Muslimah yang berjuang di jalan jurnalisme dan pendidikan. Pahlawan Nasional yang belum banyak dikenal

Kehidupan Awal

Siti Roehana, atau yang lebih dikenal dengan Roehana Koedoes lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat pada 20 Desember 1884. Nama belakangnya diambil dari nama suaminya, Abdul Koedoes, seorang anggota pergerakan perlawanan Belanda. Roehana Koedoes merupakan kakak tertua dari Sutan Sjahrir (Perdana Menteri pertama Republik Indonesia), sepupu dari negarawan Haji Agus Salim, dan mak tuo (kakak perempuan ibu/ayah–pen.) dari penyair Chairil Anwar. Ia lahir dari keluarga yang cukup beruntung pada masanya karena sang ayah, Moehamad Rasjad[1] yang bekerja sebagai pegawai pemerintah (mulai dari juru tulis hingga kepalajaksa) memiliki keluangan untuk menyekolahkan anak-anaknya. Walaupun sangat disayangkan sekolah umum di daerah Minangkabau saat itu belum terbuka untuk perempuan. Tidak patah arang, Roehana tetap belajar di rumahnya dengan bimbingan dari Moehamad Rasjad dan kerabatnya[2]. Roehana kerap kali membaca buku-buku dan surat kabar milik ayahnya, ia juga berlatih menulis hingga akhirnya fasih membaca dan menulis tiga bahasa yakni Belanda, Arab, dan Indonesia pada umur delapan tahun.

Sebagai pribadi yang supel dan murah hati, “One Roehana” (kakak Roehana-pen.) ingin kebisaannya tersebut dirasakan juga oleh orang lain. Berawal di teras rumah, ia membacakan adik-adiknya berbagai buku cerita, lambat laun anak-anak di sekitar rumahnya tertarik untuk ikut mendengarkan hingga akhirnya mereka mengusulkan Roehana untuk mengajarkan baca-tulis. Alhasil berlangsunglah sekolah teras Roehana di Simpang Tonang Talu (Pasaman-pen.) di tahun 1892, pada perkembangannya sekolah teras Roehana juga mengajarkan keterampilan jahit-menjahit, menyulam, merajut, menenun, menganyam, dan membuat pernak-pernik lainnya.

Menjelang usia remaja, Roehana mulai memperhatikan kondisi perempuan di lingkungannya dan di Indonesia dan negara-negara lain. Roehana juga belajar tafsir al-Qur’an tentang kedudukan kaum perempuan. Dari buku-buku tafsir yang dibacanya, Roehana menarik kesimpulan bahwa agama Islam sendiri tak pernah mengekang pendidikan untuk kaum perempuan. Bahkan perempuan punya hak yang sama dengan kaum laki-laki. Bahkan perempuan boleh melakukan aktivitas selama tidak merusak akhlak.[3] Hal yang paling Roehana tanamkan dalam hatinya adalah tentang kewajiban beribadah, ia yakin jika ibadah bukanlah sebatas shalat atau mengaji, tapi juga menuntut ilmu.

Kaum Perempuan di Tanah Minang

Wacana tentang kaum bangsawan di Indonesia memiliki daya tarik tersendiri dan mempunyai posisi penting dalam historiografi Indonesia. Kelompok bangsawan yang terdiri dari abangan, santri dan priyayi di Jawa mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam strata masyarakat.[4] Berbeda dengan di Jawa, kelompok bangsawan Minangkabau kedudukannya dalam strata masyarakat tidak begitu menonjol walaupun eksistensinya tetap diakui. Hal tersebut tidak lain karena yang dimaksud kaum bangsawan di Sumatera Barat adalah kaum perempuan, terutama yang berada di Iingkungan Rumah Gadang milik keturunan raja-raja Minangkabau atau yang mempunyai hubungan darah dengan raja. Salah satu bagian dari keturunan raja itu adalah kelompok bangsawan Minangkabau yang muncul sebagai Bundo Kanduang.[5]

Rumah tradisional Minangkabau. Sumber foto: KITLV Digital Collection. http://hdl.handle.net/1887.1/item:856002

Menurut tambo[6] Bundo Kanduang adalah Ratu yang memimpin Kerajaan Pagaruyung di Batusangkar, Tanah Datar beratus-ratus tahun yang lalu.[7] Bundo Kanduang memiliki sifat yang arif dan bijaksana sehingga dapat dikatakan sukses dalam memimpin kerajaan pada saat itu, ia membuat beberapa peraturan (maklumat) untuk melindungi hak-hak perempuan yang dikenal dengan sistem Matriarchaat.[8],[9] Sistem tersebut bertujuan agar perempuan dapat lebih mandiri, tidak tergantung pada keluarga, suami, orang tua dan juga ninik mamak (paman), serta memiliki kesempatan menuntut ilmu serta menjadi pemimpin bagi pemerintahan.

Namun dalam perkembangannya, setelah kejayaan Bundo Kanduang usai, Raja yang memimpin tidaklah memperhatikan ajaran agama Islam, Raja-Raja tersebut bahkan dikisahkan berperangai kurang baik dan malah lebih condong kepada pihak Belanda sehingga membuat rakyat tertekan. Kondisi tersebut memicu Perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.[10] Pada akhirnya, peraturan yang dibuat Bundo Kanduang berubah posisi dan fungsinya hanya sebatas simbol. Walaupun memang, kaum perempuan di Koto Gadang bernasib lebih baik dibanding kaum perempuan di daerah lain di Tanah Melayu, mereka tidak perlu bekerja keras menjadi buruh perkebunan, budak, apatah lagi Nyai Belanda.[11]

Namun, tetap saja perempuan dari keluarga menengah ke bawah pada akhirnya terpaksa turut mengerjakan pekerjaan kasar. Selain itu, semua anak perempuan tidak memperoleh akses pendidikan sehingga mereka mayoritas tidak bisa baca-tulis. Kalau pun ada yang pandai mengaji, sudah pasti itu hanya hafalan semata tanpa mengerti arti apalagi bahasa Arab secara umum. Siapa yang dapat berbahasa Belanda, pastilah belajar otodidak (biasanya dari lingkungan keluarga berada, atau ia adalah seorang istri dari suami yang bekerja di pemerintahan). Perempuan Koto Gadang diberikan pendidikan agama, adat istiadat, dan keterampilan rumah tangga untuk mengarahkan mereka menjadi pekerja domestik yang tidak perlu diberdayakan melalui pendidikan.

Kerajinan Amai Setia, Iklim Pers Minangkabau, dan Gagasan Soenting Melajoe

Pada usia 17 tahun Roehana pindah kembali ke tanah kelahirannya Koto Gadang, dan ia tinggal bersama neneknya. Ketika itu tidak banyak yang berubah pada perempuan di Koto Gadang, mereka masih dalam kegelapan dan termarjinalkan sehingga rawan mengalami kekerasan, baik seksual, ekonomi, fisik maupun psikis. Untuk melawan kondisi yang demikian itu, Roehana bergerak melawannya dengan mendirikan Kerajinan Amai Setia (KAS) dan surat kabar perempuan Soenting Melajoe (SM).[12]

Kerajinan Amai Setia semula diprakarsai oleh Roehana, dengan bantuan istri jaksa bernama Ratna Putri dan dukungan perempuan lintas usia di Koto Gadang, KAS resmi berdiri pada bulan Februari 1911. Semua perempuan bisa mengikuti kelasnya, biayanya amat terjangkau karena hanya digunakan untuk operasional sekolah saja. Materi yang diajarkan mulai dari baca-tulis, pendidikan budi pekerti, hingga keterampilan tangan. Pelajaran keterampilan ini menjadikan KAS lembaga yang berdaya guna, selain sebagai lembaga pendidikan dan tempat berorganisasi, KAS juga menjadi unit usaha bagi perempuan Koto Gadang. Mereka menjual hasil-hasil kerajinannya[13] hingga dikenal di kancah dunia. Koto Gadang sampai sekarang dikenal sebagai daerah penghasil kerajinan ternama dari Indonesia. KAS juga tumbuh dan berkembang menjadi koperasi perempuan pertama di Minangkabau. Kerajinan Amai Setia benar-benar menjadi model pengembangan ekonomi perempuan yang membanggakan ketika itu.[14]

Bangunan Yayasan Amai Setia di masa kini. Sumber foto: wikipedia. Oleh Rhmtdns – Karya sendiri, CC BY-SA 4.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=80316518

Tidak berhenti dengan sekolahnya, Roehana belum puas jika hanya murid-murid KAS saja yang tercerdaskan. Ia ingin lebih banyak lagi perempuan di luar sana yang mendapatkan ilmu walaupun terpisahkan jarak. Suatu saat Roehana berpikir bahwa cara terbaik adalah dengan menulis, dengan menulis di surat kabar dia bisa berbuat banyak, bisa mengamalkan ilmunya, dan mengabarkan bahwa perempuan juga bisa berbuat sesuatu untuk membela nasibnya agar lebih baik lagi, bangkit dari keterpurukan yang menyedihkan.[15]

Ide Roehana muncul bukan tanpa dasar, pertumbuhan perusahaan pers di luar Jawa pada saat itu memang sudah mulai menggeliat. Terlebih karena Sumatera Barat menjadi pusat perkembangan percetakan dan penerbitan surat kabar. Jika di Batavia percetakan dibawa dan diperkenalkan oleh pihak kolonial Belanda, maka di Sumatera, percetakan pertama diperkenalkan oleh kolonial Inggris dan dimulai di Bencoolen (Bengkulu –pen.) pada 1819. Tokoh yang berjasa di baliknya adalah seorang misionaris Baptist Nathaniel Ward yang atas gagasan Thomas Stamford Raffles mendirikan percetakan pertama bernama Sumatra Mission Press. Percetakan ini lebih banyak menerbitkan buku-buku seperti Injil versi Yahya, Jalan Khalis, Nasihat Akhirat, dan Cerita daripada Allah Menjadikan Dunia.[16]

Setelah Traktat London (1824) posisi Bengkulu sebagai pusat percetakan di pantai barat Sumatera mulai diambil alih oleh Kota Padang. Situasi politik mulai berubah hingga pada akhirnya Belanda secara resmi berkuasa di wilayah pantai barat, dan sejak saat itu Belanda menata ulang sistem pemerintahan dan struktur birokrasinya. Kota Padang mulai dijadikan pusat administrasi dan militer Belanda. Perkembangan Padang sebagai pusat perniagaan di wilayah pantai barat kemudian didukung juga dengan dibukanya pelabuhan Emmahaven (sekarang Teluk Bayur). Pelabuhan ini berfungsi sebagai tempat penyaluran hasil bumi (ekspor dan impor) dari pedalaman Sumatera Barat dan Tapanuli Selatan untuk kemudian diteruskan ke seluruh Eropa. Kota Padang saat itu menjadi titik temu berbagai etnik sehingga pers pun dapat berkembang dengan baik.[17]

Tidak hanya Belanda yang memiliki peran dalam dunia percetakan dan penerbitan awal di Minangkabau, etnis Tionghoa juga turut serta mengembangkannya. Percetakan yang dikelola oleh pengusaha Tionghoa ini pandai dalam menggaet pemasang iklan untuk memajukan usaha penerbitan mereka. Pengusaha bernama Lie Bian Goat yang dikenal sebagai perintis awal percetakan di Padang,  menerbitkan surat kabar Pertja Barat yang muncul pertama kali pada Juni 1894. Usaha Lie Ban Goat kemudian dibantu oleh editor handal pada masa itu, yakni Dja Endar Moeda. Dja Endar Moeda adalah tokoh asal Mandailing yang dapat dikatakan sebagai pelopor penggerak pers nasional. Sejak tahun 1887 Dja Endar Moeda telah menjadi editor jarak jauh untuk majalah Soeloeh Pengadjar (majalah yang diprakarsai oleh direktur Kweekschool Probolinggo) yang terbit di Probolinggo. Dja Endar Moeda juga dikatakan memiliki kemampuan finansial untuk mengakuisisi Pertja Barat beserta percetakannya. [18]

Koran yang pertama terbit di Padang adalah Padangsche Nieuws-en Advententieblad yang terbit tahun 1863, kemudian disusul oleh Sumatra Courant di tahun yang sama. Keduanya diterbitkan oleh percetakan Belanda, dicetak dalam bahasa Belanda, dan menitikberatkan fungsinya yang berhubungan dengan bisnis, perdagangan, dan juga iklan.[19] Setelah itu, barulah muncul inisiatif penerbitan oleh masyarakat setempat dengan tujuan supaya informasi yang disampaikan bisa dimuat dalam bahasa Melayu. Degan begitu, pembaca setempat pun dapat memperoleh informasi tentang keadaan sekitar dan lingkungan luar.

Bintang Timor adalah surat kabar berbahasa Melayu pertama di Kota Padang. Sedangkan penerbitan milik orang Minang pertama adalah Orang Alam Minangkabau. Sebagai informasi, penerbitan Bintang Timor ini disebutkan dipicu juga oleh penerbitan surat kabar di pulau Jawa yakni Selompret Melajoe di Semarang (1860) dan Bintang Timor di Jawa Timur (1862). Sayangnya Bintang Timor hanya bertahan dalam kurun waktu yang singkat yakni satu tahun.[20]  Selain Bintang Timor, pada tahun 1900 juga terbit surat kabar Tapian na Oeli sebagai koran untuk warga Tapanuli Selatan yang tinggal di kota Padang. Tapian na Oeli dieditori oleh Dja Endar Moeda. Sesudah itu, lahirlah berkala surat kabar berbahasa Melayu di kota Padang: Insulinde (1901), Wasir Hindia (1903), Bintang Sumatera (1903), Sinar Soematra (1905), Minangkabau (1908), Taman Hindia (1908), Oetoesan Melajoe (1911), Soeloeh Melajoe (1912), Soenting Melajoe (1912), Al Moenir (1912), Al Itqan (1918), Al Bajan (1920), Al I’lam (1922), dan Djauharah (1922).[21]

Kehadiran surat kabar dan majalah di Minangkabau semakin hari semakin meningkat. Tiga provinsi utama yang memiliki penerbitan terbesar di luar Jawa hingga pertengahan abad ke-20 adalah Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Manado.[22] Keragaman berita yang dimuat dalam surat kabar terbitan awal di Minangkabau bersifat vertikal maupun horizontal. Bukan hanya suara penguasa yang ditonjolkan dalam pemberitaan, melainkan juga suara masyarakat.

Bersambung ke bagian 2

Oleh: Ilma Asharina – mahasiswi Pascasarjana Wageningen University, peminat sejarah perempuan di Indonesia.


[1] Moehamad Rasjad Maharadja Soetan (MRM Soetan atau Soetan Maharadja), “Siti Roehana Koedoes 1884-1972 Ibu Pers, Pendidikan dan Pelopor Emansipasi Perempuan Melayu, Kebudayaan, www.kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/siti-roehana-koedoes-1884-1972-ibu-pers-pendidikan-dan-pelopor-emansipasi-perempuan-melayu/ diakses pada 28 Februari 2022 pukul 13:59 CET.

[2] Ketika berusia 6 tahun ayah Roehana bertugas di Alahan Panjang sebagai juru tulis. Di sana, ia bertetangga dengan jaksa bernama Lebi Rajo Nan Soetan dan istri (Adiesah), kedua orang inilah yang turut mengajarkan Roehana baca-tulis. Lihat: Fitriyanti, 2001, Roehana Koedoes Perempuan Sumatera Barat, Jakarta: YJP, hlm. 18.

[3] Ibid, hlm. 23.

[4] Clifford Geertz, 1960, The Religion of Java, Chicago: The University of Chicago Press, hlm. 112-113.

[5] Mhd. Nur, M.S., Bundo Kanduang di Minangkabau dalam Perspektif Sejarah, hlm. 1.

[6] Tambo dalam KBBI berarti hikayat, riwayat kuno, atau uraian sejarah suatu daerah yang sering kali bercampur dengan dongeng. Lihat https://kbbi.web.id/tambo diakses pada 28 Februari 2022 pukul 14.19 CET.

[7] Penulis tidak menjabarkan tentang Kerajaan Pagaruyung karena membutuhkan kajian tersendiri yang mendalam dengan berbagai dokumentasi.

[8] Fitriyanti, 2001, Roehana Koedoes Perempuan Sumatera Barat, Jakarta: YJP, hlm. 5.

[9] Matriarkat adalah padanan dari kata Belanda Matriarchaat. Matrilineal dalam KBBI berarti mengenai hubungan keturunan melalui garis kerabat wanita. Lihat https://kbbi.web.id/matrilineal diakses pada 28 Februari 2022 pukul 14.20 CET.

[10] Tuanku Imam Bonjol (Peto Syarif, l. 1772) diakui memiliki peran sentral dalam Perang Paderi di Minangkabau. Dialah pimpinan, sekaligus panglima perang. Perang Paderi adalah perang umat Islam dengan Belanda, walau sebelumnya sempat diadu domba oleh Belanda, yang berujung pecahnya perang saudara antara ulama dengan pihak Kerajaan Pagaruyung, yang kemudian sama-sama mereka insafi, bahwa mereka adalah masih saudara seagama. Selanjutnya merekapun menyatukan tekad untuk melawan Belanda secara bersama-sama. Lihat Muslim, KL., “Gugatan Terhadap Kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol”, Majalah Ilmiah Tabuah Volume 23 No. 1, Edisi Januari-Juni 2019, hlm. 25.

[11] Dahlia F., 2013, Biografi Roehana Koeddoes, Jakarta: Yayasan d’Nanti, hlm.25.

[12] Sari, SR., “Dari Kerajinan Amai Setia Ke Soenting Melayoe – Strategi Rohana Kuddus Dalam Melawan Ketertindasan Perempuan di Minangkabau”,Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender Vol.VI No.2 Tahun 2016, hlm. 237.

[13] Kerajinan tangan yang dimaksud berupa sulaman khas Koto Gadang dengan teknik yang bernama Suji Cair. Suji Caia/Cair adalah teknik menyulam memakai benang berbeda warna yang menunjukkan tingkatan gradasi warna suatu objek, misalnya bunga. Gradasi yang dihasilkan tersebut menampakkan efek tiga dimensi objek yang disulamkan. Lihat Rahman, D., 2015, Ragam Hias Suji Cair pada Sulaman Selendang Koto Gadang Kabupaten Agam Sumatera Barat (Studi Kasus di Yayasan Amai Setia), Padang: UNP. Selain itu ada juga kerajinan perak, lihat Kamal, MN., 2018, Kerajinan Perak Koto Gadang Sebagai Bagian dari Destinasi Wisata di Sumatera Barat, Solok: CV Berkah Jaya.

[14] Djaja, Tamar. 1980. Rohana Kuddus Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Jakarta: Mutiara.

[15] Fitriyanti, 2001, Roehana Koedoes Perempuan Sumatera Barat, Jakarta: YJP, hlm. 68.

[16] Sunarti, S., 2013, Kajian Lintas Media – Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau, Jakarta: PT. Gramedia, hlm. 37-38.

[17] Ibid., hlm. 38, 45.

[18] Ibid., hlm. 42-43.

[19] Ibid., hlm. 46.

[20] Ibid., hlm. 49.

[21] Ibid., hlm. 51.

[22] Ibid., hlm. 53.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here