Siapa sangka, awal berdirinya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) -sekarang UIN- di Indonesia, tak lepas dari gentlement agreement (perjanjian luhur) bangsa ini yang dinamakan Piagam Jakarta. Pada tahun 1960, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.11 tentang pembentukan IAIN yang dalam Perpres ini tercantum pertimbangan pertamanya sebagai berikut: “bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Juni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut, untuk memperbaiki dan memadjukan pendidikan tenaga ahli agama Islam guna keperluan Pemerintah dan masjarakat dipandang perlu untuk mengadakan Institut Agama Islam Negeri.” [1]
Seperti diketahui, bunyi Piagam Jakarta kita sebagai berikut:
“Pembukaan: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa , dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannnya. Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteran umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.”[2]
Menurut Perpres 11/1960, IAIN adalah merupakan penggabungan antara Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (Jogjakarta) No.34 tahun 1950, dengan Akademi Dinas Ilmu agama (ADIA), yang dibentuk atas Penetapan Menteri Agama No.1 tahun 1957.
Tujuan pembentukan IAIN sendiri disebutkan dalam pasal 2, Perpres 11/1960 yaitu “IAIN tersebut bermaksud untuk memberi pengadjaran tinggi dan mendjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama Islam.”
Dalam Perpres ini juga dijelaskan bahwa Indonesia sebagai negara yang mayoritas muslim sangat penting menerima pendidikan agama Islam. Sebab bagi Indonesia, Islam selain sebagai agama, juga “merupakan dan sudah meluluh adat-istiadat jang meresapi segala aspek hidup dan kehidupannja. Dengan demikian mempertinggi taraf pendidikan dalam lapangan Agama dan Ilmu pengetahuan Islam adalah berarti mempertinggi taraf kehidupan bangsa Indonesia dalam lapangan kerochanian (spirituil) dan ataupun dalam taraf intellektualismenja.”
Hingga pada tanggal 2 Rabi’ul Awal 1380 H bertepatan dengan 24 Agustus 1960, Menteri Agama K.H. Wahib Wahab meresmikan pembukaan IAIN “al-Djami’ah al-Islamijah al Hukumijah di sebuah tempat yang dahulu menjadi ibukota negara ini dan dijuluki Kota Universitas, yaitu Yogyakarta.
Dalam acara peringatan sewindu IAIN pada tahun 1968. K.H. M.Dachlan, Menteri Agama yang juga Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) kala itu, memberikan pidatonya yang begitu menggugah dan mencerahkan. K.H. M.Dachlan katakan:
“Institut Agama Islam Negeri pada permulaannja merupakan suatu tjita-tjita jang selalu bergelora di dalam djiwa para Pemimpin Islam jang didorong oleh hadjat-kebutuhan terhadap adanja sebuah Perguruan Tinggi jang dapat memelihara dan mengemban adjaran2 Sjariat Islam dalam tjorak dan bentukjna jang sutji murni bagi kepentingan Angkatan Muda, agar kelak di kemudian hari dapat memprodusir Ulama2 dan Sardjana2 jang sungguh-sungguh mengerti dan dapat mengerdjakan setjara praktek jang disertakan dengan pengertian jang mendalam tentang hukum-hukum Islam sebagaimana jang dikehendaki oleh Allah Jang Maha Pengasih dan Penjajang . ”
K.H. M.Dachlan juga menyebutkan tujuan lain IAIN adalah untuk membasmi tahayul dan khurafat yang telah ditimbulkan oleh kelalaian kita akan ajaran Allah dan kurangnya pengertian generasi kita terhadap tujuan Islam yang suci murni.
Lebih dari itu, K.H. M.Dachlan menegaskan pentingnya memelihara semangat untuk melawan penjajahan dalam dunia pendidikan.
“Di dalam rapat2 sering kami djelaskan, bahwa di masa pendjadjahan kita telah berhidjrah (non Cooperation/tidak kerdja sama) dengan pendjadjah, akibat sikap yang demikian itu kita tidak menjekolahkan anak2 kita di dalam Sekolah2 jang diadakan oleh Kaum Pendjadjah. Sebaliknja anak-anak kita semuanja beladjar dan mendapatkan pendidikan di Sekolah2 Agama (Madrasah2 dan Pesantren jang kita adakan sendiri) karena kita mendjaga djangan sampai anak2 kita keratjunan dengan pendidikan/peladjaran yang diberikan oleh pendjadjah dimasa itu, dimana anak2 ditjiptakan untuk menjadi hamba2 pendjadjah untuk menjadi orang-orang jang membantu pendjadjah di dalam usahanja memprodusir manusia2 robot untuk kepentingan mereka,” kata K.H. M.Dachlan.
Mengapa institut ini diikuti nama ‘Islam’? kata K.H. M.Dachlan:
“Nama Islam jang dihubungkan dengan Institut ini, djuga merupakan suatu manifestasi tentang adanja suatu ikatan jang kokoh kuat dan jang telah berakar-berurat didalam djiwa kita semuanja, jaitu dalam hubungan seorang Muslim dengan sesama saudaranja, jang tak dapat dipisahkan karena berlainan darah, berlainan bahasa, berlainan warna, berlainan tanah air (Negara) dan sebagainja, hal mana telah mengikat kesatuan Ummat Islam satu dengan lainnja, sehingga Agama, kehormatan dan harakat-martabat Ummat Islam terlindung oleh ikatan jang teguh kuat itu, jang menjebabkan orang2 dan penguasa tyrani dimasa lampau tak berani menjentuh badan djasmani kita dengan suatu siksaan atau pukulan, karena kita telah menjadi satu badan, bilamana suatu anggota tubuh badan itu ditjubit orang, maka seluruh badan tersebut akan merasakan pedih dan sakitnja.”
Dalam kesempatan itu, K.H. M.Dachlan membeberkan tantangan dan rintangan yang berat dalam upaya mendirikan IAIN yang menurutnya dilakukan oleh orang-orang yang tidak menghendaki kemajuan Islam. Oleh karena itu, K.H. M.Dachlan mengingatkan bahwa sejak awal dilahirkan, IAIN senantiasa berusaha dan bekerja keras untuk mengisi otak dan jiwa angkatan muda dengan mental Islam dan membeberkan kepada mereka sejarah Islam yang sebenarnya, karena generasi muda telah melalaikan atau belum mengetahuinya.[3]
Begitu berkobar-kobar tokoh Islam memperjuangkan agamanya dalam pembentukan IAIN ini. Begitu besar harapan mereka kepada generasi muda agar kelak menjadi cendekiawan dan ulama yang tinggi ilmu dan kuat mental Islamnya.
Tapi kini apa yang terjadi di IAIN/UIN? Mengejutkan! Pada tanggal 27 September 2004 di Fakultas Ushuluddin IAIN Bandung diadakan acara ta’aruf mahasiswa baru. Sejak mahasiswa baru memasuki ruangan fakultas ini dan menaiki panggung, seorang mahasiswa yang menjadi pembawa acara untuk fakultas itu menyambut dengan perkataan “Selamat bergabung di area bebas tuhan.”
Tak kalah heboh saat jurusan sosiologi agama menyambut juniornya. “Mahasiswa sosiologi agama adalah insan kreatif inovatif yang sosialis demokratis. Beri kesempatan kepada teman-teman kami yang senantiasa mencari tuhan,” kata ketua himpunan jurusan sosiologi agama. Pernyataan lainnya keluar dari mulut salah satu di antara mereka. “Kami tidak ingin punya tuhan yang takut dengan akal manusia,” katanya.
Yang lebih menyeramkan, pernyataan dari seorang mahasiswa jurusan aqidah filsafat. “Kita berdzikir bersama anjing hu akbar,” teriaknya lantang sambil mengepalkan tangan.
Lain halnya dengan Sumanto Al-Qurtuby ketika menjadi mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang. Sumanto pernah memimpin sebuah jurnal bernama Justisia yang terbit atas izin pimpinan Fakultas. Pada tahun 2004, jurnal ini menulis sebuah cover story dengan judul “Indahnya Kawin Sesama Jenis”. Dalam pengantar judul ini dikatakan bahwa hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya.
Baru ini, spanduk bertuliskan “Tuhan Membusuk; Rekonstruksi Fundamentalisme menuju Islam Kosmopolitan” menyambut mahasiswa baru saat Ospek Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya.
Kita bertanya-tanya sambil menggelengkan kepala dan mengelus dada, mengapa kampus yang menyandang nama ‘Islam’ ini justru membiarkan pemikiran yang menyimpang bahkan melecehkan Islam malah berkembang?
Ternyata dulu IAIN diusahakan menjadi pusat studi Islam yang unggul dan bertaraf internasional. Salah satu usaha itu dilakukan oleh Prof. Harun Nasution. Tidak ada yang salah sampai sini. Namun sayangnya usaha Harun tidak sesuai dengan cita-cita awal IAIN ini didirikan. Upaya Prof. Harun Nasution tertangkap dalam bukunya, yang berjudul “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” disingkat IDBA dan mengubah kurikulum IAIN.
Buku IDBA ini oleh Kementrian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia. Setelah buku itu dicetak, muncul kritik yang tajam dari seorang Menteri Agama Pertama Republik Indonesia, Prof. Dr. M. Rasjidi.
Pada tanggal 3 Desember 1975, Rasjidi menuliskan laporan rahasia kepada Menteri Agama dan beberapa eselon tertinggi di Departemen Agama (Depag). Rasjidi bercerita:
“Mula-mula saya tidak mau melakukan koreksi tersebut di muka umum. Pada tanggal 3 Desember 1975, saya menuliskan laporan rahasia kepada Saudara Menteri Agama dan beberapa orang staf eselon tertinggi di Kementrian Agama. Laporan rahasia tersebut berisi kritik terhadap buku Sdr. Harun Nasution yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Saya menjelaskan kritik pasal demi pasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementrian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh Kementrian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.”
Laporan Rasjidi tidak digubris sama sekali oleh Departemen Agama (Depag). Menurutnya ada dua kemungkinan sikap Depag ini: (a) Pihak Departemen Agama, Khususnya Diperta, setuju dengan isi buku tersebut dan ingin mencetak sarjana IAIN menurut konsepsi Dr. Harun Nasution tentang Islam. (b) Pihak-pihak tersebut di atas tidak mampu menilai buku tersebut dan bahayanya bagi eksistensi Islam di Indonesia serta umatnya. “Kedua kemungkinan di atas tidak memberi harapan yang baik,” katanya. Apa mau dikata, penguasa ikut mempengaruhi dan menentukan.
Selama satu tahun lebih, surat Rasjidi tidak mendapat tanggapan Depag. Akhirnya Rasjidi meyampaikan kritiknya terhadap buku Harun tersebut dengan menulis sebuah buku yang berjudul “Koreksi terhadap Dr.Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.”
“Tulisan ini akan membuka cakrawala baru bagi cara berpikir umat Islam Indonesia dalam menghadapi aliran-aliran dan ideoogi-ideologi yang bermacam-macam yang serentak kita hadapi semuanya,” harapannya.[4]
Bila Rasjidi bersikap sangat kritis terhadap pemikiran orientalis[5], lain halnya dengan Harun. Harun mengakui bahwa dirinya mengerti Islam dari orientalis. Harun bercerita:
“Sewaktu di Belgia setiap ada uang, aku pergi ke toko buku. Mencari buku-buku Islam. Aku membeli, lalu kubaca. Aku tahu di Belanda banyak buku mengenai Islam. Karena Belanda dekat, aku pun pergi kesana. Kebetulan ada temanku di Kedutaan Indonesia di Den Hagg. Dia yang membawaku ke toko buku. Aku mencari buku-buku mengenai Islam. Banyak buku Islam yang ditulis oleh orang orientalis. Itu kubaca dan baru aku mengerti Oh ini Islam.
Aku semakin tertarik. Aku membaca buku-buku itu dan mempelajarinya. Kemudian aku mencari majalah-majalah berbahasa Inggris, yang dikarang oleh Islam. Yang kudapatkan adalah surat-surat kabar Ahmadiyah terbitan London. Nah, disana aku menemukan Islam yang rasional. Di situ aku mulai tertarik sama Islam.”
Harun juga merasa tidak puas dengan pendidikan Islam di tempatnya dulu menuntut ilmu di Mesir. Harun justru mengaku benar-benar puas belajar Islam di Mc. Gill University.[6]
“Di situlah aku betul-betul puas belajar Islam. Aku mendapat beasiswa selama beberapa tahun. Di sana juga aku memperoleh pandangan Islam yang luas. Bukan Islam yang diajarkan di Al-Azhar Mesir. Di Mc. Gill aku punya kesempatan baik secara ekonomi maupun waktu. Aku mebeli buku-buku modern, karangan orang Pakistan atau orang orientalis. Baik dalam bahasa Inggris, Prancis, atau Belanda. Di sana liberal. Bebas. Jadi, mudah mencarinya.
Di sana baru kulihat Islam bercorak nasional. Bukan Islam irasional seperti didapatkan di Indonesia, Mekah, dan Al-Azhar. Aku bisa mengerti kalau orang berpendidikan Barat mengenal Islam dengan baik melalui buku-buku karangan orientalis. Bisa kumengerti mengapa orang tertarik Islam karena karangan orientalis.
Aku memang tidak tertarik dengan karangan orang Islam sendiri. Kecuali yang modern seperti Ahmad Amin. Tapi bagaimana intelektual kita? Mana bisa membaca serupa buku-buku dari Inggris, Pakistan, India, dan sebagainya? Karangan dari Indonesia tak ada yang menarik… Di Mc Gill itulah aku sadar: pengajaran Islam di dalam dan di luar Islam berbeda betul. Kuliah dengan dialog. Semua mata kuliah diseminarkan. Aku benar-benar merasakan manfaatnya. Aku tak hanya menerima pelajaran, tetapi terlibat untuk mengerti. Di situlah aku baru mengerti Islam ditinjau dari berbagai aspeknya.”[7]
Proyek Harun mendapat dukungan dari Menteri Agama, Mukti Ali yang juga lulusan Mc.Gill University. Harun lebih leluasa menerapkan ide-idenya setelah dikokohkan sebagai rektor IAIN Jakarta. Kata Harun:
“Langkah pertama kami di IAIN adalah mengubah kurikulum. Kami para rektor IAIN mengadakan pertemuan di Ciumbuleuit. Pengantar Ilmu Agama dimasukkan dengan harapan akan mengubah pandangan mahasiswa filsafat, tasawuf, ilmu kalam, tauhid, sosiologi, metodologi riset kita masukkan pula.
Semula usulku untuk mengadakan pembaharuan kurikulum ditolak para rektor tua. Oleh H.Isma’il Ya’kub, oleh K.H. Bafaddal. Tapi dalam perkembangan selanjutnya aku didukung oleh kalangan atas seperti Mulyanto Sumardi ketika menjadi Direktur Jenderal Perguruan Tinggi Islam Departemen Agama. Juga Zarkawi Suyuti sebagai sekretaris Dirjen Bimas Islam.”[8]
Begitulah Harun Nasution yang silau dengan orientalis. Pantas saja Rasjidi ingin memakaikan kaca mata Islam ke Harun. Rasjidi mengoreksi buku IDBA dari banyak aspek diantaranya tentang agama dan pengertian agama dalam berbagai bentuknya, kemudian Islam dalam pengertian yang sebenarnya, lalu soal ibadat, latihan spirituil dan ajaran moral, sejarah dan kebudayaan, politik, lembaga kemasyarakatan, hukum, teologi, filsafat, mistisme, dan pembaharuan dalam Islam. Ini menunjukkan bahwa buku IDBA memiliki banyak kekeliruan.
Dari semua aspek yang ada, menurut Rasjidi, yang sangat negatif dari buku IDBA adalah aspek filsafat. Harun membicarakan filsafat Al-Razi, orang yang hidup sebelum zaman Al-Ghazali sehingga filsafatnya termasuk dikritik oleh Al-Ghazali. Kata Harun dalam bukunya di halaman 69:
“Al-Razi seorang rasionalis, yang hanya percaya pada akal dan tidak percaya pada wahyu. Menurut keyakinannya, akal manusia cukup kuat untuk mengetahui adanya Tuhan, apa yang baik dan yang buruk, dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Oleh karena itu, Nabi dan Rasul tidak perlu, bahkan ajaran-ajaran yang mereka bawa menimbulkan kekacauan dalam masyarakat manusia. Semua agama ia kritik. Al-Qur’an baik dalam bahasa maupun isinya bukanlah mu’jizat.”[9]
Aspek lainnya dalam buku IDBA yang negatif adalah masalah keaslian hadits dan agama monoteisme[10]. Kata Harun dalam bukunya, jilid 1 halaman 29 sebagai berikut:
“Karena hadits tidak dihafal dan dicatat dari sejak semula, tidaklah dapat diketahui dengan pasti mana hadits yang betul-betul berasal dari Nabi dan mana hadits yang dibuat-buat… Tidak ada kesepakatan kata antara umat Islam tentang keorisinilan semua hadits dari Nabi.”
Menurut Rasjidi, keterangan Prof.Harun Nasution tersebut sudah cukup untuk memasukkan rasa goyah dalam keimanan generasi muda kita, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh kaum orientalis yang tidak suka Islam menjadi kuat.
“Sunnah Nabi atau hadits begitu penting dalam Islam. Al-Qur’an penting karena ia adalah wahyu dan barang siapa yang membacanya dengan mengerti bahasa dan maknanya, ia akan hidup dalam suasana kerohanian yang tinggi… Tetapi, orang yang tidak suka kepada Islam mencoba untuk menyerang sumber kedua, yakni al-sunnah, karena jika didiskreditkan, maka akan kuranglah sumber kekuatan Islam. Cara mendiskreditkan hadits adalah pertama menunjukkan bahwa ada kemungkinan hadits itu dibuat-buat atau dipalsukan dan memang hal itu terjadi, khususnya ketika terjadi sengketa politik dan perebutan kekuasaan,” terang Rasjidi, seorang lulusan Sorbonne.[11]
Kemudian tentang agama monoteisme, Harun mengatakan dalam bukunya di halaman 19: “Agama monoteisme adalah Islam, Yahudi, Kristen (Protestan dan Katolik) dan Hindu.” Dan di halaman 22: “Monoteisme Kristen dengan paham Trinitas dan monoteisme Hindu dengan paham politeisme[12] yang banyak terdapat di dalamnya, tidak dapat dikatakan monoteisme murni.”
Pernyataan tersebut ditentang oleh Rasjidi. Kata Rasjidi:
“Kata-kata tersebut di atas adalah kata-kata lidah yang tidak bertulang, yang tersirat di dalamnya adalah bahwa semua agama itu sama, sedikitnya bagi bangsa Indonesia. Agama Kristen diberi penjelasan Protestan dan Katolik. Padahal di samping Protestan dan Katolik ada lagi kelompok besar, lebih besar dari Protestan, yaitu kelompok ortodoks yang terdapat di Rusia, Eropa Timur, Asia Barat, dan Abbyssinia. Agama Hindu yang merupakan agama alamiah disejajarkan dengan agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Dan ini sama sekali tak dapat diterima oleh orang Islam.
Kemudian Dr. Harun Nasution mengakui bahwa Kristen dengan Trinitasnya dan Hindu dengan politeismenya tidak dapat dikatakan monoteisme murni. Jadi soalnya dijadikan begitu ringan, bukan prinsip monoteisme atau bukan monoteisme, tetapi monoteisme murni atau monoteisme tidak murni. Semuanya monoteisme dan semuanya agama.
Uraian Dr. Harun Nasution yang berselubung uraian ilmiah sesungguhnya mengandung bahaya bagi generasi muda Islam yang ingin dipudarkan keimanannya; jika soalnya agar terdapat jiwa toleransi di antara bangsa Indonesia, maka Islam sudah lengkap dengan toleransinya yang diakui oleh sarjana-sarjana Barat sendiri. Tetapi janganlah menyamaratakan segala agama dan mengatakan segala agama itu sama, seperti yang sering kita dengar dari orang-orang yang tak pernah menyelidiki agama.”[13]
Akan tetapi kritik-kritik Rasjidi atas seperti itu tidak diperhatikan oleh petinggi Depag dan IAIN. Akibatnya selama 33 tahun, buku IDBA masih dijadikan sebagai buku pegangan dalam mata kuliah pengantar studi Islam di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia. Padahal kesalahannya begitu nyata dan fatal.
Setelah 40 tahun berlalu, peringatan Rasjidi tentang metode orientalis yang dapat mencetak ‘sarjana ragu-ragu’ terhadap Islam telah menjadi kenyataan. Harun bagaikan menabur angin pemikiran orientalis yang kini menjadi badai liberalisasi yang memporak-porandakan arena studi Islam di Indonesia. Akibatnya tidak sedikit sarjananya yang aktif mengkampanyekan keraguan dan penghancuran terhadap Islam.
Menurut peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization(INSISTS), Dr.Adian Husaini, Harun Nasution ini ibarat orang yang telah membuka pintu, kemudian berjubellah para mahasiswa atau doktor, dan guru besar dalam studi Islam yang berlomba-lomba menjadi ekstrem dalam menyerang dan meragukan kebenaran Islam, jauh lebih ekstrem daripada Harun Nasution sendiri.[14]
Sementara dosen pascasarjana UIN Gunung Djati Bandung, Dr. Daud Rasyid menilai Harun sebagai induk dari segala pemikiran sekular dan liberal di Indonesia.[15]
Bahkan buku berjudul “IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia” yang diterbitkan atas kerjasama Canadian Internasional Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama mengakui sendiri bahwa Harun berusaha meliberalkan IAIN.
Seperti diceritakan dalam buku tersebut, ketika Harun menjadi direktur pascasarjana UIN Jakarta, liberalisasi Islam dimulai dari pascasarjana UIN Jakarta, kemudian dikembangkan ke perguruan tinggi umum melalui dosen-dosen agama yang diberi kesempatan untuk mengambil S2 dan S3 di IAIN Jakarta. “Dosen-dosen mata kuliah agama di perguruan tinggi umum dipersilakan mengambil program S2 dan S3 di IAIN Jakarta, dimana Harun Nasution sebagai direktur. Dari sinilah kemudian paham Islam rasional dan liberal yang dikembangkan Harun Nasution mulai berkembang juga di lingkungan perguruan tinggi umum.”[16] Maka jangan heran bila guru agama di peguruan tinggi umum saat ini berpikiran liberal.
Oleh karena itu, maka ide Rasjidi yang dilemparkan ke tong sampah Depag, mari kita pungut. Mari kembalikan UIN sesuai cita-cita awalnya dulu yaitu Perguruan Tinggi jang dapat memelihara dan mengemban adjaran2 Sjariat Islam dalam tjorak dan bentukjna jang sutji murni bagi kepentingan Angkatan Muda, agar kelak di kemudian hari dapat memprodusir Ulama2 dan Sardjana2 jang sungguh-sungguh mengerti dan dapat mengerdjakan setjara praktek jang disertakan dengan pengertian jang mendalam tentang hukum-hukum Islam sebagaimana jang dikehendaki oleh Allah Jang Maha Pengasih dan Penjajang. Dan kita sebagai generasi muda, seperti dinasihatkan oleh Tokoh Muhammadiyah Buya Hamka, harus tegak menantang dan membendung propaganda paham materialisme dan segala isme-isme (paham) baru yang diimpor dari Barat untuk menyebarkan rasa keragu-raguan atau melemahkan dalam Islam. [17] Wallahu a’lam.
Oleh : Andi Ryansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
[1] Dikutip oleh Adian Husaini, IAIN DULU DAN SEKARANG, Jurnal Islamia Vol.III. No.3, 2008, hlm. 54 dari Buku Sewindu Institut Agama Islam Negeri Al-Djami’ah Al-Islamijah Al Hukumijah “Sunan Kalidjaga” Jogjakarta 1960-1968, Yogyakarta:IAIN Sunan Kalidjaga, 1968
[2] Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, Bandung: Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, 1981, hlm. 27
[3] Dikutip oleh Adian Husaini, Ibid, hlm. 54-56 dari Buku Sewindu Institut Agama Islam Negeri Al-Djami’ah Al-Islamijah Al Hukumijah “Sunan Kalidjaga” Jogjakarta 1960-1968, Yogyakarta:IAIN Sunan Kalidjaga, 1968
[4] Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Depok:Kalam Ilmu Indonesia, 1434, hlm. 17-18
[5] Orang-orang Barat yang mengkaji Islam.
[6] Universitas yang didirikan oleh Wilfred Cantwell Smith, seorang Presbyterian yakni seorang Kristen penganut tokoh reformis John Calvin (1509-64).
[7] Dikutip oleh Adian Husaini, hlm.58-59 dari Buku Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam:70 Tahun Harun Nasution, Jakarta:LSAF, 1989, hlm. 34
[8] Dikutip oleh Adian Husaini hlm.59 dari Buku Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam:70 Tahun Harun Nasution, Jakarta:LSAF, 1989, hlm. 41-50
[9] Rasjidi hlm. 144-145
[10] Ajaran agama yang mempercayai adanya satu Tuhan
[11] Rasjidi hlm. 39-40
[12] Ajaran agama yang mempercayai adanya lebih dari satu Tuhan
[13] Rasjidi, Ibid, hlm. 28-29
[14] Adian Husaini, Ibid, hlm. 62
[15] Prolog dalam Rasjidi, Ibid, hlm. 7
[16] Adian Husaini, Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012, hlm. 208
[17] Buya Hamka, Dari Hati ke Hati Tentang Agama, Sosial-Budaya, Politik, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002, hlm. 141
Mungkin ini yang disebut dosa jariyah. Na’udzubillah.