Menjalani kehidupan yang penuh dengan kungkungan peraturan, penolakan, serta konflik batin dan perkara filosofis lainnya menjadikan R.A. Kartini memiliki daya tarik tersendiri untuk dibahas. Selain dipuji sebagai pahlawan emansipasi wanita, tidak sedikit pula pihak yang mengkritik Kartini karena dianggap sebagai pemihak kaum etis (liberal-pen) dan cikal-bakal pembawa gerakan feminis di Indonesia. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengulas secara singkat bagaimana rekonstruksi pemikiran Kartini selama hidupnya, di mana Kartini berdiri, dan apa saja kontribusinya bagi Indonesia.

IHWAL HIDUP KARTINI

Merupakan putri dari Bupati Jepara R.M Adipati Ario Sosroningrat, Kartini lahir pada 21 April 1879 di Kabupaten Mayong, Jepara, Jawa Tengah. Memiliki status sebagai putri dari priyai menjadikan Kartini kecil mendapat pendidikan yang tebilang layak. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya (hingga 1892 atau usia 12 tahun-pen) di Europeesche Lagere School atau Sekolah Dasar Belanda di Jepara, setelah itu Kartini harus dipingit sebagaimana perempuan lainnya. Empat tahun lamanya Kartini tidak diizinkan keluar, namun sahabat-sahabat Eropa Kartini terus berusaha agar Kartini mendapat kebebasannya. Di tahun 1895 (usia 16 tahun-pen) Kartini diizinkan keluar oleh orangtuanya, meskipun hanya sesaat. Barulah di tahun 1898 Kartini benar-benar bebas dari pingitan.[1]

Dari pengamatannya akan lingkungan sekitar, Kartini sudah memiliki keinginan untuk menjadi perintis jalan akan kebebasan dan kehormatan kaum perempuan. Kartini sangat ingin mengubah kedudukan perempuan di Indonesia. Kartini juga ingin memberi sentuhan “modern” pada beberapa tradisi Jawa yang dianggapnya kolot.

Kartini menyadari bahwa sebagai turunan keluarga terkemuka, ia memiliki keleluasaan untuk dapat bertindak lebih dibanding teman-temannya pada saat itu. Sebagian besar waktu Kartini dihabiskan untuk surat-menyurat dan berinteraksi dengan sahabat pena Eropanya sehingga beberapa pemikiran ala Eropa teradopsi dan sedikit-banyak mewarnai cita-cita Kartini muda.

PENVRIENDEN[2]

Perkenalan Kartini dengan Marie Ovink-Soer (Istri Asisten Residen Jepara, Ovink-pen) terjadi sesaat sebelum Kartini memasuki masa pingitan. Kartini dan adik-adiknya memanggil Marie dengan sebutan Moedertje (ibu tersayang-pen)[3]. Kedekatan pun tercipta dari obrolan hangat serta kegiatan harian yang dilakukan bersama. Marie Ovink adalah pengarang novel remaja Belanda yang juga merupakan tokoh feminis. Pada saat itu gerakan feminis memang sedang naik daun di Belanda dan Eropa. [4]

Sebelum dipingit, Marie berhasil membujuk ayah Kartini untuk berlangganan majalah  De Hollandshe Lelie, majalah yang berisi artikel tentang pemikiran wanita di Belanda. Di tahun 1898, Kartini mengikuti Pameran Nasional Karya Perempuan di Den Haag, Belanda, dengan mengirimkan 21 karya khas Jepara. Diantaranya adalah seni ukir, lukisan, dan batik. Ia juga menyertakan leaflet yang berisikan seluk-beluk kesenian Jawa tersebut, serta cara pembuatannya.[5]

Roekmini, Kartini dan Kardinah. Sumber foto KITLV Digital Media Library (http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced/start/5?q_searchfield=kartini)

Tentu tak sedikit orang Barat yang mengagumi karya batik, juga tak sedikit di antara mereka yang terkagum-kagum pada kualitas tulisan bahasa Belanda pada leaflet tersebut. H Bouman mengatakan, “….narasi itu ditulis dalam bahasa Belanda yang sempurna.” G.P. Rouffaer dan H.H. Juynboll, pun mengatakan kalimat senada “…Tak dapat orang mengabaikan saja untuk tidak mengagumi bahasa Belandanya (Kartini-pen) yang istimewa.”[6]

Di tahun 1899, Kartini berinisiatif mengirim sebuah surat permintaan untuk dicarikan sahabat pena. Surat permintaan Kartini tersebut kemudian dimuat dalam majalah De Hollandshe Lelie pada 15 Maret 1899. Redaksi iklan berbunyi sebagai berikut:

“Seorang perempuan belia di Jawa yang terpelajar, gemar berpikir dan memiliki hati yang lembut, akan sangat senang bila mendapat teman untuk berkorespondensi. Ia ingin berdiskusi dan bertukar gagasan dengan perempuan yang juga terpelajar. Bagi yang berminat, akan kami (tim redaksi-pen) kirimkan alamatnya” [7]

Iklan tersebut dengan cepat dijawab oleh Estelle “Stella” Zeehandelaar, seorang aktivis feminis turunan Yahudi-Belanda, berusia lima tahun lebih tua dari Kartini[8]. Korespondensi Kartini dan Stella berawal pada 25 Mei 1899. Sejak saat itu, dimulailah korespondensi panjang dan intens antara keduanya, walaupun sebenarnya Stella dan Kartini tidak pernah bertemu dalam kehidupan nyata.[9]

Dari Stella, Kartini akhirnya dapat berkenalan dengan banyak tokoh Belanda, sebut saja Jacques Henrij Abendanon dan istrinya-Rosa Manuela Abendanon-Mandri, serta anaknya-Tn. E.C. Abendanon yang merupakan tokoh politik etis Belanda, Tuan Prof. Dr. G.K. Anton dan istrinya, Dr. Adriani, hingga Tuan dan Nyonya van-Kol.

Isi surat Kartini dan sahabat-sahabat penanya membahas tentang banyak hal, seperti isu perjodohan dalam tradisi Jawa, poligami, kemiskinan pribumi, agama, nasib perempuan Jawa, kebijakan politik kolonial, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan tentang bahasa Belanda sebagai pembuka pintu pengetahuan.[10] Kurang lebih 115 korespondensi Kartini dibukukan oleh J.H. Abendanon dan diterbitkan pertama kali menjadi buku berjudul Door Duisternis Tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya-pen) pada tahun 1911 yang kemudian menjadi sangat terkenal. Namun, selain itu, terdapat pula buku berjudul Kartini- The Complete Writings 1898–1904 karya Joost Coté yang menyajikan korespondensi Kartini dengan para sahabat penanya dalam versi yang lebih lengkap dan tidak kalah menarik.

Buku “Door Duisternis Tot Licht.” Sumber foto: Catawiki. nl

MEMANDANG KARTINI DARI BERBAGAI ASPEK

Kartini dan Pendidikan: Perempuan Berhak Cerdas

Keluarga besar Kartini, Condronegoro merupakan salah satu dari tujuh keluarga bangsawan yang berpengaruh di Pasisir. Sejak abad ke-19, keluarga Condronegoro ditunjuk oleh pihak Belanda untuk memegang jabatan utama dalam tatanan administratif daerah.[11] Kakek, paman, kakak, hingga suami Kartini hampir seluruh anggota keluarga besar (laki-laki-pen) Kartini mampu berbahasa Belanda dan memperoleh pendidikan dari Barat yang terbilang mewah jika dibandingkan dengan masyarakat pribumi lainnya. Dengan latar belakang itu, ditambah dengan perkenalannya dengan sastra feminis Barat, menjadikan Kartini semakin gigih dalam mewujudkan kesetaraan pendidikan bagi perempuan.

Pada tahun 1900 Kartini mulai menjajaki diskusi dan negosiasi dengan cukup banyak pejabat kolonial, diantaranya J.H. Abendanon, Henri van Kol, dan Walikota Semarang pada saat itu, Piet Sijthoff. Sijthoff adalah orang yang bertugas mengurus akses pendidikan bahasa Belanda untuk pria Jawa terpilih. Dia juga anggota Genootschap Bataviaasch, organisasi yang bertugas untuk menerbitkan laporan tentang kegiatan eksplorasi Hindia (Indonesia-pen). Sebagai otoritas kolonial regional resmi, Sijthoff diharuskan memberikan nota pendukung yang diperlukan untuk menyertai aplikasi pengajuan studi ke Belanda.[12]

J.H.C. Abendanon. Sumber foto: wikipedia

Perjalanan panjang aplikasi Kartini dan saudaranya berujung pada memorandum yang dikeluarkan oleh Sijthoff. Pada dasarnya, Sijthoff sepakat dengan Kartini. Dia setuju bahwa pendidikan secara umum akan berkembang apabila pendidikan perempuannya telah baik.

            “…Memang benar, pendidikan suatu bangsa harus melibatkan perempuan terdidik sebagai akar pendidik awal agar pendidikan yang diterima anak sejak kecil terjamin kualitasnya, namun saya tidak menyarankanmu (Kartini-pen) untuk pergi ke Belanda, di sana akan banyak hal yang mengejutkan, dari segi budaya, dll, saya khawatir kamu akan kehilangan arah dan kedamaian seperti yang dirasakan di Indonesia…”[13]

Akhirnya, di tahun 1903, keputusan akhir menyebutkan bahwa Kartini tidak dapat melanjutkan studi ke Belanda, melainkan mengikuti pelatihan guru di Batavia[14]. Namun, belum sempat berangkat mengikuti pelatihan, Kartini lebih dulu menerima lamaran dari R.A. Djojodiningrat,[15] seorang Bupati Rembang beranak enam. Alih-alih berangkat ke Batavia, Kartini mendirikan sekolah khusus perempuan di Rembang.

Salah satu alasan Kartini mendirikan sekolah khusus perempuan adalah kasus kebijakan candu pemerintah Hindia Belanda yang memonopoli perdagangan opium. Kemarau dan gagal panen yang memiskinkan rakyat Jawa makin menambah penderitaan karena mereka kecanduan opium.

Dalam korespondensinya dengan Stella, ia mengatakan “Bagi yang punya uang tak jadi masalah, bagi yang tidak, mereka akan mencuri, merampok, dan membunuh”[16] Dua tahun kemudian, soal candu ini kemudian diulas kembali ketika bersurat dengan Tn. Abendanon, ia yang ketika itu sudah menjadi istri R.A Djojodiningrat, menceritakan niat suaminya yang menolak monopoli opium dan menawarkan diri membuat kebijakan lokal di Rembang untuk mengatasi orang kecanduan.[17]

Lain dari suaminya, Kartini punya cara sendiri, ia menyerukan pendidikan, agar orang tak terjerumus pada candu dan kemiskinan. Lebih spesifik, ia menyerukan pendidikan kepada kaum perempuan. Menurut Kartini, ekonomi masyarakat sangat bergantung pada bagaimana perempuan mengatur keuangan dalam rumah tangga.[18]

Dalam mendirikan sekolahnya, Kartini bersama kedua adiknya, mengadopsi cara pengajaran Belanda. Contoh metode yang dicuplik Kartini untuk pembelajaran di sekolahnya adalah metode Froebelian.[19] Froebelian adalah metode pembelajaran yang ditemukan dan dikembangkan oleh Friedrich Froebel. Froebel menyimpulkan bahwa bermain bukanlah sekadar perilaku iseng, melainkan suatu keharusan biologis untuk menemukan cara-cara kerja. Aktivitas yang menyenangkan akan menuntun anak menciptakan makna dari pengalaman mereka.[20]

Selain itu, Kartini juga mencontoh konsep yang digunakan Ki Hadjar Dewantara dalam mendirikan Taman Siswa. Menurut Ki Hadjar Dewantara, hakikat pendidikan adalah sebagai usaha untuk menginternalisasikan nilai-nilai budaya ke dalam diri anak sehingga anak menjadi manusia yang utuh, baik jiwa maupun rohaninya.

Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara disebut dengan konsep pendidikan “among”. Kemampuan anak untuk mengatasi persoalan-persoalan dilatih dengan memberikan kebebasan berpikir seluas-luasnya, namun dengan tetap memegang teguh nilai kebudayaan.[21] Dalam hal ini, Ki Hajar Dewantara menggunakan kebudayaan asli Indonesia sedangkan nilai-nilai dari Barat diambil secara selektif adaptatif.[22] Meskipun perjalanan untuk mendirikan sekolah khusus perempuan tidak mudah, dan karena keterbatasan usia, Kartini pada akhirnya hanya dapat merasakan suasana kelas dalam waktu singkat. Berikutnya: Kekecewaan Pada Islam?

Oleh: Ilma Asharina – Peserta kelas literasi “Memaknai Indonesia” Kerjasama JIB dan CADIK


[1] Pane Armijn, 2008, Habis Gelap Terbitlah Terang, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 5

[2] Penvrienden (Dutch), arti: sahabat pena.

[3] Chudori LS, 2017, Gelap-Terang Hidup Kartini. Lihat Seri Buku Saku Tempo, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hlm. 15.

[4] Kisah hidup Kartini bertepatan dengan Gelombang Pertama Feminisme (1848-1920) Lihat Amatullah R, 2017, Kartini dan Muslimah dalam Rahim Sejarah: Menyingkap Peran Muslimah dalam Rentang Sejarah Kemerdekaan, Solo: Indiva, hlm. 116-22 dan artikel The Waves of  Feminism, and Why People Keep Fighting Over Them, Explained pada laman https://www.vox.com/2018/3/20/16955588/feminism-waves-explained-first-second-third-fourth

[5] Diakses dari https://indonesia.go.id/ragam/budaya/sosial/sisi-lain-kartini pada 8 Februari pukul 09.00 WIB.

[6] Ibid.

[7] Coté J., 2014, Kartini- The Complete Writings 1898–1904, Clayton: Monash University Publishing, hlm. 65.

[8] Ibid, hlm. 7, 16.

[9] Pane Armijn, 2008, Habis Gelap Terbitlah Terang, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 33.

[10] Amatullah R, 2017, Kartini dan Muslimah dalam Rahim Sejarah: Menyingkap Peran Muslimah dalam Rentang Sejarah Kemerdekaan, Solo: Indiva, hlm. 72-73.

[11] Daerah kepemiminan keluarga Condronegoro meliputi Pati, Kudus, Demak, Brebes, Jepara, Semarang. Lihat Coté J., 2014, Kartini- The Complete Writings 1898–1904, Clayton: Monash University Publishing, hlm. 48.

[12] Coté J., 2014, Kartini- The Complete Writings 1898–1904, Clayton: Monash University Publishing, hlm. 32.

[13] Ibid, hlm. 33.

[14] Ibid, hlm. 4-7.

[15] Ibid, hlm. 7.

[16] Tulisan Kartini pada 11 Oktober 1902 yang dibukukan dalam Aku Mau… Feminisme dan Nasionalisme. Lihat Chudori LS, 2017, Gelap-Terang Hidup Kartini dalamSeri Buku Saku Tempo, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hlm. 24

[17] Ibid, hlm. 25.

[18] Ibid.

[19] Coté J., 2014, Kartini- The Complete Writings 1898–1904, Clayton: Monash University Publishing, hlm. 47

[20] https://www.froebelgifts.com/method.htm diakses pada Sabtu, 08 Februari 2020 pukul 08.00 WIB

[21] Suparlan H., Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia, Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 1, Februari 2015. hlm 1.

[22] Coté J., 2014, Kartini- The Complete Writings 1898–1904, Clayton: Monash University Publishing, hlm. 11.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here