Visi Politik Negarawan Muslim
Malam semakin larut. Di tatapnya lamat-lamat langit-langit tepat dihadapannya di atas pembaringan. Lelah memang, sudah berbulan-bulan, tak terasa esok hari ialah hari penentuan. Hari dibacakannya Undang-Undang Dasar Negara RI yang dicita-citakan sejak lama. Esok, di hadapan 62 anggota BPUKI, berharap senyum akan tersimpul. Namun, hati begitu dag dig dug gelisah. Mungkin karena kejadian tadi.
Pemimpin besar itu tak dapat tidur. Dari tadi hanya menatap langit-langit. Semua berkelebat cepat dalam benaknya. Malam semakin hitam dan syahdu, dirinya teringat kembali bulan lalu, ketika semua berjumpa, tanggal 22 Juni itu, sembilan orang pemimpin besar berkumpul, sepakat merumuskan Piagam Jakarta.
Wajah lembut para tokoh Nasionalis Islam seperti H Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, dan Abikusno terbayang. Tapi, dirinya ingin sekali menangis, menyesali kejadian yang membuat wajah-wajah itu berubah menjadi tegas. Wajah yang tak bisa lagi dirayu. Wajah-wajah yang mencirikan bahwa mereka benar-benar para negarawan muslim, yang tak luluh oleh apapun!
Bahwa visi politik Islam begitu jelas dibawa oleh mereka. Dalam lamunannya, ada rasa kagum terhadap mereka semua. Berkali-kali mereka mengajukan visinya yang terang dan jelas. Berkali-kali pula mereka berargumen di hadapan para pemimpin calon Negara Indonesia kelak. Esok, 16 Juli 1945, sebuah keputusan besar harus diambil.
Pelajaran tadi sore hingga malam yang sangat berharga, bagaimana para negarawan muslim itu memperjuangkan visi-visinya. Ide mereka tak menguap ke langit, namun membumi di hadapan Gedung Tjuuo Sangi In, tempat di mana Undang-Undang Dasar dibuat. Pembahasan dasar Negara memang telah usai dengan kompromi ‘Piagam Jakarta’ yang telah disepakati seluruh tokoh nasional. Kini, mereka membahas tentang calon pemimpin mereka dan juga pasal 28, tentang agama Negara.
Prof. Abdul Kahar Muzakkir, alumnus Universitas Al Azhar itu, salah satu penandatangan piagam Jakarta sampai berkata satir,” Supaya dari permulaan pernyataan Indonesia merdeka sampai kepada pasal-pasal di dalam Undang-undang Dasar itu, yang menyebut-nyebut agama Islam atau apa saja, dicoret sama sekali. Jangan ada hal itu,” tegasnya.
Begitu jelas dan terang keinginan mereka, bahwa agar negeri ini selalu dapat bimbingan Allah, Negara yang menegakkan aturan-aturanNya. Negara yang besar, yang pemimpinnya muslim yang siap mengatur urusan kaum muslimin, dan pemimpinnya menjalankan aturan-aturanNya.
Tak hanya KH Abdul Kahar Muzakkir, Pemimpin Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo menegaskan dalam forum itu,” Tuan-tuan! Dengan pendek sudah kerapkali diterangkan di sini, bahwa Islam mengandung ideologi Negara. Jadi saya menyetujui usul Tuan Abdul Kahar Muzakkir tadi. Kalau Islam tidak diterima, tidak diterima!. Jadi nyata Negara ini tidak berdiri di atas agama Islam,” tegas Ki Bagus.
Kedua tokoh tersebut mendukung penuh tokoh besar Nahdatul Ulama (NU), Pelaksana harian Masyumi, KH Wahid Hasyim yang sebelumnya menegaskan bahwa,” Untuk masyarakat Islam sangat penting perhubungan antara pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu diusulkan ‘pasal 4 ayat (2) ditambah dengan kata-kata “yang beragama Islam”. (Presiden Indonesia orang Indonesia asli yang beragama Islam).
“Diusul supaya pasa 28 berbunyi “Agama Negara adalah agama Islam” dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain,” kata pria yang lahir 1 Juni 1914, satu abad silam ini. Dua usul pemuda yang baru berusia 31 tahun kala itu, kini membuat Soekarno menjadi bimbang.
Mereka mengatakan bahwa sebagai umat Islam, perlu melaksanakan ibadah berdasarkan keyakinannya, dan dalam Islam, pemimpin umat Islam harus beragama Islam, pun dengan keyakinan agar ia dapat menerapkan hukum Allah.
Maka, dalam sidang itu Soekarno mendukung namun menyatakan tak perlu diundang-undangkan,” Sebagai pribadi Soekarno, saya seyakin-yakinnya bahwa Presiden Indonesia tentu orang Islam. Tak lain dan tak bukan, oalah oleh karena saya melihat dan mengetahui bahwa sebagian besar daripada penduduk Indonesia adalah beragama Islam.” Tegas Soekarno.
Tapi, dengan penuh keyakinan, KH Wahid Hasyim dan para perwakilan ulama dan pemimpin nasional menyatakan visinya, menyatakan idealisme politik Islam begitu jelas. Hingga sidang ditunda, dan larut malam Soekarno tak bisa memejamkan matanya dengan lelap, hingga habis subuh matanya dapat tertutup, sekejap saja. Dalam renungannya di malam syahdu, keputusan itu membulat.
16 Juli 1945. Pidatonya menggelegar. “Kita kemarin menghadapi kesukaran yang amat sulit. Tetapi Allah selalu memberi petunjuk kepada kita. Kepada tiap-tiap manusia yang memohon petunjuk kepada Allah, dalam tiap kesukaran, maka Allah selalu member petunjuk.
“Yang saya usulkan ialah baiklah kita terima bahwa di dalam Undang-undang Dasar dituliskan bahwa ‘Presiden Republik Indonesia haruslah orang Indonesia aseli yang beragama Islam’ Saya mengetahui bahwa buat sebahagian pihak kaum kebangsaan ini berarti suatu hal pengorbanan keyakinan. Tapi apa boleh buat! Karena bagaimanapun kita sekalian yang hadir di sini, dikatakan 100 % telah yakin, bahwa justru oleh karena penduduk Indonesia, rakyat Indonesia terdiri daripada 90 % atau 95 % orang-orang yang beragama Islam, bagaimanapun, tidak boleh tidak, nanti yang menjadi Presiden Indonesia tentulah orang yang beragama Islam.
“Saya minta kepada saudara-saudara, yang berdiri atas dasar kebangsaan itu tadi, supaya melepaskan teoretis-teoretis prinsp ini, mengorbankan teoritis kepada persatuan yang harus lekas kita selenggarakan, supaya bisa lekas tersusun Undang-undang Dasar,a gar supaya bisa lekas pula tercapai Indonesia merdeka.
“Inilah permintaan saya kepada saudara-saudara yang berdiri atas paham kebangsaan. Dengan terus terang saja, mari kita sekalian sekarang menjalankan pengorbanan. Saya katakana kepada saudara-saudara sekalian, bahwa saya sejak dibuang ke Flores, saya belajar shalat dan di dalam tiap-tiap kali saya shalat tidak berhenti-hentinya saya memohon kepada Allah, suapaya Allah member petunjuk kepada saya, supaya bisa menjadi seorang pemimpin yang menunjukkan jalan kepada bangsa Indonesia. Jalan bagaimana kita sekalian bisa lekas mencapai Indonesia merdeka.
“Kemudian pasal 28 mengenai urusan agama, tetap kita putuskan yaitu ayat ke-1 berbunyi” Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Ayat ke-2 ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.”
Ada rasa haru di sana, di hadapan para pemimpin umat, bahwa ikhtiar mereka yang begitu terang dan jelas, tanpa ada transaksi, deal-deal, dagang sapi, atau apapun pesan itu diterima oleh para pemimpin negeri ini. Hari ini, 16 Juli, hari terakhir rapat pengesahan Rancangan Undang-Undang Dasar.
Beratus tahun, umat Islam berpeluh darah, memohon bimbingan Allah melawan para penjajah. Kini, gerbang kemerdekaan telah di depan mata. Semua telah sepakat. Air mata itu kian mengalir deras, pada wajah –wajah mereka. Indonesia yang diimpikan segera terwujud. Pria kelahiran 1 Juni 1914 dengan senyum tersimpul, menyambut kemerdekaan.
Tak terasa perjuangkan para tokoh bangsa menyepakati Piagam Jakarga dan Undang-Undang Dasar 1945. “Jadi, rancangan ini sudah diterima semuanya. Jadi, saya ulangi lagi, Undang-undang Dasar ini kita terima dengan sebulat-bulatnya. Dengan suara bulat diterima Undang-Undang Dasar ini.” Tutup dr. Radjiman, Ketua BPUPKI diikuti tepuk tangan, dan takbir yang mendesah merdu dalam kalbu.
***
Refleksi Perjuangan Umat Islam
7 November 1945. Alun-alun Yogyakarta begitu penuh dengan para laskar Hisbullah yang datang dari pelbagai wilayah, hilir mudik dengan bambu-bambu runcing siap menghunus. Ribuan orang membanjiri jalanan Yogyakarta. Para ulama dari pelabgai wilayah berdatangan tak kunjung henti, bak arus deras yang terus mengalir tak tertahankan.
Ratusan meter dari dari Masjid Agung Yogyakarta, gedung Muhammadiyah itu berdiri. Gedung-gedung kelas itu berjejer rapi. Aula itu tak sanggup menampung ulama dan para pemimpin yang datang dari penjuru Indonesia. Baru saja diputuskan dalam Kongres Umat Islam, umat Islam bersatu dalam satu wadah partai yaitu Partai Masyumi.
Terlihat KH Wahid Hasyim, tokoh NU sebagai penyelenggara sangat sibuk. Ia bersama M. Natsir, Prawoto , Dr. Soekiman juga beberapa kawannya menjadi panitia kongres. Pertarungan sengit pemilihan nama antara ‘Partai Islam’ dan ‘Masyumi’ akhirnya selesai dengan hasil kongres, umat Islam sepakat dengan nama ‘Masyumi’ dibandingkan ‘Partai Islam’
Pria yang baru berusia 31 tahun itu, yang telah menyusun dasar Negara itu kini sangat sibuk, sebagai inisiator Kongres Muslimin Indonesia. Dengan segudang pengalaman memimpin MIAI (Majlis Islam Ala Indonesia) ketika masih berusia 25 tahun, KH Wahid Hasyim kini mencoba menyatukan visi politik Islam dalam Partai Masyumi.
Masih ingat dalam benaknya, ketika tanggal 18 Agustus silam, hasil mufakat yang ia usulkan, tentang Piagam Jakarta, dan beberapa Pasal Undang-undang dasar tiba-tiba dicoret dan dihilangkan. Gentlement agreement yang membaut haru dan air mata mengucur itu tiba-tiba dihilangkan. Hasil kesepakatan bersama itu dilanggar. Masyumi, diharap bisa menjadi wadah aspirasi umat Islam secara resmi, setelah Piagam Jakarta dilupakan begitu saja.
Pagi itu, para ustadz dan Ulama sedang mencicipi masakan yang cukup lezat khas Yogyakarta. Namun KH Wahid Hasyim, hanya duduk di atas tikar dan memakan kol mentah, ketimun dan daun pisang. Pemipin besar ini hanya makan itu saja, dan itu sudah menjadi kebiasaan. “Kenapa hanya makan sayur mentah saja Gus,” kata orang-orang kepada Gus Wahid, sapaan akrabnya.
Dengan tenang ia menjawab,”Ulaaika kal an’aam bal hum adhol”(Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.” KH Saifudin Zuhri yang berada di sana bilang, bahwa apa yang dijawab Gus Wahid merupakan surat Al A’raf ayat 179.
“Dan sesungguhnya untuk mengisi neraka jahanam Kami telah menjadikan kebanyakan jin dan manusia: Mereka mempunyai hati tetapi tidak digunakan untuk memahami perintah-perintah Allah; mereka mempunyai pengelihatantetapu tidak digunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah; dan juga mereka mempunyai telinga tapi tidak digunakan untuk mendengar nasehat-nasehat. Mereka seperti seperti binatang ternak bahkan lebih sesat lagi.”
KH Saifudin Zuhri, yang menjadi ‘adik mentor’ Gus Wahid berguman, dengan meminjam ayat Al Quran tersebut Gus Wahid merasa dirinya sangat hina di hadapan Allah. Gus Wahid, pemimpin muda pimpinan Masyumi itu tak bisa lama-lama di Yogyakarta. Ia harus kembali menuju pelosok-pelosok, mempersiapkan pasukan-pasukan berjihad melawan penjajah yang datang kembali usai Jepang diusir dari neger ini.
Sebenarnya, dirinya sudah diangkat jadi Menteri Agama pertama, namun kondisi darurat, dan pergantian sistem parlementer, Gus Wahid tak sempat lama-lama jadi Menteri Agama, dan digantikan oleh Prof. HM Rasjidi yang sama-sama dari Masyumi. Pernah Gus Wahid ditanya, apakah ia kecewa tak dapat duduk lagi di Kursi Menteri Agama?
“Tak usah kecewa! Saya toh bisa duduk di rumah. Saya mempunyai banyak kursi dan bangku panjang, tinggal pilih saja,” jawaban yang mengundang tawa hadirin. Belum selesai tertawa, sudah ditanya,” Kenapa kok jadi menteri cuman sebentar?” tanya kawannya H. Azhari.
Dengan santai Gus Wahid menjawab,” Lho, kalau kita mengantarkan jenazah ke kuburan, pembaca Talqidn itu kan memperingatkan kita: Wa mal hayaatud dunyaa illa mataa’ul ghurur..” memangnya orang menjadi menteri untuk selamanya?” Gus wahid menentramkan kami, kenang KH Saifudin Zuhri.
“Kami mendengar Gus Wahid akan diangkat menjadi menteri, bagaimana itu? tanya yang lain. “Wa maa tadri maadzaa taksibu ghodan…” orang bisa beramal banyak dan bermanfaat di mana saja, sekalipun tidak menjadi menteri. Kebanyakan orang menganggap jabatan menteri itu kehormatan dan kemuliaan, padahal itu tak lebih dari sekadar amanat yang harus dipertanggungjawabkan,” Gus Wahid.
Gus Wahid, tokoh muda, Menteri RI saat usianya baru di awal kepala tiga begitu dekat dengan Al Quran. Kegemarannya shalat sendiri dengan waktu yang lama, dan membaca Al Quran yang sangat panjang. Ia selalu rutin menghafal Al Quran dalam perjalanannya.
Pernah, pada suatu Juni 1946, KH Saifudin Zuhri menyiapkan sarapan pagi yang didahului kopi dan pisang, Gus Wahid minta tak perlu disiapkan makanan karena ia sedang berpuasa. Bahkan ia sendiri yang menyuguhi tamunya makan, subhanallah.
“Jangan beritahu ibunya Fahmi kalau saya sedang puasa. Orang susah payah sediakan hidangan jangan dibuat kecewa kareana yagn disuguhi tidak menjamah hidangannya bisiknya Gus Wahid pada Saifudin Zuhri.
“Puasa dalam rangka apa Gus?” Hari itu memang bukan hari yang disunatkan puasa. “dalam rangka kepengen puasa saja, ibtigho liwajhillah,” jawabnya santai. “Semau saya, semampu saya,” katanya.
Gus Wahid, pemimpin nasional yang hidup sederhana itu memang kian berpuasa. “Berlapar-lapar supaya tak melupakan nasib kaum lapar, dan hari di mana laparnya paling tidak terhingga (kiamat),” katanya saat sahur hanya dengan sisa telur bekas buka tadi malam, dan air teh setengah gelas bekas minum KH Saifudin Zuhri sorenya.
Juni itu, usai berbincang, KH Wahid Hasyim bersama KH Saifudin Zuhri harus pergi ke Parakan melihat perjuangan umat Islam yang dengan bambu runcing melawan penjajah yang kembali tiba di pertengahan 1946 (Baca Tulisan: Kisah Kita, KH Wahid Hasyim, dan Sebilah Bambu Runcing)
Dalam perjalanan ke Parakan di Jawa Tengah, KH Wahid Hasyim kembali menceritakan kejadian saat umat Islam di BPUPKI dikhianati. “..Bambu ini..” kata KH Wahid Hasyim memecah keheningan. Putera pendiri NU KH Hasyim Asy’ari itu mulai berkisah sambil menghela nafas. Kala itu ia berada di dalam mobil menuju kota Parakan di tengah Pulau Jawa, tempat di mana lautan manusia berduyun-duyun berdatangan memanggul sebilah bambu runcing ujungnya sepanjang dua meter dari Parakan sepenggal Juni ‘46.
”..Iya! Tidak saja berpengaruh dalam perjuangan politik, tetapi dalam kehidupan bangsa dan kebudayan di masa yang akan datang,” lanjut pria yang akrab dipanggil Gus Wahid sambil melirik KH Saifudn Zuhri yang sedang serius menyimak setelah menanyakan apa arti sebilah bambu runcing Parakan bagi umat Islam dalam perjuangan politik.
“Di mana-mana orang membicarakan bambu runcing. Pak Dirman (Panglima Besar TKR) sendiri tertari akan momentum Parakan. Dan pengaruhnya bagi para prajurit dan para pejuang di medan pertempuran sangat positif,” kata Gus Wahid yang kala itu menjadi Pimpinan Bidang Pertahanan DPP Masyumi.
Sambil melaju pelan, membalas salam para pejuang, Gus Wahid melanjutkan, “perjuangan bersenjata melawan Belanda akan segera berakhir hanya memerlukan beberapa tahun saja, dan kita akan menang, insya Allah. Tetapi perjuangan yang lebih lama dari itu adalah perjuangan politik, ekonomi, kebudayaan, dan pembangunan akhlak. Perjuangan itu akan berlangsung lama, memerlukan kebijaksanaan dan kesabaran.” nasehatnya.
“Bangsa ini sudah tahun sumbangan umat Islam terhadap kemerdekaan kita?” tanya Saifudin Zuhri kepada Gus Wahid. Sambil membetulkan kaca mata yang melorot, Gus Wahid melanjutkan,“Ya..sekarang! Tapi generasi mendatang tak semuanya tahu. Bahkan, sering memalsu sejarah dengan maksud menutup-nutupi saham umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan kita,” tangkisnya.
“Itu kan manipulasi politik dan tidak adil!” tukas Saifudin Zuhri yang saat itu menjadi pimpinan Masyumi wilayah Magelang dan Ketua Konsul NU wilayah Kedu.
Dengan tenang, Ayah bocah Gus Dur itu melanjutkan,“Memang, yang menetapkan sebagai manipulasi politik dan tidak adil itu kan norma. Orang Jawa bilang: panuger atau negar! Tidak semua orang –Jawa- seperti kita yang senantiasa menjunjung tinggi norma—norma. Dalam dunia ini banyak orang yang menganut faham ‘Het doel heilige de middelen’ (tujuan menghalalkan segala cara) untuk tujuan politik, tujuan memperoleh keuntungan materi, ada tujuan merebut kekuasaan dan pengaruh.” Ungkapnya.
“Dalam konteks masa depan, apa pengaruh bambu runcing Parakan itu?” Saifudin makin penasaran.
“Perjuangan di masa depan akan diemban oleh generasi mendatang pula. Barangkali angkatan saya sudah tidak ada lagi. Kalau kita tak memancangkan pilar-pilar yang kita sendiri pasang, di masa depan tak bakal ada saksi-saksi yang berbicara bahwa kita –umat Islam- telah pernah berbuat,” Gus Wahid berhenti sejenak, merenung, melihat di hadapan mobil kembali tertahan lautan manusia.
Saifudin Zuhri berpikir sejenak. Generasi masa depan? Siapakah? Generasiku? Generasi ini? Apakah memang benar, generasi ini akan melupakan perjuangan para pendahulunya? Tak mungkin, umat Islam mayoritas di Indonesia, mana mungkin, untuk menjalankan syariatnya saja tidak bisa? Pikirnya…
“Nah, di mana-mana orang membanjiri Parakan…,” kata Gus Wahid. “Sampai di mana saya tadi bicara? Oh.., ya..membuat momentum sejarah itu amat penting bagi perjuangan di masa yang akan datang,” lanjutnya.
“Pengalaman saya, ketika kami para pemimpin Islam berdebat dalam Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai membuktikan jika umat Islam Indonesia tidak bernah berjuang dalam dalam NU, dalam Muhammadiyah, PSII, dan MIAI, dalam ‘Majelis Syuro Muslimin Indonesia’ (Masyumi) dan lainya, dan jikalau kita tidak pernah memperlihatkan sikap non-cooperation kita terhadap kekuasaan Belanda, tentu tidak bakal melahirkan cita-cita dasar Negara yang dirumuskan menjadi Pancasila (22 Juni) itu. Sebab, aliran yang hendak mendirikan Negara nasional yang sekuler atau Negara ala Majapahit itu demikian ngotonya untuk mengimbangi cita-cita Negara Islam. Sejarah Indonesia mengalami zaman pergerakan politik yang menciptakan pola golongan nasionalis sekuler dan golongan Islam..” ungkap Gus Wahid serius.
“Kalau demikian perjalanan kita masih panjang,” kata Saifudin Zuhri penasaran.
“Ya masih sangat panjang dan tergantung apa yang kita kerjakan pada waktu sekarang. Apa yang telah dicapai sebagai komitmen nasional pada waktu sekarang, tidak mustahil bakal diganggu gugat orang, karena politik tak mengenal komitmen permanen. Dalam politik –praktis- hanya ada kepentingan atau interest lah yang permanen.”
“Yang harus dijaga, jangan sampai umat Islam tidak memperoleh hak-hak mereka secara politis. Jika perang sudah usai, maka fase perjuangan hidup mati sudah dilewati, tentu orang-orang mulai mengisi kemerdekaannya dengan usaha membangun bangsa dan Negara. Moga-moga saja saham umat Islam di masa paling sulit itu tidak dilupakan. Biasanya manusia itu mudah melupakan kawan dan membuang arti sifat solidaritas apabila kepentingan politis, ekonomi, maupun kepentingan golongan mulai menonjol –kullu hizbin bimaa tadaihim farihuun– tiap golongan sealu mengutamakan golongannya sendiri sehingga kepentingan golongan lain,” katanya.
‘apakah ada pengalaman politik pada waktu sekarang?”
“Ada, yaitu yang bertalian dengan konstitusi kita. Mula-mula masing-masing pihak memperjuangkan cita-citanya yang sudah amat terkenal sejak zaman kebangkitan nasional, yaitu apa yang bernama pola Negara nasional sekuler dan pola Negara Islam. Atas good will kedua pihak sepakat maka dilahirkan persetujuan nasional dalam bentuks sebuah charter bernama Jakarta Charter, Pancasila tanggal 22 Juni 1945 yang ditandatangani oleh 9 orang pemimpin yang mewakili golongan Islam, Nasionalis sekuler, dan Kristen. Mereka itu: Ir. Soekarno, Drs. Moh Hatta, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. Moh Yamin, H Agus Salim,A bikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkhir dan Saya (Gus Wahid) dan Mr. Aa Maramis,” Gus Wahid berhenti bicara menyeka keringat pada dahinya, yang nampak menahan perasan haru, bulir bening berkumpul di sudut matanya.
“Setelah hampir dua bulan berhalan dengan tenangnya, maka pada atanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tatakala kami hendak mengesahkan UUD 1945, timbul situasi baru. Dalam preambule UUD Pada Bagian yang berbunyi “..dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” itu tiba-tiba digugat oleh satu golongan disertai ancaman serius, hendak memisahkan diri.” Isaknya dalam haru mengenang kembali.
Melepas Kepergian Pemimpin Besar
Gus Wahid, seorang yang cekatan, tegas, berani, disiplin. “Beliau itu tegas dan mau belajar,” kata putra (alm) Gus Sholah alias KH Sholahuddin Wahid kepada penulis sepenggal April di Tebu Ireng. Pernah, Gus Sholah dihukum diikat di pohon depan rumahnya, karena memecahkan bohlam yang harganya sangat mahal waktu itu, kenangnya.
Gus Wahid, memang tak punya ijazah formal, tapi lihat namanya yang terus harum hingga sekarang. Kemauan belajarnya sangat kuat, hingga usia belasan tahun, sudah menguasai pelabgai bahasa dan ilmu-ilmu agama.
1 Juni 1914, lebih dari 1 Abad silam, di dalam bilik sederhana pasangan KH Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah itu lahir putera laki-laki mereka di Tebu Ireng, Jombang. Bahwa dengan Islam, dirinya bergerak, berguru, mondok di Mekah, berkeliling pesantren, hingga kembali menjadi Pucuk Tebu Ireng di usia belia.
Usia muda sudah mengetuai MIAI, membawahi dua organisasi besar NU dan Muhammadiyah. Menginjak kepala tiga, kembali menyusun Undang-Undang di BPUPKI, dan pada tahun yang sama mendirikan Partai Islam terbesar sepanjang sejarah Indonesia, Partai Masyumi.
Usai KH Hasyim Asy’ari wafat tahun 1947, Gus Wahid menjadi pucuk pimpinan Tebu Ireng, dan melakukan banyak ‘modernisasii di Tebu Ireng. Hingga tahun 1949-1951, Ia kembali menjadi Menteri Agama. Tokoh Muda ini begitu piawai dalam pergerakan nasional. Namun, Allah memanggilnya dengan cepat.
Belum genap berkepala empat, 19 April 1953, KH Wahid Hasyim, dalam sebuah perjalanan dakwah ke Sumedang, Jawa Barat mengalami kecelakaan mobil hingga membuat dirinya wafat. Esoknya, senin pagi, di Jakarta, sudah penuh sesak ribuan orang memadati Jalan Jawa, hanya datang untuk menyampaikan salam terakhir dan penghormatan.
Wakil Perdana Menteri, Prawoto Mangkusasmito, ada juga Mr. Sartono, Dr.Leimena, KH Faqih Utsman, Dr. Soekiman (Masyumi), M. Natsir, Anwar Tjokroaminoto, Mr. Roem, Mr. Kasman Singodimedjo, dan ratusan Tokoh Nasional berdatangan. Radio Republik Indonesia tak henti-hentinya menyiarkan kabar wafatnya tokoh muda ini.
Mobil hitam penuh karangan bunga itu melaju dengan kecepatan sangat lambat ke Bandara Kemayoran. Di belakangnya, ribuan orang memadati jalanan. Sirine mengaung, diikuti barisan auto, polisi, pandu anshor dan masyrakat. Di Lapangan Kemayoran, pesawat GIA sudah menanti.
Sekjen Kemenag M. Kafrawi tampak sibuk mengatur ribuan orang yang mengantarkan jenazah Gus Wahid untuk diterbangkan ke Tebu Ireng Jombang, ke samping makam sang ayah, KH Hasyim Asy’ari. Jam 8, pesawat melaju diiringi tatapan masyarakat Jakarta yang larut dalam kesedihan.
Pukul 10, mentari mulia membelai pesawat GIA yang membawa rombongan keluarga KH Wahid Hasyim yang baru saja tiba di Surabaya. Sang Adik, Abdul Kholik Hasyim dalam tangis menyambut jenazah sang kakak. Dimasukannya jenazah sang kakak ke dalam ambulance milik divisi Brawijaya.
Gubernur Jatim, Panglima Divisi Brawijaya jatim, Alim Ulama, Pemerintah, semua berdiri menunduk, menahan isak tangis sang pahlawan nasional. Ratusan ribu rakyat Surabaya hingga Jombang berlarian ke pinggir Jalan utama Jombang-Surabaya, ingin memberi penghormatan terakhir kepada sang Pemimpin.
Air mata membasahi bumi pertiwi. Jenazah diiringi lebih dari 120 mobil, ribuan motor, hingga ratusan ribu orang menyemut hingga iring-iringan kendaraan mencapai lebih dari 2km. Di tiap kota, ratusan ribu masyarakat menghalangi ambulance, memblokir jalan, membacakan Al Quran untuk almarhum.
Ratusan ribu orang terus berduyun, di tiap dusun, tiap kota, tiap daerah yang dilewati, semua keluar, memberhentikan ambulance, mendoakan KH Wahid Hasyim. Sampai-sampai keluarga menolak beberapa permintaan warga, karena takut waktu semakin larut.
Mentari mulai condong ke Barat. Pukul 14.00, Jenazah tiba di Tebu Ireng, namun jalanan sudah dipenuhi ribuan orang sesak berdesakan, walhasil hanya jenazah dan kelurga saja yang bisa masuk, sedangkan iring-iringan semua berhenti jauh dari Pesantren Tebu Ireng.
Di sana, ribuan orang, dari para pejabat, pedagang, santri, hingga rakyat di pelosok-pelosok daerah berdatangan. Alfatihah terlantun. Air mata bercucuran. Tak henti-hentinya takbir menggema di Tebu Ireng, dua jam lamanya, shalat jenazah ditegakkan. Jama’ah mengular tak putus-putus, semua ingin menshalatkan ulama dan pemimpin bangsa ini.
Pukul 17.00. kumandang adzan terakhir menggema di dalam liang lahat sang pemuda. Ya, beliau memang muda dalam usia, tapi tua dalam karsa!. Namanya, abadi hingga sekarang, 100 tahun lamanya. Sudah satu Abad, KH Wahid Hasyim, tetap menyemai kerinduan akan sosok pemimpin besar nan sederhana, satu abad mewarnai Indonesia. Semoga terlahir kembali sosok pemimpin muda nan tegas, amanah, dan sangat takut akan RabbNya.
(Tulisan ini hanya cerita Pendek, dari beberapa kisah yang terpotong dalam buku-buku tentang KH Wahid Hasyim dan wawancara penulis dengan putra beliau KH Shalahuddin Wahid)
Oleh : Rizki Lesus
Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa