Revolusi di Rusia semakin membakar militansi kaum merah di Sarekat Islam. Kerjasama dua kubu dan saling silang soal prinsip mewarnai perjalanan Sarekat Islam. Namun konflik makin tajam saat Tjokroaminoto dituduh terlibat korupsi
Diantara berbagai ketidaksepahaman kubu kiri di Sarekat Islam, satu hal yang cukup krusial adalah soal agama. Kubu kiri ingin menarik Sarekat Islam ke arah netral agama. Mereka beralasan bahwa agama tidak menyediakan basis yang luas bagi aksi politk. Hal ini diperparah nantinya oleh usul Alimin Prawirodirdjo, yang menginginkan nama Sarekat Islam diganti menjadi Sarekat Hindia.[1] Persoalan agama sebagai landasan berjuang Sarekat Islam memang menjadi isu yang melandasi pertentangan antara kubu kiri dan Islam di SI. Isu ini nantinya akan semakin santer diperdebatkan, khususnya pasca terjadinya Revolusi 1917 di Rusia.
Revolusi 1917 mendapatkan sambutan hangat orang-orang kiri di Hindia Belanda khsusunya Sneevliet. Ia menulis sebuah artikel berjudul ”Zegepraal“ yang berarti kemenangan. Artikel ini memberikan dukungan agar rakyat Indonesia berjuang melawan imperialisme dan keterbelakangan feodal. Diserukannya,
”Disini ada satoe bangsa jang bersabar hati, sengsara, memikoel kesengsara’an, jalah satoe bangsa dari beberapa million djiwa telah beberapa abad…dan sesoedahnja Dipo Negoro, tiadalah ada bangoen lagi saorang banjak aken mereboet hak beoat mengatoer nasibnja sendiri. Hei, rajat bangsa Djawa, revolutie Rusland mengandoeng pengadjaran djoega bagi kamoe!”[2]
Tulisan ini membawa Sneevliet ke dalam masalah. Pemerintah kolonial bereaksi dengan menyeretnya ke pengadilan dan kemudian mengusirnya dari Hindia Belanda. Di Hindia Belanda orang-orang lintas pergerakan seperti Mas Marco hingga H. Fachrodin bereaksi menentang pengusiran Sneevliet.
Memang, revolusi di Rusia bukan hanya disambut kaum kiri di Hindia Belanda, tetapi juga tokoh nasionalis semacam Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, yang pertama kali menerbitkan tulisan Sneevliet pada 19 Maret 1917 di De Indier, media massa yang dipimpinnya. Selain Dr Tjipto, Mas Marco juga menulis artikel yang menyambut revolusi tersebut. Ki Hajar Dewantara juga menyambutnya dengan menerjemahkan lagu Internationale. Semangat anti kapitalisme memang menjadi bahasa pada zaman itu. Tetapi Revolusi 1917, secara khusus semakin memperlihatkan kubu kiri yang bergerak diatas prinsip marxisme. Hal ini menjadi persoalan ketika kubu kiri juga turut meluaskan pengaruhnya di Sarekat Islam. Kecurigaan tokoh-tokoh Islam dalam SI seperti Abdoel Moeis dan Haji Agus Salim pada sepak terjang kubu kiri di SI sudah sejak lama. Menurut mereka dibalik Semaoen, ada sosok Sneevliet yang mengendalikannya.
”Lihatlah pekerdjaan Sneevliet, lebih dahoeloe ia petjah persekoetoean jang sebidji-bidjinja!
Sarekat Islam digojang Sneevliet!
Padahal masih banjak pekerdjaan jang lain, jang akan lebih berhasil dari ini kelakoean, jang ia soedah bikin.“[3]
Haji Agus Salim pun bereaksi atas pandangan marxis kubu kiri di SI. Dalam artikelnya di surat kabar Neratja pada 1 Oktober 1917, Haji Agus Salim menyebut kelompok SI Semarang sebagai kaum yang,
”…hendak membagi bangsa kita atas ’kaoem pekerdja‘ dengan ’kaoem bermodal.‘ Kaoem itoe jang membatalkan hak-milik, jang memakai nama ‘socialist‘ jang dibangoenkan dan dikembangkan dalam negeri ini oleh toean-toean Sneevliet, Baars d.l.l.“[4]
Haji Agus Salim juga mengkritik mereka dengan mengatakan, ”…kaoem ’socialist‘ itoe memboeta toeli sadja hendak memindahkan sengketa dan perselisihan di roemah tangganja (Eropa) ke tanah air kita.”[5]
Abdoel Moeis juga senada dengan Haji Agus Salim dan dengan terang menunjuk Sneevliet berada di balik Semaoen. Dalam tulisannya yang diterbitkan Sinar Djawa pada 2 Oktober 1917, Moeis menyebut,
”…SI Semarang masih koeat melengkat pada Sneevliet, karena dijwanja SI Semarang ialah Semaoen, sedang toelang tonggong Semaoen ialah Sneevliet.
Boekankah kita tahoe penghidoepan Semaoen ialah dari perkoempoelan VTSP, sedang Djiwanja VTSP ialah Sneevliet poela.“[6]
Semaoen menolak tuduhan Moeis ini. Dalam brosur Anti Indie Werbaar, Semaoen menyanggahnya seraya menyebutkan,”Sneevliet BOEKAN toelang poenggoeng saja, sebab semoea manoesia poenja fikiran sendiri-sendiri. Begitoepoen saja. Perkara SI tida ada perhoeboengan atoe pengaroeh dari Sneevliet.”[7]
Semaoen bisa saja menyanggah, tetapi tuduhan Abdoel Moeis kelak terbukti oleh pernyataan Sneevliet sendiri. Sneevliet menyebutkan,“The Sarekat Islam has provided us with the people for the unions which are developing in Java. The Sarekat Islam has also given us railway workers, the rest of the government employees and also workers in private enterprise. It is the task of the revolutionaries to develop the Sarekat Islam into a communist organisation; an organisation which will be a member of the Third International”[8]
Bagi Sneevliet, infiltrasi gerakan kiri ke dalam Sarekat Islam memberikan akses pada massa (kelompok) pekerja khsusunya buruh pekerja rel kereta. Adalah tugas bagi kelompok komunis untuk mengubah Sarekat Islam menjadi organisasi komunis, dan menjadikan Moskow dan Petrograd sebagai ‘Mekkah’ baru bagi Timur.[9] Senada dengan Sneevliet, aktivis ISDV,-organisasi kiri yang menjadi bagian dari Sarekat Islam- aktivis ISDV, Adolf Baars, menginginkan keterlibatan kelompok kiri di SI hanyalah sebuah ‘batu loncatan.’ Menurutnya ketika perkembangan SI mencapai titik akhir, SI akan kehilangan karakter relijius dan nasionalisnya dan hanya menganggap satu karakter kelas, saat itulah orang ISDV (sebagai organisasi kiri) yang ada di dalam SI hanya akan membiarkan perbedaan di tubuh SI (yang sudah lenyap ) menjadi persatuan aksi massa sosialis.[10]
Pengaruh kubu kiri dipimpin Semaoen kuat. Di Kongres Nasional Sarekat Islam ke-2 pada 20-27 Oktober 1917, kehadiran Semaoen menimbulkan dua mosi. Yang pertama penolakan indie werbaar dan yang kedua mosi pemecatan Semaoen.Akhirnya dicapai kompromi. Kedua mosi tersebut dicabut. CSI tetap mendukung indie Werbaar sebagai daya tawar untuk perjuangan menuju kedaulatan politik dan kesejahteraan. Kapitalisme juga menjadi pembahasan penting. Semaoen menolak adanya kapitalisme pribumi. Namun sikap SI diputuskan untuk menolak kapitalisme jahat sekaligus tidak menolak kapitalisme pribumi. Kongres CSI kedua tersebut menghasilkan keputusan yang membahas antara agama, kekuasaan dan kapitalisme dan menyimpulkan:
“Dengan tiada ferdoelikan segala igama jang lain, dan mengoesahakan kesabaran hati sebagai jang terboeka oleh Al-Qoeran dalam soerat Qoelya, maka Centraal Sarekat Islam pertjaja igama Islam itoe memboeka rasa fikiran demokratis.
Sambil mendjoendjoeng tinggi pada koeasa negeri. Maka Centraal Sarekat Islam menoentoet bertambah-tambah koeasa negeri, pengaroehnja segala golongan ra’jat Hindia di atas djalannja Pemerintahan agar soepaja kelak mendapat koeasa pemerintah sendiri (zelfbestuur). Boeat mentjapai hal itoe maka Centraal SI akan menggunakan segala kekoeatannja menoeroet djalan jang patoet. Centraal Sarekat Islam tidak menjoekai soeatoe bangsa berkoeasa di atas bangsa jang lain dan menoentoet soeatoe pihak keoasa negri akan memberikan perlindoenagna jang besar oentoek orang-orang jang lembek dan miskin baik beoat keperloean mentjari kepandaian, moepoen boeat keperloean mentjari makan. Centraal Sarekat Islam memerangi kekoeasannja kapitalsime jang djahat pada kejakinannja bahagian terbesar daripada pendoedoek boemipoetra amat boeroek adanja.[11]”
Pengaruh kiri pada Sarekat Islam memang tak bisa dipungkiri. Perseteruan kedua kubu tidak bisa tidak juga saling mempengaruhi dan mencapai kompromi.
Hubungan tarik-menarik antara kedua kubu ini tetap dijaga oleh Tjokroaminoto. Tjokroaminoto adalah sosok pemersatu di Sarekat Islam. Baginya kedua kubu ini tetap harus dijembatani oleh dirinya. Pada kongres nasional kedua Sarekat Islam tahun 1918, Tjokroaminoto mengakomodir kubu kiri dengan mengangkat Semaoen sebagai komisaris CSI dan Dharsono, sebagai propagandis resmi CSI.[12]
Menjelang akhir 1918 keadaan semakin memburuk. Harga-harga melambung tinggi. Tak lagi terjangkau oleh rakyat. Pemerintah colonial dan sebagian besar anggota Volksraad lebih memihak pada pengusaha industri gula yang menolak untuk mengurangi wilayah perkebunan mereka untuk tanaman rakyat. Sarekat Islam mengadakan sidang di September 1918 untuk merespon keadaan ini. Kongres ini membicarakan badan penyokong untuk para aktivis yang terkena hantam tangan besi penguasa. Perbedaan pandangan kubu Semaoen dan Abdoel Moeis masih sangat tajam. Beberapa pokok perbedaan itu antara lain soal nasionalisme dan kapitalisme. Kubu Abdoel Moeis menolak dominasi satu bangsa atas bangsa lainnya. Sedangkan bagi kubu Semaoen, melawan kapitalisme adalah yang paling utama. Pun dalam menyikapi kapitalisme keduanya tak sejalan. Abdoel Moeis menganggap modal capital harus diserahkan kepada pengusaha-pengusaha pribumi, sedangkan kubu Semaoen menganggap harus diserahkan pada koperasi-koperasi. Dalam ihwal politik, Abdoel Moeis bagaiamanapun masih mengupayakan kerjasama dengan pemerintah, sesuatu yang ditolak sama sekali oleh kubu kiri.[13]
Semaoen, selain hal tadi, berhasil mempengaruhi kongres sehubungan dengan status Sneevliet. Semaoen mengusulkan agar Sneevliet menjadi wakil Sarekat Islam di Belanda. Namun usul ini ditentang banyak pihak karena khawatir SI akan menjadi alat dari Sneevliet. Akhirnya dicapai kompromi, Sneevliet diangkat menjadi wakil SI dengan mandate terbatas yang dapat dicabut sewaktu-waktu. Usul ini diterima dengan 5 : 4 dengan satu suara abstain. Usul lain Semaoen terkait dengan sikap SI terhadap orang-orang tionghoa. Semaoen mengusulkan agar Sarekat Islam tak lagi memusuhi orang-orang tionghoa. Karena musuh sebenarnya adalaha kapitalisme. Sidang memutuskan SI akan menyambut jika ada tawaran perdamaian dari orang-orang tionghoa, selama mereka mendukung pergerakan, membantu menghilangkan perbedaan dan tidak merintangi SI melawan kapitalisme. Lolosnya beberapa usulan Semaoen mencerminkan besarnya pengaruh kubu kiri kala itu.[14]
Perseteruan kubu kiri dan Islam di SI memang terus terjadi, namun mereka juga tetap bekerja sama dalam persoalan-persoalan lainnya. Termasuk perhatian Sarekat Islam pada buruh. Perhatian SI pada buruh sebenarnya bukan hal baru. Sejak awal, aktivis Sarekat Islam seperti Abdul Muis dan Haji Agus Salim sudah memberikan perhatian dan pembelaan mereka pada kaum buruh, terutama kuli kontrak di Deli, Sumatera Utara yang amat tertindas.[15]
Perhatian SI pada buruh semakin menguat dengan dibentuknya serikat buruh Personeel Fabriek Bond (PFB) yang dibentuk oleh Surjopranoto, seorang komisaris CSI yang dilantik berdasarkan kongres 1918. Surjopranoto yang lahir tahun 1871, adalah keturunan bangsawan dari keraton Pakualaman. Ia terlibat dalam pembelaan buruh di kelompok Prawiro Pandojo in Joedo, cabang perkumulan Adhi Dharmo. Surjopranoto, Voorszitter Sarekat Islam Jogjakarta. yang mendapat julukan ‘Si Raja Mogok ini,’ menegaskan perjuangannya membela kaum buruh. Ia menggugat “tuan-tuan kapitalis” yang hanya bertindak seenaknya, “tanpa berbitjara dengan boeroehnja? Pada taraf jang paling ringan mereka hanja memakinya; dan pada poentjak jang tertinggi mereka memoekoeli dan memetjatnya.”[16]
PFB menjadi salah satu serikat buruh yang berkembang pesat diperkebunan pulau Jawa. Surjopranoto bersama PFB berhasil mengorganisir pemogokan-pemogokan buruh yang berhasil memperbaiki pendapatan kaum buruh. Disebabkan aksi-aksi pemogokannya, Soerjopranoto sampai dijuluki ‘Si Raja Mogok.’ PFB pada tahun 1920 memiliki anggota sebanyak 32 ribu orang. Tak ayal PFB menjadi salah satu serikat buruh terbesar di Hindia Belanda, bersama dengan VTSP yang diorganisir oleh SI Semarang di bawah Semaoen. Surjopranoto berhasil ‘menarik’ pusat pergerakan dari Semarang ke Jogjakarta. Persaingan ini kemudian semakin mengokohkan perseteruan dengan kubu kiri di Sarekat Islam.
Selain Semarang dan Jogjakarta, satu daerah lain memunculkan peta kekuatan baru di Sarekat Islam, yaitu Surakarta, dengan munculnya nama Haji Misbach. Nama Haji Misbach tak bisa dilepaskan dari terjadinya peristiwa penistaan terhadap Nabi Muhammad (SAW) oleh artikel Djojodikoro dalam Djawi Hisworo pada awal Januari 1918. Artikel tersebut menghina Rasulullah (SAW) dengan menyebut Rasulullah sebagi peminum Gin (sejenis minuman keras) dan penghisap opium. Sontak terbitnya artikel ini menimbulkan kemarahan dan protes umat Islam. Sarekat Islam dibawah Tjokroaminoto kemudian membentuk milisi bernama Tentara Kandjeng Nabi Moehammad (TKNM). TKNM berhasil mengadakan protes serentak pada 24 Februari 1918 dilebih dari 42 tempat di Jawa dan Sumatera, dan mengumpulkan massa sebanyak 150 ribu orang.[17]
Di Surakarta sendiri, SI Surakarta menolak untuk mendukung aksi ini, karena menganggap apa yang dilakukan oleh Djawi Hisworo sebagai kebebasan pers. Aksi anti Djawi Hisworo digerakkan oleh Haji Misbach. Ia adalah mubaligh yang banyak berdakawah di berbagai lapisan masyarakat dan menyentuh beragam sektor termasuk ekonomi dan media massa. Lewat media massa yang dipimpinnya, yaitu Medan Moeslimin dan kemudian Islam bergerak ia banyak menyampaikan aksi protesnya. Mengendornya TKNM dan diikuti dengan kacaunya kordinasi serta pengelolaan keuangan di TKNM membangkitkan kekecewaan Haji Misbach.[18]
Haji Misbach yang bergabung dengan Mas Marco Kartodikromo dalam Inlandsche Journalisten Bond (IJB) memang menjadi tokoh yang frontal mengkritik pemerintah kolonial. Hal ini membuatnya dipenjara oleh pemerintah kolonial. Selepas dari penjara, pandangan-pandangannya yang menentang kapitalisme kemudian membuatnya dikenal sebagai Haji komunis, tokoh yang menggabungkan pemikiran Islam dengan komunisme.
Kepedulian H. Misbach pada rakyat kecil dan kebenciannya terhadap sistem kapitalisme yang mengeksploitasi rakyat pada masa itu membuatnya tertarik dengan pemikiran komunisme. Bagi H. Misbach seorang muslim sejati pasti adalah seorang komunis, begitu pula sebaliknya. Seorang komunis yang masih membenci agama Islam, maka dia bukanlah komunis sejati atau orang yang belum mengerti hakikat komunisme. H. Misbach menganggap Muhammadiyah dan kubu Tjokroaminoto di Sarekat Islam adalah kapitalis. Dalam tulisannya yang berjudul Islamisme dan Komunisme, Haji Misbach menganggap Sarekat Islam dan Muhammadiyah sebagai racun. ”Sebaliknya untuk orang yang […] mengakunya, seperti: Mohammadiyah dan SO Tjokro, musti saya keterangan hal […] dianggap sebagai racun saja. Keduwa golongan ini (M.D dan Tjokrio) bukannya mereka menggerakkan agama […] yang sejati…“[19]
Serangan-serangan Haji Misbach kepada Muhammadiyah semakin keras selepas disiplin partai di Sarekat Islam. Dalam Medan Moeslimin No. 24 tahun 1922 misalnya, Haj i Misbach menulis,
”Nah sekarang tuan-tuan pembaca bisa fikir sendiri, sudah terang sekali H.A Dahlan dan sikap Muhammadiyah pada waktu sekarang ini perlu membuang IMAM kepada Al-quran, bisa juga H. A. Dahlan menjalankan sikapnya kanjeng Nabi Muhammad, sebab Kanjeng Nabi tidak suka menjilat kepada orang Musyrik di Mekkah,…“[20]
Tuduhan Muhammadiyah adalah kapitalis sebetulnya tak berdasar. H. Fachrodin, salah seorang tokoh SI dari Muhammadiyah telah terang menolak kapitalisme. Bahkan ia pernah dipenjara oleh pemerintah kolonial karena mengkritik praktek eksploitasi terhadap rakyat di Jawa. Meski demikian tuduhan agen kapitalis tetap ditujukan kepada dirinya. Hal ini bermula dari upaya H. Fahcrodin meminjamkan uang untuk Perserikatan Pegawai Pegadaian Boemipoetra (PPPB). KH. Ahmad Dahlan lewat Muhammadiyah mencarikan pinjaman bagi PPPB. Dan Muhammadiyah terpaksa meminjam uang dan menanggung bunganya. Hal ini langsung diserang oleh Haji Misbach yang menganggapnya melakukan praktek rentenir dan mencap Haji Fahcrodin sebagai ´agen kapitalis.‘[21]
Menanggapi serangan-serangan ini, Haji Fachrodin dalam Kongres Muhammadiyah tahun 1925, mengingatkan para peserta kongres. Majalah Soewara Moehaammadiyah No. 6 tahun 1925 melaporkan pernyataan Haji Fahcordin tersebut,
”Zaman baroe, fikiran orang baroe djoega. Moesoeh-moesoeh Islam memakai djalan baroe djoega, dengan djalan jang roepa-roepa sekali. Kita haroes membaharoe roh kita lagi, djangan senantiasa banjak loepa. Koerang hati-hati itoe menjebabkan keroegian Islam. Djangan kita salah, mana jang memang teman dan mana jang memang boekan…“[22]
Hadirnya Haji Misbach di Surakarta, memberikan peta baru konflik di Sarekat Islam. Di Kubu kiri SI Semarang bersama SI Surakarta menjadi seteru sengit kelompok Islam dibawah Haji Agus Salim – Abdul Muis, Haji Fachrodin, dan Surjopranoto. Keputusan Tjokroaminoto mengakomodir Semaoen dan Darsono dalam kepengurusan CSI tak meredam konflik. Kedua kubu bersaing dalam kedudukan di federasi Serikat buruh yang dibentuk pasca kongres SI tahun 1919. Federasi itu bernama Persatoean Pergerakan Kaoem Boeroeh (PPKB) dan berdiri pada 15 Desember 1919. Semaoen menjadi Presiden federasi sementara Surjopranoto menjadi wakilnya. Semaoen berhasil menggerakkan PPKB sebagai salah satu kekuatan yang membela kepentingan buruh. Seperti pada aksinya yang berhasil menekan percetakan Van Dorp untuk menaikkan upah buruh dengan menggalang pemogokan pada bulan Februari hingga April 1920. Keberhasilan ini tak lepas dari sikap Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum yang cukup netral. [23]
Sayangnya, PPKB juga menjadi ajang tarik menarik antar dua kubu. Wakil presiden PPKB, Surjopranoto meminta agar Yogyakarta menjadi pusat dari federasi ini. Semaoen menganggap pergeseran pusat federasi sebagai upaya mengurangi pengaruhnya kiri di PPKB. PPKB Meski sempat bekerja sama dalam PPKB, namun perpecahan antara diantara kedua gerakan buruh tersebut terjadi ketika PFB di bawah Surjopranoto hendak melaksanakan pemogokan dan menekan Sindikat Pabrik Gula. Namun Sindikat Pabrik Gula menolak melakukan negosiasi dengan PFB. Di satu sisi, permintaan PFB kepada PPKB (Semaoen) untuk mendukung pemogokan ditanggapi tak sepenuh hati oleh PPKB. Semaoen menganggap pemogokan ini tak efektif. Semaoen pun mengirimkan pesan untuk membatalkan rencana pemogokan, namun ternyata rencana ini bocor dan disiarkan oleh reporter Belanda. Rencana pemogokan ini hancur, meruntuhkan gerakan PFB. Kubu Surjopranoto dan Haji Agus Salim menuding Semaoen tak mendukung mereka.[24]
Sikap kubu kiri dibalas oleh kubu Surjopranoto dan Haji Agus Salim. Menjelang kongres Sarekat Islam di bulan Oktober, Semaoen yang sedang berada di Moskow mengirimkan Darsono sebagai wakil ISDV, namun ditolak oleh pengurus CSI karena Dharsono bukan anggota penuh. Absennya Tjokroaminoto yang saat itu tengah disibukkan oleh kasus ‘SI Afdeling B’ di Cimareme, membuat kedua kubu tak terjembatani. Anehnya sikap CSI dibalas oleh Dharsono dengan menuduh Tjokroaminoto terlibat skandal penggelapan dana.
Tanggal 9 Oktober 1920, Dharsono menulis di Sinar Hindia, “Mengapa CSI tidak punya uang, sedang Tjokro kelimpahan?” Tulisan ini menuduh Tjokro melakukan penggelapan uang. Tuduhhan yang sampai-sampai memunculkan istilah “Men-Tjokro”, sebuah istilah yang merujuk pada kegiatan penggelapan. Buya Hamka mengingat segala serangan pada Tjokroaminoto tersebut. Menurutnya ketika itu Tjokroaminoto, “Dihantam, ditjatji, dan dimaki habis-habisan dalam ssk, kaum Komunis, dituduh pemeras rakjat, penipu dan penggelapkan uang. Orang-orang jang menggelapkan uang kas-negeri disebut ‘mentjokro!’ Tidak dibedakan urursan person dengan urusan faham.”[25]
Gambar 1.9. Darsono. Sumber foto: De Tribune, 21 Juni 1929
Tuduhan tersebut sangatlah berlebihan. Karena bagaimana pun, ketidakcakapan mengelola keuangan bukan berarti penggelapan dalam mengelola keuangan.[26] Semaoen sendiri menanggapi negatif kritik Dharsono, terutama melihat akibat buruk dari kritik tersebut. Dan memang tuduhan Dharsono pada Tjokroaminoto tak pernah dapat dibuktikan. Tan Malaka pun mengakui kritik ini mengacaukan kerjasama kelompok kiri dengan kubu Islam di Sarekat Islam.[27]
Bersambung ke bagian 3: Lahirnya Partai Komunis Indonesia
Oleh : Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Tulisan ini kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU)
[1] McVey, Ruth. 2010. Kemunculan Komunisme di Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
[2] Kemenangan dalam Surat Kabar Pertimbangan, 22 Maret 1917.
[3] Soewarsono. 2000.
[4] Surat kabar Neratja 1 Oktober 1917
[5] Ibid
[6] Soewarsono. 2000.
[7] Ibid
[8] Bing, Dov. Lenin and Sneevliet: The Origins of The Theory of Colonial Revolution in The Dutch East Indies dalam New Zealand Journal of Asian Studies, 11, 1 (June 2009)
[9] McLane , Charles B. 1966. Soviet Strategies in Southeast Asia. New Jersey: Princeton University Press.
[10] McVey, Ruth. 2010.
[11] Gie, Soe Hok. 1999.
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Rizkiyansyah, Beggy. 2014. Membela Peluh Buruh. http://jejakislam.net/?p=340. Diakses pada 2 September 2016
[16] Budiawan. 2006. Anak Bangsawan Bertukar Jalan. Yogyakarta: LKiS.
[17] Shiraishi, Takashi. 2005.
[18] Ibid
[19] Misbach, H.M. 2016. Islamisme dan Komunisme dalam Haji Misbach Sang Propagandis. Yogyakarta: Octopus.
[20] Misbach, H.M. 2016. Verslag dalam Haji Misbach Sang Propagandis. Yogyakarta: Octopus.
[21] Mu’arif. 2010. Benteng Muhammadiyah; Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Haji Fahcrodiin. Yogyakarta: Swara Muhammadiyah.
[22] Ibid
[23] Soewarsono. 2000.
[24] McVey, Ruth. 2010, Rambe, Safrizal. 2008 dan Soewarsono. 2000.
[25] Hamka. 1957. Ajahku; Riwajat Hidup DR. H. Abd Karim Amrullah dan Perdjuangan Kaum Agama di Sumatera. Djakarta: Penerbit Djajamurni.
[26] McVey, Ruth. 2010 dan Shiraishi, Takashi. 2005.
[27] Malaka, Tan. 1922. Komunisme dan Pan-Islamisme. https://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/1922-PanIslamisme.htm. Di akses pada 1 September 2016.
[…] Bersambung ke bagian 2: Sarekat Islam Tanpa Islam? […]
[…] Bersambung ke Bagian 2: Sarekat Islam Tanpa Islam? […]
[…] oleh usul Alimin Prawirodirdjo, yang menginginkan nama Sarekat Islam diganti menjadi Sarekat Hindia.[1] Persoalan agama sebagai landasan berjuang Sarekat Islam memang menjadi isu yang melandasi […]