Jangan terlalu mewah, Karno! Kalau hidup pemimpin terlalu mewah, segan rakyat mendekati!” – Haji Abdul Karim Amrullah kepada Sukarno

Pasca kepulangan Abdul Karim Amrullah dari Mekkah, ia menjadi pelopor kebangkitan kaum muda dan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau. Minangkabau khususnya dan Sumatera umumnya, bagi Abdul Karim ketika itu sedang karam di dalam kebekuan beragama.

Pemahaman yang saat itu berkembang yaitu sufi wihdatul wujud, beragama melalui suluk, serta hukum agama yang terikat dengan taqlid buta. Beliau merupakan salah satu dari sekian banyak murid Syekh Ahmad Khatib yang paling berhasil dalam dakwahnya. Sebab banyak yang tidak kuat menentang penjajah, lalu hilang di dalam pusaran lingkungan arus adat. Hilang setelah diberi kehormatan, hingga ‘diberi bini’ banyak.

Melalui upaya pergerakan dakwah dan tulisannya, beliau pun semakin mempengaruhi keadaan keagamaan di Sumatera. Sehingga menurut anak beliau –Hamka-, daya karangannya telah menjadi “soal besar” dan “membuat ribut” pada zamannya.  Pada waktu itulah keluar fahamnya yang dianggap ganjil-ganjil dan modern, sehingga beliau dicap sebagai “kaum muda” dan menggoncangkan masyarakat Minang.

Bukunya ketika itu sempat dilarang dibaca di kerajaan-kerajaan Melayu: Djohor, Pahang, Perak, Kelantan, Terengganu, Kedah, Perlis, Selangor dan Negeri Sembilan. Sebab menyebarkan bibit “kaum muda”, yang membawa sebuah paham pembaruan. Beliau ialah mujadid di tanah Sumatera, yang menentang praktik keagamaan yang dianggap menyimpang dan berlebihan, bid`ah, kurafat dan tahayul. Terhitung ia telah menulis 30 judul kitab, baik yang sudah tercetak –terbit- maupun belum tercetak, diantaranya yaitu:

  1. Amdatul Anam fi Ilmil Kalam (Sifat 20) (1908)
  2. Qathi`u Riqabil Mulhidin (membantah Tariqat Naksabandi) 1910.
  3. Sjamsul H`dajah (Syair, berisi nasehat-nasehat dan tasawuf (1912)
  4. Sullamul Ushul (Tentang Ushul Fiqih) (1914)
  5. Mursjidit Tuddjar (Pedoman orang berniaga, syair) 1916
  6. Pertimbangan Adat Alam Minangkabau (1918)
  7. Dinullah (Pelajaran Agama di Normal School) 1918
  8. Pembuka Mata (Memberantas nikah muhallil, Bercinta-buta) 1919
  9. Al Ifsah (Dari hal nikah dan segala hubungannya, (1919) belum dicetak
  10. Sendi Aman Tiang Selamat, 2 Jilid (1922)
  11. Alburhan (Tafsir Juz `Amma) 1922
  12. Kitabur Rahman (Puasa menurut 4 madzhab) 1922
  13. Alqaulus Shahih (Bantahan atas Ahmadiyah)1923
  14. Hanya Allah (Membantah Kepercayaan Jepang) (1943)
  15. As Sjir`ah (Menerangkan Qunut Subuh bukan bid`ah) (1938)
  16. Pedoman Guru (Membela Muhammadiyah) (1930)

Mata beliau tajam dan menguasai, meskipun badannya kurus, namun kekuatan beliau nampak bersinar dari mata itu, sejak masa muda sampai tuanya. Haji Ibrahim, KH. Mas Mansur, dan Ki Bagoes Hadikusumo, yang bertemu sebelum kongres Muhammadiyah di Bukit Tinggi, mengakui keistimewaan pandangan mata Abdul Karim Amrullah.

Saat terlihat para ulama saling berkumpul, baik di surau Injik Djambek atau di rumah beliau di Gatangan, atau di Surau Djembatan Besi.  Apabila datang waktu sembahyang, dan para ulama sembahyang berjamaah, tidak seorang jua pun mau tampil ke muka menjadi imam kalau beliau ada. Baik Syekh Jambek, Syekh Abdullah Ahmad, atau pun Syekh Daud Rasyid. Nampak benar bahwa dialah yang lebih tinggi di antara mereka.

Dari Mekah Ke Dakwah

Abdul Karim Amrullah atau yang juga lebih dikenal Haji Rasul merupakan seorang ulama kenamaan, yang lahir di suatu kampung kecil, Negeri  Sungai Batang Maninjau, Sumatera Barat. Diberi nama oleh ayahnya “Haji Rasul” yang kemudian berikutnya lebih dikenal dengan Syekh Dr. Abdul Karim Amrullah.  Genealogi keilmuannya, berasal dari didikan ayahnya Syekh Muhammad Amrullah dan gurunya Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi, meskipun idealisme pemikirannya kemudian akan lebih dominan mengikuti gurunya.

Haji Rasul muda saat menginjak usia 16 tahun, dikirim oleh ayahnya Syekh Muhammad Amrullah untuk belajar ke Mekkah, ayahnya berkata kepadanya “Rasul engkau mesti pergi ke Mekkah, belajar agama, sebelum dapat belum boleh pulang. Nenekku dahulu, Syekh Abdullah Arif mengajar di masjid kita ini, tidak kurang dari 100 lebai-lebai yang datang berguru kepadanya, dan berpuluh-puluh dammar menerangi masjid. Bunyi suara orang mendaras kaji seperti lebah terbang.”

Padang Panjang, Sumatera Barat. Sumber foto: Koleksi Online Tropenmuseum.

Maka pada tahun 1894 -1312H-, berangkatlah Rasul –Abdul Karim- untuk belajar ke Mekkah. Ia kemudian belajar kepada seorang ulama Sumatera yang tersohor di Nusantara hingga di Mekkah, yaitu Syekh Ahmad Khatib. Selain Haji Rasul, beberapa ulama besar Indonesia yang juga merupakan hasil didikan Syeikh Ahmad Khatib, antara lain Syeikh Muhammad Jamil Jambek (sahabat dan guru Syeikh Abdul Karim), Syekh Muhammad Rasyid Bayur Maninjau (sahabat Syeikh Abdul Karim), Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Syekh Ibrahim Musa Parabek, KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH. Hasyim Asy`ari (pendiri Nahdatul Ulama).

Selain kepada Syekh Ahmad Khatib, Rasul pun pernah belajar kepada guru-guru yang lain,seperti Syekh Abdullah Djamidin, Syekh Usman Serawak, Syekh Umar Badjened, Syekh Saleh Bafadal, Syekh Hamid Djeddah, Syekh Said Jaman, serta Syekh Jusuf Nabhani pengarang kitab Al Anwarul Muhammadiyah, yang terkenal karena perselisihannya dengan Syekh Muhammad Abduh.

Syekh Ahmad Khatib sangat menyanyangi Haji Rasul karena kecerdasannya. Tetapi terkadang ia juga merasa tersinggung ketika Rasul suka mendebatnya. Meski demikian, Rasul pun sangat mencintai, menghormati, dan mengikuti gurunya tersebut. Sehingga selama hidupnya, gurunya tersebut selalu menjadi buah mulut Rasul hingga masa tuanya. Jarang ada satu hari yang terlepas tanpa beliau menyebut nama gurunya Syekh Ahmad Khatib yang sering disebutnya Tuan Ahmad, seorang imam dan khatib di Masjidil Haram, Mekkah.

Rasul berkisah “Tuan Ahmad itu gagah perkasa, mukanya jernih, dikeningnya ada bekas sujud, jenggotnya lancip, beliau kadang didengki oleh ulama-ulama Arab karena lidahnya lebih fasih dan karangannya lebih indah dari karangan mereka. Beliau menantu orang kaya dan berkenalan dengan syarif. Tetapi meskipun didengki, beliau pun terpaksa disegani. Beliau lebih dalam dalam segala hal. Meskipun beliau hidup cara bangsawan Arab, namun cintanya akan tanah Minangkabau tidak pernah putus. Tetapi kalau diajak pulang ke Minang, beliau menggelengkan kepala, nampak mukanya muram! Beliau cinta Minangkabau, tetapi beliau tidak suka adatnya yang berpusaka kepada kemenakan.” (Hamka, Ajahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, DJakarta: Penerbit Djajamurni, 1967, hlm.61)

Setelah Rasul belajar selama tujuh tahun ke Mekkah, beliaupun pulang ke Sumatera. Ia disambut baik dan bahagia oleh keluarga dan masyarakatnya karena telah menjadi ulama, dan diberikan gelar “Tuanku Syekh Nan Mudo”. Meski demikian, semangat dan jiwa mudanya yang menggelora – saat itu usia 23 tahun-, membuatnya tidak puas melihat praktek amalan yang ada di Sumatera, terlebih karena gurunya Syekh Ahmad Khatib telah menanamkan pelajaran-pelajaran yang revolusioner terhadap adat dan tarikat-tarikat yang dipakai diantara ulama-ulama seperti Sumatera.

Meskipun Syekh Ahmad Khatib juga seorang sufi, tetapi beliau tidak setuju metode thariqat yang menggunakan kaifiat-kaifiat yang bid`ah. Sedangkan ayahnya Haji Rasul, Syekh Amrullah sendiri merupakan seorang syekh dari Tariqat Naqsabandiyah. Pernah Tuanku Laras memanggilnya dan menyuruhnya untuk menyebarkan pemahamannya “pelan-pelan”, sebab kaum ulama banyak mengadu dan merasa tersinggung, tetapi ayahnya yang meskipun tidak keseluruhan setuju dan memiliki pertentangan paham dengan anaknya, tetap mendukung dan mempertahankan dakwah puteranya Haji Rasul atau Abdul Karim Amrullah tersebut.

Abdul Karim Amrullah kemudian kembali diutus ke Makkah untuk mengantar kedua adiknya belajar, kesempatan itu pun digunakan olehnya untuk kembali belajar kepada gurunya Syekh Ahmad Khatib, namun sesampainya disana beliau berkata “Engkau tidak usah mengaji dengan aku lagi, ilmumu sudah cukup untuk mengajar, diwaktu kesulitan saja engkau datang bertanya kepadaku.”

Perintah dari gurunya pun dilakukan. Abdul Karim mulai mengajar di rumahnya, di tempat Syekh M Nur al Chalidi di Sjamiah. Hampir setiap hari beliau pun datang bertanya kepada gurunya tentang hal-hal yang musykil, sehingga beliau disambut gurunya sebagaimana mnenyambut sahabat. Di antara murid Abdul Karim ketika itu yang terkenal yaitu Syekh Ibrahim bin Musa Parabek dan Syekh Muhammad Zain Simabur. Kian lama semakin ramai dan penuhlah  rumahnya, sehingga Syekh Ahmad Khatib menyarankan untuk mengajar di masjid. Beliau pun mengajar ke masjid, di Bab Ibrahim, di bawah menara putih, Masjidil Haram.

Baru beberapa hari Abdul Karim mengajar, tidak disangka, datanglah Syekhul Islam Muhammad Sa`id Babsil, seorang mufti dalam madzhab Syafi`i, melarang keras beliau untuk mengajar di masjid tersebut. Abdul Karim kemudian menjawab “Guruku Syekh Ahmad Khatib, Imam dan Khatib di masjid ini yang meminta saya mengajar. Jika bukan karena beliau, tidak mungkin saya berani. Kalau paduka merasa ragu mengajar di masjid ini, silahkan padukaboleh menguji ilmuku dalam segala bagian pelajaran agama, agar paduka mengetahui kesanggupan saya.”

Namun segala alasan dan jawaban dari Abdul Karim, tetap membuat mufti tersebut bersikukuh untuk melarangnya mengajar di masjid tersebut. Akhirnya sesampainya di rumah, ia menceritakan ke gurunya Syekh Ahmad Khatib. Sambil tertawa Syekh Ahmad Khatib menjawab “Engkau tidak tahu rahasia ini, ini adalah dari kedengkian belaka. Coba engkau dahulu tempo hari belajarnya ke dia, tentu engkau mudah saja mengajar. Inilah perjuangan di Mekkah anakku! Kita bangsa Djawi –nusantara-, mereka bangsa Arab. Mereka merasa lebih tinggi dan lebih berhak. Dan mereka memandang rendah kepada kita, dan menyangka bahwa bangsa Djawi tidak mengetahui sesuatu ilmu. Apalagi jika akan mengajarkan kitab Bahasa Arab. Dan ada lagi satu Rasul! Saya adalah murid dari musuhnya, yaitu Sidi Syekh al Bakri. Beliau lah pengarang kitab Hasjiah Fathul Mu`in. Sehingga engkau dilarang mengajarkannya di masjid tersebut. (Hamka, Ajahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, DJakarta: Penerbit Djajamurni, 1967, hlm.64)

Di Tanah Air Mengukir Jejak

Abdul Karim pun kembali pulang ke Sumatera setelah mendapatkan ujian istri dan anak keduanya yang baru lahir mengalami sakit hingga wafat beberapa bulan setelahnya. Ia kemudian melanjutkan dakwahnya, membuka pengajian di Sungai Batang, dan diikuti oleh banyak murid-muridnya. Salah sekian muridnya yang kelak menjadi ulama masyhur dan tokoh pergerakan yaitu Syekh Daud Rasyid, Zainuddin Labai El Yunusi, Abdul Hamid Hakim, Zainal Abidin Ahmad, hingga A.R. Sutan Mansur. Ada juga dari kalangan wanita, yaitu Rahmah El Yunusiyah dan Rasuna Said, yang kelak menjadi pembaru dan pejuang pendidikan bagi kaum wanita.

Sikap dan pemikiran pembaruan Abdul Karim, semakin diakui dan banyak diikuti ketika beliau mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang, menjadi penasehat guru-guru agama Islam, dan mewakili berbagai kegiatan besar umat Islam. Salah satunya beliau pernah menghadiri Kongres Umat Islam di Mekkah, pada tahun 1926, bersama tokoh-tokoh penting Islam, H.O.S. Tjokroaminoto (pemimpin Serikat Islam), K.H. Mas Masyur (pemimpin Muhammadiyah), H.M. Sudjak (utusan organisasi Haji Hindia), sedang Haji Rasul dan H. Abdullah Ahmad hadir mewakili Sumatera.

Beliau merupakan seorang revivalis yang tidak terdikte oleh peraturan adat dan kepentingan politis, namun murni berjuang dari keyakinan dan pengharapan kepada Allah. Beliau berani menjawab dan menentang segala hal yang menurutnya menyimpang di dalam susunan masyarakat dan pemerintahan. Sehingga pernah timbul kedengkian yang menyatakan Abdul Karim adalah seorang yang mengusik ketentraman sosial, menanamkan bibit kebencian pada pemerintahan adat dan kolonial Belanda, dan membuatnya pernah diasingkan serta mengalami penahanan.

Namun hal tersebut bukanlah membuatnya semakin jera dan ketakutan, justru semakin membuat jiwa dan keyakinannya kuat, meski tubuhnya kurus kering dan sakit karena semakin dimakan usia. Murid-murid ideologis beliau sampai berkata “Alangkah baiknya kalau saya boleh menggantikan beliau menderita kesengsaraan seperti yang beliau alami itu! Kenapakah tidak saya yang masih kuat ini! Kenapakah beliau yang sudah uzur mengalami semua itu” (M. Natsir, Capita Selecta, Bandung: Sumup Bandung, 1961, hlm. 358)

Beliau menolak ordonansi sekolah liar dan guru ordonansi. Sebuah kebijakan pemerintah kolonial yang diprogramkan untuk melarang berdirinya sekolah dan tersebarnya guru-guru agama yang mengajarkan semangat kebangsaan dan keagamaan tanpa mendapatkan izin dari kolonial Belanda. Beliau memperingatkan murid-muridnya yang mulai terbawa dengan suasana pergerakan untuk tidak tergelincir dalam kerusakan akibat paham komunisme dan keagamaan yang salah seperti Ahmadiyyah.

Selalu mengkritik dan menasehati siapa saja dari ulama atau umara yang dianggap terpandang. Karena karakter ketegasan dan keberaniannya, Abdul Karim selalu mendapatkan perhatian dan dihormati oleh banyak kalangan agama, nasionalis hingga kolonial. Ir. Soekarno, yang menjadi presiden pertama R.I., adalah salah satu tokoh yang sangat menghormatinya, bahkan senantiasa menyebut dirinya sebagai anak angkat Syeikh Abdul Karim Amrullah -Haji Rasul-. Ia pun pernah memberikan nasehat kepada Ir. Soekarno, “Jangan terlalu mewah, Karno! Kalau hidup pemimpin terlalu mewah, segan rakyat mendekati!.” Begitu juga ia pernah menasehati K.H. Mas Mansur “Takutlah kepada Allah hai Mansur.”

Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA). Sumber foto: Safinah.id

Abdul Karim Amrullah menulis dalam bukunya Tjermin-Terus saat beliau menjawab bagaimana pakaian yang baik bagi wanita muslimah, dan kedudukan wanita yang berpidato di tengah banyak laki-laki yang direncanakan akan dilakukan pada Kongres Muhammadiyah di Bukit Tinggi, 1930. Kemudian buku Pelita II Jilid untuk menanggapi argumentasi Dt. Radjo Pelawan, yang menyanggah dan tidak puas dengan pandangannya saat membahas kedudukan istri dan keluarga Rasulullah di buku Tjermin Terus.

Bahkan Abdul Karim pun pernah dituduh menghina nabi, oleh H. Kamaluddin, karena menceritakan riwayat-riwayat keluarga Rasulullah yang masih dianggap tidak biasa atau musykil pada masa tersebut, sehingga beliau menulis dua jilid kitab Al Bashair untuk menjawabnya, dan dituliskan pula kitab Al Misbah dan Al Ihsan untuk menjawab kritik Teungku Hasbi As Shiddiqie di Aceh dan bantahan A. Hassan di Bandung melalui majalah Al Lisan mengenai beberapa permasalahan.

Satu karangan –buku- beliau tulis pula untuk memperingatkan para murid-muridnya yang mendirikan gerakan politik Permi -Persatuan Muslimin Indonesia- dengan dasar Islam dan Kebangsaan, yang isi sebenarnya justru menyatakan besarnya pengaruh Tauhid untuk menentang musuh Tuhan. Buku itu akhirnya tidak jadi diperbanyak dan disebarkan, atas saran dari sahabat dan murid-murid beliau, yang menganggap buku itu sangat berbahaya, karena membuat kemarahan Belanda untuk tidak segan membuang beliau.

Sepanjang hidupnya, Abdul Karim banyak menghadapi dan menanggapi berbagai permasalahan agama, sosial, budaya dan pergerakan, baik yang mendukung fahamnya maupun yang menentang atau berlawanan dengannya. Beliau tidak hanya berani beradu gagasan, namun juga aktif menarasikan pemikirannya melalui tulisan, menjawab dan membahas hal-hal yang diperselisihkan. Perdebatan intelektual tersebut ketika itu sudah menjadi tradisi para ulama, menjawab pemikiran tulisan dengan tulisan, perdebatan dalam suatu ruang keulamaan.

Potret Seorang Ulama Merdeka

Abdul Karim merupakan seorang yang merdeka, yang tidak mau terbelenggu dan tunduk pada peraturan penjajah dan hukum adat yang menurutnya bertentangan dengan agama. Ia adalah ulama rakyat, bukan ulama penguasa. Beliau pernah ingin diajak bergabung dengan Sarikat Islam oleh H.O.S. Tjockroaminoto, tapi beliau menolak karena merasa bukan orang yang ahli dalam politik. Meski demikian beliau selalu mengobarkan semangat perjuangan kepada rakyat untuk melakukan perlawanan dan terbebas dari penjajah, sehingga justru beliau yang sering mengorbankan diri untuk keadilan kekuasaan.

Ia lebih tertarik dan merasa sesuai untuk mengembangkan gerakan pembaruan dari Muhammadiyah, sehingga pernah dijamu khusus oleh K.H. Ahmad Dahlan selama beberapa hari di Jogyakarta. Hingga di masa menginjak usia tua dan akhir hidupnya, ia masih berani dan menentang untuk tidak sudi menundukkan kepala (seikerei) sebagai salah satu ritual penghormatan kepada kolonial baru di masa penjajahan Jepang.

Haji Rasul merupakan salah satu sosok ulama yang menjaga integritas keulamaan, ulama akhirat yang tidak terpengaruh oleh keduniaan.  Dari rahim didikan beliau-lah akhirnya lahir banyak murid dari kalangan ulama, intelektual dan negarawan yang memimpin pada masa berikutnya,  dari hasil keteladanan dan penanaman kebebasan berpikir, jiwa merdeka serta keberanian untuk berbuat sesuatu keyakinan yang besar bagi agama dan kebangsaan. Wallahu `alam bishawab.

Oleh: Bambang Galih Setiawan – Alumni Ma’had Aly Imam al Ghazally Surakarta

Daftar Pustaka:

Hamka, Ajahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, DJakarta: Penerbit Djajamurni, 1967.

Natsir, Capita Selecta, Bandung: Sumur Bandung, 1961.

Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Para Nabi, Surabaya: Bina Ilmu, 1983.

Kholid O. Santosa, Manusia di Panggung Sejarah, Bandung: Sega Arsy, 2007.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here