Pada abad ke-15, dunia—seperti temuan Karl Marx—pertama kali mengenal ideologi kapitalisme. Dibidani oleh Martin Luther yang memberi dasar teologis, Benjamin Franklin yang memberi dasar filosofis, dan Adam Smith yang memberi dasar ekonomi, ruh kapitalisme segera menyebar ke seluruh dunia melalui kolonialisme dan menghadirkan kemiskinan di wilayah jajahan[1].
Di sisi lain, kapitalisme juga membuat dunia dijangkiti oleh virus individualisme, suatu paham yang hanya fokus pada kepentingan pribadi saja dan mengabaikan hak dan keperluan orang lain[2]. Kapitalisme yang didengungkan sebagai jalan keluar ekonomi yang efisien malah menimbulkan masalah serius pada struktur sosial, salah satunya timbulnya aliansi sosial pada masyarakat. Saat itulah sosialisme hadir sebagai bentuk pergolakan solidaritas kaum buruh memperjuangkan masyarakat egalitarian sebab sistem ekonomi yang hanya berpihak pada kaum elite saja[3].
Agaknya sosialisme ini menarik dibahas mendalam oleh HOS Tjokroaminoto, Sang Bapak Bangsa Indonesia. Dalam bukunya Islam dan Sosialisme, Tjokroaminoto mendefinisikan sosialisme sebagai paham ‘pertemanan’ atau ‘pesahabatan’ yang bertolak belakang dengan individualisme. Sosialisme bermaksud untuk menciptakan cara hidup ‘satu untuk semua dan semua untuk satu’, yang artinya kita memikul tanggung jawab atas perbuatan kita satu sama lain[4].
Islam dan Sosialisme
Meskipun didengungkan pada abad ke-18 di Eropa, ‘sosialisme’ menurut Tjokroaminoto sebenarnya sudah dikenalkan oleh Islam pada abad ke-13. Tjokroaminoto menjelaskan bahwa,
“Cita-cita sosialisme di dalam Islam itu tidak kurang dari tiga belas abad umurnya dan tidak bisa dikatakan muncul dari pengaruh bangsa Eropa. Saya tidak bermaksud mengatakan, bahwa pada ketika itu sudah ada sesuatu propaganda sosialisme yang teratur seperti sekarang ini, akan tetapi di dalam pergaulan hidup Islam bersama pada zamannya nabi kita Muhammad Saw dan asas-asas itu dilakukan lebih banyak dan lebih gampang daripada di Eropa dalam zaman manapun juga sesudahnya zaman nabi kita itu.”[5]
Saat itu, Nabi Muhammad SAW sudah menjalankan asas-asas yang saat ini diklaim sebagai prinsip sosialisme. Peraturan dijalankan secara sosialistik. Untuk hal ini, menurut Tjokroaminoto, negeri Islam sudah sampai pada batas sosialisme tertinggi. Di bawah aturan sosialisme, rakyat harus mempunyai suara langsung di dalam masalah negara. Pembuatan peraturan secara referendum adalah cara paling sosialis dibandingkan hanya dengan mendudukan perwakilan rakyat sebagai kepanjangan suara.
Di dalam negeri Islam, rakyat mengetahui bahwa kekuasaan membuat aturan bukan dikendalikan oleh golongan tertentu saja. Peraturan umat Islam datangnya dari Tuhan bukan buatan manusia belaka. Dengan itu, tidak ada satu manusia pun yang bisa mengubah peraturan tersebut[6].
Tidak hanya dari segi hukum dan politik, bukti lain sosialisme Islam ditunjukan dalam struktur ekonomi. Memakan hasil pekerjaan orang lain, tidak membagi keuntungan dari hasil pekerjaan yang seharusnya menjadi bagian orang yang ikut bekerja, dan perbuatan serupa dalam Islam disebut sebagai riba dan dilarang dengan tegas. Dalam al-Qur’an, Allah mengharamkan perbuatan riba seperti pada surat berikut:
“Wahai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba, jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak meninggalkan, maka umumkanlah perang kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka jika kalian bertaubat, maka bagi kalian adalah pokok harta kalian. Tidak berbuat dhalim lagi terdhalimi. Dan jika terdapat orang yang kesulitan, maka tundalah sampai datang kemudahan. Dan bila kalian bersedekah, maka itu baik bagi kalian, bila kalian mengetahui.” (QS al-Baqarah: 278-280).”
Jelas sekali bahwa Islam sejatinya sudah bertolak belakang dengan paham kapitalisme yang sarat unsur riba atau—menurut Marx—memakan keuntungan (meewarde)[7].
Islam juga mengajarkan tentang ekonomi gotong royong yang menjadi impian sosialisme melalui sedekah, zakat, pembagian warisan, dan wakaf. Islam mewajibkan siapa saja yang memiliki harta untuk mengeluarkan sebagian hartanya kepada delapan golongan orang membutuhkan dengan nominal yang sudah diatur dalam al-Qur’an[8]. Pembagian warisan pun—dalam Islam—tidak hanya anak yang berhak mendapatkan harta peninggalan orang mati, namun juga ada hak orang lain yang bersangkutan, misalnya saja istri atau suami, namun tetap sesuai dengan aturan yang diberikan oleh Allah. Selain waris, sebagian dari harta peninggalan boleh didermakan kepada orang banyak dan hal ini pun diatur dalam Islam sebagai wakaf [9].
Menurut Tjokroaminoto, sosialisme Islam memiliki tiga anasir, antara lain kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan. Anasir tersebut sudah terkandung dalam aturan Islam dan sudah dicontohkan oleh Rasulullah[10]. Kemerdekaan bagi orang Islam ditunjukan dengan tidak adanya rasa takut pada siapapun dan apapun, kecuali kepada Allah saja. Hanya ada satu tempat bagi umat Islam untuk bergantung dan terikat, bukan kepada hal-hal duniawi yang bersifat materialistis, namun hanya kepada Allah. Kemerdekaan dari hal-hal duniawi itulah yang ditekankan oleh Islam[11].
Tentang persamaan, umat Islam sudah menganggap mereka semua satu kesatuan yang sama. Tidak ada perbedaan di antara kaum Muslimin. Persamaan yang adil dan serupa menjadikan umat Islam satu badan, hal yang dicita-citakan oleh Rasulullah[12]. Prinip persamaan dalam Islam membunuh sistem kasta dan kelas. Pada masa Rasulullah, ada aturan bahwa budak harus menerima makanan yang sama dengan apa yang dimakan tuannya. Meskipun tidak bisa menghapuskan sistem feodalisme, namun Rasulullah berhasil menyamakan derajat kaum budak dengan orang merdeka. Kaum budak mendapatkan persamaan hak dan hukum dengan kaum merdeka[13].
Meskipun sosialisme Barat menggaungkan persaudaraan antar kaum sosialis, namun Islam jauh melampaui itu. Persaudaraan umat Islam tidak hanya terputus di dunia saja, tapi juga hingga akhirat. Rasulullah pernah meminta kepada para pengikutnya untuk memperlakukan orang lain seperti saudaranya sendiri. Rasulullah juga pernah bersabda bahwa orang Islam adalah saudara di dalam agama,
“Orang-orang Islam adalah saudara di dalam agama dan tidak boleh tindas menindas satu sama lain, juga tidak boleh melalaikan tolong-meolong sat sama lain, juga tidak boleh hina menghinakan satu sama lain”[14]
Konflik Agama dan Sosialisme
Sosialisme, meskipun lahir akibat cacat dalam individualisme dan kapitalisme, akan menjadi sempurna jika manusia tidak hanya hidup untuk sesama manusia saja sebab, pada dasarnya, manusia memiliki tabiat untuk menjunjung dirinya sendiri. Jika tidak ada kekuatan super power yang mengawasi sosialisme, maka manusia akan terjerumus pada ego dan membawa dampak yang jauh lebih menyesatkan. Satu-satunya penawar untuk penyakit itu adalah agama[15].
Sosialisme harus berdasarkan pada agama. Sosialisme yang hanya berlandaskan untuk mengejar kemerdekaan duniawi saja akan sia-sia sebab ego manusia tidak akan pernah merasa puas. Manusia semestinya mengejar tujuan yang jauh lebih tinggi dibanding kesenangan dunia. Tujuan hidup manusia sesuai dengan tuntunan al-Qur’an adalah untuk beribadah dan patuh kepada Allah[16].
Sosialisme sempurna tidak akan tercapai jika tidak ada dasar agama yang melandasi, manusia akan susah payah untuk mengorbankan kepentingan pribadinya demi kepentingan orang lain. Di dunia yang dikuasai oleh materialisme, semua sumber daya hanya digunakan untuk memperkuat kaum elite. Materialisme memupuk subur sifat individual. Hanya agama yang mampu untuk melepaskan manusia dari sifat individualisme. Namun, hanya Islam yang mampu memerdekakan manusia dari kesenangan semu materialisme duniawi[17].
Karl Marx, yang digadang sebagai bapak Sosialisme, justru mensekularisasi sosialisme. Marx menjadikan materialisme historis sebagai dasar teori yang dikemukakannya. Materialisme historis menegaskan bahwa segala sesuatu berasal dari benda, oleh benda, dan kembali kepada benda. Berbeda dengan umat Islam yang mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, oleh Allah, dan kembali kepada Allah[18]. Bahkan, menurut Tjokroaminoto dalam salah satu karangannya, Marx pernah berkata:
“Agama ialah kebingungan otak yang dibuat-buat oleh manusia untuk memringankan beban hidup yang sukar ini, agama itu canduya rakyat”[19]
Cita-cita Besar Umat Islam
Dulu, kebesaran umat Islam karena agama Islam itu sendiri. Begitu pula di masa yang akan datang, Tjokroaminoto percaya bahwa umat Islam akan jaya kembali karena agamanya. Umat Islam tidak boleh diperbudak terus oleh nafsu materialisme dan kapitalisme yang disebarkan oleh Barat, hal yang akan membawa kesengsaraan dan kecelakaan belaka. Meskipun despotisme dan autokratisme perlahan-lahan mengikis jiwa sosialistik umat Islam, al-Qur’an masih terjaga dan kekal, suatu hal yang masih harus kita syukuri. Al-Qur’an masih mengajarkan umat Islam tentang anasir sosialisme sejati: kemerdekaan dari hal duniawi, persamaan golongan, dan persaudaraan abadi umat Islam[20].
Tjokroaminoto, Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota, berpesan kalau orang bisa saja memenangkan perang, namun umat yang berbakti kepada Tuhan-lah yang akan abadi. Lebih baik mendapatkan kemenangan kekal meskipun perlahan daripada mendapat kemengan instan dan tidak bertahan lama melalui cara yang zalim. Namun, umat Islam tidak boleh lalai. Kebesaran umat Islam hanya akan datang kembali jika umat Islam bersatu dan tekun dengan usaha Pan-Islamisme melawan kapitalisme dan hegemoni Barat[21]. Toh, umat Islam memang sudah bersifat sosialistik dengan sempurna. Wallahu a’lam bish-shawab.
Oleh: Priyanka Wardhani – Peserta Kelas Memaknai Indonesia
[1] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Sejarah Ideologi Dunia: Kapitalisme, Sosialisme, Komunisme,
Fasisme, Anarkisme, Anarkisme dan Marxisme, Konservatisme, Eye on The Revolution Press, 2010, h. 19—20
[2] HOS Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, Sega Arsy, Bandung, 2010, h. 113—114
[3] Nur Sayyid Santoso Kristeva, op cit., h. 32
[4] HOS Tjokroaminoto, op cit., h. 15
[5] Ibid, h. 22
[6] Ibid, h. 23—24
[7] Ibid, h. 27
[8] Ibid, h. 41—43
[9] Ibid, h. 76—77
[10] Ibid, h. 46
[11] Yasmin Mogahed, Reclaim Your Heart, Penerbit Noura Books, Jakarta, 2018, h. 5
[12] HOS Tjokroaminoto, ibid, h. 47—50
[13] Ibid, h. 15
[14] Ibid, h. 51—53
[15] Ibid, h. 114
[16] Ibid, h. 114—115
[17] Ibid, h. 116
[18] Ibid, h. 34—35
[19] Ibid, h. 34
[20] HOS Tjokroaminoto, op cit., h. 147, 150
[21] Ibid, h. 151—152