kalangan ulama dan umat Islam serta demonstrasi mahasiswa di gedung DPR menolak RUU Perkawinan dari hari ke hari makin memanas.

Ketua DPR/MPR-RI K.H. Dr. Idham Chalid menyarankan agar Kafrawi mencari dukungan yang kontra dengan menemui tokoh-tokoh ulama pesantren di Jawa Timur, yaitu K.H. Bisri Sjansuri dan K.H. Jusuf Hasjim. Para tokoh ulama Jawa Timur diharapkan menolak RUU Perkawinan. Kafrawi juga menemui tokoh ulama ibukota seperti Buya Hamka, K.H. Abdullah Sjafi’i dan lain-lain dengan maksud yang sama.

Melihat gejolak di masyarakat dan aksi demonstrasi di gedung DPR, ABRI tidak ingin terjadi kekacauan. Akhirnya konsep RUU Perkawinan yang lagi dibahas di DPR, atas perintah Presiden Soeharto disesuaikan dengan masukan dan kritik dari masyarakat. 

Dalam perkembangan lebih lanjut  – sebagaimana dikemukakan Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Menteri Agama Pertama, dalam buku Kasus R.U.U. Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen (1974) – akhirnya tercapainya persetujuan antara Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan Fraksi ABRI. Persetujuan ”konsensus” memuat lima hal yaitu:

  • hukum agama Islam dalam perkawinan tak dikurangi atau dirobah;
  • alat-alat pelaksananya (Peradilan Agama) tak dikurangi atau dirobah;
  • hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tak mungkin disesuaikan dalam RUU tersebut didrop (dihapuskan);
  • perceraian dan poligami perlu diatur untuk mencegah kesewenang-wenangan;
  • pasal dua menjadi dua ayat, yaitu: (a) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, (b) tiap-tiap perkawinan wajib dicatat demi ketertiban administrasi negara.    
HM Rasjidi, Menteri Agama RI pertama. Sumber foto: Republika.co.id

Kontroversi dan polemik RUU Perkawinan baik di DPR maupun di tengah masyarakat mencapai anti klimaks pada 22 Desember 1973. Presiden Soeharto diyakinkan akan bahaya yang bisa timbul terhadap persatuan dan kesatuan bangsa apabila RUU Perkawinan tetap dipaksakan tanpa menghiraukan aspirasi dan keberatan umat Islam.

Pada akhirnya, bertepatan dengan  Hari Ibu, RUU Perkawinan disetujui dalam sidang paripurna DPR-RI untuk disahkan menjadi Undang-Undang. RUU Perkawinan disahkan oleh Presiden Soeharto tanggal 2 Januari 1974 dan selanjutnya diundangkan di hari yang sama oleh Menteri/Sekretaris Negara RI Sudharmono, SH, menjadi Undang-Undang No 1 Tahun 1974 serta dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1.

Satu setengah tahun kemudian peraturan pelaksana Undang-Undang Perkawinan diterbitkan. Pada 1 April 1975 terbit Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mulai berlaku tanggal 1 Oktober 1975.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah undang-undang yang bersifat nasional dalam arti berlaku untuk semua warga negara. Undang-Undang Perkawinan memberikan keseimbangan hak dan kedudukan antara suami dan istri dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

Pokok-pokok pengaturan dalam Undang-Perkawinan meliputi: (a) tujuan perkawinan ialah membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, (b) perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, (c) perkawinan dilakukan antara seorang laki-laki dan seorang wanita. (d) perkawinan harus  didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, (e) batas umur kawin adalah 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita, (f) suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan di hadapan/diawasi pegawai pencatat nikah (untuk umat Islam berlaku Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, dan bagi yang lain berlaku Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 221/a Tahun 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Pencatatan Sipil), (g) untuk kepastian hukum, tiap-tiap perkawinan harus dicatat, (h) asas perkawinan secara umum monogami, (i) perceraian hanya dapat dilakukan atas keputusan pengadilan, dan (j) suami istri mempunyai hak yang sama dalam harta bersama.

Setelah empat dekade Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, keinginan beberapa kalangan untuk mengajukan perubahan muncul silih berganti. Perubahan menyeluruh atas Undang-Undang Perkawinan perlu mempertimbangkan manfaat dan mudharat yang lebih luas. Ongkos sosial dan risiko politik harus diperhitungkan secara cermat. Sekalipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memiliki kekurangan, tetapi belum tentu kita bisa menghasilkan suatu Undang-Undang Perkawinan sebaik yang sudah ada sekarang.  

Pasal-pasal tertentu dalam Undang-undang Perkawinan pernah digugat melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi oleh kelompok masyarakat dan perorangan, seperti ketentuan pasal yang dianggap menghalangi perkawinan beda agama, tetapi Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan.

Pengujian lainnya atas Undang-Undang Perkawinan di Mahkamah Konstitusi terjadi tahun 2010. Kasus ini menarik perhatian publik karena menyangkut nama publik figur artis dan mantan pejabat tinggi negara, yaitu uji materi terhadap ketentuan pasal 2 ayat (2) bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” dan  pasal 43 ayat (1) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Sedangkan  Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan telah jelas mengakui bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VII/2010 menyatakan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

          Pada tahun 2019 disahkan ketentuan perubahan atas ketentuan pasal 7 dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur perkawinan hanya diizinkan apabila pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Perubahan ketentuan pasal dimaksud adalah sebagai pelaksanaan atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ditetapkan bahwa perkawinan diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.

         Penambahan batas minimal usia perkawinan bagi wanita dimaksudkan untuk mencegah perkawinan anak atau perkawinan di bawah umur yang masih sering terjadi. Tetapi perubahan regulasi saja tidak cukup. Perlu ditindak-lanjuti dengan menggiatkan edukasi mengenai perkawinan dan pendidikan moral bagi generasi muda.        

          Dalam hubungan ini saya ingin menggaris-bawahi peran Kementerian Agama sebagai institusi ”penjaga gawang” Undang-Undang Perkawinan dari masa ke masa. Kementerian Agama dihadapkan dengan berbagai situasi dan tantangan yang tidak sederhana. Oleh karena itu aparatur Kementerian Agama dan para penghulu KUA tidak boleh tenggelam dalam persoalan teknis dan administratif layanan nikah semata yang tak pernah habisnya. Dewasa ini, cukup banyak isu-isu strategis dan mendasar sekitar pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dalam konstelasi hukum nasional dan realitas kontemporer yang memerlukan penyikapan secara cerdas, kritis dan antisipatif.

        Setelah lebih dari empat dekade Undang-Undang Perkawinan, permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia di antaranya adalah tingginya angka perceraian. Permasalahannya bukan pada Undang-Undang Perkawinan, tetapi faktor manusia yang menjalani perkawinan dan perubahan dalam masyarakat yang mempengaruhi ketahanan keluarga.

          Penyebab konflik rumah tangga dan perceraian dewasa ini memiliki dimensi yang lebih kompleks dibanding di masa lampau. Untuk itu program bimbingan perkawinan dan penasihatan perkawinan (marriage counseling) pada pranikah maupun pasca nikah serta revitalisasi peran Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) merupakan langkah penting dan strategis, di samping upaya lainnya.

Semoga Allah SWT memberkahi semua perjuangan di masa lalu dan melindungi segenap keluarga Indonesia dalam menghadapi masa depan.

Oleh: M. Fuad Nasar – Peminat sejarah Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here