Meski lebih dikenal sebagai Bapak Tunjangan Hari Raya (THR), Ketua Umum Partai Masyumi (1945-1951), dan Perdana Menteri ke-6 RI (1951-1952) serta lebih dulu menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia di Amsterdam pada 1925 (Hakiem, 2022: 37-38) dan Ketua Muda Lajnah Tanfidiyah Sarekat Islam (SI) hasil Kongres 24-27 Januari 1930 (Pringgodigdo, 1994: 48-49), nama Soekiman Wirjosandjojo tak bisa lepas dari Muhammadiyah. Bahkan, dapat dikatakan bahwa Persyarikatan besutan K.H. Ahmad Dahlan itu merupakan latar kultural Pak Kiman, sapaan akrabnya. Organisasi reformis itu pun menjadi tempatnya berlabuh setelah Masyumi dibubarkan. Ia pun sempat mengalami kepahitan saat terjadi perselisihan antara SI dan Muhammadiyah yang membuat anggota SI yang berasal dari atau berlatar Muhammadiyah mesti hengkang (Pringgodigdo, 1994: 143-148).
Pertemanan Ayah Soekiman dengan K.H. Fachruddin
Kedekatan Soekiman dengan Muhammadiyah dapat ditarik ke riwayat pertemanan ayahnya, Mas Wirjosandjojo dengan K.H. Fachruddin (juga ditulis Fakhruddin atau dipanggil Muhammad Jazuli, Yogyakarta 1890-1929, tokoh Muhammadiyah yang pernah menjadi komisaris di Centraal Sarekat Islam–CSI). Sebagai seorang pengusaha sembako, jaringan relasi ayah Soekiman cukup luas, termasuk dengan tokoh-tokoh keislaman dan pergerakan, seperti K.H. Fachruddin, H.M. Mishbach, Koesen, Harsoloemekso, Darmosasmito, dan para anggota Sidik Amanat Tableg Vatonah (SATV). Khusus kepada K.H. Fachruddin, Wirjosandjojo menjanjikan bahwa Soekiman akan bergabung ke Rumah Sakit PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) Muhammadiyah sepulang dari kuliah kedokterannya di Amsterdam (Hakiem, 2022: 53).
Menjadi Dokter Spesialis Paru-paru dan Direktur RS PKU Muhammadiyah
Pada 1927 (sebagian menyebut 1926), selepas meraih gelar dokter penuh dengan spesialisasi internis (penyakit dalam) di Universitas Amsterdam dan kembali ke tanah air – gelar dokter Jawa/dokter pribumi (Art Indische) diraihnya di STOVIA pada 1922/1923, setelah sebelumnya bersekolah di ELS Boyolali antara tahun 1907-1914 – Soekiman pun memenuhi permintaan ayahnya untuk menjadi dokter di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta itu. Hal itu ia lakukan setelah terlebih dahulu menyelesaikan penelitian penyakit paru-paru selama tiga bulan di sebuah rumah sakit di Pacet, Cianjur (Hardianti, 2018: 32-33 dan Hakiem, 2022: 53). Di PKU Muhammadiyah Yogyakarta, atas rekomendasi dari H. Fachruddin, Soekiman menjadi dokter spesialis paru-paru menggantikan posisi dr. Soemowidagdo (atau Soemodigdo) seorang dokter pegawai pemerintah kolonial yang sebelumnya diperbantukan di sana dan dipindah ke Batavia (Yuliantri, 2011: 48).
Saat itu K.H. Fachruddin – yang sebelumnya menjabat Vice Voorzitter (Wakil Ketua) Hoofdbestuur (Pengurus Besar) Muhammadiyah – sementara sedang menggantikan posisi H. Syuja` sebagai Ketua Bagian PKU karena H. Syuja` tengah diberi amanat oleh Hoofdbestuur untuk melakukan penyelidikan tentang kondisi jamaah haji Indonesia dan kemungkinan cara memperbaikinya. Fachruddin pula yang merekomendasikan Soekiman untuk mengisi kursi Direktur RS yang sedang kosong ketika itu. Ia menganggap pengalaman Soekiman selama studi di Amsterdam dan berorganisasi di Perhimpunan Indonesia dapat menjadi bekal yang berharga dalam mengelola rumah sakit itu. Soekiman pun menjabat Direktur RS PKU Muhammadiyah sampai tahun 1930 (Yuliantri, 2011: 48 dan Zulkarnain & Nugraha, 2014: 11). Soekiman bersama Soerjopranoto dan Ki Hajar Dewantara turut hadir dalam pemakaman Fachruddin yang wafat pada 27 Februari 1929 setelah dirawat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Selain di RS PKU Muhammadiyah, Soekiman juga membuka praktik di rumahnya sendiri di dekat Keraton Pakualaman. Ia dikenal sebagai dokter yang gemar membantu pasien yang hidup kekurangan, bahkan sampai mendatangi rumah pasien yang kesulitan ekonomi (Hardianti, 2018: 35). Selama karier kedokterannya itu pula, Soekiman tercatat menulis sebuah publikasi ilmiah tentang durasi pengobatan pneumothorax buatan (semacam metode suntikan hawa) untuk terapi pasien TBC (tuberkulosis) paru-paru berjudul “ Over den duur der kunstmatige pneumothorax-behandeling van de longtuberculose” (Durasi Pengobatan Pneumothorax Buatan pada Tuberkulosis Paru-paru) dalam Geneeskundig Tijdschrijf van Nederlandsch Indie (Jurnal Kedokteran Hindia Belanda), yang dalam analisisnya mempertimbangkan keuntungan metode itu berupa ongkosnya yang relatif murah dan masih memungkinkan pasien untuk mencari nafkah, sehingga cocok dengan keadaan masyarakat di Indonesia kala itu (Wirjosandjojo, 1937: 2895-2902). Terbit dan dipaparkannya tulisan Soekiman itu juga diberitakan di majalah Pemandangan edisi Selasa 10 Agustus 1937, dalam artikel berjudul Soentikan Hawa Boeat Pengobatan Penjakit T.B.C. (Pidato dr. Soekiman dalam Congres T.B.C. jang ke-II di Semarang).
Namun sebagaimana banyak kaum muda terpelajar pada masa itu, perhatian Soekiman tidak dapat lepas dari masalah politik dan perjuangan kemerdekaan. Maka setelah sekitar tiga tahun mengabdikan diri di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, pada 1930 Soekiman meminta berhenti sebagai dokter, ia bermaksud berkhidmat penuh dalam dunia pergerakan dan politik. Sebagai penggantinya, dr. Sampoerno yang baru saja lulus dari sekolah kedokteran dimintanya untuk memimpin RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta (Widyastuti, 2014: 215). Meski mengundurkan diri dari jabatan pimpinan rumah sakit, ia masih tetap memberikan nasihat dan bimbingan medis kepada dr. Sampoerno. Hubungannya dengan Hoofdbestuur Muhammadiyah juga tetap erat, termasuk memberikan sumbangan pikiran dan keuangan serta memegang sejumlah posisi di keorganisasian Muhammadiyah terutama pasca bubarnya Masyumi (Widyastuti, 2014: 216).
Di Tengah Perselisihan SI-Muhammadiyah
Meskipun menjadi dokter di Muhammadiyah, karier pergerakan keislaman Soekiman justru dimulai di SI dengan membidani Fadjar Asia (mulai terbit 1923) dan Oetoesan Indonesia (mulai terbit 1931), beberapa pers yang menjadi corong SI, dan menjabat Ketua Muda Lajnah Tanfidiyah PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) sejak Kongres 24-27 Januari 1930 (Pringgodigdo, 1994: 48-49). Namun, perselisihan antara kalangan SI lama dengan anggota SI yang berafiliasi dengan Muhammadiyah (juga JIB-Jong Islamieten Bond) membuat Soekiman dan beberapa tokoh dipecat dari PSII pada Maret 1933. SI pun terpecah menjadi empat kelompok: SI lama dengan Tjokroaminoto dan Abikoesno sebagai tokohnya; SI kelompok Yogyakarta (golongan Muhammadiyah dan JIB) yang nantinya mendirikan Partai Islam Indonesia (PARII & PII) dengan Soekiman, Wali Al-Fatah, dan kawan-kawan sebagai tokohnya; SI Barisan Penyedar/Penyadar dengan H. Agus Salim sebagai tokohnya; dan SI Politik Hijrah (PSII badan II) dengan Kartosuwiryo sebagai tokohnya (Pringgodigdo, 1994: 143-152)
Perselisihan itu diakibatkan sejumlah hal, di antaranya: 1) perbedaan pendapat tentang dijadikannya politik hijrah sebagai asas atau sekedar sebagai strategi pergerakan; 2) perbedaan sikap soal keluarnya PSII dari GAPI (Gabungan Politik Indonesia); dan 3) ketidaksetujuan kalangan Muhammadiyah atas masuknya PSII ke ranah sosial selain politik, sehingga dikhawatirkan terjadi perebutan lapangan gerak antara keduanya (Pringgodigdo, 1994: 143-152). Diberlakukanlah disiplin partai dalam PSII yang berakibat dikeluarkannya anggota partai yang berasal dari Muhammadiyah. Abdul Karim Pringgodigdo mencatat: “Antara PSII (partai politik yang mengerjakan juga pekerjaan sosial) dan Muhammadiyah (hanya pekerjaan sosial) ada larangan untuk jadi anggota dari keduanya sekaligus (larangan ini ialah buah perselisihan-perselisihan di masa yang lalu), sedang asas non-kooperasi PSII tidak sesuai dengan sikap kooperasi dari orang-orang Muhammadiyah dan JIB itu” (Pringgodigdo, 1994: 148).
Di tengah perpecahan antara SI dan Muhammadiyah itu, Soekiman dan para tokoh lainnya dari kedua belah pihak masih mencoba untuk menggalang kembali persatuan. Kongres PSII ke-23 pada 19-23 Juli 1937 di Bandung mengambil beberapa mosi, di antaranya mencabut pemecatan atas anggota-anggota yang sudah dikeluarkan pada 1932-1933 dan memberi kesempatan kepada mereka masuk PSII kembali. Pada 17 September 1937, bersatulah kembali Soekiman dan golongan Yogyakarta ke dalam PSII, sedangkan PARII dengan demikian dianggap meleburkan diri ke dalam partai yang asal itu. Jadi, yang masih tinggal berpisah hanyalah kelompok Barisan Penyedar. Namun, perdamaian itu tidak lama umurnya. Kongres PSII ke-24 yang diadakan pada 30 Juli-7 Agustus 1938 di Surabaya tidak memberi tempat kepada golongan Yogyakarta dalam pimpinan partai (Pringgodigdo, 1994: 145-147).
Selain itu, PSII menolak tiga permintaan Soekiman, di mana hanya pencabutan disiplin-partai terhadap Muhammadiyah saja yang mungkin dapat dipertimbangkan. Sebelumnya, Soekiman, Wali Al-Fattah, K.H. Mas Mansur, dan lain-lain mengirimkan surat kepada pengurus PSII yang menerangkan bahwa mereka akan masuk kembali kalau partai ini: (a) mau melepaskan asas hijrah (mereka berpendapat bahwa hijrah tidak boleh dijadikan asas perjuangan, tetapi hanyalah taktik perjuangan); (b) semata-mata hanya mengerjakan aksi politik (pekerjaan sosial dan ekonomi haruslah diserahkan kepada perkumpulan yang lain-lain yang tidak berpolitik, seperti Muhammadiyah); dan (c) mau selekas-lekasnya mencabut disiplin-partai yang sudah dilakukan terhadap anggota yang berasal dari Muhammadiyah(Pringgodigdo, 1994: 147-148).
Mendirikan PARII dan PII bersama Beberapa Tokoh Muhammadiyah
Diberhentikan dari SI, Soekiman dan PSII Merdeka (kelompok Yogyakarta) – yang di antaranya merupakan beberapa tokoh yang berafiliasi dengan Muhammadiyah dan JIB – pun membentuk partai sendiri. Pertama, mereka mendirikan Partai Islam Indonesia (PARII) pada 1933. PARII sempat bergabung kembali ke dalam PSII setelah wafatnya Tjokroaminoto, sebagaimana diuraikan di atas. Namun, islah itu tidak berlangsung lama dan pada 1938, Soekiman dan kelompok PARII pun keluar lagi dari PSII dan mendirikan PII (Partai Islam Indonesia) bersama beberapa tokoh, seperti R.M. Wiwoho Poebohadidjojo, K.H. Mas Mansur, dan Wali Al-Fattah. Para tokoh Muhammadiyah seperti Faried Ma’ruf, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Abdul Kahar Muzakkir, Kasman Singodimedjo, H. Rasyidi B.A., H. A. Hamid, Dr. Kartono, Mr. Kasmat dan lain-lain pun bergabung. Ketua PII dijabat oleh Wiwoho (Ketua Dewan Rakyat dan pimpinan di JIB saat itu) dan Soekiman menjadi Wakil Ketua, sedangkan K.H. Mas Mansur menjadi penasihat partai (Pringgodigdo, 1994: 148 & 151).
PII berkembang pesat terutama karena dukungan warga Muhammadiyah, tapi Muhammadiyah sebagai ormas sendiri tetap tidak berpolitik (Widyastuti, 2014: 215). Partai itu didirikan dalam sidang yang digelar pada 4 Desember 1938 di Surakarta, di rumah Dr Satiman Wirjosandjojo, kakak Soekiman yang turut mendirikan Jong Java, sempat aktif dalam JIB dan pernah mendirikan Pesantren Luhur, suatu model integrasi universitas dengan pesantren yang bersama Sekolah Tinggi Muhammadiyah turut menjadi inspirasi bagi Soekiman dalam pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kemudian kini dikenal sebagai Universitas Islam Indonesia (UII). Di kemudian hari PII turut bergabung membentuk MIAI yang menjadi cikal-bakal Masyumi. Soekiman dan KH Mas Mansur sempat duduk sebagai anggota Dewan MIAI (sebelumnya bernama Badan Sekretariat MIAI) berdasarkan hasil Konferensi MIAI 14-15 September 1940 (Yuliantri, 2011: 48). Soekiman juga menjadi Ketua Pengurus Besar Masyumi yang pertama.
Interwoven Ilmu Pengetahuan, Sekolah Muhammadiyah, dan Pendirian UII
Selain dalam bidang pergerakan kemerdekaan dan politik, pengaruh Muhammadiyah dalam diri Soekiman juga tampak dalam pemikiran pendidikan. Dalam upayanya mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) Jakarta pada 8 Juli 1945, yang menjadi cikal bakal UII Yogyakarta, bersama para tokoh Masyumi lainnya Soekiman mendapatkan inspirasi dari Pesantren Luhur yang didirikan kakaknya, Satiman, dan Sekolah Tinggi Muhammadiyah. Ia menuliskan, “ Islam college yang sudah ada itu sifatnya seperti sekolahan rakyat untuk orang dewasa. Hooge School di Batavia-C yang didirikan oleh MD (Muhammadiyah) itu untuk ekonomi, handel, dan sebagainya, jadi seperti handelschool yang berdasar Islam. Tapi hoogeschool yang akan didirikan di Solo itu semata-mata buat kepentingan agama Islam” (Wirjosandjojo, 1984: 27). Pada saat itu, lembaga pendidikan Islam yang setingkat universitas dan mengajarkan sains dan ilmu diniyah sekaligus adalah Sekolah Tinggi milik Muhammadiyah dan Pesantren Luhur yang didirikan Satiman, sebagaimana diwartakan oleh surat kabar Al-Moe’min edisi 9 Juni 1939 berikut (Morawi, 1939: 7, kolom 3):
“Saat ini yang punya cita-cita membuat Sekolah Tinggi Islam ada dua badan. Yang satu Muhammadiyah, yang satu lagi komite “Pesantren Luhur” yang dipimpin oleh Tuan Dr. Satiman Wirjosandjojo. Kalau tidak salah, cita-cita Muhammadiyah ingin membuat sekolah tinggi bukan hanya untuk (mengajarkan) Islam saja, tapi juga ilmu dagang.”
“Belum lama ini surat kabar ‘Pemandangan’ mendapat kabar dari (pihak) yang dapat dipercaya, bahwa sudah ada (nama calon direktur) Sekolah Tinggi Muhammadiyah, yaitu Tuan T.H. Rosjidi. Ia adalah seorang tokoh pemuda dari Indonesia yang sudah mengantongi (gelar) diploma sekolah tinggi di Mesir (Al-Azhar), serta ingin ikut memperjuangkan agar terlaksana cita-citanya Muhammadiyah.”
“Mudah-mudahan segera tercapai maksud yang luhur tersebut.”
Oleh Soekiman, gagasan pembelajaran bersamaan antara sains modern dengan ilmu agama itu dikembangkan lagi menjadi gagasan interwoven ilmu pengetahuan, yaitu upaya “mengintegrasikan, menjalinkan, mengaitkan benar-benar pendidikan agama dan pengajaran ilmu keduniaan serta susunan kurikulum kuliah-kuliahnya, sehingga UII dapat menggembleng dan memproduksi kader-kader yang memiliki kedua macam ilmu itu (sains dan ilmu diniyah) yang cukup baik, yang mempunyai pengertian penuh pula akan kewajibannya baik terhadap bangsa maupun terhadap agamanya, bermoral, dan bercita-cita tinggi” (Wirjosandjojo, 1984: 313).
Menjadi Anggota Dewan Penasihat PP Muhammadiyah
Seiring masuknya Republik ke rezim Demokrasi Terpimpin dan terutama sesudah Masyumi dibubarkan, Muhammadiyah pun menjadi wadah berkarya bagi Soekiman. Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-34 di Yogyakarta tahun 1959, di mana H.M. Yunus Anis terpilih sebagai Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Soekiman ditetapkan oleh PP sebagai Ketua Majelis Hikmah. Ketika menjadi ketua majelis itu, ia berhasil menyusun buku berjudul “Menuju Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur”, yang menguraikan tujuan, strategi, dan taktik perjuangan yang harus menjadi landasan dan pedoman gerakan Islam. Soekiman pun menganjurkan agar Muhammadiyah menjadi partai politik atau minimal berpolitik praktis. Sebagai organisasi massa yang besar, menurutnya sudah selayaknya Muhammadiyah aktif berpolitik, terutama untuk mewujudkan ajaran Islam sebagai jiwa dari tatanan formal di Indonesia (Widyastuti, 2014: 216 dan Yuliantri, 2011: 49).
Usulan Soekiman agar Persyarikatan masuk politik sempat dibicarakan di kalangan PP dan dibahas di sidang Tanwir Muktamar ke-35 di Jakarta tahun 1962. Namun, para pimpinan Muhammadiyah belum dapat menerima ide itu. Mereka berpendirian bahwa Muhammadiyah tidak boleh dijadikan partai politik dan tidak boleh berpolitik praktis, agar tetap dapat konsisten menjadi gerakan dakwah. Gagasan Soekiman tidak memperoleh dukungan yang cukup dalam pemilihan suara saat itu (Widyastuti, 2014: 216). Meskipun Muhammadiyah menolak untuk berpolitik praktis, mereka akhirnya mempunyai wakil juga dalam DPR GR, yaitu H.M. Yunus Anis, Sarjono, dan H. Marzuki Yatim serta dua menteri dalam kabinet, yaitu H.M. Moeljadi Djojomartono dan Prof. K.H. Faried Ma’ruf, tanpa mengubah Muhammadiyah menjadi partai politik (Widyastuti, 2014: 217).
Selanjutnya dalam Muktamar ke-36 di Bandung tahun 1965, Soekiman ditetapkan menjadi penasihat bidang politik dalam struktur Penasihat PP Muhammadiyah. Awalnya, ada tiga orang yang menjadi penasihat, yaitu K.H. Fakih Usman, KRH. Hajid, dan Buya AR Sutan Mansur. Soekiman menjadi penasihat tambahan bersama Buya Hamka yang menjadi penasihat bidang tablig (Widyastuti, 2014: 217 dan Yuliantri, 2011: 49). Aspirasi politik Soekiman di Muhammadiyah memuncak pada Konferensi Nasional Kilat Muhammadiyah tanggal 9-12 November 1965 di Jakarta yang memutuskan untuk menuntut pembubaran PKI, membentuk Majelis Hikmah baru, membentuk barisan KOKAM (Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah), dan menyatakan Muhammadiyah sebagai Ormaspol, yaitu ormas yang berpolitik tanpa menjadi partai politik. Berikutnya, dalam pembentukan Kabinet Ampera oleh Soeharto, Muhammadiyah mendapat kursi Menteri Perindustrian yang dipegang oleh Ir. H.M. Sanusi dan pada Februari 1967, Muhammadiyah mendapat tambahan delapan kursi dalam DPR GR menjadi sebelas orang (Widyastuti, 2014: 217).
Ketika Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) diresmikan pada 20 Februari 1968, Soekiman merasa kecewa karena menurutnya tidak perlu ada partai baru, cukup Muhammadiyah yang menjelma menjadi partai politik. Ia bahkan membahas persoalan itu di rumahnya dengan Ketua Umum Parmusi, H. Djarnawi Hadikusumo. Namun, Djarnawi mengatakan kepada Soekiman bahwa, “Muhammadiyah ingin tetap sebagaimana sediakala, gerakan dakwah. Urusan politik diserahkan kepada Majelis Hikmah. Kalau Muhammadiyah menjadi partai, nanti dakwahnya terbengkalai dan usaha sosial-pendidikannya terlantar.” Soekiman menimpali dengan mengatakan bahwa,”… itu nanti dapat diatur dengan pembagian kerja yang rapi … Kita harus berpikir jauh. Perubahan-perubahan yang akan datang dalam masyarakat harus sudah dapat kita raba dari sekarang ini.” Namun akhirnya, Soekiman tetap menerima sikap Muhammadiyah yang tidak mau menjadi partai politik, juga mengingat besarnya beban yang mesti diemban oleh Djarnawi. “Tapi, ya sudahlah. Tapi harus diingat, betul kesulitan dan tanggung jawab Saudara terlalu besar. Betul terlalu besar. Ya, sudahlah,” katanya (Widyastuti, 2014: 217).
Kesan Amien Rais dan Mohammad Roem Tentang Soekiman
Meskipun hari ini jarang diketahui orang kebanyakan, perjuangan hidup Soekiman memberikan kesan yang mendalam pada tokoh-tokoh Muhammadiyah sezaman dan setelahnya. Amien Rais (Ketua Umum PP Muhammadiyah 1995-1998) misalnya, dalam kata pengantarnya atas buku kumpulan tulisan Soekiman, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot (1984) yang dieditori oleh Amir Hamzah Wiryo Sukarto (kerabat Soekiman yang sempat menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Malang), memuji Soekiman sebagai seorang yang jujur, berintegritas, konstitusional, parlementer, agamis, rasional, modern, dan beradab. Amien memuji bahwa di tangan Soekiman, kekuasaan diposisikan “sebagai amanat dan nikmat Tuhan yang harus digunakan sebaik-baiknya untuk melakukan pengabdian pada Allah SWT dengan jalan berkhidmat pada bangsa dan rakyat Indonesia sebaik-baiknya.” (Wirjosandjojo, 1984: vii).
Amien juga menyebut Soekiman sebagai sosok yang demokratis, toleran, menjunjung tinggi rule of law, dan tegas sekaligus. Soekiman menghargai perbedaan dan malah bersahabat dengan Ki Hadjar Dewantara yang banyak berbeda pandangan dengannya. Demikian juga hubungan Soekiman dan Natsir tetap baik, meskipun sempat terdapat perbedaan pendapat di antara faksi keduanya dalam tubuh Masyumi. Amien menulis: “Mereka tidak membiarkan perbedaan pendapat itu sampai memecah persatuan partai dan membutakan tujuan bersama yang lebih penting” di mana “kabinet Soekiman pada hakikatnya berintikan pada kekuatan Masyumi dan PNI.” Di sisi lain, Amien menyebut Soekiman sebagai “seorang eksponen anti-komunis” yang mampu bertindak tegas dengan melakukan penangkapan massal terhadap sekitar 15.000 orang kader dan simpatisan PKI pada Agustus 1951, yang terlibat koordinasi tindakan bandit dan pencegatan di berbagai daerah, yang mengancam program pembangunan (Wirjosandjojo, 1984: ix-xii).
Amien memuji kebijakan anti-komunis Soekiman itu sebagai langkah yang independen dan murni-konsekuen dengan fokus program kerja pemerintahannya “Menuju Kemakmuran Rakyat Lewat Keamanan”, bukan sebagai hasil campur tangan Amerika Serikat, sebagaimana yang banyak dituduhkan kepada Pemerintahan Orde Baru. Justru “kebijaksanaan nasional kita dewasa ini yang anti-komunisme dan anti-Marxisme-Leninisme dalam segala bentuknya pada hakikatnya secara tidak langsung merupakan suatu kelanjutan belaka dari strategi Masyumi” yang diterapkan oleh Soekiman itu (Wirjosandjojo, 1984: x & xiii).
Meski anti-komunisme, Soekiman tetap mampu menjaga hubungan baik dengan Soekarno. Namun ia tetap setia kawan kepada Masyumi dengan menolak tawaran Soekarno masuk DPR-GR. Kepiawaiannya menengahi berbagai kelompok itu dipuji oleh Moh. Roem dalam memoarnya saat Soekiman wafat (Hakiem, 2022: 19-20). Roem menulis: “Dr. Soekiman terkenal anti-komunis, tapi tidak anti Soekarno. Kadang-kadang orang tidak dapat menghayati pemagaran-pemagaran yang subtil itu … Untuk segolongan orang umpamanya, tidak ada artinya lagi untuk mengatakan anti-komunis, tidak anti Soekarno. Karena Soekarno anti mereka, dan oleh Soekarno mereka diasingkan … dr. Soekiman senantiasa berpendirian, bahwa Soekarno bukan komunis, sebagaimana Soekarno sendiri sering mengatakannya. Karena itu, ia jangan dijauhi, tapi harus didekati … Mungkin karena Dr. Soekiman lebih tua, ia masih mempunyai harapan untuk menjauhkan Soekarno dari komunis.” (Hakiem, 2022: 19-20).
Apa pun yang terjadi dan dengan siapa pun Soekiman mencoba menjalin relasi, ia senantiasa tetap berusaha mempertahankan landasan pandangan alam Islam, menghindari sepenuhnya bertindak pragmatis, yang jamak dilakukan politisi masa kini. Roem memujinya, “Orang sekarang tidak lagi ‘ideologi oriented’ tapi ‘program-oriented’. Mendirikan pabrik dipandang lebih penting dari memelihara ideologi. Tentu dr. Soekiman tidak anti mendirikan pabrik. Tapi selamanya akan ditanyakan: Untuk apa (mendirikan pabrik itu dilakukan)? Dan pertanyaannya itu ada jawabnya dalam ideologi (dan pandangan alam).” (Hakiem, 2022: 13-14). Generasi penerus Muhammadiyah dan kelompok umat Islam yang lain di Indonesia pun perlu mengambil teladan dari perjuangan hidup dan pemikiran Soekiman.
Oleh: Miftahul Firdaus – Peneliti Shuffah Institute, alumni Sekolah Pemikiran Islam Bandung
Rujukan:
__. 1937. “Soentikan Hawa Boeat Pengobatan Penjakit T.B.C. (Pidato dr. Soekiman dalam Congres T.B.C. jang ke-II di Semarang)”, Pemandangan, No. 177, Tahun V, Edisi 10 Agustus 1937.
Hakiem, Lukman. 2022. Soekiman: Sebuah Biografi Politik Pemimpin Pertama Partai Masyumi dan Kontribusinya untuk Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Hardianti. 2018. Pemikiran Politik Islam Soekiman Wirjosandjojo: 1916-1960. Skripsi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya. Tidak diterbitkan.
Morawi. 1939. “Sakola Loehoer Moehammadijah”, Al-Moe’min, No. 2, Tahun VIII, Edisi 9 Juni 1939.
Pringgodigdo, Abdul Karim. 1994. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Widyastuti, Lasa, dkk. 2014. 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi. Yogyakarta: Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Wirjosandjojo, Soekiman. 1984. Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot. Editor: Amir Hamzah Wiryo Sukarto. Malang: YP2LPM.
Wirjosandjojo, Soekiman. 1937. “Over den duur der kunstmatige pneumothorax-behandeling van de longtuberculose”, Geneeskundig. Tijdschrijf van Nederlandsch. Indie, Vol.77, No.47, 1937, p. 2895-2902.
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria. 2011. “Peran Kebangsaan Soekiman Wirjosandjojo”. Majalah Suara Muhammadiyah, No. 22, Tahun ke-96, Edisi 16-30 November 2011.
Zulkarnain & Nugraha, Asep Restu. 2014. Sukiman dalam Panggung Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Cendekia.