“Akhirnya setelah sampai sekolah tinggi, mulailah diajarkan “Agama Islam” dari segi “ilmu pengetahuan” Barat, pendapat profesor anu, kupasan sarjana fulan, yang isinya ialah memandang Islam sebagai pandangan orang lain. Maka tidaklah kita heran kelak apabila mereka ini keluar dari dalam sekolahnya, rengganglah minyak dengan air. Bertemulah kita dengan orang Belanda yang lebih dari Belanda. Orang Perancis yang lebih dari Perancis, orang Inggris yang lebih dari Inggris, tetapi kulitnya hitam.” – Buya Hamka
Kuatnya kolonialisasi bangsa Belanda yang membuat mereka mampu menaklukkan negeri Islam, menurut Buya Hamka salah satunya yakni terjadi karena doktrin modernitas atau kemajuan yang diciptakan di negeri jajahannya. Bahwa maju adalah ketika mereka lebih terpelajar dan tidak terikat oleh agama.
Sehingga kaum pribumi yang merupakan orang-orang Islam, jika hendak pintar dan maju seperti Barat pun, dipaksa untuk meniru keilmuan dan melonggarkan ikatan agamanya. Mereka kemudian diminta untuk pandai menyesuaikan diri dengan keadaan. Tidak boleh menjadi fanatik, dan harus melapangkan diri mengikuti modernitas dan gaya hidup Barat-Belanda.
Keinginan untuk mengetahui Islam secara ilmiah dan melalui kepribadian mereka sendiri pun, telah dipangkas dengan pendapat-pendapat yang dibuat oleh orientalis yang merupakan para kolonialis intelektual yang terlatih dari rahim bangsa Barat.
Mereka dalam menjelaskan tentang materi agama, menurut Hamka sifatnya sudah tidak objektif lagi, sebab untuk mempelajari Islam secara “ilmiah” kaum orientalis misalnya telah membuat dan menyediakan beberapa kriteria dari bahan penyelidikan subjektif mereka sebagai standar yang ditanamkan dalam memandang Islam, dituliskan pendapat mereka diantaranya oleh Hamka, yaitu:
- Islam itu fanatik
- Islam disiarkan dengan pedang
- Islam tidak ada toleransi terhadap agama lain
- Islam menganjurkan poligami
- Islam tidak memberikan hak luas untuk perempuan
- Islam hanya untuk orang Arab dalam masyarakat unta
- Muhammad mengharamkan makan babi, sebab dia sendiri doyan makan daging babi
- Al Qur`an bukan wahyu, hanya karangan Muhammad, dicurinya dari kitab suci Yahudi dan Nasrani.
- Beberapa orientalis kerjasama dengan Zending dan Missi, berlomba mempelajari tasawuf, mistik, kebatinan, primbon dan kejawen, untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia menerima Islam, ialah Islam yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yaitu kepribadian mistik:
- Islam yang masuk di Indonesia bukan asli dari Arab, tetapi melalui India. Dan Islam India itulah yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Sinkritisme mencocok-cocokkan.
- Di sekolah-sekolah Katholik sekarang sudah mulai diadakan mata pelajaran sejarah yang memuji kedatangan Belanda menaklukkan Aceh, sebab orang Aceh itu fanatik. Jasa pendeta Thenu dan Verbraak lebih ditonjolkan. Dan dalam menjelaskan sejarah kekejaman Portugis di Maluku dan peperangan Sultan Khairun dengan Portugis dan penghianatan Gubernur Portugis De Mosquita. Pendeknya usaha memutar balikkan sejarah Indonesia telah dimulai lebih hebat sesudah Indonesia merdeka ini dalam buku-buku pelajaran Nasrani.
Kaum pribumi yang tumbuh dalam sistem pendidikan umum kolonial dengan indoktrinasi pemikirannya, akhirnya mulai ragu serta terpisah dengan pendidikan Islam dan masyarakatnya. Mereka tidak tahu lagi cara melakukan pokok-pokok ajaran dalam agama mereka, sholat, puasa, zakat dan rukun-rukun Islam lainnya.
Hidup mereka lebih tertutup dan khusus untuk memenuhi kepentingan diri sendiri, sebab telah merasa jemu melihat lingkungan hidupnya yang taat beragama, yang dipandang sebagai orang-orang yang kolot dan tertinggal dari modernitas. Mereka lebih merasa nyaman bersahabat dan mengikuti pendapat kaum didikan Barat, serta merasa jijik jika harus sholat jumat dan berdekatan dengan bang Ali tukang becak dan pak Amat tukang sate. Hanya saat upacara kematian saja mereka memanggil orang-orang yang mereka sebut “fanatik” yang tinggal disekeliling tempat tinggalnya, meminta tolong untuk mengurus mayit. Karena mereka sudah tidak tahu lagi.
Selain itu, para orientalis Belanda melalui pendidikan kolonialnya, juga berupaya untuk mengasingkan dan memberi stigma negatif terhadap Islam di Nusantara. Belanda misalnya mencoba menghilangkan istilah dan simbol-simbol yang berbau Islam, bahwa Islam bukanlah agama asli nenek moyang serta tidak sesuai dengan pribadi bangsa, disebutkan oleh Hamka beberapa pandangan mereka, bahwa:
- Islam hanya cocok dengan masyarakat unta dan minyak samin
- Al Qur`an itu bagi kita adalah bahasa asing
- Hapuskan segala pusaka nenek moyang yang masih berbau Arab, huruf Arab –huruf Melayu Jawi- yang merupakan huruf kolot. Sebab itu harus ditukar segera dengan huruf latin.
Kaum pribumi yang telah silau dengan narasi kemajuan dan indoktrinasi pendidikan kolonial, akhirnya pun ikut-ikutan latah dan melepaskan putera-puteri mereka kepada sekolah-sekolah umum milik pemerintah kolonial yang saat itu berkuasa, dengan harapan agar dapat terpandang dan meningkatkan taraf hidupnya sebagaimana kaum terpelajar Belanda.
Sekolah pemerintah kolonial ini, disebut Hamka memberikan dasar pendidikan “netral agama”, namun sejatinya merupakan bagian dari anasir penjajahan yang secara berangsur mencoba memisahkan dan menanamkan kebencian kepada kaum pribumi, yang mayoritas beragama Islam dengan agama dan kebudayaannya. Agama yang telah mengakar pada keturunan dan lingkungan hidup kaum pribumi di Nusantara. Hamka secara jelas menyebutkannya:
“Maka jelaslah dasar pendidikan, yaitu “neutral agama”. Artinya pada sekolah-sekolah pemerintahan agama tidak diajarkan. Sedangkan semata-mata tidak diajarkan lagi membawa kelemahan, apatah lagi kalau ditambah ditambah pula dengan pengajaran setiap hari yang berisikan anasir racun kejemukan, muak dan bosan, dan akhirnya benci kepada agama.”
Hamka secara lebih spesifik menjelaskan, bagaimana bentuk indoktrinasi pendidikan kolonial. Bahwa dalam buku-buku pengajaran di sekolah-sekolah umum yang disediakan pemerintah kolonial misalnya, digambarkan anak negeri asli dengan muka seburuk-buruknya.
Kakinya tidak berterompah, orangnya bodoh-bodoh, hidungnya pesek-pesek dan mukanya hitam berminyak. Mereka adalah bangsa buruh yang kasar dan petani yang kurus. Digambarkan pula orang Arab dengan jubahnya yang ribet dan serbannya yang besar serta menipu orang. Sedangkan bangsa kolonial yang menjadi “tuan-tuan” digambarkan mukanya cakap, sikapnya manis, dermawan dan tahu akan kemanusiaan.
Semakin tinggi dan bertambah jenjang atau tingkatan kelas yang ditempuh. Maka semakin jauhlah kaum pribumi yang terdidik dalam sistem pendidikan penjajahan itu, dari agama, masyarakat dan orang tuanya.
Pada jenjang pendidikan tinggi, Hamka menjelaskan, bahwa kaum pribumi yang telah dikondisikan dan menaruh kepercayaan kuat terhadap Barat. Dengan mudah mengikuti apa yang didiktekan kepada mereka, termasuk dalam materi agama mereka pribadi.
Mereka menerima begitu saja, apa yang dinyatakan oleh para professor atau sarjana Barat tentang agama mereka. Mengatakan bahwa agama Islam kolot, fanatik, dan tidak menghargai modernitas. Akhirnya mereka pun ikut-ikutan latah dalam mencibir orang-orang yang taat dalam agamanya sendiri sebagai “fanatik”, serta merasa risih mendengar permasalahan agama yang banyak dibicarakan dalam lingkungan Islamnya.
Hal tersebut secara tidak sadar, telah merubah pemikiran dan sikap mereka menjadi sama dengan kaum kolonial dalam memandang agama mereka dan berbagai perihal. Bahkan dengan bangga, kaum pribumi yang telah terdidik dalam sistem pendidikan kolonial ini, secara lebih bersemangat mencoba menjadi seperti Barat dan lebih dari Barat.
Sehingga dikatakan Hamka, mereka itu adalah orang Belanda yang lebih dari Belanda, orang Prancis yang lebih dari Prancis, dan orang Inggris yang lebih dari Inggris, namun mereka tetap tidak bisa menyembunyikan kulit hitam atau rasnya, yang merupakan keturunan asli dari kaum pribumi dan kaum jajahan Barat. Hamka menarasikan hal tersebut:
“Akhirnya setelah sampai sekolah tinggi, mulailah diajarkan “Agama Islam” dari segi “ilmu pengetahuan” Barat, pendapat profesor anu, kupasan sarjana fulan, yang isinya ialah memandang Islam sebagai pandangan orang lain. Maka tidaklah kita heran kelak apabila mereka ini keluar dari dalam sekolahnya, rengganglah minyak dengan air. Bertemulah kita dengan orang Belanda yang lebih dari Belanda. Orang Perancis yang lebih dari Perancis, orang Inggris yang lebih dari Inggris, tetapi kulitnya hitam.”
Sedangkan menurut Hamka, kemajuan dan tawaran keilmuan yang diberikan oleh kaum kolonial melalui pendidikannya, tidaklah akan bebas dengan nilai-nilai penjajahan yang ingin ditanamkannya, meskipun dibaluti dengan istilah objektif dan ilmiah.
Karena ada pula yang mengatas namakan “ilmiah”, namun sejatinya hanya sebuah istilah untuk membaluti dan memperalat keilmuan mengikuti kehendak intelektual, sebagaimana kata terpimpin yang dipakai saat Orde Lama, demi menjaga hegemoni penguasa atau kekuasannya, Hamka menjelaskan:
“Ini “Studi Terpimpin” yang digunakan untuk mengelabui mata orang yang menerima Islam sebagai agama pusaka nenek moyangnya tetapi tidak mendapat peluang untuk mempelajari Islam dari sumbernya sendiri. Lalu dicari “ilmiah” Islam dari guru-guru bangsa Barat yang “mengatur” suatu macam ilmu tentang Islam menurut apa yang mereka kehendaki, karena pengaruh penyerbuan dan ekspansi agama atau kolonialisme”.
Melalui berbagai standar penilaian yang telah dibuat dalam pendidikan kolonial tersebut, secara umum ada dua hal yang menjadi tujuan dari penjajahan pemikiran tersebut menurut Hamka, dalam merusak batin bangsa Indonesia.
Pertama, yaitu untuk memasukkan pengaruh bahwa bangsa Indonesia tidak sanggup melakukan apapun. Bangsa Indonesia tidak sanggup melakukan pekerjaan besar. Ketika bangsa sudah berjuang keras mencapai kemerdekaan, tidak sedikit yang membelot, tidak yakin pada kekuatan bangsa sendiri. Bahkan jiwanya berpendirian bahwa kita tidak dapat merdeka jika tidak dengan Belanda.
Rakyat pun jika tidak mendapat tekanan Jepang dan merasakan kezalimannya yang luar biasa, yang belum pernah terjadi dan dimimpikan dalam jiwa bangsa Indonesia, memandang masyarakat Indonesia sebagai sampah dan alat keperluan perang, maka jiwanya tidak akan menggeliat karena kuatnya pengaruh ketidak sanggupan itu.
Kedua yaitu mereka dididik untuk hanya bertaklid atau hanya menjadi “pak turut” saja, sehingga kaum pribumi mudah mengikuti apa yang didiktekan kepadanya termasuk dalam pendidikan, kebudayaan dan keyakinannya. Maka kepercayaan dan loyalitasnya pun akan sepenuhnya diberikan kepada bangsa kolonial, yang menurutnya justru menjadi kebanggaan dan lebih berjasa baginya, bukan pada kenyataan yang terjadi sebenarnya.
Sekarang mari kita nilai bersama, apakah anasir pendidikan kolonial seperti demikian telah usai atau masih terwariskan dalam watak pendidikan kita di masa kemerdekaan saat ini? Sehingga hal tersebut mungkin tidak hanya bisa membawa kelemahan dan apriori di kalangan masyarakat awam pada umumnya dalam memahami agama dan pendidikan-kebudayaannya, namun juga pada intelektual yang diberikan kepercayaan di institusi pendidikan dan lembaga tinggi yang ada. Wallahu ‘alam bishawab.
Oleh: Bambang Galih Setiawan – Alumni Ma’had Aly Imam al Ghazally Surakarta
Daftar Pustaka:
Hamka, Dari Hati ke Hati, Jakarta: Gema Insani, 2016
Hamka, Pribadi Hebat, Jakarta: Gema Insani, 2014.
Hamka, Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
Hamka, Iman dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
Hamka, Falsafah Hidup, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
Hamka, Studi Islam, Jakarta, 1982.