“Menurut Muhammadiyah masyarakat dapat sejahtera, aman, damai, dan makmur itu apabila diikuti dengan keadilan, kejujuran, persaudaraan, gotong-royong, tolong-menolong, dan harus bersendikan hukum-hukum Allah yang sebenar-benarnya, lepas dari pengaruh setan dan hawa nafsu.” – Pak AR

Syahdan ia adalah figur Muhammadiyah terlama yang pernah bercokol di bangku Ketua. 22 tahun, bukan waktu yang sebentar. Abdul Rozaq Fachruddin namanya. Selintas mirip dengan Haji Fachrodin, yang juga figur Muhammadiyah, meski mereka berbeda zaman. Ia lahir pada 14 Februari 1916 di Purwanggan, Yogyakarta. Ayahnya adalah Kiyai Fachruddin bin Kiyai Syahid. AR Fachruddin lebih sering dipanggil Pak AR. Ia pernah menjadi guru SD Muhammadiyah, kemudian 10 tahun berdakwah di luar Jawa, khususnya di Palembang dan Aceh.

AR Fachrudin menduduki kursi ketua Muhammadiyah sejak tahun 1968, menggantikan KH Faqih Usman yang wafat, hingga tahun 1990. Terpilihnya AR Fachruddin menjadi Ketua Muhammadiyah sendiri diceritakan oleh beliau dengan menarik dalam tulisannya yang berjudul Pak AR Saja. (A.R. Fachruddin:1994)

Kala itu, beberapa hari sebelum wafat, KH Faqih Usman menulis satu surat ‘wasiat’ yang menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada beberapa tokoh, diantaranya, Buya Hamka, H.M. Djindar Tamimy, Prof. DR Rasjidi dan A.R. Fachruddin sendiri. Ternyata beberapa hari kemudian K.H. Faqih Usman wafat. Tak lama para tokoh Muhammadiyah berkumpul. A.R. Fachruddin kemudian menjelaskan kisah ‘penobatan ketua’ yang unik tersebut. (A.R. Fachruddin:1994)

 “Bapak Prof. Hamka dan Bapak Dr. H . Kusnadi mendatangi kami para anggota PP yang sedang istirahat di Menteng Raya 62 dan Bapak Prof. Hamka menyampaikan apa yang dikatakan oleh Abuya AR. Sutan Mansur dan terus menyatakan berdasar surat pamit Bapak K.H. Faqih Usman, yang berhubung wafatnya K . H . Faqih Usman maka surat pamit tadi seolah-olah berubah menjadi surat wasiyat, maka saya usulkan Sdr. A.R. Fachruddin yang menjadi pengganti Bapak K . H . Faqih Usman. Tanpa dimusyawarahkan lagi Pak Prof. Hamka terus menjabat tangan saya, menyalami sambil mengatakan “selamat ber’amal”. Bapak-bapak yang lainpun terus ikut menyalami saya,” demikian kenang Pak AR. (A.R. Fachruddin:1994)

Mulailah hari-harinya sebagai ketua dijalani hingga 22 tahun. Sebenarnya bukan perkara ‘terlama’ yang menjadi hal penting, namun perjalanan yang beliau lalui ketika menahkodai Muhammadiyah bukanlah perjalanan yang mudah.

Muhammadiyah justru mengalami pergolakan yang amat dahsyat ketika memasuki era Orde Baru Soeharto. Awalnya banyak figur Muhammadiyah menyambut naiknya Soeharto ke tampuk presiden RI. Mereka melihat harapan pada dirinya. Sebagai figur anti-komunis, Soeharto melapangkan pergerakan warga Muhammadiyah yang pernah terhimpit oleh kuasa komunis di era orde lama. Entah berapa banyak warga Muhammadiyah yang dijebloskan ke tahanan tanpa peradilan pada masa kelam tersebut.

Sayangnya, Soeharto kemudian berbalik arah. Ia menjadi alergi terhadap politik Islam. Politik Islam di awal Orba dihantamnya dengan kasar dan halus. Soeharto menolak bangkitnya kembali Masyumi. Tokoh Muhammadiyah seperti Djarnawi Hadikusumo dijungkalkan dari Parmusi. Puncaknya, Muhammadyah dihadapkan pada pilihan sulit rezim Orde Baru. Menerima atau menolak Pancasila sebagai azas tunggal? Pilihan ini semakin sulit dipundak warga Muhammadiyah, karena dua tokohnya, H.M. Sanusi dan A.M. Fatwa diseret oleh rezim Soeharto ke terali besi karena dituduh terlibat peristiwa Tanjung Priok.

Penolakan terhadap azas tunggal bukannya tak ada, Buya Malik Ahmad sudah menggalangnya dengan segala resiko sejak awal hingga Muktamar Muhammadiyah akhirnya bertemu jalan buntu. Di sini kemudian kita lihat betapa berat beban yang dipikul Pak AR demikian panggilannya. Namun ciri khas Pak AR-lah yang menolongnya memudahkan menahkodai Muhammadiyah dalam bahtera Orde Baru yang mengguncang. Ciri khas Pak AR adalah sikapnya yang luwes dan cerdik, mampu beradaptasi sehingga ia mampu menyiasati pemaksaan azas tunggal hingga tak mencederai prinsip Muhammadiyah.

Muktamirin akhirnya sepakat memasukkan penjelasan bahwa Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah keimanan kepada Allah Subhanahu wata’ala (Tauhid). Muhammadiyah akhirnya menerima Pancasila sebagai asas pada pasal 2 dalam suasana tekanan rezim. Muhammadiyah juga bersiasat dengan menyebutkan di pasal 1 yang menegaskan ciri dan identitas Muhammadiyah yaitu berakidah Islamiyah yang bersumber pada Al Qur’an dan Sunnah. (Sufyan, Fikrul Hanif: 2014) Pak AR mengibaratkannya azas tunggal seperti helm, seperti kalau orang naik kendaraan di jalur helm, sehingga semua pengemudi motor yang lewat di situ harus pakai helm. (http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/03/30/pancasila-dan-jalur-helm/)

Muhammadiyah bukan saja lolos dari cengkraman maut rezim orde baru, tetapi juga lewat Pak AR berhasil membuat Soeharto lunak terhadap Muhammadiyah. Satu contoh lainnya adalah ketika rezim orba menerapkan monoloyalitas kepada Pegawai Negeri Sipil. Mereka harus menjadi anggota Korpri dan tidak boleh menjadi anggota organisasi lain termasuk Muhammadiyah. Pak AR menawar kebijakan tersebut kepada Menteri Dalam Negeri, Amir Machmud. Namun ia tetap bersikukuh. Akhirnya Pak AR berkata,

“Baiklah Pak Amir, kalau memang terpaksa anggota Muhammadiyah  yang menjadi pegawai negeri harus mengundurkan diri, saya mohon bekas anggota-anggota Muhammadiyah itu diperbolehkan mengadakan pengajian”.
“Oo, kalau itu tidak ada masalah. Kalau mereka mau mengadakan pengajian malah saya bantu” kata Amir Mahmud. Akhirnya pengajian di kantor-kantor pemerintahan malah marak. (http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/04/29/menyikapi-monoloyalitas/)

Demikian sikap Pak AR selain keluwesan adalah kesederhanaan beliau yang luar biasa, seperti halnya banyak figur Muhammadiyah lainnya. Saefudin Simon, seorang jurnalis yang juga mantan anak indekos Pak AR bercerita, bahwa andalan Pak AR berkendara hanya sepeda motor tua pemberian orang. Di seberang rumahnya ia membuka kios bensin eceran. Bukan sekali dua kali ia melayani sendiri pembelinya. Lauk pauk sederhana makanannya adalah lauk makanan yang diberikan kepada anak-anak kosnya.

Ulama yang dikenal humoris ini pernah ditawari berkali-kali berbagai jabatan seperti Menteri hingga komisaris, namun semua ditampiknya. Ia merasa cukup hanya dengan mengurusi Muhammadiyah. Uang bukanlah orientasinya. Ia dikenal sebagai penceramah yang menolak pemberian amplop dan senang berceramah di depan orang-orang kecil di Kali Code. (http://sangpencerah.id/2018/06/pak-ar-cermin-harga-diri-muhammadiyah/)

Kesederhanan ini yang barangkali dianggap sebagai sebagian orang sebagai perilaku sufistik. Namun sufistik disini dapatlah diartikan ‘tasawuf akhlaqi.’ (Masyitoh: 2008) Pak AR sendiri pernah mengatakan,

‘Bahwa jalan yang paling pasti untuk membentuk akhlak yang mulia adalah melakukan ibadah dengan kesadaran penuh kepada Tauhid. Jalan yang harus dilalui dengan kesadaran adalah hasrat seseorang untuk menjadi ikhlas. Ikhlas menunjuk kepada orientasi mental yang sepenuhnya tidak terikat pada hal-hal yang bersifat duniawi, kosong, bersih, dan kekosongan inilah yang harus diisi dengan Allah sepenuhnya diisi dengan kebaktian kepada Allah, tidak pada yang lain. …Dan-bahwa dzikir, wirid, bukanlah monopoli tarekat, dan boleh diperaktikkan bilamana hal tersebut dapat membantu meningkatkan kesalehan seseorang serta ikhlas dalam beribadah maupun dalam bermu’amalah.” (Masyitoh: 2008)

Dakwah menurut beliau haruslah bertahap. Tahap pertama, disampaikan materi Islam yang ringan-ringan dan mudah dicerna. Tahap berikutnya dikenalkan secara bertahap tentang dasar-dasar aqidah Islam. Setelah itu dirasakan baik, maka tahap berikutnya disampaikan makna akhlak dalam Islam, dan kemudian barulah diajarkan masalah-masalah ibadah seperti sholat. Keluwesan Pak AR dalam berdakwah membuat banyak orang mudah terpikat. (Ida Nur Faizah: 1994)

Sekalipun demikian figur Pak AR adalah figur yang seimbang. Dibalik keluwesannya ia juga menunjukkan wajah keteguhan dan pemurnian ala Muhammadiyah. Ia tetap membawa Muhammadiyah dijalur pemurnian Islam.

Pak AR menganggap Muhammadiyah mendakwahkan pemurnian agama. Menurutnya,“Muhammadiyah sangat berusaha agar peribadatan dalam Muhammadiyah jangan ada tambah-tambahan. Diusahakan agar soal-soal agama dalam Muhammadiyah sama seperti yang telah terjadi di jaman Rasulullah SAW. Muhammadiyah sangat mengusahakan agar keluarga Muhammadiyah puas dengan tindakan dan percontohan-percontohan yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, meskipun mungkin mendapat tantangan dari masyarakat. Baik masyarakat umum maupun masyarakat Islam khusus.” (K.H. A.R. Fachruddin : 2005)

Hanya saja Pak AR juga mengingatkan warga Muhammadiyah tentang cara berdakwah yang menghindari bid’ah. Karena Muhammadiyah menghindari perpecahan dan mengajak dakwah dengan cara yang baik.

“Muhammadiyah tidak setuju kalau semua ahli bid’ah itu hanya dicaci-maki, dikutuk, dilaknati, dikatakan masuk neraka dan sebagainya. Menurut Muhammadiyah demikian itu bukan menambah dekat malahan menambah jauh. Muhammadiyah cukup menunjukkan amalan-amalan dan hal-hal yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW. Kepada mereka kaum muslimin yang masih suka kepada bid’ah itu adalah terserah mereka, Muhammadiyah akan terus bekerja memberikan penerangan dan penjelasan-penjelasan tentang amal-amal ibadah yang menurut sunnah Rasulullah, menurut Al-Qur’an dan Hadis dan terus mengajaknya,” demikian jelas Pak AR. (K.H. A.R. Fachruddin : 2005)

Amat penting baginya membawa Muhammadiyah menjadi bermanfaat bagi masyarakat. Sebab Pak AR percaya bahwa Islam bukan diturunkan untuk mereka yang mendaku Islam saja. Dan tanpa memaksa, “Islam menghendaki agar dengan keinsafannya, semua manusia itu mengikuti faham Islam,” demikian menurut Pak AR. (K.H. A.R. Fachruddin : 2005)

Bisa saja ada orang yang tak paham dengan dakwah Muhammadiyah. Dan mereka membencinya. Tetapi bukan berarti harus reaktif. Menurutnya harus melihat kembali arti dakwah;

“Dakwah artinya mengajak-ngajak atau menarik atau menyeru-nyeru. Oleh Muhammadiyah difahami dan dimaklumi, bahwa orang yang belum masuk Muhammadiyah bukan karena benci tetapi karena belum mengerti apa dan siapa Muhammadiyah itu,” jelas Pak AR. (K.H. A.R. Fachruddin : 2005)

Oleh sebab itu menurut Pak AR dakwah Muhammadiyah adalah dakwah yang terbuka untuk masyarakat. Dalam membentuk masyarakat, dakwah memiliki peranan yang besar sekali. Menurut Pak AR, suatu masyarakat, “…dapat sejahtera, aman, damai, dan makmur itu apabila diikuti dengan keadilan, kejujuran, persaudaraan, gotong-royong, tolong menolong dan harus bersendikan hukum-hukum Allah yang sebenar-benarnya, lepas dari pengaruh setan dan hawa nafsu.” (K.H. A.R. Fachruddin : 2005)

Apakah mungkin ada masyarakat yang demikian? Sejahtera, aman, damai dan makmur? Pak AR menjawab dengan menyentil;

“Kalau mungkin timbulnya masyarakat yang kacau balau, kocar-kacir, tindas-menindas, peras-memeras, masing-masing sewenang-wenang, mengapa tidak mungkin sebaliknya? Tentu saja mungkin. Dan bukan hal yang mustahil kalau kita menginginkan adanya masyarakat yang sejahtera, aman, damai, dan makmur.” (K.H. A.R. Fachruddin : 2005)

Pak AR memang bukan tokoh Muhammadiyah yang menulis buku-buku berat. Karya-karyanya lebih seperti dialog yang menyentuh dari hati ke hati. Dan kesan mendalam terhadap Pak AR dari segala lapisan masyarakat justru didapatkan ketika berinteraksi dan menyaksikan kesederhanaan dan teladan dalam dirinya, seraya memegang teguh ajaran Islam.

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Tulisan ini dimuat di Majalah Tabligh edisi Agustus 2018

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here