Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki banyak lembaga pendidikan yang khas dengan nuansa Islam. Dari sekian banyak lembaga pendidikan yang khas itu, pesantren adalah yang paling terkenal dan terdengar akrab di telinga kita. Sejarah panjang perjuangan lahirnya Indonesia pun, tidak bisa dilepaskan dari peran santri, sebutan bagi mereka yang tinggal di pesantren. Pesantren berarti pesantrian, yaitu tempat berdiamnya para santri yang bertujuan untuk melaksanakan proses pendidikan.

Meski sangat familiar di lingkungan Umat Islam, istilah santri dan pesantren itu sendiri bukan berasal dari bahasa Arab. Lalu, dari mana istilah ini berasal? Bagaimana istilah yang tadinya bukan milik Umat Islam ini, menjadi sangat identik dan berpindah kepemilikan kepada Umat Islam? Berikut penjelasan ringkasnya.

Istilah santri, menurut C.C. Berg, seorang Professor di Universiteit Leiden berasal dari bahasa Sanskerta,

            “In the pesantren (seminaries), whence originated the Javanese Moslem Jurists, we may see a continuation of the old Javanese or Hindu-Javanese mandala’s (convents), and neither the life of santri’s (theological students), whose name is a deformation of the Indian Çastri,”who knows the (Hindu) holy books,” nor the social position of  these theological schools had been considerably changed in Java by four centuries of Islam.”[1]

Artinya: “Di pesantren, tempat lahirnya para ahli hukum Islam di Jawa, kita dapat melihat kelanjutan dari mandala (biara) Jawa Kuno atau Hindu Jawa[2], dan juga kehidupan santri (para pelajar teologi), yang mana istilah ini adalah deformasi/perubahan bentuk dari kata Çastri (dibaca shastri-pen) yang berarti “yang mengetahui kitab suci (Hindu),” pun posisi sosial dari pesantren-pesantren ini telah banyak berubah pada empat abad Islam di Jawa.

            Selanjutnya, istilah pesantren adalah isim makan/the adverb of place/kata keterangan tempat dari santri. Asalanya adalah pe-santri-an. Dalam Brill Encyclopaedia of Islam[3], pesantren didefinisikan sebagai berikut.

            “Javanese “santri-place”, the educational institution of Indonesia where students (santri) study classical Islamic subjects and pursue an orthoprax   communal life. Pondok (“hut, cottage”; cf. Ar.funduk) is an alternative term, meaning “lodgings” and, by extension, “Islamic religious boarding school”.  Pesantren is used most often in Indonesia (especially Java), whereas pondok is the preferred term in Malaysia and the Patani region of southern Thailand. Sometimes the two terms are combined in Indonesia, when the speaker means to make clear that a traditional Islamic boarding school, a “pondok pesantren”, and not merely a religious day school (such as the more modern madrasa), is meant.

Santri Pesantren Denayar tahun 1970. Sumber foto: Karel Steenbrink, KITLV Digital Media Library (http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced/start/13?q_searchfield=pesantren)

Artinya, “Tempat-santri di Jawa”, lembaga pendidikan di Indonesia dimana santrinya mengkaji warisan klasik dalam Islam  (turats) dan mengejar kehidupan komunal yang ortopraks (tindakan/pekerjaan yang benar). Istilah alternatifnya adalah “pondok” (hut/cottage dalam Bahasa Inggris) yang berasal dari Bahasa Arab funduk yang berarti “penginapan” dan, dengan perluasan makna menajdi “pondok pesantren”. Istilah pesantren sangat sering digunakan di Indonesia, (khususnya di Jawa) sedangkan “pondok” adalah istilah yang lebih disukai di Malaysia dan Patani (sebuah wilayah di Thailand Selatan). terkadang kedua istilah ini digabungkan dalam Bahasa Indonesia untuk memperjelas pesantren tradisional, sebuah “pondok pesantren” tidak dimaksudkan sebagai hari pelajaran agama di sekolah, seperti misalnya di madrasah modern.”

            Dari kedua sumber tersebut, kita dapat melihat bahwa memang, pada dasarnya istilah santri dan pesantren itu bukan dari bahasa Arab atau bahasa Islam lainnya. Lalu mengapa bisa “menjadi milik” Umat Islam?

Persoalan ini, sejatinya adalah buah dari proses Islamisasi. Menurut S.M.N. Al-Attas[4], proses Islamisasi bahasa adalah proses yang paling awal terjadi seiring diturunkannya Wahyu melalui Kitab al-Quran. Begitu pun di Kepulauan Melayu-Indonesia, proses Islamisasi sangat didasari oleh perubahan konsep dalam istilah-istilah kunci. Maka, kita mengenal banyak istilah dalam Bahasa Sanskerta, misalnya puasa lebih melekat kepada Umat Islam  karena konsep dalam istilah ini telah berubah, yang awalnya adalah upawasa[5] , sebuah ritual dalam ajaran Hindu yang menghindari makan dan minum untuk melaksanakan ajaran samsara (merasakan kesengsaraan) dirubah  konsepnya menjadi shaum dalam syariat Islam.

Untuk lebih mendalami proses Islamisasi khususnya di Kepulauan Melayu-Indonesia, penulis menyarankan agar secara khusus kita mengkaji buku Preliminary Statement On A General Theory Of The Islamization Of The Malay Indonesian Archipelago karya S.M.N. Al-Attas. WaLlaahu a’lam bi al-shawab.

Oleh: Fakhri Nurzaman – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa & Perpustakaan Rumah Mulia


[1] Lihat artikel “Indonesian Islam” oleh C.C. Berg dalam Gibb, H.A.R (ed.), Wither Islam? A Survey of Modern Movemets in the Moslem World. London: Victor Gollancz LTD. 1932. Halaman 257.

[2] Penulis sendiri, tidak sependapat dengan anggapan C.C. Berg bahwa para ahli hukum Islam (fuqaha) adalah kelanjutan dari tradisi mandala/biara dalam Hindu-Jawa, karena tentu proses untuk mencapai tahap tersebut sama sekali tidak sama dengan proses untuk menjadi seorang fuqaha dalam Islam. Juga dalam dimensi tempat yang berlainan dengan waktu yang mungkin bersamaan (dengan masa kerajaan Hindu pra-Islam di Indonesia, istilah fuqaha sudah ada sejak Islam diturunkan di Arab, sebelum masuk ke wilayah lain. Namun hal tersebut tidak akan diuraikan di sini. Pengutipan tersebut pun hanya dimaksudkan untuk rujukan dalam penelusuran istilah santri.

[3] The Encyclopaedia of Islam, New Edition, Volume VIII, Leiden: E.J. Brill, 1995. Halaman 296.

[4] Al-Attas, Preliminary Statement On A General Theory Of The Islamization Of The Malay Indonesian Archipelago, Second Impression, Kuala Lumpur: Ta’dib International, 2018.

[5] El-MArzdedeq, A.D, Parasit Aqidah; Selintas Perkembangan Sisa-sisa Agama Kultur dan Pengaruhnya Terhadap Islam di Indonesia. Bandung: Sygma Examedia Arkanleema, 2013.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here