“Kalau saya sering mengkritik pemerintah, bukan artinya saya tidak mengenal takut. Saya takut kepada Presiden Soeharto, saya takut kepada Pangkopkamtib Laksamana Soedomo. Tapi saya lebih takut lagi kepada Allah SWT. Kita ditugaskan oleh Allah untuk memberi ingat kepada kebenaran.”

Jika berbicara tentang pembangunan ekonomi di Indonesia, maka Sjafruddin Prawiranegara merupakan salah satu sosok yang otoritatif dalam membicarakan hal tersebut. Ia adalah sosok negarawan dan salah satu ahli ekonomi ternama Indonesia sejak awal kemerdekaan. Sjafruddin yang merupakan tokoh Partai Masyumi itu pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan, hingga Gubernur Bank Indonesia. Ia juga merupakan sosok dibalik berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berhasil menyelamatkan eksistensi Republik Indonesia, ketika Presiden Sukarno beserta beberapa pejabat negara lainnya saat itu ditangkap oleh Belanda pada akhir 1948.

Karya-karya tulis maupun pidato Sjafruddin banyak berbicara tentang pembangunan ekonomi secara teoritis maupun praktik di Indonesia. Hal terpenting dari pemikirannya ialah bagaimana pembangunan ekonomi tidak ia lepaskan dari peran agama khususnya Islam. Sebab menurut Sjafruddin, ilmu ekonomi sejatinya hanya memiliki minat dan tujuan terhadap cara menjadi kaya dan makmur, dalam arti kebendaan. Tentang apakah caranya tersebut baik atau tidak, legal atau tidak, bukan merupakan urusan ilmu ekonomi. Di sinilah peran agama harus diperkuat.

Pandangan ini dapat ditemukan misalnya dalam karya Sjafruddin yang berjudul Peranan Agama dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat dan Ekonomi Indonesia yang ia tulis tahun 1957 sebagai berikut:

Saudara-saudara, bahwa homo economicus itu menurut hemat saya mestilah juga merupakan homo religious. Hanya orang yang merasa wajib berbakti kepada Tuhan dengan berbakti kepada sesama manusianya, akan dapat mempergunakan alam kebendaan ini dengan cara yang sebaik-baiknya, cara yang mengandung manfaat yang sebesar-besarnya bagi manusia.

Meski memiliki peranan penting secara pemikiran maupun gerakan untuk bangsa Indonesia, namun karena konflik perpolitikan, Sjafruddin beserta sejumlah tokoh Masyumi lainnya sempat ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah Sukarno. Baru setelah masa pemerintahan Orde Lama itu berakhir, para tahanan politik itu dibebaskan dari penjara. Namun demikian mereka yang merupakan para tokoh Masyumi seperti Sjafruddin ini dibatasi gerak politiknya oleh Presiden Soeharto. Meski begitu, Sjafruddin tetap aktif menjalankan tugasnya sebagai seorang intelektual dan muballigh. Melalui tulisan atau ceramahnya, ia tetap tajam mengomentari berbagai persoalan yang menjangkit umat Islam maupun negara Indonesia.

Di masa Orde Baru, berbagai permasalahan akibat pembangunan yang terjadi pun tidak lepas dari pengamatan Sjafruddin. Salah satu bentuk masalah pembangunan ekonomi Indonesia saat itu menurutnya ialah ketimpangan ekonomi yang sangat besar. Terutama ketika pembangunan hanya melibatkan dan menguntungkan kelompok tertentu yang memiliki kekuasaan dan modal besar. Sebaliknya, sebagian besar rakyat hanya bisa menjadi obyek, penonton, atau bahkan korban pembangunan tersebut. Kondisi demikian, kian diperparah dengan menjamurnya budaya korupsi di lingkungan pemerintahan.

Mengatasi korupsi tersebut, menurut Sjafruddin tidak cukup hanya dengan formalitas pembentukan undang-undang. Dalam salah satu pidatonya yang berjudul Human Development: Pola Pembangunan yang Sesuai dengan Ajaran Islam dan UUD ’45 pada 1977, Sjafruddin mengatakan:

… bahwa korupsi sebangsa pungli (pungutan liar) dan basuka (bayaran suka rela) tidak dapat diberantas menurut saluran-saluran hukum yang ada. Sebab hukum itu kebanyakan berlaku di atas kertas. Dan yang bisa ditindak hanyalah pegawai-pegawai rendahan atau menengah…

Artinya, pembentukan hukum atau perundang-undangan tidak serta merta mengatasi berbagai permasalahan korupsi. Sebab hukum seringkali hanya berlaku di atas kertas. Masih banyak celah yang bisa dibuat, bahkan seringkali dipermainkan.

Sebagai solusi, Sjafruddin mengingatkan perlu adanya sistem politik yang bisa menjadi check and balances sehingga para pejabat termasuk para penegak hukum tidak bisa bertindak sewenang-wenang. Hal ini perlu dilakukan mulai dari tingkatan pejabat terendah hingga yang tertinggi. Tiap pejabat dan pegawai pemerintahan harus bisa diawasi, dikritik, dikoreksi, dan dihukum jika melakukan pelanggaran.

Sayangnya, di masa Orde Baru, check and balances dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia itu seolah tidak ada. Lembaga legislatif yang semestinya menjadi pengawas berjalannya pemerintahan justru hanya membebek. Menurut Sjafruddin, dengan kondisi seperti itu maka para dewan rakyat itu sudah tidak lagi mencerminkan suara dan kedaulatan rakyat.

Sjafruddin di masa tua – sumber: tempo.co

“Sekarang siapa yang berani mengeritik dan menegur presiden? DPR-kah? Atau MPR? Mana mungkin! Mereka terlalu takut untuk di-recall dari kedudukannya yang empuk!” Tulis Sjafruddin menggambarkan kondisi pemerintahan saat itu.

Ia lalu melanjutkan, “Anggota-anggotanya sebagian besar diangkat oleh presiden dan yang dipilih harus disetujui dulu pencalonannya oleh pemerintah. DPR dan MPR bukan mencerminkan kedaulatan rakyat, tetapi kedaulatan pemerintah, yaitu presiden! Oleh karena itu, pemilihan umum yang baru lalu hanya merupakan penghamburan uang rakyat belaka!”

Selain restrukturisasi sistem politik dan pemerintahan yang lebih terbuka dan demokratis, peran masyarakat sipil juga diperlukan dalam pengawasan pemerintahan. Peran lembaga masyarakat sipil baik itu organisasi, media pers, atau gerakan mahasiswa, perlu diperkuat agar berani menjadi pengawas para pejabat di pemerintahan. Sayangnya, di masa Orde Baru pun banyak gerakan masyarakat sipil yang direpresi oleh pemerintah. Banyak dari mereka yang dibungkam dan diancam jika bersuara.

Dari masyarakat juga tidak dapat diharapkan adanya social dan political control yang efektif. Koran-koran dan majalah-majalah terlalu takut untuk dibredel kalau mengemukakan hal-hal atau pendapat-pendapat yang tidak disenangi oleh pemerintah. Yang masih sedikit berani adalah mahasiswa-mahasiswa, tetapi suara mereka hanya boleh dikeluarkan di campur, kalau mereka mau mengeluarkan hal-hal yang benar tetapi tidak disenangi oleh pemerintah…, tulis Sjafruddin.

Karena seringnya Sjafruddin menyuarakan kritik terhadap pemerintah Orde Baru ini, dia kerap kali mendapat larangan ketika ingin mengisi khutbah, ceramah, atau seminar. Terutama pada masa-masa menjelang pemilihan umum, gerak-geriknya sangat diawasi dan dibatasi. Bahkan pada 1977 Sjafruddin sempat ditangkap dengan tuduhan telah menghasut dan menghina pemerintah. Selama kurang lebih tiga pekan ia ditahan dan diinterogasi, hingga akhirnya ia dilepaskan karena tidak ada bukti kuat yang bisa menyeretnya ke pengadilan.

Menyampaikan kritik dan koreksi atas sebuah kesalahan atau kemungkaran, bagi Sjafruddin merupakan kewajiban dirinya sebagai seorang Muslim sekaligus sebagai warga negara. Seringnya Sjafruddin bersuara bukan berarti dirinya merasa hebat dan tidak takut pada siapa pun. Dalam biografi yang ditulis oleh Ajip Rosidi, Sjafruddin mengatakan:

Kalau saya sering mengkritik pemerintah, bukan artinya saya tidak mengenal takut. Saya takut kepada Presiden Soeharto, saya takut kepada Pangkopkamtib Laksamana Soedomo. Tapi saya lebih takut lagi kepada Allah SWT. Kita ditugaskan oleh Allah untuk memberi ingat kepada kebenaran. … Saya melakukannya dengan didasari kasih sayang. Saya tidak menyimpan rasa benci sedikit pun baik terhadap Presiden Soeharto maupun terhadap Laksamana Soedomo, atau terhadap para pejabat lain.”

Oleh: Syaidina Sapta Wilandra – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Referensi:

Ajip Rosidi. Sjafruddin Prawiranegara: Lebih Takut Kepada Allah SWT. Jakarta: Pustaka Jaya, 2011.

Sjafruddin Prawiranegara. Human Development: Pola Pembangunan yang Sesuai dengan Ajaran-ajaran Islam dan UUD ’45. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here