Sebagian kiai-kiai pada masa itu umumnya tertarik pada materi, “tapi Pak Kiai tidak. K.H.Abdullah Syafi’ie tidak bisa dipengaruhi dengan itu. Justru benda-benda itu yang datang dengan sendirinya, bukan untuk mempengaruhi, tapi sebagai rahmat Allah swt.”
***
Rasanya tak asing bagi telinga orang Betawi bila mendengar nama K. H.Abdullah Syafi’ie. Sebab sosok yang satu ini adalah Ulama Betawi terkemuka. Sampai-sampai namanya diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Ia lahir di Kampung Bali Matraman, Jatinegara pada 10 Agustus 1910. Ayahnya, H.Syafi’ie, adalah seorang pedagang yang kaya. H.Syafi’ie berharap anak laki-lakinya ini menjadi ulama. Oleh karena itu, H.Syafi’ie tak memperkenankan K. H.Abdullah Syafi’ie mengurusi usaha dagang, kebun buah-buahan, atau sapi peliharaannya.
K. H.Abdullah Syafi’ie mulai belajar Al-Qur’an dengan Mualim Jauhari. Setelah khatam, ia kemudian melanjutkan pendidikan formal di Sekolah Rakyat dan hanya selesai pada kelas 2. Di usianya yang ke-13, ia dibawa naik haji oleh kakek dan neneknya, H. Rahimun dan H.Najehah. Sejak pulang haji, ia bertekad keras untuk jadi Mualim. Di Betawi, menuntut ilmu sudah menjadi tradisi. Ulama Betawi, Kiai Cholil Ridwan menyebut empat cara orang Betawi mendidik anaknya, diantaranya pesantren, majelis taklim, madrasah, dan pengajian modelling. Mula-mula ia mengaji dengan Mualim Amin, Mualim Musanif untuk belajar nahwu dan beberapa kitab seperti kitab Jurmiyah, Riyadul Badiah, Kafrawi, dan lain-lain. Dari mualim Sabeki, ia belajar kitab Asymawi, Mutamminah, dan Immiriti, serta belajar pidato. Dengan mualim H.Ahmad Muchtar, ia belajar wirid. Dalam hal pelajaran akhlak ia belajar dengan Mualim Marzuki Cipinang. Selebihnya, ia belajar kepada habib-habib seperti Habib Alwi Bin Tahir, Habib Alwi Al Haddad, dan Habib Alwi Al Habsyi. Di atas Sepeda Releigh warna hijaunya ia jalani hari-hari pengembaraannya menimba ilmu di tanah betawi.
Gurunya yang bernama Marzuki, adalah seorang pendiri dan pemimpin pondok pesantren salafiyah di Cipinang Muara. Hampir semua orang tua Betawi pada zaman itu yang ingin anaknya menjadi ulama, memasukan anaknya ke Pondok Pesantren Guru Marzuki, Cipinang Muara. Guru Marzuki belajar ilmu fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadits hingga mantiq di Mekkah. Kesempatan menuntut ilmu tersebut benar benar dipergunakan dengan sebaik-baiknya, sehingga, dalam waktu hanya 7 tahun saja beliau telah mencapai segala apa yang dicita-citakannya, yakni menguasai ilmu agama untuk selanjutnya diamalkan, diajarkan serta dikembangkan. Dari kedalaman ilmu Guru Marzuki lahirlah murid-muridnya yang menjadi ulama seperti KH Noer Ali, Guru Asmat, dan masih banyak nama lain, termasuk Abdullah Syafi’i.
Dengan bekal ilmu dari sejumlah ulama itulah, K. H.Abdullah Syafi’ie mengembangkan pendidikan, dakwah, dan kegiatan sosial. Sampai akhir hayatnya kelak, dibangun kurang lebih 40 lembaga pendidikan formal dari TK sampai perguruan tinggi, 19 lembaga dakwah yang terdiri dari radio, buletin, olah raga, kesenian, dan lain sebagainya, serta 11 lembaga sosial.
Kiyai yang Rendah Hati
Pribadi K.H. Abdullah Syafi’ie memantulkan banyak teladan. Kerendahan hatinya menceriman akhlaknya. Ia tidak mau menyebut dirinya Kiai. Sehari-hari ia memanggil dirinya ustadz kepada murid dan jamaah-nya. Lain lagi kepada teman dan mandor bangunan, ia hanya menyebut ana (saya). Ia juga selalu menyebut dirinya orang pinggiran. Pernah suatu waktu diwawancarai oleh Tempo, ia hanya mengaku, “Saya cuma sebagai khadam (pelayan umat).” Pada kesempatan lain, ketika memberi nama Kota Pelajar di Jatiwaringin, Jakarta Timur, ia berujar, “Jangan Durul Ulum, ketinggian, biar Kota Pelajar saja.” Ia juga mengakui kemampuannya terbatas. Perkataan Nifsu ra’yika ala akhika (setengah pikiranmu ada pada saudaramu) adalah keyakinan dan ajakannya. Sehingga semua orang menjadi berarti di hadapannya.
Tersebab keyakinan itu, K. H.Abdullah Syafi’ie tak pernah canggung untuk berdialog dengan semua lapisan masyarakat. Meskipun ia tergolong mampu, namun ia terbuka dengan masyarakat sosial yang paling bawah. Sangat senang bergaul dengan karyawan, tukang-tukang, yatim piatu, ibu-ibu tua yang miskin dan murid-murid As-Syafi’iyah, serta mereka yang tergolong orang tidak punya. Ia juga berdialog dengan kaum cendekiawan muda.
Brigjen (Pur) Pol. Sutjipto Judodihardjo menceritakan pengalamannya yang berkesan mengenang KH Abdullah Syafi’I. Sewaktu ia masih menjadi Kapolri ketika itu, dan baru saja dilantik oleh presiden, di rumahnya, banyak orang-orang mengucapkan selamat kepadanya. Di tengah-tengah orang yang berdatangan itu, tampak K. H.Abdullah Syafi’ie, yang ketika itu dikenal sebagai ulama ‘tradisional’. Seperti halnya tamu-tamu lain, K. H.Abdullah Syafi’ie tampak ringan saja berbicara padanya. Tidak kaku. Malah dalam sebuah kesempatan, K. H.Abdullah Syafi’ie mengundangnya untuk datang ke rumah. Pak Sutjipto pun mengabulkan. Sampai di sana, ia kaget melihat tamu-tamu yang datang karena bukan hanya ulama-ulama ‘tradisionalis’ yang sekelompok dengannya, tapi juga ada tokoh-tokoh Masyumi seperti M.Natsir, M.Roem, dan lain sebagainya.
Letjen H. Ali Sadikin pernah menceritakan ketika dirinya masih menjadi Gubernur Jakarta. Menurut Ali Sadikin ketika itu, ia sedang seru-serunya mencanangkan “proyek-proyek” yang bisa mendapatkan uang sebanyak-banyaknya bagi pemerintah kota Jakarta. “Proyek-proyek” itu antara lain perjudian. Masih diingat ketika itu, serangan yang paling gencar adalah dari ulama, termasuk K. H.Abdullah Syafi’ie. Ali Sadikin penasaran mendapat serangan yang begitu gencar. Ia lalu berusaha agar bisa bertemu dengan K. H.Abdullah Syafi’ie. Pertemuan itu pun terjadi. Maka dalam acara makan bersama, tanpa canggung-canggung lagi, K. H. Abdullah Syafi’ie sambil mengisi piringnya, berbicara masalah yang hangat dengan Ali Sadikin. K. H.Abdullah Syafi’ie berbicara dengan polos. Tapi itu justru membuat Ali Sadikin kagum. Sebab berdasarkan pengalamannya, biasanya orang akan menunduk-nunduk jika berhadapan dengannya. Namun K. H.Abdullah Syafi’ie biasa-biasa saja, seperti sahabat karib dengan Ali Sadikin. Sementara tamu-tamu lainnya tetap canggung, bersikap resmi dan kaku.
Dibalik sikap tenangnya, K.H. Abdullah Syafi’I adalah ulama yang berani dan lantang. Sikapnya yang berani dan terus terang, namun loyal pada program MTQ Nasional, mendatangkan rasa hormat dari ‘musuhnya’, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, yang kemudian malah menjadi sahabatnya. Bahkan Ali Sadikin menganggap K.H.Abdullah Syafi’ie sebagai abangnya. Dan setelah menjadi Gubernur, Ali Sadikin pun diminta menjadi penasehat Yayasan Perguruan Asy-Syafi’iyah.
Bersahabat dengan Lintas Mazhab
Meski K. H.Abdullah Syafi’ie menganut mazhab Syafi’iyyah, namun ia tidak fanatik buta. Tokoh Muhammadiyah K.H. Hasan Basri bercerita, sewaktu dirinya menjadi khatib shalat Jum’at di sebuah masjid yang berada di Yogyakarta, K. H.Abdullah Syafi’ie menjadi makmum. Setelah adzan, K.H. Hasan Basri langsung berdiri menyampaikan khutbahnya. Tak ada shalat Qabliyah seperti yang biasa dilakukan di Masjid Al-Barkah yang dipimpin oleh K. H.Abdullah Syafi’ie. Tapi ternyata K. H. Abdullah Syafi’ie, seperti jamaah lain. tidak melakukakan shalat Qabliyah.
Menurut K.H. Abdussalam Djaelani, pandangan K. H.Abdullah Syafi’ie terhadab mazhab cukup fair dan luas. Toleransinya pun besar. Dapat berkawan dengan orang-orang dari segala mazhab dan golongan manapun, entah itu Maliki, Hambali, Hanafi, atau Muhammadiyah. Tetapi haluan K. H.Abdullah Syafi’ie pada Ahlussunnah wal jamaah tak akan bergeser. K.H.Abdullah Syafi’ie dekat dengan ulama kalangan NU, Muhammadiyah, dan organisasi Islam lainnya. K.H.Abdullah Syafi’ie dekat dengan Tokoh Muhammadiyah Buya Hamka, Tokoh Persis dan Masyumi M.Natsir, Tokoh NU KH. Masykur, KH. Syaikhu, dan KH. Idam Khalid. Meskipun K.H.Abdullah Syafi’ie bukan orang di dalam ketiga ormas tersebut.
Kelapangan KH Abdullah Syafi’i terhadap perbedaan di antara umat Islam tercermin dari jejaknya menggalang persatuan umat.Tahun 1973, ketika K.H. Abdullah Syafi’ie bersama-bersama ulama lain mendirikan Majelis Muzakarah Ulama. Sebelum mendirikan majelis itu, K.H.Abdullah Syafi’ie datang ke rumah K.H. Abdussalam Djaelani, untuk mendiskusikan rencana dengannya. KH. Abdussalam Djaelani sangat menyetujui dan mendukung rencana itu baik tenaga, pikiran, dan harta. Kemudian mereka pergi ke KH. Abdullah Musa di Tegal Parang. KH. Abdullah Musa pun setuju. Mulailah mereka bergerak. Mereka undang seluruh ulama yang ada di Jakarta tanpa memandang golongan. Berkumpulah dalam forum itu ulama-ulama dari NU, Muhammadiyah, Persis, dan lainnya, membahas ide khilafiyah dalam soal furu’iyah. Pertemuan Majelis Muzakarah Ulama itu pertama kali diselenggarakan di rumah KH. Abdullah Musa. Kemudian di Attahiriyah, dan berikutnya di rumah KH. Abdussalam Djaelani.
Suara Lantang Menentang Kemaksiatan
Kepedulian K. H.Abdullah Syafi’ie demi nasib umat yang membuatnya kerap bersuara lantang menentang kemaksiatan. Ia kerap berlaku terus terang, berani, dan blak-blakan. Demi membentengi umat kala itu, ia menerangkan hukum judi dari segi fiqih dan kerugiannya di akhirat kelak sebagai balasan dari dosa-dosa di dunia. Kepeduliannya menembus lapisan masyarakat. Demi menyelamatkan moral masyarakat bawah, Suaranya kadang menggebu-gebu, kadang mengiba-iba mengimbau umat agar selamat dari maksiat. Tetapi seketika dapat berubah berapi-api ketika gubernur yang melegalkan judi dan melokalisir pelacuran.
Sikap tegas K.H.Abdullah Syafi’ie dalam Amar ma’ruf nahi munkar diakui oleh banyak orang. Osman Raliby yang telah lama mengenalnya dan pernah menjadi Rektor Universitas Islam Asy-Syafiiyah sampai harus berkata,” Kagum betul kepadanya.” Menurutnya, K.H.Abdullah Syafi’ie adalah seorang ulama yang tidak mudah dibeli imannya, imannya kuat sekali dan bergandengan dengan amal shalih-nya, meski terkadang seolah-olah ada ancaman terhadap kelanjutan perguruannya. Soal aqidah, K.H.Abdullah Syafi’ie tak mau kompromi. Sebagian kiai-kiai pada masa itu umumnya tertarik pada materi, “tapi Pak Kiai tidak. K.H.Abdullah Syafi’ie tidak bisa dipengaruhi dengan itu. Justru benda-benda itu yang datang dengan sendirinya, bukan untuk mempengaruhi, tapi sebagai rahmat Allah swt.”
KH. Hasan Basri menilai seorang ulama wajib menyatakan kebenaran seperti yang dilakukan K.H.Abdullah Syafi’ie. “Ini masalah prinsip. Sisi lain, ulama adalah line (baris) terakhir dari Islam. Sehingga kalau line ini bobol, siapa lagi yang akan mengatasi?”
Sikap K.H. Abdullah Syafi’ie yang berani meluruskan penguasa juga dibenarkan oleh Buya Hamka. Buya Hamka telah mengenal K.H.Abdullah Syafi’ie semenjak sama-sama berada di kapal haji tahun 1950, dan masa itu sering bertemu dalam forum Majelis Ulama Indonesia. Buya Hamka menggmbarkan sikap K. H. Abdullah Syafi’ie jika sedang berhadapan dengan pejabat tinggi negara. “Kalau giliran ia yang bicara, maka ia bicarakan agama,” kata Buya Hamka. Maksud K. H. Abdullah Syafi’ie adalah, agar penguasa bisa taat dan ingat akan hari akhirat, hari kiamat, dan tidak hidup di dunia saja. Buya Hamka mengakui bahwa itu kelebihan dari K. H.Abdullah Syafi’ie yang belum tentu bisa dimiliki oleh setiap ulama.
Menurut Mohammad Roem, salah seorang tokoh Masyumi, “…justru itu yang membangkitkan semangat orang,” kata Mohamad Roem. Maka tepatlah perkataan Mohamad Natsir, yang menyebut seorang ulama adalah pantang bergantung ke atas, tapi berurat akar ke bawah.
Meski pantang bergantung ke atas, bukan berarti tidak bergaul dengan pihak atas, sebab bergaul dengan siapa saja bagi seorang da’i atau ulama adalah perlu sekali. Sebab dengan semakin lengkapnya dalam bergaul, akan memudahkan seseorang menyampaikan dakwah Islamiyahnya. Sehingga keluwesan dibutuhkan sekali, termasuk dalam bergaul dengan atasan, tanpa harus melebur kepada tindakan atau pikiran yang bertentangan dengan agama Islam.
“Pandangannya (K. H.Abdullah Syafi’ie –pen) memang independent,” kata H.M.S. Mintaredja, Mantan Menteri Sosial. Mintaredja melihat K. H. Abdullah Syafi’ie sebagai seorang ulama, mempunyai pendangan yang tak bersedia dipengaruhi oleh siapa pun, meski mempunya status resmi sebagai Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat (periode 1980-1985 sebagai penasihat), maupun sebagai Ketua Majelis Ulama Jakarta Raya. Di manapun ia duduk dan bagaimana pun ia duduk, ia tetap hanya berbakti kepada nusa dan bangsa berdasarkan ajaran Allah swt.
Pernah di hadapan Majelis Ta’lim As-Syafi’iyah yang bertempat di Masjid Al-Barkah, K.H .Abdullah Syafi’ie mengungkap aliran-aliran yang selama ini meresahkan kaum muslimin. Dicontohkannya seperti Islam Jamaah, aliran yang Inkarussunnah, dan Ahmadiyah Qadiyan. Diceritakan bahwa Inkarussunnah tidak percaya pada sunnah-sunnah Rasulullah SAW. Hadist dikatakan sudah keluar dari kaidah Islam.
“Kita harus percaya bahwa Muhammad saw adalah Nabi terakhir, khatamal anbiya wal mursalin karena Nabi-Nabi yang mengaku sesudahnya tidak mempunyai mukjizat dan mereka palsu.” Diterangkan bahwa di hari manusia dibangkitkan di alam akhirat kelak akan bangkit sekitar 30 sampai 33 orang yang mengaku dirinya Nabi. “Jangankan sekarang, di zaman Rasulullah sendiri sudah ada yang mengaku Nabi, namanya Masyayimatul Kadzab. Sesudah Nabi wafat muncul pula Mirza Gulam Akhmad Qodiyani di Pakistan. Mungkin sampai saat ini telah puluhan orang mengaku Nabi. Tapi semuanya palsu.” Sikap tegasnya pada aliran Ahmadiyah Qadiyan ini diberitakan oleh Harian Pelita, 4 Mei 1984. Dikabarkan bahwa Ketua Majelis Ulama Jakarta dan Pemimpin Majelis Ta’lim serta Pesantren As-Syafi’iyah, K.H.Abdullah Syafi’ie, sejak dahulu berpendapat bahwa Ahmadiyah telah keluar dari Islam.
Anggapan Kiai tak pantas masuk dalam politik tak berlaku pada K. H.Abdullah Syafi’ie. Ketika NU memisahkan diri dari Masyumi, K. H.Abdullah Syafi’ie memilih Masyumi. Sementara banyak ulama betawi memilih NU. K. H.Abdullah Syafi’ie bersama Kiai Sasih Kramat Jati dan Kiai Rahmatullah Sidik memilih menjadi Kiai Masyumi bersama Habib Salim bin Djindan. K. H.Abdullah Syafi’ie bahkan menjadi jurkam Masyumi dalam pemilu 1955. Perannya sebagai jurkam mengesahkan peran kepemimpinan dan otoritasnya sebagai kiai Betawi. Meski sebagai representasi orang Betawi di DPR dipegang oleh Kiai Rahmatullah Sidik dan K.H. Murtadho Ahmad.
K.H. Abdullah Syafi’ie pun turun tangan dalam membendung pengaruh komunisme di masyarakat. Seiring meluasnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI), K.H. Abdullah Syafi’I tak tinggal diam. Pada bulan September 1965, As-Syafi’iyah melahirkan Akademi Pendidikan Islam (AKPI). Salah satu alasan berdirinya AKPI adalah mengimbangi atau melawan pengaruh Universitas Rakyat yang didirikan PKI di Jalan Dr.Sahardjo (sekarang komplek tersebut menjadi masjid Ar-Rahman).
Pendidikan memang menjadi salah satu jalan K.H. Abdullah Syafi’ie membina umat. Perhatian K.H. Abdullah Syafi’ie pada pendidikan, terutama pada Perguruan As-Syafi’iyah terus ia jalani hingga penghujung usianya.
Pada 2 September 1985, K.H. Abdullah Syafi’ie menyempatkan waktunya ke Jatiwaringin dari Kampung Bali Matraman untuk melihat santri-santrinya. Ia memasuki ruang-ruang kelas pesantren di komplek putra dan putri, sambil tesenyum kepada anak-anak, memberikan perhatian dan cinta yang penuh kepada penuntut ilmu.
Sore harinya ia sengaja menjenguk seorang dosen tamu dari Mesir yang sedang mengabdikan ilmunya di As-Syafi’iyah. Dosen itu sedang sakit dan dirawat inap di Rumah Sakit Islam. Beberapa saat ia bercakap-cakap sebentar di ruang inap, waktu maghrib pun tiba dan ia lalu memimpin shalat di Mushalla Rumah Sakit Islam Cempaka Putih.
Sekembalinya ia ke rumah, ia langsung menerima tamu seorang alumni yang sudah tinggal lama di Malaysia bercakap-cakap tentang dakwah Islam dan pendidikan. Sejak tamu itu pulang, ia sebagaimana biasanya pada malam hari, merekam beberapa pidato untuk suguhan pecinta santapan rohani pada Radio As-syafi’iyah.
Saat itu jam di dinding, menunjukkan pukul 23.30 WIB hampir mendekati tengah malam. Ketika ia baru saja mau siap untuk tidur, terasa ada yang janggal, ia sangat gelisah. Beberapa anak ditelepon. Anak-anaknya kemudian bergegas menghampiri rumahnya. Ia akhirnya segera ia dilarikan ke Rumah Sakit Islam, tempat ia bebrapa jam sebelumnya dengan segar datang dan shalat maghrib di sana.
Malam itu tidak ada lagi suara lantang yang biasa ia dengungkan melalui radio karena beberapa menit sebelum sampai di halaman Rumah Sakit Islam, seiring dengan kalimat-kalimat tauhid yang dibisikkan di telinganya dan diikuti dengan lidahnya. Ia kembali pada Ilahi. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Ratusan ribu jamaah pengiring jenazahnya berurai air mata. Ratusan ribu masyarakat mengantar jenazahnya dengan berjalan kaki lebih dari 14 km, menuju peristirahatan terakhir. Rasa kehilangan selalu mengiringi kepergian para ulama di masyarakat.
Wafatnya seorang ulama, berbeda dengan kematian orang biasa. Kepergian ulama sama dengan hilangnya kebaikan yang tak sedikit dari dunia ini. Sebagaimana hadits Rasulullah saw, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu sekaligus dari manusia. Tapi Allah akan mencabut imu melalui mencabut nyawa para ulamanya. Sampai bila tak tersisa lagi seorang ulama, manusia pun akan mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin.”
Oleh : Andi Ryansyah – Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Referensi
Badaruzaman dengan Penyunting Tuty Alawiyah. 1999. K.H. Abdullah Syafi’ie Tokoh Kharismatik 1910-1985. Jakarta: Yayasan Alawiyah
Kiki, Rakhmad Zailani. 2011. Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Abad ke-19 sampai Abad ke-21. Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Center)
Utomo Dananjaya dengan Penyunting Tuty Alawiyah. 1999. K.H. Abdullah Syafi’ie Tokoh Kharismatik 1910-1985. Jakarta: Yayasan Alawiyah
Wawancara penulis dengan Ulama Betawi Kiai Cholil Ridwan pada Sabtu 13 Juni 2015 di Kantor Pusat Pesantren Husnayain, Cijantung, Jakarta Timur http://jejakislam.net/?p=955
Wawancara penulis dengan Rektor Universitas Islam Asy-Syafiiyah Prof. Tuty Alawiyah pada Rabu, 17 Juni 2015 di Pesantren Yatim seberang UIA, Jatiwaringin
Subhanallah….AllohummaghfirlaHU warhamHu wa’aafiHi wa’fu’anHu
Sungguh Alloh telah memuliakan orang-orang yang berilmu…
good info, thank for inspirasion, very benefit to my life,read more mengenang abdullah syafii tgk lah