Adat ban adat hukom ban hukom, adat ngon hukom sama kembar; tatkala mufakat, adat ngon hukom, nanggroe senang hana goga (adat menurut adat, hukum syariat menurut hukum syariat, adat dengan hukum syariat sama kembar; tatkala mufakat adat dengan hukum itu negeri senang tiada huru-hara) – Teungku Chik Kutakarang dalam kitab Tadhkirat al-Radikin (1889)[1]
Kesultanan Aceh adalah salah satu kekuasaan besar yang pernah hadir di Nusantara. Jejaknya ada hingga ratusan tahun. Aceh menjadi salah satu Kesultanan yang berpengaruh hingga menjadi pusat kebudayaan Islam di tanah air. Kesultanannya mencapai kejayaan pada masa Sultan Iskandar Muda. Kesultanan menjadi pusat perdagangan sekaligus pengajaran Islam di Nusantara. Pasca wafatnya Sang Sultan, Aceh perlahan meredup kejayaannya. Meski demikian Kesultanan ini masih dapat bertahan hingga lebih dari 200 tahun kemudian, ketika kolonialisme Belanda akhirnya meluluh lantakkan Kesultanan Aceh pada abad ke-20.
Pada abad ke-19, Aceh tidak lagi mengecap masa jayanya. Meski demikian, hingga pada paruh pertama abad ke-19, Aceh tetap merupakan kekuasaan yang berdaulat ditengah-tengah bercokolnya Pemerintah Hindia Belanda di Jawa dan sebagian Sumatera.
Kesultanan Aceh terdiri dari wilayah pusat kekuasaan dan daerah-daerah taklukan mereka. Menjelang meletusnya perang Aceh, Kesultanan Aceh terdiri dari Aceh Besar, yaitu daerah sepanjang sungai Aceh yang terbagi atas tiga wilayah yang disebut ‘sagi.’ Setiap sagi diberi nama sesuai jumlah mukim yang dimilikinya. Mukim XXII (artinya mereka memiliki 22 mukim), Mukim XXV, Mukim XXVI, dan bagian-bagian yang terletak di selatan Mukim XXV, yaitu Lho’nga, Leupueng, dan Lhong.[2]
Selain itu Kesultanan Aceh juga terdiri dari daerah-daerah taklukan di luar Aceh Besar yang terletak di pantai barat, pantai timur dan pantai utara ujung pulau Sumatera. Wilahyah ini terdiri atas kerajaan-kerajaan kecil yang otonom ataupun yang merupakan federasi.[3] Sultan Aceh sendiri berkuasa langsung atas daerah yang dikuasainya di kawasan istana sebagai ‘Dalam.’ Pihak Belanda menyebutnya ‘keraton,’ Satu istilah yang menggambarkan betapa pengetahuan Belanda tentang kekuasaan hanya terbatas dan mengacu pada istilah dari Jawa. Selain wilayah ‘Dalam’, Sultan Aceh juga berkuasa langsung di Pekan Aceh, Kampung Merduati, Kampung Jawa, Kampung Pande dan Kampung Pedah.[4]
Wilayah lain (wilayah taklukan) dikendalikan oleh para raja kecil atau Uleebalang. Mereka membayar upeti pada Sultan Aceh. Kekuasaan diresmikan dengan surat pengukuhan atau piagam yang disebut sarakata yang dibubuhi stempel Cap Sembilan. Surat ini memberi legitimasi kepada mereka untuk memerintah sesuai adat.[5]
Dari wilayah-wilayah inilah kekuasaan Kesultanaan Aceh terbangun. Pada akhir abad ke-19, Kesultanan Aceh bukanlah satu kekuasaan federal yang kuat. Aceh Besar dan ratusan wilayah taklukannya disebut sebagai negeri atau naggroe.[6] Di Aceh besar, negeri federasi yang disebut sagi di atas, dipimpin oleh ketua federasi yang disebut Panglima Sagi. Di bawahnya, para Uleebalang memerintah daerah masing-masing. Di antara para pemimpin sagi yang berpengaruh adalah Panglima Polem yang merupakan keturunan Sultan Iskandar Muda dari Istri bukan permaisuri yang berasal dari Abisinia (Etiopia).[7]
Setiap sagi menurut Teungku Chik Kutakarag dalam Tadhkirat al-Radikin dipimpin oleh pemimpin sagi yang memerintah dengan hukum adat. Di setiap sagi ada ulama besar yang memegang hukum syariat. Ulama memang menjadi sosok berpengaruh lainnya dalam kepemimpinan masyarakat di Aceh selain Sultan dan Uleebalang. Para pemimpin adat dan agama dalam ketiga sagi tersebut berjumlah 18 orang. Mereka inilah yang disebut ahlul-halli wa ‘l-‘aqdi. Mereka yang membaiat dan mengangkat Sultan Aceh.[8]
Secara umum pembagian fungsi dalam kesultanan Aceh pada pertengahan abad ke-19 menjelang perang terbagi atas beberapa jabatan:
- Sultan (di bawah umur dan dalam pengasuhan Mangkubumi)
- Habib Abdurrahman Az-Zahir, Mangkubumi atau semacam Perdana Menteri merangkap Wali Raja dan bertanggung jawab sebagai Menteri Luar Negeri.
- Panglima Polem, Panglima Sagi XXII Mukim, tertinggi dari tiga panglima sagi. Dia berwenang memimpin perundingan untuk menetapkan pengangkatan Sultan.
- Panglima Tibang, Syahbandar.
- Imam Leungbata, selain Uleebalang mukim Longbata, juga panglima perang.
- Teuku Kali Maliku’l – ‘Adil, Uleebalang Sultan, terdiri dari 12 kampung di kanan sungai Aceh, juga kepala Agama.[9]
Pembagian kekuasaan tadi tak dapat disangkal menjadi persaingan beberapa tokoh berpengaruh. Terlebih kekuasaan Sultan Ibrahim Mansur Syah (1850 – 1870) berkuasa setelah berkonflik dengan Sultan Sulaiman. Sultan Sulaiman adalah ipar dari Teuku Ba’et yang berkuasa di wilayah pengunungan Mukim XXII dan kekuasaannya hanya bisa ditandingi oleh Panglima Polem . Teuku Ba’et menolak untuk berbaikan dengan Sultan Ibrahim dan menjaga janda Sultan Sulaiman dan putranya yang masih kecil yaitu Mahmud. [10]
Panglima Polem sendiri berhubungan baik dengan Teuku Ba’et yang kubunya berseberangan dengan Sultan Ibrahim. Sultan Ibrahim kemudian wafat pada 1870. Konflik dalam kekuasaan kesultanan Aceh ini didamaikan oleh seorang asing, Habib Abdurrahman Az-Zahir yang datang pada tahun 1864. Berkat pengetahuannya yang sangat luas dan kepribadiannya yang memukau ia segera menjadi cendikiawan Istana dan menjadi Kepala Masjid Raya. Ia kemudian menikahi janda Sultan Sulaiman dan membawa Mahmud, putra mendiang Sultan Sulaiman ke dalam Istana.[11] Mahmud lah yang kelak menggantikan Sultan Ibrahmi Mansur Syah sebagai Sultan Aceh.
Aceh di antara Bangsa-bangsa Asing
Kedamaian di antara wilayah-wilayah yang dipimpin oleh Uleebalang tergantung pada kekuasaan Sultan. Pada akhir abad ke-19, kekuasaan Sultan sudah merosot. Hal ini memicu ketidakstabilan. Meski terjadi kemerosotan kekuasaan, namun Aceh tetap menjadi wilayah yang berdaulat pada abad ke 19. Pelayaran yang melintasi kekuasaan Aceh menjadi sumber pemasukan bagi Kesultanan. Kekuasaan Asing yang bercokol di antara Aceh adalah Inggris dan Belanda yang saling bersaing.
Persaingan dagang antara Inggris dan Belanda di beberapa wilayah di Asia Tenggara akhirnya diselesaikan dengan satu perjanjian Anglo-Dutch Treaty atau dikenal dengan Traktat London pada 17 Maret 1824. Belanda akhirnya mengakui kepemilikan Inggris atas Singapura dan menyerahkan Malaka untuk Inggris. Sebaliknya, Inggris menyerahkan Bengkulu (Bencoolen) dan kekuasaan di Sumatera pada Belanda. Sebagai tambahan, kedua belah pihak tidak boleh membuat perjanjian dengan penguasa di wilayah itu.
Traktat ini menyisakan satu persoalan. Bagaimana dengan Aceh yang memiliki posisi penting di Selat Malaka? Traktat itu akhirnya disepakati untuk memberi hak pada Belanda untuk menegakkan keamanan di Aceh namun tetap menghormati kedaulatan Aceh.[12] Tentu saja Traktat ini dibuat tanpa mengajak bicara para penguasa di Sumatera. Satu arogansi Bangsa Barat yang menganggap Sumatera dan manusianya semacam komoditas belaka. Merespon Traktat London dan penyerahan Bengkulu pada Belanda, Sultan Bengkulu kemudian marah dan mengatakan:
“Saya memprotes pemindahan kekuasaan ini. Siapa mereka yang merasa miliki kekuasaan untuk menyerahkan negeriku dan orang-orangnya, seperti binatang ternak, menyerahkan kepada Belanda atau kekuasaan lain? Jika Inggris sudah lelah dengan kami, biarkan mereka pergi; tapi saya menolak hak untuk menyerahkan kami pada Belanda.” [13]
Aceh yang Memikat dan Mengganjal
Sejak awal abad ke-16 Aceh sudah menarik pedagang dari berbagai belahan dunia seperti Eropa, India, Timur Tengah, Cina hingga Amerika. pada abad ke-19, Aceh menjadi penghasil lada terbesar di dunia. Lada telah membuat para Uleebalang dan pemilik lahan tanaman lada menjadi sangat kaya.[14] Pada abad ke-18, Aceh menjadi sangat strategis bagi negara-negara Eropa terutama Inggris, Belanda dan Perancis. Bagi Inggris khususnya, Aceh bukan hanya penting bagi perdagangan, tetapi juga pangkalan pelayaran untuk menguasai Samudera Hindia dan Selat Malaka.
Pada 1771, 1772 dan 1782 Inggris pernah mencoba untuk membujuk Aceh agar memberikan izin untuk menjadi pangkalan pelayaran dan komersial mereka. Meski pada akhirnya Inggris memilih Penang, namun posisi Aceh tetap penting bagi perdagangan Inggris di Asia Tenggara. Begitu pula sebaliknya. Penang menjadi gerbang Aceh untuk memasarkan produknya terutama lada ke seluruh dunia.[15]
Bagi Belanda yang bersaing ketat dengan Inggris dalam geopolitik di Asia Tenggara, Aceh tampak menggiurkan. Traktat London memang mewajibkan Inggris maupun Belanda menghormati kedaulatan Aceh. Namun satu kejadian di tahun 1856 mengubah peta kekuasaan.[16]
Konflik internal Kesultanan Siak di Sumatera Timur berujung pada masuknya kekuatan asing ke dalam Kesultanan tersebut. Perebutan tahta Sultan Ismail dan kakaknya, Tengku Putra membuat Sultan Ismail meminta bantuan Belanda untuk mengalahkan kakaknnya. Belanda berhasil membuat kesepakatan-kesepakatan dagang dan politik yang menguntungkan. Tampuk kedaulatan sekarang dalam genggaman Belanda. Siak menjadi wilayah di Sumatera Timur yang bertekuk lutut di bawah Belanda, bersama Langkat, Deli dan Asahan Utara sampai ke Sungai Kampar di Selatan- di seluruh pantai seberang Malaka, kecuali Aceh.[17]
Intervensi politik Belanda di Siak merusak persahabatan Belanda dengan Aceh yang sebelumnya ditandatangani Jenderal J. Van Swieten pada Mei 1857. Pada tahun 1862, Belanda lewat Residen Riau, mencoba membujuk agar Aceh mengakui Siak di bawah kedaulatan Belanda. Bujukan ini dijawab Aceh dengan mengirim armada perang kecil. Bayangan akan perang sudah mulai terlihat.[18]
Sumatera Timur memang menjadi primadona baru. Di Deli, Kesultanan Deli akhirnya mengakui kedaulatan Belanda. Segera setelah itu, konsesi untuk perkebunan tembakau diberikan kepada Belanda oleh Sultan Mahmud. Kemudian ledakan keajaiban terjadi. Mutu tembakau Deli laku di pasar Eropa. Pada 1870 didirikan Deli Maatschappij. Perusahaan perkebunan modern pertama di Hindia Belanda, menangguk untuk yang luar biasa. Begitu luar biasanya perkembangan di Sumatera Timur sehingga, “…dalam waktu singkat tercipta keadaan Timur Liar yang tiada terlukiskan, merupakan dorongan terkuat yang dapat dibayangkan untuk menghapuskan Tanam Paksa. Barangsiapa bisa menghitung dengan angka-angka Deli, tidak perlu lagi mempersoalkan saldo laba.”[19]
Zaman baru pun telah tiba. Pada 1869 terusan Suez dibuka. Perhubungan dengan Eropa menjadi lebih singkat. Pelayaran dapat ditempuh dari empat bulan, menjadi hanya lima pekan. Kedudukan Sumatera menjadi lebih penting. Sejak dibukanya Terusan Suez, pelayaran dari Eropa ke Asia Timur tidak lagi melalui selatan, yaitu Selat Sunda, tetapi lewat Aden dan Kolombo, melalui Selat Malaka. Hal ini juga menyebabkan jalur Selat Malaka ke Cina menjadi penting dan kedudukan Aceh semakin strategis.[20]
Bagian terbesar pantai timur Sumatera memang telah dibawah pengaruh Belanda, tetapi di ujung Utara, masih bercokol kekuasaan Aceh. Inilah halangan terbesar nafsu Belanda menangguk keuntungan. Bayangan keuntungan atas negeri penghasil lada terbesar di dunia, penguasaan Sumatera dari utara sampai sepanjang pantai timur dengan limpahan hasil kebunnya serta jalur strategis pelayaran ke Asia Timur tak lagi dapat dibendung. Traktat London yang menghalangi politik intervensi harus segera disingkirkan. Setidaknnya Aceh harus dapat di –Siak-kan.
Traktat London adalah penghalang utama ambisi Belanda. Oleh sebab itu mereka terus berupaya mendekati Inggris agar merevisi pasal-pasal dalam perjanjian tersebut. Bola kini berada di tangan Inggris. Inggris awalnya bersikap gamang. Mereka masih belum menentukan sikap atas niat Belanda. Sejak awal Inggris memang tidak peduli dengan nasib Aceh.
Pertimbangan utama Inggris adalah kepentingan dagang mereka di Semenanjung Malaya (Straits Settlements). Wakil Menteri Kolonial Inggris, Buckingham mengatakan,
“…berarti ada implikasi bahwa jika kita membuat perjanjian dengan Belanda maka kita akan mengatur mengenai Aceh tanpa meminta pendapat atau persetujuan Sultan Aceh. Langkah seperti ini…jelas akan dapat dijadikan alasan yang sah oleh Sultan Aceh untuk mengadakan perjanjian dengan negara-negara asing lain dan untuk memutuskan hubungan dengan kita – Sedangkan sementara itu pelabuhannya penting untuk perdagangan kita di India.”[21]
Keadaan segera berubah dengan kehadiran Sir Harry Ord di tahun 1867. Seorang pejabat kolonial Inggris di Semenanjung Malaya (Straits Settelements) yang bukan saja tidak peduli dengan nasibnya Aceh, tetapi juga mendukung Belanda dalam persoalan di Aceh. Dapat dikatakan ia adalah salah satu dari perumus utama dalam pasal-pasal mengenai Aceh dalam Perjanjian Sumatera nantinya. Inggris sendiri menjadikan Aceh sebagai alat tawar menawar dalam rangka memperoleh konsesi pajak. Selain itu Belanda menawarkan wilayah mereka di Pantai Emas di Ghana kepada Inggris dalam bentuk perjanjian lainnya.[22]
Di satu hari, musim panas 1869, de Waal, Menteri Jajahan Kerajaan Belanda mencoba membuka jalan membujuk Inggris. De Waal berunding bersama Duta Besar Inggris untuk Belanda yang kebetulan bertemu saat sedang jalan-jalan di Taman Bosch, Den Haag, Belanda. De Waal menawarkan Pantai Emas di Ghana dan perubahan tarif ganda di Sumatera. Imbalannya, Inggris membantu Belanda dalam dua hal; pengerahan buruh kontrak di Hindia Inggris untuk Suriname dan kelonggaran dalam masalah Aceh. Disinilah Harry Ord berperan.[23]
Colonial Office Inggris pun meminta pendapat Gubernur Singarpura tersebut. Tentu saja ia mendukung keinginan Belanda. Pada 9 Desember 1869, ia menyatakan direbutnya Aceh oleh Belanda akan menguntungkan perdagangan Inggris.[24] Berkali-kali pembicaraan terjadi. Namun kesepakatan baru tercapai pada tahun 2 November 1871. Inggris dan Belanda sepakat menandatangani Traktat Sumatera. Pasal pertama, pasal yang paling krusial menyangkut nasib Aceh. Pasal tersebut mencabut keberatan Inggris mengenai perluasakn kekuasan Belanda di mana saja di Sumatera.
“Her Brittanic Majesty desist from all objections against the extension of the Netherland Dominion in any part of the Island of Sumatera, and consequently from the reserve in that respect contained in the notes exchanged by the Netherland and British Pleinipontetiaries at the conclusion of the treaty of 17 March 1824.”[25]
Bagaimana pun, Traktat ini hanya merealisasikan keinginan Belanda untuk menaklukkan Aceh. Hal itu misalnya dapat dilihat dari surat De Waal pada Gubernur Jenderal pada masa itu, yang menyatakan bawha Batavia harus bersiap menghadapi kemungkinan pecahnya perang. Para politisi Belanda terbelah dua tentang cara menangani Aceh: Raad van Indie, semacam dewan penasehat untuk Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, menolak cara-cara yang agresif. Mereka menganggap Sultan Aceh dapat dijadikan sekutu dan kelak dibuat bergantung pada Belanda. Menawarkan Sultan perlindungan bantuan wilayah-wilayah yang memberontak padanya di Idi.[26]
Di seberang Raad van Indie, ada kubu Fransens de Putte dan James Loudon. Menteri Jajahan Kerajaan Belanda dan Gubernur Jenderal Belanda di Batavia yang ingin segera menyingkirkan Sultan Aceh. Loudon ingin mendukung Idi dan pemberontak-pemberontak lain melawan Sultan [Reid, 2005: 96]. Fransens de Putte menolak ‘usul bodoh’ Raad van Indie dan mendesak tindakan yang lebih tegas membela kerajaan-kerajaan di Pantai Aceh melawan Sultan.
Insiden di Idi, Sebuah Kesempatan Emas bagi Belanda.
Kesempatan emas itu pun tiba. Pada 1871 terjadi insiden pemblokadean terhadap kapal-kapal Belanda oleh armada kapal Simpang Ulim di pelabuhan Idi. Belanda membubarkan blokade tersebut dan menahan kapal Gipsy milik Teuku Paya, orang yang berseteru dengan penguasa Idi.[27] Pemblokadean kapal-kapal Belanda di Idi yang kabarnya direstui oleh Sultan Aceh ini disebabkan ketidakloyalan penguasa Idi, yaitu Tengku Chik.[28] Berbeda dengan Idi, penguasa Simpang Ulim, Teuku Muda Nyak Malim dikenal sebagai muslim taat yang menghukum mati pemakai candu. Teuku Muda Nyak Malim bersikap loyal pada Sultan Aceh.
Idi dan Simpang Ulim adalah dua wilayah yang baru tumbuh secara pesat dan saling bersaing di bawah kekuasaan Aceh lewat ekspor ladanya. Penguasa Idi menginginkan lepas dari kekuasaan Aceh sehingga dapat memiliki kekayaan seperti Sultan Deli di bawah perlindungan Belanda. Maka sejak 1869 Idi menolak membayar pungutan kepada Sultan Aceh.[29]
Kapal Simpang Ulim kemudian memeriksa kapal-kapal Belanda di pelabuhan Idi sehingga membuat Belanda melihat sebuah kesempatan emas. Di sini Belanda dapat ikut campur dalam politik Aceh sehingga dapat bermain politik seperti yang mereka lakukan di Siak. Kapal perang Belanda, Marnix segera menuju Idi atas restu Raad van Indie. Dewan tersebut menilai hukum internasional tidak berlaku pada negara-negara seperti Aceh. Meski tak berhasil menemukan kapal Belanda di Pelabuhan Idi, Marnix segera mengusir armada Simpang Ulim dari Idi.[30] Menurut M. Said dalam Aceh Sepanjang Abad jilid 2, Marnix menggiring kapal Simpang Ulim tersebut hingga ke Labuhan Deli, Sumatera Timur.
Hal ini tentu saja menggusarkan Aceh. Armada Simpang Ulim ini awalnya sebuah kapal bernama Gipsy yang dimiliki oleh Teuku Paya. Ia kemudian menambahkan beberapa pucuk meriam pada Gipsy dan mengganti namanya menjadi Simpang Ulim.[31] Teuku Paya sendiri kelak akan dikenal sebagai salah satu tokoh yang menjadi penyokong logistik untuk membiaya perang Aceh.
Muslihat di Belakang Delegasi
Ironisnya insiden pengusiran kapal Simpang Ulim ini terjadi saat kunjungan delegasi Belanda ke Aceh pada September 1871. Delegasi Belanda dengan kapal perang Djambi ini menghabiskan waktu 12 hari di Aceh. Kapal ini berangkat dari Padang pada 7 September 1871 dan tiba di Banda Aceh Darussalam. Setelah sempat beberapa hari terlunta-lunta di pelabuhan Aceh, utusan Belanda, Kontrolir Kraijenhoff akhirnya diterima di Istana pada 30 September 1871. Belanda meminta jaminan berdagang kepada Aceh dan kapal-kapalnya bebas keluar masuk di pelabuhan di wilayah Aceh dan menghendaki penempatan pagawainya di manapun mereka kehendaki.[32]
Habib Abdurrahman Az-Zahir menjelaskan bahwa Aceh hidup damai dengan Inggris, Perancis dan Turki, sedangkan Belanda meski mengakui sebagai sahabat Aceh, kenyatannya merebut wilayah Aceh di Pantai Barat dan Timur Aceh. Habib Abdurrahman Az Zahir menanyakan sikap Belanda terhadap kemerdekaan Aceh. Pertanyaan in dijawab oleh Kraijenhoff bahwa ia tak berhak menjawab hal itu karena mandatnya hanya sebatas pembicaraan kebebasan perdagangan. Abdurrahman Az-Zahir kemudian meminta Kraijenhoff untuk menjemput mandat tersebut ke Batavia.[33]
Meski demikian, menurut Anthony Reid, pembicaraan berakhir baik, Kraijenhoff diberikan kesempatan melakukan kunjungan kehormatan di hadapan Sultan, kemudian Belanda dan Aceh bertukar cinderamata. Kraijenhoff sendiri yakin bahwa persahabatan dengan Aceh telah dipulihkan.[34] Tentu saja keyakinan Kraijenhoff sekedar harapan belaka. Kenyatannya, pasca insiden di Idi, penguasa Idi kemudian mengirim dua utusan ke Riau untuk bertemu dengan Residen Belanda di Riau. Kedua utusan tersebut mendapat perintah untuk menerima kedaulatan Belanda dalam sebuah perjanjian pertahanan.[35]
Belanda sendiri mencoba mengklarifikasi insiden pengusiran armada Simpang Ulim dengan mengirimkan kembali Kraijenhoff dan Residen Belanda di Riau, D.W. Schiff sebagai delegasi ke Aceh. Mereka tiba di Banda Aceh Darussalam pada 22 Mei 1872. Secara resmi mereka membawa surat untuk Habib Abdurrahman Az-Zahir. Meski demikian, delegasi tersebut pulang dengan kegagalan.
Mereka tak bertemu dengan Habib Abdurrahman Az-Zahir yang sedang pergi ke Barat Aceh dan Panglima Tibang yang sedang ke Penang. Pejabat Aceh yang otoritatif, Teuku Kali Malikul Adil tak mau menemui mereka dan mengatakan surat untuk Habib tidak akan dibuka oleh siapa pun kecuali Habib sendiri. Kraijenhoff sebenarnya tak pulang dengan tangan hampa. Selain menyampaikan surat, mereka juga melakukan pemantauan terhadap tempat-tempat strategis di Aceh.[36]
Kraijenhoff kembali melakukan kunjungan ketiganya ke Aceh pada bulan Oktober 1872. Tetapi saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan sehingga otoritas Aceh menolak untuk mengurus apa pun selama bulan Ramadhan dan menyarankan agar mereka kembali pada 6 Syawal 1289 (7 Desember 1872). Kraijenhoff akhirnya hanya menyerahkan surat pada Teuku Kali. Sebuah surat yang sampai dalam situasi yang sudah memburuk.[37] Kunjungan yang ketiga ini sebenarnya disetujui oleh Gubernur Jenderal James Loudon dan mengingatkan agar tidak dilakukan satu tindakan apa pun soal Aceh sampai ada laporan dari utusan tersebut. Tetapi peringatan Loudon ini terlambat sampai pada Residen Riau, Schiff.
Schiff melakukan satu tindakan yang sangat kontroversial pada bulan September 1872, di tengah bara yang sedang memanas. Ia kembali memerintahkan kapal Marnix agar menahan kapal Gipsy milik Teuku Paya karena mendengar kabar bahwa pelabuhan Idi kembali diblokade oleh Gipsy. Hal ini tentu menimbulkan kegemparan di Istana Aceh. Keputusan akhirnya dibuat. Mereka memutuskan menangguhkan menerima utusan Belanda sampai mendapat kepastian tentang dukungan yang di dapat dari luar negeri.[38]
Panglima Tibang diutus untuk menemui Residen Riau, Schiff guna menyampaikan surat penangguhan selama enam bulan tersebut. Selain menemui Schiff, Tibang juga diutus melakukan aksi mencari dukungan dari pihak lain di luar negeri. Jika Habib Abdurrahman Az-Zahir diutus mencari dukungan ke Turki, maka Tibang diutus untuk menemui konsul Perancis, Italia, Spanyol dan Amerika di Singapura guna mencari dukungan bagi Aceh.[39]
Diplomasi Berujung Manipulasi
Di sini kekacauan pun muncul. Perang Aceh tersulut di tangan para provokator. Panglima Tibang Muhammad, Syahbandar Aceh yang diberi kewenangan atas nama Sultan Aceh membuat perjanjian dengan negeri lain terperangkap dalam permainan licik. Seorang petualang politk, Teuku Muhammad Arifin, yang sebenarnnya bekerja untuk Konsul Jenderal Belanda di Singapura, William H.M. Read. Arifin menyarankan kepada Panglima Tibang untuk meminta bantuan Amerika Serikat.
Kedudukan Amerika Serikat di Singapura diwakili oleh Konsul Jenderal-nya, Major Studer. Arifin yang mengenal Studer segera menyambungkan Panglima Tibang dengan Studer. Arifin membawa Panglima Tibang dua kali pada Studer di bulan Januari 1873.[40]
Tibang pun menjelaskan kedudukannya sebagai wakil Aceh dan menawarkan keinginan Amerika Serikat, yaitu perjanjian ekstra-teritorial dan proteksi tarif untuk tekstil Amerika. Major Studer hanya meminta Panglima Tibang memenuhi tata cara untuk berhubungan dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat. Panglima Tibang menyambut antusias tanggapan ini dan berjanji pada Studer untuk kembali secepat mungkin ke Singapura membawa dokumen yang diperlukan.
Tanpa disangka siapa pun, Muhammad Arifin menceritakan pertemuan Panglima Tibang dengan Studer kepada tuannya, Konsul Jenderal Belanda di Singapura, William Read. Di sinilah rantai provokasi dimulai. Read kemudian memanfaatkan informasi Arifin dengan mengirim sebuah telegram dramatis pada 15 Februari 1873 kepada James Louden, Gubernur Jenderal Batavia.
Read mengatakan bahwa dia telah menemukan “perselingkuhan-perselingkuhan yang amat penting” antara utusan Aceh (maksudnya Panglima Tibang), para konsul Amerika serta Italia. Read mengatakan Studer telah mengajukan kepada Laksamana Armada Amerika Serikat, yang dapat muncul di Aceh dalam waktu dua bulan. Konsul Italia sedang menantikan surat dari Sultan Aceh dan kapten Racchia, yang sedang berada di Singapura segera akan berangkat ke Aceh dengan kapal perang.[41]
Drama provokatif dan manipulatif ini tidak berhenti sampai di sini. Read mengaku mendapat informasi bahwa Studer telah mengirimkan konsep Traktat Amerika – Aceh sebanyak dua belas pasal, termasuk pasal hak dagang istimewa, pertukaran wakil dan perlindungan dari “tindakan-tindakan permusuhan.”[42]
Belum cukup, Read mengaku mendapat informasi bahwa ada instruksi-instruksi dari Studer kepada Tibang tentang rencana pertahanan yang menyebutkan Amerika dan Aceh akan bersama-sama menghancurkan Belanda, jika Belanda menyerang Aceh. Nyatanya hanya ada satu dokumen yang memuat tanda tangan Studer. Yaitu sebuah surat bertanggal 1 maret 1873 yang ditujukan kepada Panglima Tibang. Isinya: Surat yang disebut Studer atas permintaan Arifin. Studer juga mendoakan agar keluarga dan sahabat panglima Tibang selamat.[43]
Telegram dramatis Read benar-benar efektif. James Louden adalah orang yang sejak awal menghendaki perang dengan Aceh. Louden pun meneruskan informasi ini kepada Fransen van de Putte. Kabar ini dijawab van de Putte ;
“Kalau anda tidak meragukan kebenaran berita konsul Singapura, tidak boleh ragu-ragu lagi. Akan mengirimkan angkatan Laut yang kuat ke Aceh untuk meminta kejelasan dan pertanggungjawaban untuk sikap bermuka dua dan berkhianat dan menentukan sikap Belanda terhadap Aceh sesuai dengan itu. Bila itu tidak dipenuhi secara memuaskan, angkatan perang harus dikerahkan…”[44]
Pesan van de Putte jelas, Aceh dituntut untuk menunjukkan niat baiknya dengan mewajibkan mereka menandatangani perjanjian, yang memang sudah lama menjadi tujuan Belanda. Pesan ini diartikan Loudon dengan sangat kasar. Ia meminta Raad van Indie mengirimkan seorang komisioner ke Aceh secepat mungkin. Komisioner ini akan ditemani empat batalion dan diberi misi yang jelas: Akui Belanda sebagai kekuasaan berdaulat atau perang.[45]
4 Maret 1873, J.F.N Nieuwenhuyzen berangkat ke Aceh sebagai wakil dari Batavia menuntut Aceh agar “…mengakui kedaulatan Belanda dalam waktu 24 jam, dan untuk menyatakan perang jika tuntutan kita tidak dipenuhi.” James Loudon begitu yakin, saat itu adalah momentum yang tepat untuk menindak Aceh. Menurutnya,”Kebijakan Aceh yang membingungkan mengenai Pemerintah Belanda harus diakhiri. Negeri itu tetap merupakan titik lemah kita sepanjang menyangkut Sumatera. Selama negeri itu tidak mengakui kedaulatan kita, campur tangan asing akan terus mengancam kita seperti pedang Damocles…”[46]
Alasan campur tangan asing segera tampak tak masuk akal. Italia segera menyangkal tuduhan mereka terlibat membantu Aceh. Begitu pula desas-desus Amerika akan ikut campur juga tak terbukti. Namun Loudon tetap tak bergeming.
Nieuwenhuyzen tiba di Aceh 22 Maret. Ia menunggu jawaban Sultan Aceh selama 24 jam. Keesokan harinya, Sultan Aceh menjawab pertanyaan Nieuwenhuyzen. Ia mengatakan ingin hidup damai dengan Pemerintah Belanda. Ia juga mempertanyakan kesepakatan sebelumnya dengan wakil Belanda di Riau bahwa mereka sudah setuju untuk mengundurkan kunjungan Belanda selama enam bulan. Tanpa menyinggung soal pertemuan Tibang dengan wakil Amerika, Sultan lantas bertanya dalam surat balasannya, “Apa kalau begitu salah kami?”[47]
Niuwenhuyzen menganggap Sultan hanya mengulur-ulur waktu. Tanggal 26 Maret 1873, kapal Belanda yang ditumpangi Nieuwenhuyzen, Citadel van Antwerpen mulai menembakkan peluru Meriam ke sebuah benteng Pantai Aceh sebagai tanda pernyataan perang. Sebab, “Aceh dianggap telah bersalah melanggar perjanjian niaga, perdamaian, dan persahabatan yang dibuat pada tanggal 30 Maret 1857 antara Aceh sendiri dan Pemerintah Hindia Belanda.”[48]
Tak lama setelah itu pernyataan perang resmi dikirimkan Belanda sebagai pemberitahuan kepada negara-negara Eropa yang lain.[49] Perang Aceh telah pecah. Nafsu Belanda yang mengangkangi Traktat London, diikuti manuver dalam Traktat Sumatera menandakan Belanda memang berambisi menguasai Aceh sejak lama. Lagipula Traktat Sumatera dibuat tanpa mempedulikan para penguasa di Sumatera, termasuk Aceh. Maka desas-desus ‘kasus’ Tibang dengan Studer hanyalah dalih saja. Di balik serangan terhadap Aceh, tersimpan keuntungan yang sangat menggoda.
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Berikutnya: Babak Pertama Perang Aceh – 2
[1] Alfian, Ibrahim. 2016. Perang Aceh, 1873 – 1912: Perang di Jalan Allah. Yogyakarta: Penerbit Ombak., hlm. 21.
[2] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 22.
[3] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 23.
[4] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 23.
[5] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 23.
[6] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 23.
[7] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 23.
[8] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 23.
[9] Said, Mohammad. 2007. Aceh Sepanjang Abad. Jilid 2. Medan: Harian Waspada, hlm. 4.
[10] Reid, Anthony. 2005. Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera Hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad Ke-19. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 86-87.
[11] Reid, Anthony. 2005, hlm. 87.
[12] Tarling, Nicholas. 1993. The Cambridge History of Southeast Asia, Vol. 2. Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 14.
[13] Davidson, G.F. 1846. Trade and Travel in The Far East: Recollections of Twenty-One Years Passed in Java, Singapore, Australia, and China. London: Madden and Malcolm, hlm. 81.
[14] Wong, Y.T. dan K.H. Lee. 2014. Aceh-Penang Maritime Trade and Chinese Mercantile Networks in the Nineteenth Century. Archipel. vol. 87, hlm. 173.
[15] Wong, Y.T. dan K.H. Lee. 2014. Hlm 176-177.
[16] Van t’Veer, Paul. 1985. Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje. Jakarta: Grafiti Pers, hlm. 12.
[17] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 13.
[18] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 14.
[19] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 15.
[20] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 17-18.
[21] Reid, Anthony. 2005, hlm. 65.
[22] Reid, Anthony. 2005, hlm. 75.
[23] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 18.
[24] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 19.
[25] Reid, Anthony. 2005, hlm. 337.
[26] Reid, Anthony. 2005, hlm. 96.
[27] Reid, Anthony. 2005, hlm. 97.
[28] Said, Mohammad. 2007, hlm 11.
[29] Reid, Anthony. 2005, hlm. 86.
[30] Reid, Anthony. 2005, hlm. 94.
[31] Said, Mohammad. 2007, hlm 12.
[32] Said, Mohammad. 2007, hlm 8.
[33] Said, Mohammad. 2007, hlm 10.
[34] Reid, Anthony. 2005, hlm. 94.
[35] Reid, Anthony. 2005, hlm. 95.
[36] Said, Mohammad. 2007, hlm 13.
[37] Said, Mohammad. 2007, hlm 14.
[38] Reid, Anthony. 2005, hlm. 97.
[39] Reid, Anthony. 2005, hlm. 98.
[40] Reid, Anthony. 2005, hlm. 100.
[41] Reid, Anthony. 2005, hlm. 100-101 dan Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 28-29.
[42] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 30.
[43] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 31.
[44] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 29.
[45] Reid, Anthony. 2005, hlm. 102.
[46] Reid, Anthony. 2005, hlm. 102.
[47] Reid, Anthony. 2005, hlm. 104.
[48] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm 34.
[49] Reid, Anthony. 2005, hlm. 104.
[…] Pembagian kekuasaan tadi tak dapat disangkal menjadi persaingan beberapa tokoh berpengaruh. Terlebih kekuasaan Sultan Ibrahim Mansur Syah (1850 – 1870) berkuasa setelah berkonflik dengan Sultan Sulaiman. Sultan Sulaiman adalah ipar dari Teuku Ba’et yang berkuasa di wilayah pengunungan Mukim XXII dan kekuasaannya hanya bisa ditandingi oleh Panglima Polem . Teuku Ba’et menolak untuk berbaikan dengan Sultan Ibrahim dan menjaga janda Sultan Sulaiman dan putranya yang masih kecil yaitu Mahmud. [ […]