Hubungan antara ulama Kepulauan Melayu-Indonesia dengan para ulama Timur Tengah sebenarnya, atau setidaknya yang terlacak sudah dimulai semenjak abad ke-17. Hal ini ditunjukkan dengan jaringan keilmuan berdasarkan catatan riwayat dan sanad keilmuan para ulama Melayu di masa itu yang tersambung langsung kepada para ulama terkenal di Timur Tengah. Salah satunya hubungan guru dan murid antara Syaikh Abdurrauf as-Sinkili[1] dengan Syaikh Ibrahim al-Kurani, salah seorang ulama besar yang sudah masyhur yang berasal dari Kurdistan. Selainnya, Syaikh as-Sinkili juga berguru kepada Syaikh Ahmad al-Qusyasyi di Madinah. Pada dasarnya, memang sejak zaman itu sudah mulai banyak para pelajar dari wilayah Asia Tenggara yang melakukan rihlah menuntut ilmu di Timur Tengah, utamanya di Haramain pada awalnya.[2] Aktivitas keilmuan yang subur terutama di Makkah, menjadi magnet bagi para penuntut ilmu untuk mendalami ilmu agama dari berbagai belahan dunia tak terkecuali dari Kepulauan Melayu-Indonesia.
Namun dalam berbagai catatan klasik, kita akan menjumpai bahwa orang-orang yang berasal dari sebagian besar daerah Asia Tenggara menggunakan nama nisbah daerah yang sama, yakni Jawi yang merupakan nama nisbah daerah Jawa.[3] Biasanya selain nama daerah tertentu yang merupakan nama asli kampung halamannya yang lebih khusus, mereka menambah nisbah Jawi setelahnya. Artinya, di Timur Tengah mereka dikenal sebagai orang-orang Jawi atau yang berasal dari daerah Jawa. Daerah Asia Tenggara di mana mereka berasal, dikenal sebagai daerah Jawa. Maka mereka yang menjadi pelajar atau murid para Syaikh di sanalah yang dimaksud dengan para murid Jawi karena berasal dari komunitas Jawi yang telah terbentuk di sana. Di antaranya Syaikh Abdurrauf as-Sinkili tadi, kemudian Syaikh Yusuf al-Maqassari yang mempunyai hubungan juga dengan Syaikh Ibrahim al-Kurani, hingga dilanjutkan dengan para tokoh selanjutnya pada masa-masa yang akan datang. Penisbahan Jawi ini juga masih kita temukan saat ini ketika menjumpai nama ulama Melayu klasik dalam berbagai literatur termasuk kitab-kitab mereka sendiri.
Penggunaan istilah Jawi ini juga ditemukan dalam beberapa kitab ulama Timur Tengah. Di antaranya adalah kitab Syaikh Ibrahim al-Kurani sendiri seperti kitab Ithāfudz Dzakīy.[4] Kitab ini merupakan respon kepada para murid Jawi di mana saat itu terjadi sebuah gejolak atas pemahaman dari kitab at-Tuhfah al-Mursalah karya al-Burhanburi[5] yang merupakan kitab tasawuf. Kitab ini, karena dianggap terlalu filosofis dan menimbulkan multi tafsir menyebabkan perbedaan pemahaman ajarannya di kalangan masyarakat umum hingga beberapa orang terjerumus pada hal-hal yang dianggap menyimpang. Hal tersebut disampaikan beritanya kepada Syaikh Ibrahim al-Kurani sehingga beliau menulis kitab ini. Dalam mukadimahnya, dia menyebut jamā‘ah minal jāwiyyīn[6] untuk menunjuk mereka. Syaikh Ibrahim al-Kurani memang tidak menyebutkan secara langsung kepada siapa kitab ini ditujukan, melainkan menggunakan kata yang universal, yakni orang-orang Jawi. Tapi besar kemungkinan hal ini adalah korespondensi antaranya dengan Syaikh as-Sinkili[7] mengingat komunikasi yang terjalin antara mereka berdua yang bahkan tetap berlanjut ketika as-Sinkili sudah kembali ke kampung halamannya. Hal ini ditunjukkan misalnya ketika ia menanyakan tentang pembaruan Syaikh Nuruddin ar-Raniri[8] dan dalam karyanya, Lubbu al-Kasyr wal Bayān[9], yang menyebutkan bahwa ia berkirim surat dengan Syaikh Ibrahim al-Kurani.[10]
Dalam mukadimah Ithāfudz Dzakīy, Syaikh Ibrahim al-Kurani menyatakan:
“Kemudian daripada itu; kami telah menerima kabar dari jemaah dari orang-orang Jawi (الجاويين من جماعة) bahwa di negeri Jawa (بلادالجاوة) telah tersebar sebagian kitab tentang ilmu hakikat dan ilmu batin di masyarakatnya, kemudian sampai ke tangan orang-orang yang menisbahkan dirinya kepada ilmu dengan membacanya, tapi tanpa memahami terlebih dahulu dengan baik ilmu syariat Nabi yang terpilih (Muhammad) shallāLlāhu ‘alaihi wa sallam; bahkan tanpa memahami dengan baik ilmu hakikat yang diberikan kepada orang-orang yang menempuh jalan Allah Ta’āla, yang berusaha mendekati-Nya, orang-orang pilihan, atau mereka yang menempuh salah satu dari beberapa jalan (tarekat) yang dilandaskan pada Al Quran dan sunnah, dengan benar-benar mengikuti keduanya secara lahir dan batin, sebagaimana orang-orang saleh dan suci telah menjalaninya.”
Selain itu Al-Kurani juga menulis karya khusus terkait masalah-masalah keagamaan di dunia Jawi yang berjudul al-Jawābāt al-Gharāwiyyah an Masāil al-Jāwiyyah al-Jahriyyah.[11] Perihal masalah keagamaan yang berkaitan dengan para Jawi nampaknya sudah menjadi hal yang tidak asing bagi al-Kurani.
Setelah kitab Syaikh al-Kurani, di antara kitab yang menggunakan kata Jawi adalah kitab al-Hamawi[12] yang berjudul Fawāid al-Irtihāl ketika menjelaskan tentang Syaikh Fadhlullah al-Burhanburi. Ia menceritakan:
“Syaikh kami al-Khātimīy al-Muhaqqiqīn Ibrahim al-Kurani membantah saya, ketika kami sedang membaca Tuhfat al-Mursalah bersamanya, bahwa sebagian dari rekan-rekan Jawi kami (ba‘adh ashhābina al-Jāwiyyah) menyatakan padanya bahwa risalah ini dan soal-soal yang dibahasnya sangat populer dan terkenal di negerinya dan bahwa karya ini dibaca di madrasah-madrasah agama mereka, dan bahwa para pemuda mempelajarinya sebagai salah satu risalah kecil dalam pelajaran dasar mereka …”[13]
Selain al-Kurani dan muridnya di atas, ada lagi tokoh lain seperti Abdus Syukur asy-Syami yang menulis karya yang tidak jauh beda temanya dengan kitab at-Tuhfah yang berjudul Ziyādah min Ibārāt al-Mutaqaddimīn min Ahli al-Jāwiy. Lagi-lagi nama Jawi digunakan oleh para ulama Timur Tengah waktu itu. Tentu hal ini sudah masyhur bahwa para ulama Timur Tengah menggunakan kata Jawi untuk penisbatan daerah sebagian Asia Tenggara sebagaimana yang diketahui. Kemudian mengutip dari Azra, bahwa salah seorang ulama terkemuka lainnya yang menulis karya terkait masalah keagamaan kaum Jawi adalah Ibnu Ya‘qub.[14] Ia menulis karyanya berkenaan dengan konsep wahdāniyyah[15] yang berjudul al-Jādah al-Qawīmah ilā Tahqīq Mas’alah al-Wujud wa Ta’alluq al-Qudrah al-Qadīmah fī al-Jawab ‘an al-As’ilah al-Wāridah min Jāwah. Sayangnya Azyumardi Azra menyebutkan bahwa ia tidak berhasil melacak karyanya ini yang ia temukan dalam daftar kitab al-Baghdadi, Hadiyyāt al-‘Ārifīn dan kitab Muhammad Amin al-Muhibbi, Khulāshah al-Atsār fi A‘yān al-Qorn al-Hādi ‘Asyar. Padahal karya ini cukup penting menyangkut hubungan regio-intelektual antara dunia Melayu-Indonesia dan Timur Tengah.[16] Begitupun penulis juga belum mendapatkannya.
Intinya, penggunaan istilah Jawi ini sudah masyhur dan melekat sejak lama pada para pelajar yang berasal dari sebagian besar Asia Tenggara di Timur Tengah ketimbang nama daerah lainnya. Penisbatan kepada Jawi ini akan semakin banyak kita temukan pada nama-nama para tokoh ulama atau murid Jawi di abad 19-20. Tokoh-tokoh seperti Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi, kemudian Syaikh Yasin Isa al-Fadani al-Jawi merupakan beberapa di antaranya. Bisa dikatakan bahwa kedua tokoh ini juga merupakan tokoh yang paling terkenal pada masanya. Keilmuan dan ketokohan keduanya sudah masyhur bagi kalangan santri dan juga para pelajar Melayu-Indonesia di Timur Tengah zaman sekarang. Apalagi kitab-kitabnya yang masih sering dijadikan rujukan dan dikaji oleh banyak syaikh ternama di Timur Tengah, utamanya di Mesir atau al-Azhar yang merupakan murid-murid Syaikh Yasin dan mempunyai ketersambungan sanad kepada beliau.
Selain itu, penamaan salah satu riwāq dalam masjid al-Azhar yang menggunakan nisbah Jawi juga menunjukkan eksistensi komunitas para pelajar Melayu di Mesir yang dikenal dengan sebutan orang Jawi. Dalam catatan manuskrip yang berupa wakaf kitab di Riwāq al-Jāwah, di sana disebutkan:
“Telah diwakafkan … kitab ini semuanya, yaitu Syarah al-Tuhfah karya Ibnu Hajar al-Haitsami, empat jilid untuk Riwāq as-Sādah al-Jāwiyyah yang berada di antara Riwāq asy-Syawwām dan as-Sulaimāniyyah …”[17]
Maka para pelajar di Timur Tengah, termasuk para pelajar di Mesir khususnya al-Azhar, merekalah yang disebut murid Jawi zaman ini. Meski kini istilah Jawi menyempit dan merujuk kepada hal-hal Melayu klasik atau hanya sekedar yang bersangkutan dengan suku Jawa di Pulau Jawa saja. Namun dalam tradisi terdahulu, istilah Jawi ini lebih dikenal dan meluas maknanya yang melingkupi penisbatan ke wilayah sebagian besar Asia Tenggara. Begitu pula dalam literatur klasik yang berkaitan dengan para ulama Melayu zaman dahulu yang masih kita jumpai sekarang, nisbah Jawi juga masih melekat. Termasuk jika kita melihat karya para murid Jawi di Mesir zaman dahulu yang dicetak juga di penerbit Musatafa al-Halabi misalnya, yang sudah menjadi cetakan klasik setidaknya berumur satu abad yang juga dikoleksi penulis, kita akan temukan nisbah Jawi ini kepada orang-orang luar Pulau Jawa. Misalnya al-Banjari al-Jawi, as-Sumbawi al-Jawi, dan lainnya. Layaknya, hal terkait penisbahan Jawi ini menjadi suatu hal yang masyhur dan maklum bagi para pelajar penerus para murid Jawi terdahulu di zaman sekarang yang sudah jarang ditemui karena perubahan nama daerah. Termasuk jika masih ada pemakaian nisbah ini oleh para pelajar dari sebagian wilayah Asia Tenggara di Timur Tengah pada zaman sekarang ini yang tidak hanya berasal dari Pulau Jawa saja. WaLlāhu a‘lam.
Oleh: Tegar Hafidh – Pegiat sejarah dan mahasiswa Jurusan Akidah Universitas al-Azhar Kairo, Anggota IKMAS Mesir
[1] Seorang Melayu dari Fansur, Singkel. Nisbah Sinkil merujuk kepada daerah ini. Tahun kelahiran tidak diketahui. Namun diperkirakan awal tahun 1600-an. Berangkat ke Timur Tengah sekitar tahun 1642.
[2] Haramain merupakan sebutan untuk Mekah dan Madinah. Keduanya menjadi basis pertama para murid Jawi dalam rihlahnya ke Timur Tengah sebelum akhirnya lebih berpusat ke Kairo yang dimulai abad 19.
[3] Jawi merupakan kata untuk nisbah ke tempat disebut sebagai daerah Jawa. Segala apapun yang dinisbahkan ke Jawa, maka nisbahnya adalah Jawi. Namun daerah yang dimaksud tidak terbatas pada Pulau Jawa sekarang saja. Melainkan sebagian besar wilayah Asia Tenggara (dahulu disebut Kepulauan Melayu-Indonesia-peny.) yang meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand (Pattani), Filipina. Mengenai alasan pasti penggunaan nama Jawa atau penisbahan terhadapnya, penulis belum menemukannya. Namun barangkali istilah Jawa ini memang yang paling dikenal dan tepat di waktu itu. Sehingga wilayah itu disebut sebagai wilayah negeri Jawa.
[4] Judul asli dan lengkapnya النبي روح إلى المرسلة التحفة بشرح الذكي إتحاف
[5] Nama lengkapnya Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanburi al-Hindi. Al-Burhanburi merupakan nisbah untuk daerah Burhanpur, India.
[6] “الجاويين من جماعة” yang berarti jamaah dari orang-orang Jawi.
[7] Seperti yang dijelaskan Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Cetakan ke-3. 2007. Jakarta: Kencana. Selanjutnya disebut Azra. Jaringan Ulama…
[8] Lengkapnya adalah Nuruddin bin Muhammad bin Ali bin Hasanji al-Hamid asy-Syafi‘i al-‘Aydarusi ar-Raniri. Dilahirkan di Ranir, Gujarat, India. Nisbah ar-Raniri merujuk ke daerah itu. S.M.N. Al-Attas menyatakan bahwa ibunya dikatakan seorang Melayu. Ayahnya seorang Hadhrami. Menjadi Syaikh al-Islam di Kesultanan Aceh pada 1637.
[9] Lengkapnya Lubb al-Kasyr wa al-Bayān Limā Yarāhu al-Muhtadhar bi al-‘Iyān. Mengutip dari catatan keterangan Azra, karya al-Kurani ini tidak terdaftar dalam berbagai bibliografinya. Di wilayah Melayu-Indonesia, karya ini dikenal melalui terjemahannya ke dalam bahasa Jawi oleh Katib Seri Raja.
[10] Azra. Jaringan Ulama…
[11] Dikutip dari penjelasan Azra. Penulis sendiri belum menjumpai cetakan terkini kitab ini. Berdasarkan informasi yang penulis dapat, kitab ini menjadi menjadi manuskrip yang disimpan di Universitas Islam Madinah.
[12] Lebih lengkapnya adalah Mustafa bin Fathullah al-Hamawi al-Makki, murid dari Syaikh Ibrahim al-Kurani.
[13] Al-Hamawi, Fawāid al-Irtihāl. Dalam Azra. Jaringan Ulama…
[14] Nama lainnya Tajuddin bin Ahmad.
[15] Keesaan Tuhan.
[16] Azra. Jaringan Ulama…
[17] Penulis menyimpan data ini berupa gambar manuskrip yang didapat penulis.