Bulan Juni menjadi bulan spesial bagi Indonesia. Pertama, pemerintah secara resmi menetapkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Pancasila. Kedua pada tanggal 22 Juni sebagian masih mengingatnya sebagai hari Piagam Jakarta. Keduanya bertalian sangat erat. Meski di benak masyarakat keduanya seakan-akan hadir bertentangan, padahal jika dicermati keduanya adalah kelanjutan dan perkembangan ketimbang pertentangan.

Pertentangan ini bisa dilihat dari paranoia sebagian pihak terhadap Piagam Jakarta. Piagam Jakarta seringkali dianggap senafas dengan intoleransi. Lihatlah misalnya Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah pada tahun 2018, yang berjudul “Potret Guru Agama-Pandangan tentang Toleransi dan Isu-isu Kehidupan Keagamaan.”

Penelitian tersebut menyebutkan sikap intoleran yang meski menerima Pancasila namun memaknainya dengan merujuk pada Pancasila versi Piagam Jakarta yang mewajibkan syariat Islam bagi pemeluknya. Persepsi negatif tentang Piagam Jakarta terjadi akibat sikap paranoid dan kekeliruan memahami dan menafsirkan Pancasila itu sendiri. Alih-alih melihat Piagam Jakarta dan Pancasila sebagai satu rangkaian yang tak bisa dipisahkan, pandangan negatif tadi lahir dari kekeliruan yang memisahkan keduanya.

 

Menawarkan (Gagasan) Dasar Negara

Pidato Soekarno yang dikenal sebagai pidato Lahirnya Pancasila diucapkan di tengah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada bulan Juni tahun 1945. Badan bentukan Jepang yang diwakili berbagai kalangan di masyarakat Indonesia tersebut salah satunya bertugas untuk membahas dasar negara Indonesia.

Endang Saifuddin Anshari menyebutkan pada dasarnya kala itu dalam membahas dasar negara, peserta sidang terbagi menjadi dua kubu; nasionalis sekular dan nasionalis Islam. Hal ini juga terpancar dari pidato seorang ahli hukum, Prof. Soepomo kala itu. Menurutnya,

“Memang di sini terlihat ada dua faham, ialah; faham anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirkan oleh negara Islam, dan anjuran lain, sebagai yang dianjurkan oleh Tuan Moh. Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan ; negara dan urusan Islam, dengan perkataan: bukan negara Islam.” (Sekretariat Negara Republik Indonesia: 1995)

 

Suasana sidang BPUPKI. Sumber foto: pengajar.co.id

Dari Kubu nasionalis-Islam mengajukan Islam sebagai dasar negara, diwakili oleh Ki Bagus Hadikusumo, seorang ulama berlatar belakang ormas Muhammadiyah. Ki Bagus Hadikusumo dalam pidatonya yang kemudian dibukukan dengan judul Islam Sebagai Dasar Negara mengatakan bahwa Islam mengajarkan empat perkara, yaitu Iman, ibadah kepada Allah, amal sholeh dan berjihad di Jalan Allah. Menurutnya jika keempat ajaran ini dimiliki oleh rakyat, maka akan “…alangkah sentausanya, bahagianya, makmur, dan sejahteranya negara kita ini.”(Ki Bagus Hadikusuma: tanpa tahun)

Ki Bagus kemudian menyambungnya, dengan meminta, “…bangunkanlah negara diatas ajaran Islam.” Sebagai dasar, beliau mengutip surar Ali Imron ayat 103 dan Al Maidah ayat 3. Menurutnya, agama seharusnya menjadi tali pengikat yang kuat, bukan malah menjadi pangkal percekcokan dan takut untuk dibicarakan.

“Agama adalah pangkal persatuan, janganlah takut di mana pun mengemukakan dan mengetengahkan agama.” (Ki Bagus Hadikusuma: tanpa tahun)

Ia menyindir orang yang takut sekali dan berhati-hati jika hendak membentangkan dan mengetengahkan agama, karena takut terjadi perselisihan. Ia menegaskan, padahal bukan perkara agama saja, yang jika dibicarakan dengan tidak jujur, suci dan ikhlas, akan menimbulkan akibat demikian. Republik, monarki, sarekat atau kesatuan pun dapat menyebabkan hal itu. Menurutnya, semua ini terjadi sebagai akibat dari politik penjajahan yang memecah belah. (Ki Bagus Hadikusuma: tanpa tahun)

Soekarno sendiri kemudian maju menawarkan gagasannya tentang Pancasila. Konsepsi yang ditawarkan Soekarno kala itu bukanlah Pancasila dalam bentuknya yang kita kenal saat ini. Kala itu Soekarno menjabarkan Pancasila yang ia maksud adalah Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan.

Kelima gagasan tersebut menurut Soekarno, dapat diperas menjadi tiga. “Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme.

Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek- economische demokratie, yaitu politieke demokrasi dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie. Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini.

Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Gotong Royong”
(Sekretariat Negara Republik Indonesia: 1995)

 

Soekarno dalam Sidang BPUPKI. Sumber foto: wartakota.tribunnews.com

Gagasan Soekarno ini sesungguhnya dapat ditelusuri sebagai gagasan Soekarno yang berkembang. Kita dapat melihatnya sejak tahun 1933 ketika dalam Konferensi Partai Indonesia (Partindo) di Mataram, Soekarno mencetuskan bahwa asas kaum Marhaen adalah Kebangsaan atau Kemarhaenan. Konferensi tersebut juga menegaskan bahwa Marhaenisme adalah Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme (1) Internasionalisme dan (2) Nasionalisme. Sedangkan Sosio-demokrasi mencakup (3) Demokrasi dan (4) Keadilan Sosial. (Endang Saifuddin Anshari: 1981)

Gagasan nasionalisme dan keadilan sosial seperti yang disinggung Soekarno dalam pidato 1 Juni, tampaknya terinspirasi dari gagasan Sun Yat Sen, tokoh nasionalis Cina dalam The Three Principles People’s Principles dalam The Principle of Democracy (1924).

Dari Asser Baars, seorang tokoh komunis di Hindia Belanda, Soekarno mendapatkan inspirasi internasionalisme. Meski ia menolak pendapat Baars yang menafikan kebangsaan, namun faham rasa kemanusiaan sedunia tersebut tetap diterima Soekarno secara kritis. (Endang Saifuddin Anshari: 1981)

Gagasan yang telah dicetuskan sejak 1933 di Mataram ini yang menjadi unsur-unsur dalam konspesi Pancasila 1 Juni mengalami perkembangan dengan bertambahnya unsur ‘Ketuhanan.’ Dari mana asal pengaruh ini? Bung Hatta menyebutnya dari Azas Ketuhanan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), sebuah organisasi yang para tokohnya banyak dikenal oleh Soekarno, termasuk tokoh besarnya, H.O.S. Tjokroaminoto. (Moh. Hatta, Ahmad Soebadrjo Djojoadisurjo, et al: 1984)

Kemungkinan lain, bisa pula Soekarno mencantumkan unsur tersebut dengan menampung aspirasi-aspirasi para tokoh Islam dalam Sidang BPUPKI tersebut. Sebagaimana diketahui, Sidang BPUPKI awalnya berlangsung dari 29 Mei – 1 Juni 1945. Sebelum Soekarno berpidato, setidaknya telah ada Ki Bagus Hadikusumo yang memaparkan gagasan Islam sebagai Dasar Negara dalam sidang tersebut. Namun tampaknya unsur ‘Ketuhanan’ yang dimaksud Soekarno hanya sebatas pengakuan terhadap Tuhan dalam masyarakat Indonesia dan kebebasan beragama dalam masyarakat Indonesia.

Gambar 1.12 Ki Bagus Hadikusumo. Sumber foto: Hadikusuma, Djarnawi. Derita Seorang Pemimpin. Yogyakarta: Penerbit Persatuan

 

Meski konsepsi Pancasila Soekarno mendapatkan sambutan hangat, namun konsepsi itu tak cukup memuaskan bagi para tokoh Islam sehingga menimbulkan kebuntuan diantara kedua kubu. Oleh sebab itu sidang memutuskan untuk membentuk Panitia Sembilan yang merepresentasikan kedua kubu yang bertarung gagasan tersebut.

 

Jalan Menuju Kompromi

Kubu tokoh Islam diwakili oleh K.H. Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Abdul Kahar Moezakkir dan Abikoesno Tjokrosoejoso. Anggota lainnya mewakili pandangan nasionalis sekular, seperti ; Soekarno, Moh. Hatta, Moh. Yamin, Mr. Alexander A. Maramis, dan Achmad Soebarjo.

Panitia Sembilan akhirnya merumuskan sebuah kompromi bernama Piagam Jakarta yang disebut sebagai Gentlement’s Agreement. Rumusan itu lahir pada 22 Juni 1945, 21 hari setelah Soekarno menawarkan konsepsi orisinilnya tentang Pancasila.

Piagam Jakarta adalah sebuah kompromi antara kelompok Islam dan nasionalis sekular. Corak Pancasila versi awal yang ditawarkan Soekarno tetap terasa, namun gagasan kelompok Islam membuatnya berbeda. Sila pertama menjadi penentu haluan keempat sila lainnya. Sila “Berdasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”  menempati urutan pertama.

Hal ini dijelaskan oleh Moh. Hatta. Menurutnya perubahan tersebut tidak mengubah ideologi, namun memberikan kedudukan yang berbeda. Landasan moral yatu sila pertama dan kedua, ditempatkan sebagai prioritas. “Akibat dari pada perubahan urutan yang lima pasal itu, sekalipun ideologi negara tidak berubah, dengan perubahan kata-kata, politik negara MENDAPAT DASAR MORAL YANG KUAT. (Moh. Hatta, Ahmad Soebadrjo Djojoadisurjo, et al: 1984)

‘Ketuhanan’ tidak lagi hanya sekedar hormat-menghormati agama masing-masing, melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, persaudaraan dan lainnya. Negara dengan itu memperkokoh fondamennya.” (Moh. Hatta, Ahmad Soebadrjo Djojoadisurjo, et al: 1984)

Sila-sila lainnya pun turut mengalami perubahan baik dari sisi substansi maupun urutan. Meski demikian, sila pertama-lah yang menentukan makna Pancasila versi Piagam Jakarta yang sangat berbeda dengan versi awal 1 Juni.

Lahirnya Piagam DJakarta bukan berarti tanpa keberatan. Dari kalangan non-muslim, Johannes Latuharhary yang berlatar belakang pendidkan hukum, misalnya menyatakan keberatan atas tujuh kata dalam sila pertama.”Akibatnya mungkin besar, terutama terhadap agama lain.” (Sekretariat Negara Republik Indonesia: 1995)

Begitu pula dari Wongsonegoro dan Hoesein Djajadiningrat. Wongsonegoro menyebutkan 7 kalimat tersebut mungkin menimbulkan fanatisme, seolah-olah memaksa muslim menjalankan syariat Islam. Namun hal ini dibantah oleh K.H. Wahid Hasyim. Menurutnya pada sebuah negara berdasarkan permusyawaratan tak mungkin terjadi paksaaan-paksaan. Ia juga mengingatkan, bagi sebagian pihak tujuh kata tersebut mungkin dianggap terlalu tajam, tetapi bagi sebagian pihak bisa saja dianggap kurang tajam. (Sekretariat Negara Republik Indonesia: 1995)

Dan benar saja, dari kalangan umat Islam, Ki Bagus Hadikusumo masih merasa tidak puas dengan hasil Piagam Djakarta. Kahar Muzakkir yang turut membidani Piagam Djakarta bahkan sepakat dengan Ki Bagus dan mengusulkan agar semua kata yang menyebutkan ‘Islam’ dihapus saja. (Sekretariat Negara Republik Indonesia: 1995)

K.H. Wahid Hasyim mengusulkan agar Presiden beragama Islam. Riuhnya perdebatan pasca Piagam Djakarta akhirnya membuat Soekarno mengingatkan forum sidang untuk menerima hasil kesepakatan tersebut. Menurutnya;

“…kalimat-kalimat ini seluruhnya berdasar kepada ke-Tuhanan. Sudahlah hasil kompromis di antara 2 pihak, sehingga dengan adanya kompromis itu, perselisihan di antara kedua pihak hilang. Tiap kompromis berdasar memberi dan mengambil..” (Sekretariat Negara Republik Indonesia: 1995)

 

Sebuah Pertanyaan Sejarah

Perdebatan justru kembali terjadi setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Menjelang Sidang Panitia Persiapan Kemerekaan Indonesia (PPKI) tujuh kata dalam sila pertama Piagam Jakarta dipersoalkan sebagian pihak. Sosok yang mendatangi Hatta dengan mengaku sebagai pihak jepang yang menyampaikan keberatan wakil protestan dan katolik di wilayah Indonesia bagian Timur (yang dikuasai Jepang). Mereka mengancam untuk memisahkan diri jika Piagam Jakarta tetap di sahkan.

Hatta sempat merasa tujuh kata tersebut seharusnya tidak dipersoalkan lagi, karena dalam Panitia Sembilan telah ada A.A. Maramis, seorang pengacara yang mewakili golongan Kristen. Namun Hatta akhirnya bimbang dan mulai melobi keesokan harinya, 18 Agustus menjelang sidang PPKI.  (Prawoto Mangkusasmito: 1977)

Siapa sosok tersebut, hingga saat ini masih sumir. Hatta mengaku didatangi oleh Opsir Kaigun (Angkatan Laut) Jepang, Namun jika kita telusuri kembali, banyak persoalan yang menyelimuti peristiwa itu tampak sumir. Hatta mengaku lupa nama opsir tersebut. Untuk peristiwa sebesar ini, tentu saja terasa janggal. Hatta dikenal sebagai sosok yang teliti.

Satu penjelasan kemudian muncul dari Aboebakar Loebis, seorang aktivis pemuda Sosialis pengikut Sutan Sjahrir. Dalam Kilas Balik Revolusi, ia menyebut opsir Jepang tersebut adalah Tan Tjeng Bok atau Imam Slamet. Mahasiswa yang diutus untuk berbicara pada Hatta. Hatta mengira Tan Tjeng Bok adalah opsir Kaigun.

Kebenarannya mungkin bisa diterima atau ditolak, namun yang jelas Hatta terpengaruh ancaman itu. Dalam benaknya Indonesia yang baru lahir akan tercerai berai. Proses penghapusan tujuh kata dilakukan keesokan harinya menjelang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan membujuk para tokoh Islam hampir dua jam yang menentukan, sejak pukul 9 pagi.

Tan Tjeng Bok. Sumber foto: Wikimedia commons

Menurut Moh. Hatta para tokoh Islam diyakinkan untuk menerima penghapusan tersebut. Tokoh-tokoh Islam tersebut adalah Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, K.H. Wahid Hasyim. Hanya K.H. Wahid Hasyim yang diperdebatkan keberadaannya. Apakah ia hadir di Jakarta pada saat itu? Prawoto Mangkusasmito, penulis Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi (1977), mengatakan putra K.H. Hasyim Asy’ari tersebut tidak berada di Jakarta pada saat itu.

Jika benar bahwa bahwa tokoh Islam yang dilobi pada saat itu hanya Kasman dan Ki Bagus (karena absennya K.H. Wahid Hasyim), maka dapat dibayangkan betapa besar beban yang harus dipikul Ki Bagus Hadikusumo. Kasman bukanlah figur yang menguasai persoalan pada sidang BPUPKI. Ia tak memahami betapa sengitnya perdebatan dalam sidang tersebut. Maka menjadi wajar, diantara tokoh Islam hanya Ki Bagus Hadikusumo yang paling sulit diyakinkan untuk menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut. Akhirnya Kasman Singodimedjo-lah yang berhasil menaklukkan keteguhan hati Ki Bagus Hadikusumo. (Panitia 75 tahun Kasman: 1982)

Sebagai sesama orang Jawa dan Muhammadiyah, Kasman melakukan pendekatan yang dapat diterima. Sidang PPKI akhirnya memutuskan untuk mengganti beberapa hal, yaitu:

“Kiyahi, kemarin proklamasi kemerdekaan telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar, sebagai  dasar negara kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa Presiden dan lain sebagainya, untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan.” (Panitia 75 tahun Kasman: 1982)

Kasman pun mengingatkan janji Soekarno, “…Kiyahi, dalam rancangan Undang-Undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa, 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah rancangan Undang-Undang Dasar darurat. Belum ada lagi waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit!” Akhirnya berangsur Ki bagus Hadikusumo menerima penghapusan tersebut.

Sidang PPKI tanggal 18 Juni tersebut akhirnya menghapus beberapa pokok penting. Yaitu;
1. Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata “Pembukaan.”

  1. Dalam Preambule (Piagam Jakarta) anak kalimat: “Berdasarkan kepada ke-Tuhanan. dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”
  2. Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret.
  3. Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” (Endang Saifuddin Anshari: 1981)

 

Satu hal yang patut diingat, penghapusan tersebut disertai janji akan diadakannya pemilu yang nantinya membentuk satu forum lebih representatif untuk membicarakan kembali dasar negara. Oleh sebab itu penghapusan tujuh kata bukanlah bersifat final dalam pembicaraan dasar negara. Hal itu juga ditekankan oleh Soekarno. (Endang Saifuddin Anshari: 1981)

Sukarno dan Hatta di tahun 1957. Sumber foto: KITLV Digital Media Library (http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced/start/82?q_searchfield=soekarno)

 

Keadaan memang tak mendukung bagi republik yang baru lahir tersebut untuk mengadakan pemilihan umum. Agresi militer Belanda, pemberontakan PKI di Madiun sampai perundingan-perundingan dengan Belanda yang berlarut-larut seperti Perjanjian Renville hingga Konferensi Meja Bundar.

Pemilu 1955 akhirnya berhasil memilih anggota Konstituante yang bersidang untuk menentukan banyak hal dalam Republik Indonesia, termasuk soal paling penting yaitu dasar negara. Partai-partai Islam seperti Masyumi, NU, Perti, dan PSII mengirimkan wakilnya untuk bergabung dalam satu fraksi besar pendukung ‘Islam sebagai dasar negara.’ Sedangkan partai lain seperti Partai Nasional Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, Partai Komunis Indonesia dan lainnya mengajukan Pancasila sebagai dasar negara. Ada pula usulan Sosio-ekonomi yang tidak mendapat banyak penyokong.

 

Saling Silang Tujuh Kata

Seakan mengulang perdebatan pada sidang BPUPKI tahun 1945, kedua kubu saling silang menguji pendapatnya. Kritik dan sokongan sambut menyambut dalam sidang Konstituante yang dimulai sejak tahun 1957. Kedua kubu menemui jalan buntu. Berbagai solusi yang dinegosiasikan tak berhasil menemukan titik temu, termasuk usulan untuk kembali pada Piagam Jakarta.

Konstalasi politik yang memanas antara pusat dan daerah disertai gerakan perlawanan dari daerah seperti Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dan Darul Islam membuat situasi politik tak menentu. Soekarno yang semakin gerah dengan demokrasi liberal mengajukan usulan Demokrasi Terpimpin dan kembali ke UUD 1945. Di lain sisi, militer yang diwakili Angkatan Darat senada dengan Soekarno yang jengah melihat pertentangan tanpa henti partai-partai politik.

 

Sidang Konstituante di Bandung. Sumber foto: tirto.id

 

Pada bulan Februari 1959 pemerintah mencoba mengusulkan usulan kembali ke UUD 1945 dengan memberi porsi pada Piagam Jakarta. Awalnya, pada Februari 1959 pemerintah memakai kata “mengakui” Piagam Jakarta. Hingga akhirnya setelah beberapa kali usulan, Pemerintah memakai kalimat “..mengakui adanya ‘Piagam Jakarta’…sebagai dokumen historis yang menjiwai penyusunan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi bagian daripada Konstitusi Proklamasi.”

Akhirnya pada tanggal 26 Mei 1959, tokoh NU, K.H. Masjkur mewakili atas nama semua fraksi Islam di Konstituante mengajukan usul dua pokok utama: (1) Agar Piagam Jakarta dijadikan Mukaddimah UUD 1945 dan (2) pasal 29 UUD hendaknya berbunyi: “Negara berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” (Endang Saifuddin Anshari: 1981)

K.H. Wahab Chasbullah, Rais ‘Am NU mengatakan apabila usulan Kiyai Masjkur diterima, maka Fraksi Islam di Konstituante akan menerima UUD 1945. Namun jika ditolak maka umat Islam tidak akan menerima kembali UUD 1945 yang dimaksud.

Di titik penentuan ini voting diselenggarakan di Konstituante. Namun hasilnya kembali menemui jalan buntu. Dari tiga kali voting yang diselenggarakan, semuanya gagal mencapai kuorum 2/3 mayoritas anggota yang hadir. Voting terakhir pada 2 Juni 1959 berakhir dengan 263 setuju dengan usulan Kiyai Masjkur dan 204 menolak.

 

K.H. Masjkur dari Nadhlatul Ulama. Sumber foto: Wikipedia

 

Kemacaetan membahas dasar negara ini kemudian dihabiskan oleh Soekarno dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dengan kembali kepada UUD 1945. Dan dengan ini pula Soekarno membubarkan Konstituante.

Pembubaran ini patut disayangkan, karena Konstituante sudah merampungkan sebagian besar pekerjaan mereka. Bubarnya Konstituante sama saja dengan membubarkan satu wadah resmi yang representatif untuk membicarakan dasar negara. Situasi politik akhirnya membawa persoalan dasar negara diselesaikan dengan dekrit presiden. Pemecahan masalah seperti ini juga disesalkan oleh Indonesianis, George McTurnan Kahin. Menurutnya jika tidak dibubarkan, Konstituante akan menemukan kompromi di antara mereka.

Dekrit tersebut mencoba menampung aspirasi umat Islam dengan menyebut Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.”

Lantas apakah makna dari menjiwai tersebut? apa konsekuensinya? Satu penjelasan pemerintah terkait makna tersebut dapat dilihat dari penjelasannya. Ir. Djuanda sebagai Perdana Menteri yang mewakili pemerintah menjelaskan bahwa,

“…mengingat kenjataan sebagian terbesar rakjat Indonesia memeluk agama Islam dan mengingat pula prosedur demokratis, jaitu pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakjat dalam Dewan Perwakilan Rakjat dan Madjelis Permusjawaratan Rakjat nanti, pemerintah jakin, bahwa kedua Badan perwakilan tersebut tadi tidak akan menerima atau menentukan keputusan, Undang-undang atay peraturan pemerintah yang lain, jang bertentangan dengan hukum sjari’ah Islam, dengan tidak mengurangi ketetapan jang termaktub dalam pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 bagi pemeluk agama lain.” (Kementerian Penerangan R.I. : 1964)

Di dalam Notanya kepada Presiden Republik Indonesia pada tanggal 28 Juli 1959, Partai Masyumi menyatakan pernyataan dan peringatan sebagai berikut:

“Mulai saat itu (Dekrit), sesuai dengan pembawaan Masyumi, maka Masyumi tunduk kepada Undang-Undang Dasar yang berlaku dan oleh karenanya, merasa berhak pula untuk meminta, di mana perlu untuk menuntut, kepada siapa pun, juga sampai kepada pemerintah dan Presiden untuk tunduk pula kepada Undang-Undang Dasar sebagai landasan bersama hidup bernegara.” (Prawoto Mangkusasmito: 1977)

Perjalanan Piagam Jakarta memang penuh lika-liku. Namun memandang Piagam Jakarta satu momok menakutkan bertentangan dengan kenyataan sejarah. Faktanya Piagam Jakarta justru menjadi titik awal Pancasila yang diterima saat ini (minus 7 kata) ketimbang konsepsi awal Pancasila 1 juni yang diajukan Soekarno.

Kedua, Piagam Jakarta bukanlah semacam aib, ia justru menjiwai Undang-Undang Dasar 1945. Dan sesuai penjelasan pemerintah kala itu, makna menjiwai bukanlah etalase politik, hiburan bagi umat Islam, atau pemanis bibir semata, tetapi mengandung konsekuensi hukum.

Hal ini dapat dicermati dari jawaban Pemerintah (diwakili Perdana Menteri Djuanda) saat ditanya oleh K.H. Achmad Sjaichu dari Nadhlatul Ulama. Dalam sesi resmi dihadapan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut, K.H. Achmad Sjaichu menanyakan apakah pengakuan Piagam Jakarta berarti pengakuan sebagai ‘dokumen historis’ saja ataukah mempunyai akibat hukum, sehingga atas dasar itu bisa diciptakan undang-undang yang sesuai dengan syariat Islam bagi pemeluknya.

Pemerintah kemudan menjawab bahwa “perkataan ‘Ketuhanan’ dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat diberikan arti ‘Ketuhanan, dengan kewadjiban bagi ummat Islam untuk mendjalankan sjari’atnya’ sehingga atas dasar itu dapat ditjiptakan perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam, jang dapat disesuaikan dengan sjari’at Islam.”(Kementerian Penerangan R.I. : 1964)

Ketiga, dan paling penting, Piagam Jakarta adalah hasil kompromi yang mengakomodir aspirasi umat islam yang diwakili para tokohnya kala itu. Oleh sebab itu, memahami Sila Ketuhanan yang Maha Esa (meski tanpa 7 kata dalam piagam Jakarta), tak bisa dilepaskan dari pemaknaan yang dikehendaki saat itu, terutama para perumusnya dalam Panitia Sembilan dan para tokoh bangsa yang terlibat dan berperan besar dalam Sidang BPUPKI.

 

Mencari (Makna) Ketuhanan

Pada dasarnya, Pancasila menurut Moh. Hatta yang terlibat dalam Panitia Sembilan mengandung dua pengaruh, yaitu Agama (Islam) dan Sosialisme Barat. Sila Ketuhanan yang Maha Esa tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kompromi politik pada saat itu.

Menurut Penjelasan resmi UUD 1945 yang diterbitkan oleh pemerintah;

“Memang untuk mnyelidiki hukum dasar (droit constitutonel) suatu Negara, tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal Undang-undang Dasarnya (loi consitutionelle) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga bagaimana prakteknya dan bagaimana suasana kebatinannnya (geistilichen Hintergrund) dari Undang-undang Dasar itu. (Endang Saifuddin Anshari: 1981)

Undang-undang Dasar Negara mana pun tidak dapat dimengerti kalau hanya dibaca tekstnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-undang Dasar dari suatu negara kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya tekst itu, harus diketahui keterangan-keteranganya dan juga harus diketahui dalam suasana apa tekst itu dibikin.”

Suasana kejiwaan dan latar belakang terciptanya Undang-undang tersebutlah, baik Piagam Jakarta atau Dekrit Presiden tak dapat dilepaskan sebagai satu wadah yang  menampung aspirasi umat Islam kala itu. Mustahil jika UUD 1945 yang diajukan pemerintah lewat Dekrit diterima oleh wakil umat Islam kala itu jika tak menyerap aspirasi mereka yang terkait dengan syari’at Islam.

Salah satu yang terpenting tentu saja sila pertama, Sila Ketuhanan yang Maha Esa berpengaruh besar dalam Pancasila. Seperti yang disebutkan Bung Hatta di atas, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan didudukkan tidak lagi sekedar hormat-menghormati antara pemeluk beragama, tetapi sebagai dasar yang memimpin sila lainnya. Sebab menurut Bung Hatta adalah sila yang mempengaruhi sila-sila lainnya. “Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat.” (Moh. Hatta, Ahmad Soebadrjo Djojoadisurjo, et al: 1984)

Sila-sila tersebut bukanlah berdiri sendiri-sendiri dan tidak mempengaruhi. Sila Pertama yang disebut memimpin cita-cita kenegaraan dan juga mengikat sila lainnya. Menurut Bung Hatta dalam Uraian Pancasila (1984), “…bahwa kelima sila itu ikat-mengikat. Yang harus disempurnakan dalam Pancasila ialah kedudukan manusia sebagai hamba Allah, yang satu sam lain harus merasa bersaudara. Oleh karena itu pula sila kemanusiaan yang adil dan beradab langsung terletak di bawah sila pertama.” (Moh. Hatta, Ahmad Soebadrjo Djojoadisurjo, et al: 1984)

Soekarno sendiri menafsiran Sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai satu elemen penting dalam masyarakat Indonesia. Bagi Soekarno, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bertuhan.

“Bagaimana seluruh rakyat Indonesia pada garis besarnya? Kalau pada garis besarnya, telah saya gogo, saya selami, sudah saya lihat secara historis, sudah saya lihat dari sejarah keagamaan, pada garis besarnya rakyat Indonesia ini percaya kepada Tuhan. Bahkan Tuhan yang sebagai yang kita kenal di dalam agama, agama kita. Dan formulering Tuhan Yang Maha Esa bisa diterima oleh semua golongan agama di Indonesia ini. Kalau kita menge­cualikan elemen agama ini, kita membuang salah satu elemen yang bisa mempersatukan batin bangsa Indonesia dengan cara yang semesra-mesranya. Kalau kita tidak memasukkan sila ini, kita kehilangan salah satu Leitstar yang utama, sebab kepercayaan kita kepada Tuhan ini bahkan itulah yang menjadi Leitstar kita yang utama, untuk menjadi satu bangsa yang mengejar kebajikan, satu bangsa yang mengejar kebaikan. “

Soekarno juga tidak menolak Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai aspirasi dari umat Islam. Dalam Negara Nasional dan Cita-cita Islam (1954),  Soekarno menyatakan umat Islam memperoleh ruangnya untuk menggapai cita-cita mereka.

“Dan saudara2, tatkala aku berdiri di Amuntai menghadapi pertanjaan Bung Karno, minta pendjelasan: Negara Nasionalkah atau Negara Islamkah? Pada waktu itu aku berdiri di sana sebagai Presiden Republik Indonesia, tidak sekedjap mata pun aku mempunjai lubuk pikiran di belakang kepalaku ini melarang kepada pihak, Islam untuk mengandjurkan atau mempropagandakan tjita2 Islam. Sama sekali tidak. Kita mempunjai undang2 dasar jang dengan tegas berdiri di atas dasar Pantjasila, jang salah satu dari padanja ialah dasar demokrasi.” (Soekarno: 1954)

Pendapat Soekarno bukanlah gimmick politik, sebab Soekarno memang sejak awal dalam sidang BPUPKI menekankan bahwa umat Islam berhak memperjuangkan aspirasinya melalui wakil-wakilnya diparlemen. Menurutnya,

“Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan.

Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini.

Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula.” (Sekretariat Negara Republik Indonesia: 1995)

Penafsiran akan Pancasila menjadi penting, sebab menurut Haji Agus Salim yang juga terlibat dalam perumusan di Panitia Sembilan, mengingatkan terjadinya saling klaim penafsiran Pancasila yang saling bertentangan, dan masing-masing pihak mengklaim sebagai pihak yang paling benar. Menurut beliau, “lama-kelamaan tiap-tiap aliran akan membanggakan bahwa hanya ia yang berpegang  kepada “Pancasila yang sejati.” Dan masing-masing mendasarkan kesejatian itu atas sifat pahamnya yang dihiasi dengan tambahan keterangan. Misalnya, ‘kerakyatan,’ atau ‘demokrasi’, atau ‘progressip.’ Dan tiap-tiap aliran mendakwa aliran yang lain-lain dengan ‘khianat’ kepada Pancasila dan memutar balikkan kenyataan.” (H. Agus Salim: 1977)

 

Haji Agus Salim

 

Menurut Haji Agus Salim, seharunya masing-masing aliran yang merasa berlandaskan Pancasila dan memperjuangkan tujuan mereka tidak boleh menyalahi pokok dasar sila yang pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih lanjut, mantan tokoh Sarekat Islam  ini menyatakan bahwa, “Tegasnya tidak akan boleh menyimpang dari pada hukum agama yang berdasar kepada wahyu daripada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan firman Allah..” (H. Agus Salim: 1977)

Bagi Haji Agus Salim yang terlibat langsung dalam panita sembilan, ia amat ingat pemaknaan sila pertama tersebut. “..saya ingat betul-betul bahwa di masa itu tidak ada di antara kita seorangpun yang ragu-ragu, bahwa dengan pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu kita maksudkan ‘aqidah, kepercayaan agama dengan kekuatan keyakinan bahwa kemerdekaan bangsa dan tanah air-air itu suatu hak yang diperoleh daripada rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa dengan ketentuanNya yang dilaksanakanNya dengan semata-mata kekuasaanNya pada ketika masanya menurut KehendakNya,” jelas Haji Agus Salim. (H. Agus Salim: 1977)

Hal yang sama juga dimaknai oleh Ki Bagus Hadikusumo. Ketika Prawoto Mangkusasmito bertanya pada Ki Bagus Hadikusumo tentang makna sila pertama, beliau hanya menjawab singkat: Tauhid. Penafsiran ini tidaklah janggal, jika kita mengaitkan sila pertama sebagai tak lepas dari konteks kompromi dalam sidang panitia sembilan dan sebagai wadah aspirasi umat Islam sebagaimana yang disebutkan oleh K.H. Wahid Hasyim.

Menurut K.H. Wahid Hasyim,”….dasar Demokrasi (Kedaulatan Rakjat) jang djuga diterima sebagai salah satu dasar Pantjasila, memberikan pegangan pada bangsa kita untuk memelihara kebebasan dan kemerdekaan, baik setjara umum, maupun setjara chusus bagi satu golongan terhadap golongan jang lainnja.Pertemuannja dua prinsip tadi, keTuhanan dan demokrasi, mengakibatkan kompromi sebagai jang kita dapati sekarang. Keinginan kaum Muslimin sebagai golongan terbesar dari pada bangsa kita akan menghidupkan sjari’at agamanja diberi djalan dan saluran jang baik, tetapi dari lain fihak dipertahankan tentang adanja kompromi dengan demokrasi, tidaklah itu berarti, bahwa djikalau tidak ada kompromi tadi tentu akan timbul hal-hal jang mendesak dan merugikan golongan bersemangat agama jang ketjil djumlahnja. Sebab dasar semua agama terutama Islam adalah tasaamuh atau toleransi.” (K.H. Wahid Hasyim: 1953)

Adanya perbedaan penafsiran tak dapat dipungkiri dalam memahami makna Pancasila. Soekarno sendiri bukanlah penafsir tunggal Pancasila. Ia sendiri mengakui bahwa ia ‘hanyalah’ penggali Pancasila. Meski terdapat perbedaan penafsiran (dan bisa jadi karena latar belakang ideologi yang berbeda), namun Pancasila, sejak lahirnya mengalami perubahan dan perkembangan dari situasi politik.

Dari Pancasila versi 1 Juni kemudian berubah cukup signfikan menjadi satu kompromi yang menampung aspirasi umat Islam terutama melalui lahirnya Piagam Jakarta. Piagam Jakarta menjadi pembentuk Pancasila yang kita kenal saat ini. Tanpa aspirasi umat Islam dalam Piagam Jakarta, Pancasila saat ini tidak akan menemukan bentuknya seperti sekarang ini. Kedudukan penting Ketuhanan yang Maha Esa dalam Pancasila hadir karena Piagam Jakarta.

Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi satu landasan dalam Pancasila. Menyinari sila-sila lainnya. Ketuhanan Yang Maha Esa juga dimaknai oleh para tokoh-tokoh Islam sebagai Tauhid, sebab sila pertama tak bisa dilepaskan sebagai satu bentuk kompromi untuk menampung aspirasi umat Islam.

Terlepas ada perbedaan antara Soekarno dengan para tokoh Islam dalam memaknai Sila Ketuhanan yang Maha Esa, namun, satu hal yang pasti, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah satu landasan bagi umat Islam untuk memperjuangkan aspirasinya dalam perundang-undangan di Indonesia yang telah ditekankan, baik oleh para tokoh Islam, Soekarno, maupun pemerintah orde lama yang mengeluarkan Dekrit Presiden tahun 1959.

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa

 

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here