“Tidak sedikit orang yang melupakan bahwa justru Piagam Jakarta lah yang dengan tegas-tegas menyebut kelima sila dalam Pancasila mendahului pengesahan UUD 1945 itu sendiri.” –K.H. Saifuddin Zuhri, Tokoh NU-
“Insya Allah umat Islam tidak akan lupa Piagam Jakarta!” –Mohammad Natsir,Tokoh Masyumi-
Belum lamaini hangat dan ramai diperdebatkan soal Perda (Peraturan Daerah) Syariah dan Pancasila.Kelompok sekular[1] menganggap Perda Syariah bertentangan dengan Pancasila dan dapat mengotak-ngotakkan masyarakat serta mengganggu kemajemukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan Bhinneka Tunggal Ika. Sementara kelompok Islam[2] menganggap syariat Islam tidak bertentangan dengan Pancasilasehingga Perda Syariah diperkenankan ada di Indonesia.
Ada istilah yang terkenal di dalam sejarah, “Sejarah akan terus berulang”. Memang bukan peristiwanya yang berulang, melainkan pola-pola peristiwanya yang berulang. Inilah yang disebutsunnatullahdalam bahasa Al-Qur’an (Al-Ahzab [33]:62). Dahulu, tepatnya pada tahun 1945, juga hangat bahkan panas dan ramai bahkan sengit diperdebatkan oleh kelompok sekular dan kelompok Islamsoalsyariat Islam dan Pancasila.
Ketika itu, sebuah peristiwa politik yang sangat bersejarah ditorehkan oleh para pendiri bangsa ini. Agus Salim, Wahid Hasjim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebarjo, Muhammad Yamin, dan A.A. Maramis yang tergabung dalam panitia sembilan BPUPK berhasil merumuskan sebuah gentlement agreement (perjanjian luhur) yang menjadi pembukaan (preambule) dalam Undang-Undang Dasar 1945. Perjanjian luhur yang ditandatangani oleh kesembilan anggota pada 22 Juni 1945, oleh Muhammad Yamin disebut sebagai Piagam Jakarta (The Jakarta Charter).
Piagam Jakarta merupakan kesepakatan antara kelompok nasionalis sekular dan kelompok nasionalis Islam. Sejarawan Endang Saifuddin Anshari membagi kesembilan orang itu dalam 2 kelompok yaitu kelompok nasionalis Islam dan nasionalis sekular. Agus Salim (nasionalis Islam, pendiri Partai Penyadar), Wahid Hasjim (nasionalis Islam, tokoh Nahdlatul Ulama), Abikoesno Tjokrosoejoso (nasionalis Islam, tokoh Partai Syarikat Islam Indonesia), Abdul Kahar Muzakkir (nasionalis Islam, pemimpin Muhammadiyah), Soekarno (nasionalis muslim sekular), Mohammad Hatta (nasionalis muslim sekular) , Achmad Soebarjo (nasionalis muslim sekular), Muhammad Yamin (nasionalis muslim sekular), dan A.A Maramis (nasionalis kristen sekular). [3]
Sebelumnya, pada bulan Mei 1945 diadakan suatu panitia dengan nama Panitia Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (lebih dikenal dengan nama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) yang diketuai oleh Radjiman Wediodiningrat.[4] Badan ini dibentuk oleh Jepang untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Kesembilan panitia di atas juga tergabung di dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang dikenal juga dengan nama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai. Dalam perjalanannya, BPUPK melaksanakan dua sidang, sidang pertama pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945 dan sidang kedua pada tanggal 10-16 Juli 1945.
Pada hari terakhir sidang pertama BPUPK, Soekarno mengatakan bahwa panitia sembilan ini sudah menyetujui sebulat-bulatnya rancangan preambule. Kata Soekarno, marilah sekarang saya bacakan usul rancangan pembukaan itu kepada tuan-tuan:
“Pembukaan: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa , dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannnya. Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteran umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.”
Kemudian Soekarno menambahkan penjelasan:“Di dalam preambule itu ternyatalah seperti yang saya katakan tempo hari, segenap pokok-pokok pikiran yang mengisi dada sebagian besar daripada anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai masuk di dalamnya ke-Tuhanan dan terutama sekali kewajiban umat Islam untuk menjalankan syariat Islam masuk di dalamnya, kebulatan nasionalisme Indonesia, persatuan bangsa Indonesia masuk di dalamnya, kemanusiaan atau Indonesia Merdeka di dalamnya susunan perikemanusiaan dunia masuk di dalamnya, keadilan sosial, sociale rechtvaardigheid masuk d dalamnya. Maka oleh karena itu, Panitia Kecil penyelidik usul-usul berkeyakinan bahwa inilah preambule yang bisa menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai .”[5]
Sehari setelah Soekarno menyampaikan pidatonya, kalimat “ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”mendapat protes dari Latuharhary, seorang Protestan asal Maluku yang juga anggota BPUPK. Namun Latuharhary tidak secara tegas menyampakan aspirasi Kristen, ia justru mempermasalahkan jika syariat Islam diwajibkan pada pemeluk-pemeluknya, maka mereka harus meninggalkan hukum adat yang sudah diterapkannya selama ini, seperti di Minangkabau dan Maluku. Ia mencontohkan pada hal pewarisan tanah di Maluku. Jika syariat Islam dijalankan pemeluk-pemeluknya, maka anak yang tidak beragama Islam tidak mendapat warisan. “Tanah itu tidak hanya diwariskan pada anak-anak yang beragama Islam, tapi juga yang beragama Kristen. Agama Islam dan Kristen dalam hal ini tidak bisa ikut campur. Kalau syariat Islam diwajibkan bagi pemeluk-pemeluknya, tentu akan digunakan dalam adat istiadat ini. Jadi kalimat semacam itu dapat membawa kekacauan yang tidak kecil terhadap adat istiadat,” kata Latuharhary.[6]
Menariknya, A.A. Maramis yang juga beragama Kristen berbeda pandangan dengan Latuharhary. Sejarawan Deliar Noer mengatakan bahwa berdasarkan keterangan Abdul Kahar Muzakkir, A.A. Maramis sebenarnya setuju 200 % dengan Preambule atau Piagam Jakarta. Persetujuan ini terjadi karena ke-Tuhanan tidak dituliskan dengan Yang Mahaesa. Jadi, tidak bertentangan dengan keyakinan Trinitas ajaran Kristen. Sementara, ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diberlakukan untuk umat Islam saja. Tidak untuk seluruh bangsa Indonesia. Artinya umat Kristen dan Katolik tidak terkena syariat Islam.[7]
Kembali dalam sidang. Agus Salim yang berasal dari Minangkabau membantah pernyataan Latuharhary. Ia menegaskan bahwa “Pertikaian hukum agama dengan hukum adat bukan masalah baru dan pada umumnya sudah selesai.”[8]
Lebih lanjut kata Agus Salim: “Saya yakin keamanan bangsa-bangsa yang tidak beragama Islam dalam 300 tahun yang lalu itu bukan berdasar pada kekuasaan Balatentara, melainkan padaadat-adatnya umat Islam yang 90% itu. Jadi tidak akan menimbulkan kekacauan sebagaimana yang disangkakan. Meskipun tidak ada Indonesia merdeka dan hukum dasar Indonesia, umat Islam wajib menjalankan syariatnya karena itu adalah hak umat Islam yang dipegangnya.”
Kemudian kata Sorkarno: “Barangkali tidak perlu kembali membahas preambule, sebab preambule ini adalah hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan paham antara golongan-golongan kebangsaan dan golongan Islam. Jadi manakala kalimat itu tidak dimasukkan, saya yakin bahwa pihak Islam tidak bisa menerima preambule ini dan perselisihan akan terus terjadi.”
Selain Latuharhary, ada jugaanggota BPUPK yang menyampaikan keberatannya. Wongsonegoro mengusulkanagar kalimat tersebut ditambah. “Seandainya kalimat tersebut tidak diubah tetapi ditambah bagi pemeluk-pemeluk agama lain dengan jalan menurut agamanya masing-masing, bagaimana?,” kata Wongsonegoro.Kemudian Djajadiningrat bertanya: “Apakah ini tidak menimbulkan fanatisme, misalnya memaksa orang Islam sembahyang, shalat, dan lain-lain?”
Kemudian Wahid Hasjim menanggapi keberatan mereka. “Karena kita sudah berkali-kali menegaskan bahwa susunan pemerintahan didasarkan atas perwakilan dan permusyawaratan, maka bila terjadi paksaan, soal ini dapat dimajukan dan diselesaikan. Kita tidak perlu khawatir. Saya sebagai orang yang sedikit banyak berhubungan dengan masyarakat Islam dapat mengatakan bahwa jika ada badan perwakilan, paksaan itu tidak akan terjadi. Kemudian dalam hal ini saya perlu memberikan keterangan sedikit. Seperti kemarin telah dikatakanoleh anggota BPUPK bernama Sanoesi, kalimat yang dikhawatirkan itu baginya kurang tajam. Saya sudah mengemukakan bahwa kalimat tersebut adalah hasil kompromi yang kita peroleh. Dan jika dijadikan lebih tajam, maka akan menimbulkan kesukaran. Jadi dengan ini saya minta supaya hal ini jangan diperpanjang,” kata Wahid Hasjim.
Soekarno sekali lagi mengulangi bahwa kalimat tersebut adalah satu kompromi antara golongan kebangsaan dan Islam yang didapat dengan susah payah. Sidang pada hari itu berakhir dengan kesepakatan bahwa preambule itu sudah diterima. “Tuan-tuan, saya kira kalimat “dengan berdasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sudah diterima oleh panitia ini. Dan pokok yang lain saya kira tidak ada yang menolaknya. Dengan demikian semua pokok-pokok pikiran yang termasuk dalam preambule dibenarkan oleh panitia sekarang ini,” kata Soekarno.[9]
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Piagam Jakarta adalah naskah pembukaan (preambule) UUD, yang kemudian disiapkan untuk konstitusi Indonesia merdeka. Setelah naskah pembukaan itu sudah disepakati, maka naskah rincian pasal-pasal dalam UUD menjadi pembahasan selanjutnya.
Oleh karena itu, pada tanggal 11 Juli 1945, Radjiman selaku ketua BPUPK membentuk tiga kelompok panitia: panitia perancang hukum dasar yang diketuai oleh Soekarno, panitia perancang keuangan dan ekonomi yang diketuai oleh Mohammad Hatta serta panitia perancangan pembelaan tanah air yang diketuai oleh Abikoesno Tjokrosoejoso. [10]
Dalam perkembangannya, Soekarno membentuk panitia kecil yang terdiri dari Soepomo (Ketua), Agus Salim, Wongsonagoro, Subardjo, Maramis, Singgih, dan Soekiman untuk merancang pasal-pasal UUD 1945 itu.
Soekarno menutup sidang hai itu dengan mengatakan “Jadi, lusa pagi jam 10 kita bicarakan rancangan yang dibuat oleh panitia perancang hukum dasar.”[11]
Lusanya pada tanggal 13 Juli 1945, Soepomo membacakan dasar rancangan UUD yang telah dibuat oleh panitia kecil di hadapan anggota sidang BPUPK. Dalam sidang itu, Wahid Hasjim menanggapi dan mengusulkan agar pasal 4 ayat 2 tentang presiden ditambahkan “yang beragama Islam” sehingga menjadi “presiden adalah orang Indonesia asli yang beragama Islam”. “Jika presiden orang Islam, maka perintah-perintahnya berbau Islam dan akan besar pengaruhnya,” kata Wahid Hasjim. Kemudian ia juga mengusulkan agar pasal 28 tentang agama yang bunyinya “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apa pun dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing”, diubah menjadi “Agama negara adalah Islam dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain untuk dsb“. Ia beralasan: “Hal ini erat hubungannya dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat. Karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan kepada ideologi agama.”
Menanggapi pernyataan Wahid Hasjim, sahabatnya yaitu Agus Salim mengingatkan bahwa usul itu berarti mementahkan lagi kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya antara golongan kebangsaan dan Islam. “Apakah hal ini tidak bisa diserahkan kepada Badan Permusyawaratan Rakyat? Jika presiden harus orang Islam, bagaimana halnya terhadap wakil presiden, duta-duta, dsb. Apakah artinya janji kita untuk melindungi agama lain?,”[12] kata Agus Salim.
Namun usul Wahid Hasjim didukung oleh Soekiman. “Oleh karena usul-usul Wahid Hasjim akan memuaskan rakyat dan pada hakikatnya tidak berakibat apa-apa, maka saya setuju dengan usul-usul Wahid Hasjim,” kata Soekiman.Menanggapi pernyataan Soekiman, Djajadiningrat mengatakan “Dalam praktik sudah tentu yang menjadi presiden adalah orang Indonesia yang beragama Islam. Oleh karena itu, saya setuju bila pasal 4 ayat 2 dihapuskan.” Kemudian Oto Iskandar Dinata juga menyetujui usulan Djajadiningrat. “Setuju usul Djajadiningrat untuk menghapuskan pasal 4 ayat 2,”[13] kata Oto Iskandar Dinata. Dan akhirnya usulan Wahid Hasjim kandas.
Esoknya Soekarno sebagai ketua panitia konstitusi, melaporkan tiga rancangan yaitu deklarasi kemerdekaan, preambule UUD, dan batang tubuh UUD yang terdiri dari 42 pasal,kepada sidang BPUPK. Dalam sidang itu, Ki Bagus Hadikusumo, tokoh Muhammadiyah meminta agar frase “bagi pemeluk-pemeluknya” dalam piagam Jakarta dihapuskan saja. Sehingga bunyinya menjadi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.”
Kemudian Soekarno menanggapinya. Soekarno kembali meminta kepada seluruh anggota BPUPK untuk menerima hasil kompromi antara golongan kebangsaan dan Islam. “Sudahlah hasil kompromi diantara dua pihak sehingga perselisihan diantara kedua pihak hilang. Tiap kompromi berdasarkan pada memberi dan mengambil, geven dan nemen. Bahkan kemarin di dalam panitia, soal ini sudah ditinjau kembali dengan sedalam-dalamnya. Sebagaimana Tuan-tuan yang terhormat ketahui, Tuan Wahid Hasjim dan Agus Salim adalah anggota panitia yang juga sebagai pemuka Islam. Pendek kata inilah kompromi yang sebaik-baiknya. Jadi panitia memegang teguh kompromi yang dinamakan oleh anggota terhormat M.Yamin sebagai “The Jakarta Charter” dan disertai perkataan anggota terhormat Soekiman sebagai “gentlement agreement”, agar ini dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak kebangsaan saya mengharap paduka Tuan yang mulia, rapat besar suka membenarkan sikap panitia itu,”[14] kata Soekarno.
Setelah diskusi panjang mengenai hal lain, tiba-tiba Hadikusumo mengulangi ketidaksetujuannya atas frase di atas dan sekali lagi mengajukan usul. Sementara Hadkusumo dan Soekarno tetap pada pendiriannya masing-masing, Abikoesno menunjukkan bahwa yang dimuat dalam piagam tersebut adalah buah kompromi antara golongan Islam dan golongan kebangsaan.
“Kalau golongan Islam harus menyatakan pendirian, tentu saja kita menyatakan sebagaimana harapan Tuan Hadikusumo. Tetapi kita sudah berkompromi dan bedamai. Kemudian dengan tegas, Paduka Tuan Ketua Panitia sudah dinyatakan bahwa kita harus memberi dan mendapat. Untuk mengadakan persatuan, janganlah sesama teman terlihat perbedaan paham tentang soal ini. Itulah tanda yang tidak baik untuk dunia luar. Kita sungguh-sungguh berharap untuk mendesak kepada segenap golongan yang ada di dalam Badan ini, sudilah kiranya kita mengadakan suatu perdamaian. Janganlah sampai menampakkan perselisihan paham kepada dunia luar,” kata Abikoesno.
Penjelasan Abikoesno ini disambut dengan tepuk tangan para anggota. Radjiman sebagai Ketua BPUPK bertanya kepada Hadikusumo. “Jadi bagaimana pendirian Tuan Hadikumo? Sudah terima?,” kata Radjiman. “Sudah,” jawab Hadikusumo. Kemudian Radjiman bertanya kepada anggota yang lain: “Tentunya diterima oleh anggota lain-lain sudah bulat?” Kemudian Anggota sidang serentak menjawab “Bulat”.
Sidang hari berikutnya membicarakan materi-materi dalam batang tubuh UUD. Di dalam pidato pengantarnya, Soepomo sebagai ketua panitia khusus perancang UUD menyampaikan beberapa pandangan, diantaranya menegaskan perlunya semua menghormati kesepakatan yang telah dicapai dengan susah payah tersebut. Kata Soepomo:
“Aliran pokok pikiran yang ke-5 dalam pembukaan, ialah Negara Indonesia memperhatikan keistimewaan penduduknya yang mayoritas beragama Islam. Dengan terang dikatakan dalam “pembukaan” kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Dengan itu, negara memperhatikan keistimewaan penduduknya yang beragama Islam itu. Kemarin secara panjang lebar telah diuraikan juga dan setelah Tuan Abikoesno berpidato, sidang mufakat pasal ini dengan suara bulat, maka perkataan-perkataan ini adalah hasil kompromi yang disebut gentlement agreement dari dua golongan yang dinamakan golongan kebangsaan dan golongan agama. Oleh karena itu, pasal ini harus dipegang teguh supaya dapat mempersatukan dua golongan itu berarti memberi dan menerima atas dasar kompromi itu. Kedua pihak tidak boleh menghendaki lebih dari yang telah termuat dalam kompromi. Sebab kalau tidak begitu, kita akan melanggar dasar kemanusiaan dan dasar keutamaan yang telah kita terima dalam pembukaan. Panitia perancang UUD, dimana termasuk anggota-anggota dari golongan Islam, yaitu Tuan-tuan Kiai Wahid Hasjim dan Agus Salim, maupun dari golongan lan, misalnya Tuan-tuan Latuharhary dan Maramis, menerima dengan bulat pasal 28 bab 11 agama, yang bunyinya 1. Negara berdasar atas ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Sebenarnya menurut gentlement agreement, pembukaan saja sudah cukup, akan tetapi kita maju selangkah, memasukkan juga dalam UUD perkataan tersebut.”[15]
Tetapi dalam sidang ini kembali muncul perdebatan, Hadikusumo kembali mempertanyakan kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Ia meminta kepada Ketua untuk menjelaskan secara pasti dan tegas apa maksud kalimat tersebut. Menanggapi pernyataan Hadikusumo, Ketua menjawab “Kalimat itu ada di dalam preambule yang sudah dijelaskan pada hari sebelumnya dan diterima secara bulat.” Namun Hadikusumo sebenarnya tidak sedang membahas preambule, tapi Bab X pasal 28.[16] Ia menyatakan ketidaksetujuannya dengan kata-kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dan mengusulkan agar kata-kata tersebut dicoret saja.[17]Namun Ia bersikap bijak denganmengatakan: “Akan tetapi kalau sidang sudah mufakat dengan kata-kata itu, saya terima.”[18]
Perdebatan selanjutnya mengenai apakah Presiden Indonesia harus beragama Islam atau tidak. Pratalykrama mengusulkan “Hendaklah orang Indonesia asli yang umurnya tidak kurang dari 40 tahun dan beragama Islam.“ Mengenai usulan itu, Soepomo menjelaskan bahwa dalam beberapa UUD dari hukum negara lain, memang ada aturan demikian, seperti umpamanya UUD di Filipina, bahwa kepala negara atau presiden harus berumur 45 tahun. “Akan tetapi panitia memutuskan tidak perlu membatasi umurnya dalam UUD itu karena jika umurnya dibatasi, maka seumpama ada orang yang berumur 38 tahun yang sangat bijaksana, sangat pandai, sangat luhur budinya, dan sangat disukai oleh seluruh rakyat, tapi hanya karena kurang 2 atau 1 tahun, tidak bisa dipilih menjadi kepala negara,” kata Soepomo. Kemudian ia tidak setuju kalau presiden harus beragama Islam.Kata Soepomo: “Marilah kita menghormati apa yang telah dijanjikan oleh kedua belah pihak. Kita harus percaya dan memegang teguh apa yang sudah kita janjikan. Dan lagi 95% orang Indonesia beragama Islam, dan itu sudah menjadi jaminan yang besar bahwa presiden yang akan terpilih beragama Islam.”[19]
Namun usulan Pratalykrama mendapat dukungan dari K.H. Masjkoer. “Ada dua pasal yang sebenarnya sukar dilaksanakan bila disesuaikan dengan kalimat “ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang terdapat di dalam preambule. Pertama, pasal 7 bahwa presiden harus bersumpah menurut agamanya. Artinya presiden beragama apa saja, boleh menjadi presiden. Kalau presiden Indonesia tidak beragama Islam, apakah keadaan itu dapat dijalankan dengan baik? Apakah umumnya golongan Islam dapat menerimanya? Dan apakah demikian itu tidak jahat? Kedua, pasal 28. Kalau presiden tidak diharuskan orang Islam, maka pasal 28 yang berbunyi ;wajibnya menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya’ diubah saja bunyinya menjadi ‘Agama resmi Republik Indonesia ialah agama Islam.’ Ini akan lebih meringankan presiden yang tidak beragama Islam untuk memikul kewajiban. Saya rasa lebih mudah apabila salah satu di antara dua pasal itu diadakan perubahan. Mau ditentukan pasal 7 atau ayat di dalam pasal 28 diubah,”[20] kata K.H.Masjkoer.
Soekarno tampil menyatakan bahwa ia memahami betul apa yang disampaikan K.H. Masjkoer. Kata Soekarno:“Tetapi seperti yang telah dikatakan beberapa kali oleh Prof.Soepomo, kami anggota –anggota panitia berkepercayaan bahwa yang akan dipilih oleh rakyat Indonesia ialah orang yang menjalankan ayat satu dalam pasal 28. Kalau Tuan Haji Masjkoer menanyakan hal itu kepada diri saya sebagap persoon, saya seyakin-yakinnya bahwa Presiden Indonesia tentu orang Islam. Karena saya melihat dan mengetahui bahwa sebagian besar penduduk Indonesia adalah beragama Islam.”
Kemudian ia menjelaskan pada K.H. Masjkoer bahwa pendapat panitia perancang itu paling bijak dan membawa perdamaian dan menghindari perselisihan diantara dua pihak yang berhadapan muka. “Rancangan UUD ini adalah satu penghormatan kepada gentlement agreement itu,”[21] kata Soekarno.
Abdul Kahar Muzakkir yang mendengar Islam dinomorduakan, berkobar semangat ke-Islamannya. Sambil memukul meja, ia meminta “Supaya dari permulaan pernyataan Indonesia Merdeka sampai kepada pasal di dalam UUD itu yang menyebut-nyebut nama Allah atau agama Islam atau apa saja, dicoret sama sekali, jangan ada hal-hal itu.”[22]
Setelah itu, Soekarno dan Radjiman mengusulkan untuk menstem (melakukan pemungutan suara) usulan K.H.Masjkoer. Namun Sanoesi menolak usulan mereka. “Tidak bisa Tuan, tidak bisa distem. Perkara agama tidak bisa distem. Kita terima usulan Tuan Masjkoer atau Tuan Muzakkir? Usul saya menggunakan kata-kata “menurut agama” jangan pakai ‘nya’. Usul Sanoesi diterima oleh panitia lewat mulut Soekarno. “Panitia menerima ‘nya’ tidak dipakai, jadi kata-katanya ‘menurut agama’ ”[23]
Menanggapi pernyataan Abdul Kahar Muzakkir, Soekarno mengatakan “panitia tidak mufakat dengan usul Tuan Muzakkir.” DanMuzakkir pun tidak terima sikap panitia itu. Ia minta usulannya dipertimbangkan.[24]
Berbeda dengan panitia, pernyataan Abdul Kahar Muzakkir didukung oleh Hadikusumo. Kata Hadikusumo: ”Tuan-tuan dengan pendek sudah kerapkali diterangkan di sini, bahwa Islam mengandung ideologi negara. Maka negara tidak bisa dpisahkan dari Islam. Sebab corak Islam, negara dan agama itu sudah diterangkan… Jadi, saya menyetujui usul Abdul Kahar Muzakkir tadi, kalau ideologi Islam tidak diterima, tidak diterima! Jadi, nyata negeri ini tidak berdiri di atas agama Islam dan negara akan netral.”[25]
Dalam sidang yang begitu panas ini, Sanoesi berusaha mendinginkan suasana. “Jangan diputuskan sekarang juga. Harap tuan-tuan memikirkan negara dan rakyat kita dengan tenang. Saya minta kepada tiap hadirin yang mewakili 70 juta orang, agar mengikuti sidang dengan tenang, sabar, dan bermusyawarah. Saya tidak berkeberatan bermusyawarah kembali dengan tenang dengan berlindung kepada Tuhan masing-masing. Saya minta kepada Tuan Ketua agar suasana permusyawaratan ini didinginkan dulu,” kata Sanoesi. Kemudian Radjiman mengikuti saran Sanoesi dan menunda sidang sampai besok pagi. “Jadi, hal yang masih menanti keputusan ini besok pagi tentu dapat diselesakan dengan perasaan tenang,” kata Radjiman. Sidang ditutup tanpa keputusan apa pun.
Kegelisahan dan ketidakpastian sidang kemarin, tercermin esoknya ketika Soekarno tampil pertama berbicara. “Saya yakin bahwa banyak diantara anggota BPUPK yang tadi malam tidak bisa tidur… Kita kemarin menghadapi satu kesukaran yang amat sulit, tetapi Allah SWT selalu memberi petunjuk kepada kita. Kepada tiap-tiap manusia yang betul-betul memohon petunjuk daripada Allah SWT. Dalam tiap-tiap kesukaran, maka Allah SWT selalu memberi petunjuk. Maka petunjuk bagi kita anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai tadi malam telah mulai datang. Sesudah ditutup rapat tadi malam itu, maka dengan segera kami, yaitu beberapa pemuka yang dinamakan pemuka kebangsaan dan pemuka Islam, mengadakan perundingan. Dan sekarang telah sampailah saatnya saya sebagai Ketua Panitia mengemukakan pendapat saya tentang masalah itu.”
Kemudian Soekarno mengimbau segenap anggota terutama pihak kebangsaan untuk berkorban. “Saya berkata bahwa adalah sifat kebenaran di dalam pengorbanan –er is grootheid in offer-…
…Yang saya usulkan ialah:baiklah kita terima, bahwa di dalam UUD dituliskan bahwa Presiden Republik Indonesia haruslah orang Indonesia yang beragama Islam. Saya mengetahui bahwa buat sebagian pihak kaum kebangsaan ini berarti sesuatu hal yang berarti pengorbanan mengenai keyakinan. Tetapi apa boleh buat! Karena bagaimana pun kita sekalian yang hadir di sini, dikatakan 100% telah yakin, justru karena penduduk Indonesia terdiri daripada 90 atau 95% orang-orang yang beragama Islam, bgaimanapun tidak boleh tidak, nanti yang menjadi Presiden Indonesia tentulah orang yang beragama Islam…
…Marilah kita setujui usul saya itu, terimalah clausule di dalam UUD, bahwa Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam. Kemudian artikel 28, yang mengenai urusan agama, tetap sebagaimana yang telah kita putuskan, yaitu ayat ke-1 berbunyi Negara berdasar atas ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Ayat ke-2 berbunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan untuk beribadat menurut agaamanya dan kepercayaan masing-masing. Saya minta supaya yang saya usulkan itu diterima dengan bulat-bulat oleh anggota sekalian, walaupun saya mengetahui, bahwa ini berarti pengorbanan yang sehebat-hebatnya, terutama sekali dari pihak saudara-saudara kaum patriot Latuharhary dan Maramis yang tidak beragama Islam.”[26]
Setelah tidak ada lagi yang keberatan dalam sidang, Radjiman menutup sidang seraya mempersilakan anggota yang setuju untuk berdiri. “Jadi rancangan ini sudah diterima diterima semuanya. Jadi saya ulangi lagi UUD ini kita terima dengan sebulat-bulatnya. Bagaimanakah Tuan-tuan? Untuk penyelesaiannya saya minta dengan hormat yang setuju dan mnerima, berdiri. Dengan suara bulat diterima UUD ini Terimakasih Tuan-tuan,” tutup Radjiman diiringi tepuk tangan peserta sidang.
Biarlah sejarah BPUPK ini yang menengahiperdebatanantara kelompok sekular dan kelompok Islam saat ini.
Andi Ryansyah, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
[1]Urusan negara tidak diatur oleh agama.
[2]Urusan negara diatur oleh agama.
[3] Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, Bandung: Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, 1981, hlm. 39
[4] Mohammad Hatta, UntukNegeriku Menuju Gerbang Kemerdekaan Sebuah Autobiografi, Jakarta:Kompas, 2010, hlm.64
[5] Endang Saifuddin Anshari, Ibid, hlm.27-28
[6] Safroedin Bahar dkk, Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, hlm.216
[7] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 2, Bandung: Salamadani, 2010, hlm.133
[8] Endang Saifuddin Anshari, Ibid, hlm.29
[9] Saafroedin Bahar dkk., Ibid, hlm. 216-218
[10] Yudi Latif, Negara Paripurna Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm. 27-28
[11] Saafroedin Bahar dkk., Ibid, hlm. 222
[12] Saafroedin Bahar dkk., Ibid, hlm. 224
[13] Saafroedin Bahar dkk., Ibid, hlm. 225
[14] Saafroedin Bahar dkk., Ibid, hlm. 241
[15] Saafroedin Bahar dkk., Ibid, hlm. 267
[16] Pasal 28 Bab X ini kemudian muncul dalam UUD sebagai Bab XI Pasal 29.
[17] Endang Saifuddin Anshari, Ibid, hlm. 34
[18] Saafroedin Bahar dkk., Ibid, hlm. 338
[19] Saafroedin Bahar dkk., Ibid, hlm. 341-343
[20] Saafroedin Bahar dkk., Ibid, hlm. 343-344
[21] Saafroedin Bahar dkk., Ibid, hlm. 345
[22] Saafroedin Bahar dkk., Ibid, hlm. 347
[23] Saafroedin Bahar dkk., Ibid, hlm. 350
[24] Saafroedin Bahar dkk., Ibid, hlm. 351
[25] Saafroedin Bahar dkk., Ibid, hlm. 351
[26] Saafroedin Bahar dkk., Ibid, hlm. 361