“Tahun 1859, pemerintah kolonial menelurkan ordonansi haji. Selain harus mendapatkan izin untuk berangkat haji, aturan baru juga ditambahkan, diantaranya; harus melaporkan kepulangannya ke penguasa setempat dan harus mengikuti ujian haji. Jika dianggap lulus, maka jamaah boleh memakai pakaian haji dan diberikan sertifikat haji.”
***
Hari Raya Idul Adha kembali menghampiri. Istimewanya hari raya ini menjadi magnet berjuta-juta manusia dari berbagai penjuru dunia mengarungi dunia untuk menuju ke satu tempat, yaitu tanah suci. Tahun lalu saja ada 221 ribu jamaah haji dari Indonesia. Menduduki urutan pertama dalam jumlah jemaah yang berangkat, ibadah haji menjadi begitu spesial bagi umat Islam di tanah air. Bukan saja karena jaraknya yang hampir delapan ribu kilometer, tetapi ibadah haji memiliki pengaruh besar bagi umat Islam di negeri kita.
Sejak ratusan tahun lalu, muslim di nusantara menjalani perjalanan yang bukan saja melelahkan tetapi juga menembus bahaya untuk mencapai tanah suci. Meski demikian, jamaah haji dari nusantara memang terus memenuhi tanah suci dari dari masa ke masa. Jumlah ini semakin bertambah saat munculnya kapal uap yang lebih mempersingkat perjalanan haji dari tanah air. Di lain sisi pemerintah kolonial melihat para jamaah haji sebagai satu ganjalan kelanggengan mereka mendirikan kekuasaan di tanah air.
Sudah sejak lama, para haji ini menjadi ganjalan yang berarti. Para penguasa di nusantara merasa legitimasi dari tanah suci penting bagi kekuasaan mereka. Sultan dari Banten (1626-1656) misalnya, mendapatkan gelar Sultan Abu al-Mafakhir dari Penguasa Mekkah, Raja Syarif Jahed. Hubungan ini tak sekedar politik simbolik, tetapi dijalin dengan berbagai faktor, misalnya transmisi keilmuan.
Cucu Sang Sultan, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683) menjalin hubungan baik dengan salah satu ulama besar, Syaikh Yusuf al-Makassari. Sepulang dari tanah suci, Syaikh Yusuf menjadi mufti kesultanan Banten. Kisah selanjutnya kita mengerti, Sultan Ageng Tirtayasa dan Syaikh Yusuf bergeriliya melawan penjajah Belanda yang bersekongkol dengan putra Sultan.
Para ulama dan haji ini berjejaring, menyebarkan ilmu dan mengabarkan keadaan tanah air pada umat Islam di tanah suci. Di sana mereka juga menyerap ide-ide baru dari dunia Islam. Para jemaah haji nusantara mengabarkan keadaan tanah air (nusantara) yang sedang dihimpit penjajahan. Hal ini membuat para ulama nusantara di sana bereaksi. Penjajahan ditanggapi oleh ulama dengan mengobarkan jihad dari ujung sana.
Ulama besar nusantara yang menetap di tanah suci Syaikh Abdushomad Al-Palimbani misalnya, menulis kitab jihad Nasihah al-Muslimin wa Tazkirah al-Mu’minin fi Fada’il al-Jihad fi Sabil Allah wa Karamah al-Mujahidin. Ia juga mengirim surat pada raja di Jawa agar berjihad melawan penjajahan. Para haji yang kembali dari tanah suci jug menjadi motor berbagai pergolakan dan perlawanan terhadap kolonialisme di tanah air.
Menjelang awal abad ke-20, ide-ide pan-Islam yang digerakkan oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Syaikh Rashid Ridha menjalar ke tanah air, dibawa oleh jemaah haji dari tanah air. Ide-ide Pan-Islam pun menakutkan pemerintah kolonial. Ketakutan akan gerakan politik Islam ini tercermin dari bayangan masyarakat Eropa di Hindia-Belanda (kelak Indonesia) dengan penggambaran haji yang menyeramkan. Berbaju putih dan bersurban putih identik dengan dalang pemberontakan.
Pemerintah kolonial bukannya tak bertindak atas pengaruh para haji ini. Tahun 1825 mereka menetapkan peraturan untuk membayar 110 gulden sebagai paspor haji. Jika tidak memiliki paspor haji, maka akan didenda 1000 gulden. Jumlah yang sangat besar pada masa itu. Tahun 1859, pemerintah kolonial menelurkan ordonansi haji. Selain harus mendapatkan izin untuk berangkat haji, aturan baru juga ditambahkan, diantaranya; harus melaporkan kepulangannya ke penguasa setempat dan harus mengikuti ujian haji. Jika dianggap lulus, maka jamaah boleh memakai pakaian haji dan diberikan sertifikat haji. (RIna Farihatul Jannah : 2016)
Aturan konyol ini menandakan bahwa pemerintah kolonial pada saat itu memang tak memiliki pengetahuan yang memadai tentang agama Islam dan kebiasaan penganutnya di Hindia Belanda. Fase kebutaan tentang Islam ini berakhir setelah hadirnya seorang figur orientalis yang kontroversial, yaitu Christian Snouck Hurgronje. Kehadiran Hurgronje bukan saja mengubah cara pandang pemerintah kolonial tentang Islam, tetapi juga mengubah pendekatan kolonialisme Belanda yang masih diwariskan hingga kini, yaitu pemisahan Islam dengan politik.
Lahir di Oosterhout, Belanda tahun 1857, ia hidup dalam lautan akademik. Ia menjadi mahasiswa di Leiden, kemudian mendapat gelar doktoralnya tahun 1880 dengan judul Het Mekaansche Fest (Perayaan Mekah). Pengetahuannya tentang Mekkah semakin bertambah setelah berkunjung ke Mekkah pada tahun 1884-1885. (Dietrich Jung: 2010)
Larangan bagi non-muslim untuk masuk ke tanah suci diakalinya dengan (berpura-pura) masuk agama Islam. Di sana ia berinteraksi dengan berbagai figur, dari ulama hingga jamaah haji, termasuk para haji dari nusantara. Jejaring inilah yang kemudian membantunya dalam pekerjaannya sebagai penasehat resmi pemerintah kolonial, termasuk ketika membantu pemerintah kolonial Belanda menaklukkan perlawanan Aceh yang telah berlangsung hingga 40 tahun.
Pandangan Snouck Hurgronje bisa jadi dianggap aneh bagi para pejabat kolonial, terutama terkait persoalan haji. Jika para pejabat kolonial menganggap jamaah haji adalah para pembuat masalah, maka Snouck Hurgronje berpandangan sebaliknya. Ia menentang berbagai bentuk peraturan yang menyulitkan ibadah haji muslim nusantara. Ia mengkritik peraturan pemerintah kolonial yang menerapkan aturan finansial bagi para jemaah haji. Menurutnya, perilaku pemerintah mempersulit itu dilakukan karena mereka tak mengenal dekat masyarakat pribumi.
“ Barang siapa mengenai penduduk pribumi dari dekat, terutama penduduk Jawa, dengan segala tingkah lakunya, tidak akan menaruh ilusi sedikit pun, bahkan mengenai akibat dari pengawasan terhadap uang perjalanan yang benar-benar keras, yang tidak mungkin dilaksanakan dengan sarana yang ada.” (Snouck Hugronje: 1993)
Aturan-aturan pemerintah kolonial yang mempersulit muslim untuk naik haji menurut Snouck Hurgronje hanya akan menimbulkan kecurigaan masyarakat Muslim. Misalnya, ketika pemerintah kolonial hendak melarang berangkat jemaah haji karena ada wabah di tanah suci, maka Snouck Hurgronje menganggap;
“Semua nasihat dan peringatan justru hanya berakibat lebih membangkitkan kegiatan naik haji, kecurigaan terhadap maksud-maksud pemerintah, atau bahkan melecehkan para pejabat Pemerintah Daerah yang menasihati,” tegas Snouck Hurgronje. (Snouck Hugronje: 1993)
Nyatanya menurut Snouck Hurgronje, segala aturan pemerintah yang menyulitkan tentang haji hanya berakibat dicemoohnya pemerintah kolonial oleh masyarakat.
“Maka saya berani menganjurkan dengan sungguh-sungguh agar mereka yang mau naik haji, jika tidak ada keberatan khusus lainnya yang menghalangi niatnya, hendaknya diberi paspor yang mereka minta tanpa bicara panjang lebar, seperti terhadap orang-orang yang bepergian lainnya,” tukas orientalis tersebut. (Snouck Hugronje: 1993)
Bagi Snouck Hurgronje, politik haji pemerintah kolonial yang disebutnya politik burung unta tersebut justru berbahaya jika semakin represif terhadap kaum ‘Mohammedan’ (demikian Snouck Hurgronje menyebut kaum muslimin). Aksi represif ini justru akan semakin membuat alasan untuk menentang kehadiran Belanda, terutama Turki Usmani yang semakin gencar mengibarkan bendera kekhalifahannya di negara-negara muslim yang terjajah. Snouck menuding Turki Usmani memanfaatkan jemaah yang ada di tanah suci untuk melakukan propaganda mereka. Terutama kepada,
“…orang-orang terjajah, dan agar dari kalangan mereka dikerahkan prajurit untuk perjuangan suci bagi Islam, maka ketika itu demi kepentingan politik Hindia Belanda saya anggap menjadi tindakan yang harus dilakukan, agar perjalanan haji dilarang dan diberantas keras, selama adanya propaganda fanatik yang berbahaya, yang menganggap kota suci tersebut sebagai medan gerakan yang paling memberikan harapan. Masih juga mengherankan bagi saya, bahwa Pemerintah Jajahan ketika itu tidak mengeluarkan surat keputusan yang bertujuan demikian,” tukas Snouck Hurgronje. (Snouck Hurgronje: 1985)
Disinilah kita dapat melihat ‘politik haji’ Snouck Hurgronje. Kepada pemerintah kolonial ia meminta agar jemaah haji jangan dipersulit apalagi dilarang. Namun jika jemaah tersebut terindikasi membawa pesan politik perlawanan, maka ia meminta agar diberantas keras. Terlebih jika jemaah tersebut membawa pesan-pesan jihad.
Ketakutan Snouck Hurgronje pada politik Islam lebih-lebih pada ajaran jihad dalam agama Islam berdasarkan pengamatannya bahwa ajaran inilah yang membuat kaum pribumi (umat Islam) menentang terus menerus kehadiran pemerintah kolonial Belanda. Hal itu dikemukakannya ketika ia melihat perlawanan rakyat Aceh terhadap kehadiran Belanda di sana. Menurutnya,
“Semua pihak harus mengakui bahwa doktrin jihad menimbulkan hambatan yang serius bagi pembinaan serupa itu. Kendatipun kaum Muslimin yang menyadari kenyataan duniawi dan menganut peradaban modern, mau mengabaikan adanya doktrin jihad atau menampilkannya sebagai hal yang tidak dapat ditetapkan di negeri bersangkutan, para tokoh hukum jihad terus saja mengajarkan kepada rakyat banyak bahwa senjata mereka hanya boleh tersimpan sepanjang tidak ada harapan memetik sukses dalam perang melawan kaum kafir. Dalam situasi serupa ini tidak mungkin mencapai perdamaian sejati, melainkan sekedar gencatan senjata yang berkepfinjangan.” (Snouck Hurgronje: 1985)
Bagi Hurgronje, tak ada cara lain dalam menaklukkan umat Islam kecuali dengan jalan menghapus ajaran jihad dan menundukkan politik Islam ke dalam politik modern (barat) yang sekular.
“Cara menginterpretasikan doktrin jihad oleh para guru agama dan dianut secara kurang sistematis oleh rakyat banyak, merupakan indikasi yang cukup baik tentang kemajuan Islam ke arah tersebut yang dipaksakan dengan dorongan lebih kuat oleh kondisi politik jaman modern. Pada akhirnya doktrin Islam akan tunduk sama sekali pada dorongan itu; garis perkembangannya secara jujur harus meninggalkan ketentuan jihad dan mengikuti doktrin yang praktis tidak menimbulkan gejolak, di mana pada akhir masa akan tampil seorang Mahdi untuk menyelamatkan dunia ini. Dengan demikian Islam hanya berbeda dengan agama lain dalam hal ia menjunjung katekis dan ritual lain sebagai alat untuk mencapai keselamatan abadi. Tetapi sebelum masa itu tiba, kubu politik Islam yang terakhir mungkin sudah dikuasai oleh pengaruh Eropah dan semua bangsa-bangsa Islam yang peradabannya lebih rendah akan dipaksa tunduk di bawah kendali pemerintahan Eropa yang kukuh,” demikian jelas Snouck Hurgronje. (Snouck Hurgronje: 1985)
Snouck Hurgronje melihat kebebasan beribadah haruslah diberikan oleh pemerintah kolonial selama tidak membawa-bawa persoalan politik. Ketika soal Islam menyentuh soal politik barulah hal itu harus dihancurkan. Bagi Hurgronje, ada tiga aspek politik kepada (umat) Islam yang dapat diterapkan oleh pemerintah kolonial. Pertama; Hukum adat dapat digunakan untuk menaklukkan pengaruh normatif hukum Islam. Kedua ia menyerukan untuk memisahkan agama Islam dari politik. Dalam persoalan yang “murni ibadah”, penguasa harus tetap netral. Tetapi jika timbul penyebaran Islam sebagai ideologi, maka harus ditumpas dengan kekuatan militer yang represif. Ketiga, ia menyokong dibangunnnya sistem pendidikan moderen. Cara pandang Snouck Hurgronje mewakili cara pandang kaum liberal barat pada masanya. Menganggap mereka sebagai bapak dari kaum pribumi dan mencoba mengintegrasikan Hindia Belanda di bawah ketiak Belanda. (Dietrich Jung: 2010)
Cara pandang Snouck Hurgronje ini terus dilestarikan bukan saja oleh para penerusnya di Kantor Penasehat Urusan Pribumi di Hindia Belanda, tetapi bahkan hingga kini. Upaya-upaya memisahkan Islam dari politik dan menjauhkan ajaran jihad dalam Islam dilestarikan para pengasong sekularisme di tanah air.
Tulisan ini dimuat di Majalah Tabligh Edisi Agustus 2018
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)